BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sesuai surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PGI menyambut pemilu legislatif tahun lalu, Gereja memiliki kewajiban untuk
memberikan pendidikan politik bagi jemaat. Agar jemaat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik, yaitu dengan cara memillih calon-calon
pemimpinnya dalam pemilihan umum. Pendidikan politik juga berguna untuk memberikan informasi pada jemaat yang tujuannya adalah supaya masyarakat
mengetahui apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban yang mereka miliki. Oleh karena itu, pendidikan politik senantiasa diperlukan bukan hanya
disekitar pemilihan umum, tetapi juga terus-menerus dalam proses bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk mengetahui apakah pendidikan politik diberikan kepada jemaat dapat dilihat dari dua indikator, yaitu transfer nilai dan Komunikan. Transfer
nilai merupakan distribusi pesan-pesan berupa nilai-nilai, norma-norma, ide atau gagasan dari komunikator ke komunikan. Sementara Komunikan
merupakan orang-orang penerima pesan yang mencakup nilai-nilai. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Dengan jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini sifatnya
subyektif, hal ini menitik beratkan pada pemahaman atau penilaian dari peneliti sendiri.
Pada penelitian ini, penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Berdasarkan dari data yang penulis dapatkan dari nara sumber melalui
proses wawancara, dapat saya simpulkan bahwa pendidikan politik tidak ada dilakukan di dua desa penelitian saya, yaitu desa Simanosor dan desa Hutagur-
gur. Pendidikan politik yang diberikan oleh pihak Gereja pada jemaat hanya bersifat penyampaian nilai-nilai tentang partisipasi politik yang didasari oleh
hati nurani pada jemaat dari atas mimbar oleh pendeta maupun Sintua. Ketidak-adaan sosialisasi atau pendidikan politik yang diberikan oleh para
pengurus gereja pada jemaat dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yakni faktor sosial, ekonomi dan personalitas.
Sikap apatisme dari masyarakat, khususnya masyarakat yang berada dipedesaan menyebabkan mobilisasi politik seringkali terjadi. Yang alih-alih
memobilisasi tersebut mereka sebut sebagai sosialisasi politik. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan elektoral tidak hanya
dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik. Salah satunya
adalah melalui Gereja.
BAB II PROFIL KECAMATAN SIBABANGUN