C. Kerangka Pikir
Kegiatan perekonomian di kota Magelang dari waktu ke waktu terus berkembang. Kondisi ini didukung dengan angka angkatan kerja yang terus
meningkat. Peningkatan angka angkatan kerja dapat dimaknai dalam dua hal. Peningkatan angka angkatan kerja apabila sejalan dengan banyaknya lapangan
pekerjaan formal yang tersedia, maka dapat memberikan dampak perekonomian positif bagi masyarakat kota. Peningkatan angka angkatan kerja tidak disertai
dengan ketersediaan lapangan pekerjaan formal yang memadai akan berpengaruh pada meningkatnya penduduk miskin yang disebabkan tingginya
angka pengangguran. Jumlah lapangan pekerjaan formal di Kota Magelang belum dapat
menampung seluruh calon pekerja yang ada. Kondisi ini memacu mereka yang belum dapat pekerjaan di sektor formal kemudian membuka usaha di sektor
informal, salah satunya menjadi pedagang kaki lima. Menjadi pedagang kaki lima PKL merupakan salah satu alternatif jalan yang dapat ditempuh untuk
bertahan hidup. Modal usaha yang relatif kecil, tempat usaha tidak memakan
space
banyak, dan lokasinya fleksibel di tengah keramaian, maka mata pencaharian menjadi PKL ini mulai dilirik oleh masyarakat.
Keberadaan PKL makin hari makin menjamur di kawasan Kota Magelang. Kebanyakan dari PKL menjajakan dagangannya pada lokasi yang
bukan peruntukannya. Mereka biasanya menempati trotoar, badan jalan, dan ruang publik taman sebagai tempat usaha tanpa memperhatikan rasa aman dan
nyaman pada lingkungan sekitar. Belokasi di trotoar maupun badan jalan,
aktivitas PKL dapat mengganggu kelancaran lalu-lintas kendaraan dan berpotensi menyebabkan kemacetan. Selain itu sampah yang dihasilkan dari
kegiatan usaha juga dapat memberikan kesan semrawut, kumuh, dan mengganggu kebersihan kota.
Berdasarkan realita di atas, pemerintah Kota Magelang mengeluarkan kebijakan untuk mengatur dan menata usaha PKL di kota. Kebijakan-kebijakan
tersebut tertuang dalam Perda Kota Magelang No 13 tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Salah satu isi kebijakannya
adalah merelokasi Pedagang kaki lima pada tempat yang baru dan yang lebih layak sesuai dengan peruntukannya. Dengan begitu, lingkungan kota dapat
tertata dengan rapi, PKL pun dapat melakukan kegiatan usahanya di lokasi yang lebih layak lagi.
Perpindahan lokasi usaha PKL ke pusat-pusat kuliner di kota Magelang juga perlu kita kaji lebih mendalam lagi. Kajian tersebut dapat terfokus pada
kondisi sosial ekonomi pedagang, sebelum dan sesudah direlokasi usahanya. Dengan mengkaji relokasi tempat usaha, membandingkan kemudahan
mencapai tempat usaha, faktor sosial bentuk dan intensitas hubungan antar pedagang, kenyamanan dan kepastian berdagang dan faktor ekonomi besar
pendapatan, modal operasional, jumlah pegawai, jenis barang dagangan, jumlah barang dagangan, cara memasarkan barang dagangan, curahan waktu
kerja dapat diketahui seberapa besar pengaruh kebijakan tersebut yang dapat dirasakan oleh pedagang. Kerangka berpikir dalam penelitian ini dituangkan
dalam skema kerangka berpikir sebagai berikut:
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
PKL Kuliner Kota Magelang
Relokasi Tempat Usaha
Kondisi Sosial Ekonomi Pedagang
Tempat Usaha Baru Tempat Usaha Lama
Faktor Sosial 1.
Bentuk dan intensitas
hubungan antar pedagang.
2. Kenyamanan
dan kepastian berdagang.
Faktor Ekonomi 1.
Pegawai 2.
Modal operasional
3. Besaran
pendapatan 4.
Jenis barang dagangan
5. Jumlah barang
dagangan 6.
Cara memasarkan
barang dagangan 7.
Curahan jam kerja
Tanggapan PKL Terhadap Relokasi Tempat Usaha ke Pusat Kuliner dan Dampaknya Terhadap Kondisi Sosial
Ekonomi studi kasus di Kota Magelang
Lokasi Lama 1
Jarak 2
Aksesibilitas 3
Fasilitas penunjang
usaha Lokasi Baru
1. Jarak
2. Aksesibilitas
3. Fasilitas
penunjang usaha
Faktor Sosial 1.
Bentuk dan intensitas
hubungan antar pedagang.
2. Kenyamanan
dan kepastian berdagang.
Faktor Ekonomi 1.
Pegawai 2.
Modal Operasional
3. Besaran
pendapatan 4.
Jenis barang dagangan
5. Jumlah barang
dagangan 6.
Cara memasarkan
barang dagangan 7.
Curahan jam kerja