51
terjadi atau terdapat keadaan yang dimaksud, hakim dapat memutuskan agar pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi sampai kepada harta
pribadinya kepada kreditor perseroan yang dirugikan oleh perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan.
Penyingkapan corporate veil itu disebut dengan piercing the corporate veil
atau lifting the corporate veil. Artinya dalam hal-hal tertentu keterbatasan tanggung jawab pemegang saham itu tidak berlaku.
B. Tanggung Jawab dan Kewenangan Direksi
Pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis penghasilannya ditetapkan oleh RUPS. Namun dalam Anggaran Dasar dapat
ditetapkan bahwa wewenang RUPS dilakukan oleh komisaris atas nama RUPS.
1. Tanggung jawab direksi
Menurut Munir Fuady : Pada prinsipnya, direksi bertanggungjawab secara pribadi tidak hanya
terhadap tindakannya yang dilakukannya dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yang
dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan. Bahkan dalam kedudukannya sebagai direktur, dalam hal-hal tertentu, direksi
bertanggungjawab tidak hanya atas tindakan yang dilakukannya sendiri, melainkan juga atas tindakan direktur lainnya, atau bahkan sampai batas-
batas tertentu direksi bertanggungjawab juga atas tindakan orang lain yang bukan direktur yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan.
80
80
Munir Fuady, Op cit, hal. 73
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
52
Selanjutnya Munir Fuadi mengatakan “Apabila oleh direksi dilakukan secara sah perbuatan tertentu dalam kedudukannya sebagai direksi perusahaan
tersebut, dalam artian bukan dalam kapasitasnya selaku pribadi, maka dalam hal yang demikian direksi tersebut telah melakukan tindakan untuk dan atas nama
perusahaan. Sehingga, tindakan yang demikian telah merupakan tindakan perusahaan”.
81
Pada prinsipnya, setiap konsekuensi yuridis atas tindakan perseroan, baik atau buruk, akan dipikul sendiri oleh perseroan tersebut. Namun demikian,
undang-undang mengenal juga beberapa pengecualian. Walaupun tindakan tersebut merupakan tindakan perseroan, akan tetapi terdapat kemungkinan bukan
perusahaan yang bertanggungjawab, tetapi pihak lainnya. Misalnya direktur secara pribadi ataupun secara renteng.
Tanggung jawab direksi dapat dibedakan dalam : 1
Tanggung jawab internal, yang meliputi tugas dan tanggung jawab direksi terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan; dan
2 Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung
jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.
82
a. Tanggung jawab direksi dalam Perseroan Terbatas
Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun
81
Ibid
82
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 112
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
53
di luar pengadilan. Jadi “selain bertanggungjawab penuh atas pengurusan, direksi juga bertindak mewakili perseroan persona standi in judicio. Dalam
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik in good faith dan penuh tanggung jawab full
responsibility”.
83
Namun apabila tidak demikian, maka setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang dibebankan dan diwajibkan kepadanya.
b. Tanggung jawab direksi kepada perseroan dan pemegang saham perseroan
Tugas dan pertanggungjawaban direksi kepada perseroan dan pemegang saham perseroan dimulai sejak perseroan memperoleh status badan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 4 UUPT. Setiap kesalahan atau kelalaian anggota direksi dalam melaksanakan kewajibannya terhadap
perseroan dan pemegang saham perseroan, memberikan hak kepada pemegang saham untuk:
1 Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlah
sepersepuluh pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk dan atas nama prseroan terhadap direksi perseroan, yang atas
kesalahan dan kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan derivative action;
2 Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas
nama pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atas setiap keputusan atau tindakan direksi perseroan yang merugikan
pemegang saham.
84
83
I.G. Rai Widjaya, Op cit, hal. 215
84
Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 70
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
54
c. Tanggungjawab kepada pihak ketiga
Tugas dan kewajiban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban direksi untuk melakukan keterbukaan disclosure terhadap
pihak ketiga atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perseroan.
Kewajiban-kewajiban itu adalah: 1
Dalam hal perseroan ingin mengadakan pengurangan atas modal dasar, modal dikeluarkan, ataupun modal disetor dari perseroan;
2 Dalam hal perseroan bermaksud untuk melakukan penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan; 3
Dan bagi : a
Perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat;
b Perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan hutang;
c Perseroan terbuka.
direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan tahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum
perhitungan tahunan tersebut disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Dan segera setelah disahkan oleh rapat, diumumkan
untuk kepentingan pihak ketiga. Khusus untuk perseroan terbatas terbuka, direksi perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap
maksud dan rencana penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham.
85
Ketentuan tersebut di atas tidak menutup adanya kemungkinan permintaan pemberian data dan atau keterangan mengenai perseroan oleh
pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para pihak. Dalam hal-hal yang demikian tersebut di atas, direksi berkewajiban
85
Ibid, hal. 66-67
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
55
untuk memberikan data dan atau keterangan tersebut secara benar dan akurat.
d. Tanggungjawab renteng antara sesama anggota direksi perseroan
Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di kebanyakan negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur
dengan perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara perusahaan dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi
oleh hukum dianggap fiksi ada kontrak pemberian kuasa.
86
Karena itu, hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan
antara trustee dengan beneficiary seperti dalam sistem Anglo Saxon.
87
Sebagai konsekuensi yuridisnya, direktur sebagai pemegang kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya. Seberapa jauh
kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan. Apabila direktur bertindak melampaui
wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, direktur tersebut ikut bertanggungjawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan
kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta
86
Munir Fuady, III, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 93
87
Munir Fuady, IV, 1994, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 59
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
56
perusahaan harta pailit, maka direksipun ikut bertanggungjawab secara renteng.
88
Dalam Pasal 14 ayat 1 UUPT dinyatakan bahwa : Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status
badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris
perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.
Terhitung sejak saat pengesahan, para pendiri perseroan terbatas tidak
lagi bertanggungjawab secara tidak terbatas atas tiap perikatan yang dibuat untuk dan atas nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang
terbatas pada nilai seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan tersebut belum diperoleh, maka para pendiri dan sekalian pengurusnya
bertanggungjawab sepenuhnya secara tanggung renteng atas setiap perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Ketiadaan
pengesahan itu tidak meniadakan perseroan yang hendak dibentuk, hanya saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak terbatas.
Berdasarkan pada sifat pertanggungjawaban renteng tersebut, oleh kalangan ahli hukum, status hukum dari perseroan terbatas dalam pendirian
diperlakukan sama dengan atau sebagaimana layaknya suatu persekutuan dengan firma, dimana para pengurus bertindak selaku kuasa dari para pendiri
dalam menjalankan kegiatan atau usaha perseroan. Dengan ini berarti bahwa
88
Munir Fuady, III, Op cit, hal. 93
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
57
selama harta kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk menutupi seluruh kewajiban perseroan dalam pendirian tersebut, maka para pendiri dan
pengurus bertanggung jawah secara pribadi untuk memenuhi seluruh kewajiban yang belum terlunasi.
89
2. Kewenangan direksi
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2 dua prinsip
dasar yaitu kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya fiduciary duty dan prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi duty of
skill and care.
90
Kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.
Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi berat bagi direksi, karena ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Suatu perbuatan hukum sangat bergantung pada dipenuhi atau tidaknya kewenangan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut.
Kewenangan ini digolongkan ke dalam kewenangan yang berdasarkan pada: a.
Kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi; b.
Kapasitas sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
89
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 112
90
Chatamarrasjid Ais, I, Op cit, hal. 71
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
58
c. Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan yang dalam hal ini bertindak selaku yang
berwenang berdasarkan jabatannya tersebut.
91
Konsep kewenangan bertindak tersebut menjadi penting, terutama apabila dihubungan dengan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif
sahnya suatu perjanjian. Hukum perjanjian dan lazimnya peraturan perundang- undangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi
syarat subjektif ini, dengan ancaman kebatalan dapat dibatalkan setiap saat, selama masa daluarsa masih belum terlewati dan atau dalam perjanjian ini tidak diratifikasi
lebih lanjut. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hak untuk membatalkan perjanjian yang demikian diberikan kepada mereka yang syarat subjektifnya tidak
terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1331 KUH Perdata.
92
Menurut Sutjipto sebagaimana dikutip oleh Rchmadi Usman, bahwa : Pimpinan perseroan berikut usaha-usahanya berada di tangan Direksi.
Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakup dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaimana
dimuat dalam anggaran dasarnya. Dengan demikian, Direksi adalah organ melalui mana perseroan mengambil bagian dalam lalu lintas hukum sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan. Ini pula yang menjadi sumber kewenangan Direksi untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan-
perbuatan hukum dengan pihak ketiga atau dengan kata lain, mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Kepengurusan oleh Direksi
ini tidak terbatas pada memimpin dan menjalankan kegiatan rutin sehari- hari. Direksi berwenang dan wajib mengambil inisiatif dan membuat rencana
masa depan perseroan dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan perseroan. Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan perseroan merupakan
batas ruang lingkup kecakapan bertindak perseroan. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa kewenangan Direksi untuk melakukan perbuatan hukum
91
Ibid, hal. 118
92
Ibid, hal. 118-119, lihat juga Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 74-75
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
59
atas nama perseroan tidak terbatas pada perbuatan hukum yang secara tegas disebut dalam maksud dan tujuan perseroan, melainkan juga meliputi
perbuatan-perbuatan lainnya, yakni perbuatan-perbuatan yang menurut kebiasaan, kewajaran dan kepatutan dapat disimpulkan dari maksud dan
tujuan perseroan serta berhubungan dengannya sekalipun perbuatan- perbuatan tersebut tidak secara tegas disebutkan di dalam rumusan maksud
dan tujuan perseroan.
93
3. Batas kewenangan direksi
Besarnya kewenangan yang diberikan kepada direksi tidak berarti kewenangan direksi tanpa batas. Kewenangan direksi dibatasi oleh kewenangan
bertindak secara intern, baik yang bersumber pada doktrin hukum maupun yang bersumber pada peraturan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.
94
Batasan tersebut antara lain adalah adanya doktrin ultravires, yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan di luar kewenangan
dari direksi. Apabila direksi telah melanggar ketentuan kewenangannya sebagaimana telah dinyatakan dalam anggaran dasar, maka direksi telah
melanggar asas ultravires dan dengan demikian harus bertanggungjawab sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang berhubungan usaha dengan
perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa memperhatikan ultravires. Misalnya, dalam anggaran dasar disebutkan bahwa dalam melakukan
perjanjian kerja sama tertentu dengan pihak lain harus mendapatkan izin tertulis dari RUPS. Dalam kenyataannya, direksi tersebut membuat perjanjian
93
Rachmadi Usman, Op cit, hal. 166
94
Try Widiono, Op cit, hal. 8
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
60
kerja sama tertentu tanpa memperoleh izin dari RUPS, maka perjanjian kerja sama dengan pihak lain tersebut tetap sah, tetapi secara intern, direksi berarti
telah melanggar doktrin ultravires. Pembatasan-pembatasan kewenangan direksi ditegaskan dalam UUPT
antara lain pada: a
Pasal 2 UUPT, bahwa harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan
usaha yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan;
b Pasal 92 ayat 1 UUPT, yaitu dalam mengurus perseroan harus untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c
Pasal 97 ayat 1 UUPT, yang intinya harus ada itikad baik dan bertanggung jawab dalam pengurusan perseroan;
d Direksi tidak berwenang mewakili perseroan dalam hal terjadinya konflik
kepentingan conflict of interest; e
Pasal 102 UUPT, yaitu adanya perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari komisaris dan atau RUPS
yang diatur dalam anggaran dasar. Perbuatan hukum perseroan terbatas yang tidak sesuai dengan cakupan
kewenangan yang telah diuraikan di atas perbuatan ultravires, maka tanggung jawab pemegang saham, direksi, dan komisaris menjadi tidak terbatas karena telah
melampaui kewenangannya. Bagi pemegang saham, menjadi tidak terbatas dalam
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia, 2008.
61
hal yang dinyatakan pada Pasal 3 ayat 2 UUPT. Namun demikian, atas perbuatan- perbuatan direksi tanpa persetujuan dari RUPS atau komisaris tetap sah dan
mengikat dengan pihak ketiga, namun tanpa mengurangi tanggung jawab direksi atas potensi kerugian. Namun, untuk membuktikan adanya perbuatan ultravires
tersebut tidak mudah. Dalam hal terjadi perbuatan hukum direksi yang demikian dan pemberi persetujuan komisaris dan atau RUPS setuju atas tindakan direksi itu,
maka yang bersangkutan dapat melakukan ratifikasi. Di samping itu, berdasarkan asas piercing the corporate veil atau lifting the veil bahwa tanggung jawab
pemegang saham yang semula terbatas atas saham yang dimilikinya menjadi tidak terbatas.
C. Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Perusahaan Terbatas