Kontribusi Gereja sebagai Agen Sosialisasi Politik

BAB III Kontribusi Gereja sebagai Agen Sosialisai dan Mobilisasi Suara Dalam

Pemilihan DPRD di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun Tahun 2014

1. Kontribusi Gereja sebagai Agen Sosialisasi Politik

Dalam surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PGI dalam rangka menyambut pemilihan umum legislatif tahun lalu, himbauan yang pertama dan utama adalah “untuk tidak memilih berdasarkan agama. Oleh karena itu, dalam memilih berilah penilaian berdasarkan kapasitas, kualitas dan rekam jejak figur” 46 Dalam penjelasannya, himbauan dalam pengumuman ini menolak pendekatan agama yang seketarian, supaya masyarakat Indonesia tidak terkotak-kotak berdasarkan agama. Hal ini dimaksudkan karena dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan. . 46 Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif 2014”, diakses 10 Agustus 2014., http:pgi.or.idarchives799. Untuk itu Gereja memiliki kewajiban dalam melakukan pendidikan politik untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sebagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Gabriel Almond, menyatakan berhasil tidaknya fungsi sosialisasi politik mencapai sasaran, sangat bergantung kepada berperan tidaknya agen-agen sosialisasi politik mentransformasikan materi-materi politik secara efektif. Agen sosialisasi terdiri dari kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer, sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak kedalam dunia umum adalah keluarga. Sedangkan kelompok sekunder merupakan kelompok dimana individu secara regular menjalin kontak dari waktu ke waktu sehingga kelompok ini mempengaruhi perasaan, pemikiran dan perilaku dari pihak yang disosialisasikan. Dalam hal ini, Gereja adalah sebagai kelompok sekunder. Pentingnya pendidikan politik dilakukan oleh Gereja adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat. Dalam perspektif ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara untuk melibatkan jemaat gereja dalam system politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara dalam pemilihan umum. Selain agar jemaat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam system politik, pendidikan politik juga berguna untuk memberikan informasi pada jemaat yang tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban yang mereka miliki. Di lain pihak, masyarakat-Jemaat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah pendidikan politik diberikan kepada jemaat sesuai dengan himbauan dalam surat pastoral PGI di dua desa, yaitu desa Simanosor dan Hutagur-gur kecamatan Sibabangun yang penulis teliti dapat dilihat dari dua indikator, yaitu transfer nilai dan Komunikan. 1.1 Transfer Nilai Transfer nilai merupakan distribusi pesan-pesan berupa nilai-nilai, norma-norma, ide-ide atau gagasan-gagasan dari komunikator ke komunikan. Nilai merupakan suatu gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, dan berharga yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial pada tiap-tiap kelompok masyarakat sudah pasti berbeda-beda sesuai dengan . Meskipun memiliki perhimpunan yang berbeda- beda, ajaran-ajaran ke-Kristenan menjadi alat pemersatu perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai ke-Kristenan lah yang menjadi salah satu tolok ukur kepribadian seseorang dalam masyarakat di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur yang menjadi lokus penelitian saya. Struktur formal untuk pertemuan regular disetiap minggunya dan pertemuan-pertemuan lainnya, seperti kebaktian malam kaum Ibu, kaum Bapak dan kaum Muda-mudi. Bila dimanfaatkan bisa berguna sebagai arena sosialisasi atau pendidikan politik pada jemaat. Transfer nilai tentang partisipasi politik yang sifatnya otonom dapat dilakukan melalui pertemuan- pertemuan tersebut. Namun pada realitanya, dari semua gereja-gereja yang penulis teliti, tidak ada satu gereja pun yang memberikan sosialisasi atau pendidikan politik pada jemaat. Ketidak-adaan sosialisasi atau pendidikan politik yang diberikan oleh para pengurus gereja pada jemaat dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yakni faktor sosial, ekonomi dan personalitas. 1.1.1 Faktor sosial, meliputi lingkungan dan kultur. Lingkungan adalah salah satu variable input yang melatarbelakangi mengapa sosialisasi politik tidak dilakukan di desa lokus penelitian saya. Lingkunagan mempunyai andil yang cukup besar dalam kehiidupan masyarakat. Di satu sisi, lingkungan mungkin dikontruksi sebagai ruang yang mencakup semua agen social, seperti media, pendidikan, kelompok teman sebaya, agama dan keluarga. Disisi lain, lingkungan berarti lingkungan politik dimana orang tinggal dan kejadian politik yang berlangsung selama era politik tertentu. Pendidikan adalah salah satu yang masih menjadi masalah di negeri ini. Majunya suatu bangsa harus didukung oleh rakyat yang memiliki sumber daya manusia yang baik dan terampil. Untuk itu pendidikan formal maupun informal sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi, masih rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan yang dimiliki masyarakat membuat Negara kita kekurangan sumber daya manusia yang baik dan terampil. Hal itulah yang menjadi polemik yang belum bisa terpecahkan dinegri ini dan membuat Negara kita sulit untuk maju. Pemasalahan-permasalahan disetiap distrik atau daerah, mulai dari angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kelahiran yang cukup tinggi sampai masalah pendidikan. Hal itulah yang menjadi masalah disetiap daerah di Indonesia. Contohnya daerah kabupatenTapanuli tengah. Secara politik, Tapanuli tengah telah keluar dari zona daerah tertinggal menjadi daerah berpotensi maju. Hal ini terjadi satelah Pemerintah pusat telah menetapkan Kabupaten Tapanuli Tengah bukan lagi sebagai daerah miskin. Secara simbolik pada tahun lalu mantan bupati Bonaran situmeang menerima sertifikat Peresmian Daerah Tertinggal yang Terentaskan dari Kemiskinan 2014 dari Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal PDT bapak Helmy Faisal. Tetapi itu semua tipuan politik semata. Apakah dengan adanya pembangunan infrastruktur di beberapa bidang sudah dapat kita jadikan tolak ukur bahwa daerah itu tidak tertinggal lagi? Pantaskah kepala daerah dengan bangganya menerima sertifikat akan keluarnya daerah yang dia pimpin dari zona miskin ke zona berpotensi maju setelah dia memperbaiki bangunan dua RSU, perbaikan jalan dititik tertentu, dan menggarap pantai untuk menjadikannya destinasi parawisata yang kemudian masyarakat harus mengeluarkan gocek untuk masuk menikmati pemandangan pantai tersebut? Luas kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 2.194,98 km2 yang tersebar di 20 kecamatan dengan total jumlah penduduk sebanyak 324 006 jiwa. Apakah dengan memiliki dua RSU telah cukup untuk menampung 10 saja dari jumlah masyarakat? Tapanuli tengah tercatat sebagai daerah yang telah menerapkan swaswembada beras tahun 2013 setelah berhasil meningkatkan hasil produksi petani, pertanyaannya, petani yang mana? Berdasarkan berita yang saya dapatkan dari Harian Medan Bisnis di internet pada tanggal 08 juli 2013 mengatakan bahwa Bapak bonaran mantan bupati Tapanuli tengah mengaku bahwa 30 dari APBD di alokasikan untuk pembangunan sektor pertanian. Dengan berbagai program, yakni pembinaan melalui penyuluhan maupun pembentukan kelompok tani, peningkatan pembangunan infrastruktur pertanian dan pemberian bantuan sarana dan prasarana pertanian. Beliau mengatakan bahwa setiap tahun pemerintah daerah memberikan bantuan alat-alat pertanian, obat-obatan anti hama, pupuk, benih unggul bahkan pemberian modal kepada seluruh petani d tapteng melalui kelompok tani. Pertanyaannya, apakah memang di semua desa disetiap kecamatan tapteng kelompok tani dibentuk? Apakah bantuan yang seperti disebutkan bapak bonaran tadi memang sudah terealisasikan? Apakah dengan ketidak adaannya kelompok tani, modal yang telah disalurkan pemerintah bisa sampai pada petani? Ataukah modal tersebut tersendat dan dinikmati oleh oknum-oknum pejabat beserta konco-konconya? Dengan demikian, akankah daerah kabupaten tapanuli tengah masih dapat kita katakan sebagai daerah yang berhasil keluar dari zona termiskin menjadi zona berpotensi maju tanpa melihat bagaimana kondisi masyarakat yang sebenarnya, khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Daerah Kabupaten Tapanuli tengah merupakan satu dari 70 kabupaten yang menerima sertifikat Peresmian Daerah Tertinggal yang Terentaskan dari Kemiskinan 2014 dari Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal PDT bapak Helmy Faisal. Yang pastinya setiap daerah memiliki kisah tersendiri dengan permasalahan yang tidak jauh berbeda. Diharapkan perbaikan dan pembangunan dilakukan mulai dari pemerintahan paling bawah, yaitu desa. Mengingat desa merupakan sentral pembangunan terkecil yang ada di daerah. Perbaikan dan pembangunan diharapkan bisa meminimalisir banyaknya desa yang tertinggal di negri ini. Desa Simanosor dan Hitagur-gur merupakan contoh 2 dari sekian banyak desa yang masih tertinggal dinegri ini. Desa Simanosor dan Hutagur- gur merupakan desa yang mayoritas penduduknya berfrofesi sebagai petani. Dari data dan informasi yang saya temukan dilapangan bahwa tidak ada satu pun program pemerintah daerah yang menyentuh masyarakat di dua desa ini. Kelompok tani seperti yang disebutkan oleb bapak bonaran tidak ada saya dapati disana. Bahkan yang lebih memilukan, saat dalam proses wawancara, pada 3 nara sumber dari pengurus gereja, ada perwakilan dari kepala desa yang datang mendata nara sumber tersebut untuk dimasukkan dalam kelompok tani tersebut. Saat saya membaca isi dari surat tersebut, dijelaskan bahwa pembentukan kelompok tani tersebut dibuat pada tahun 2013. Dan masih berlangsung hingga sekarnag. Namun, saat mereka dimintai pas photo dan foto copy ktp sebagai bukti bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok tani itu, mereka langsung memberikannya tanpa mempertanyakan tujuan dari surat tersebut. Hal itulah yang menandakan bahwa rendahnya pengetahuan dari pengurus gereja tersebut membuat mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang dipolitiki oleh pejabat Negara tersebut. Rendahnya tingkat dan kualitas pendidikan yang dimiliki oleh sebagian besar pengurus Gereja dan juga jemaat membuat minimnya pengetahuan mereka akan politik. Pemahaman mereka masih sebatas pengetahuan yang diperoleh dari berita di televisi dan sosialisasi dari elit politik. Para pengurus gereja di desa-desa kecamatan Sibabangun rata-rata mengecam pendidikan sebatas Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama. Tetapi untuk pendeta, mereka telah mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Walaupun demikian, pendidikan strata 1 pun tidak menjadi jaminan mereka paham akan politik. Begitu juga dengan jemaat masyarakat simanosor dan hutagur-gur, yang mayoritas masih mengecam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Untuk anak-anak mereka sudah mengecam pendidikan sekolah menengah atas, tetapi bagi keluarga yang cukup mapan sudah mengecam pendidikan di perguruan tinggi. Walaupun perguruan tinggi swasta. Meskipun demikian, pendidikan yang mereka peroleh dari perguruan tinggi tidak membuat mereka mampu membangun desa tersebut. Hal terjadi, menurut persepsi saya adalah tidak lain karena mutu pendidikan yang mereka peroleh kurang berkualitas. Walau tidak dipungkiri, skill dan personality seseorang juga sangat mempengaruhi. Hampir semua narasumber pengurus gereja yang peneliti wawancarai, mengatakan bahwa ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan politik tersebut. Disaat peneliti bertanya apa pendapat mereka mengenai politik, mereka langsung mengatakan bahwa politik itu kotor dan harus dihindari. Dengan demikian, bukan suatu hal mengherankan lagi bila semua narasumber-jemaat gereja yang peneliti wawancara buta akan politik. Sama halnya dengan pemikiran Martin Luther, Para pengurus Gereja, seperti Sintua dan Parhanger juga berpandangan bahwa politik dan Gereja merupakan dua entitas yang berbeda. Tidak dapat disatukan. Negara tidak boleh campur tangan dalam Gereja. Gereja juga tidak boleh terlibat dalam pemerintahan. Jika pengurus Gereja mau terlibat dalam pemerintahan, sebaiknya ia harus menanggalkan profesinya atau kedudukannya dalam Gereja. Agar Gereja terhindar dari unsur politik. Tetapi ada juga Parhanger yang tidak setuju bila politik dijauhkan dari pengurus Gereja. Karena dia sendiri merupakan bagian dari satu partai politik. Pendidikan politik yang diberikan oleh pihak Gereja pada jemaat hanya bersifat penyampaian nilai-nilai tentang partisipasi politik yang didasari oleh kesadaran sendiri atau otonom pada jemaat dari atas mimbar oleh pendeta maupun Sintua. Dari atas mimbar, pendeta mengajar jemaat agar ikut aktif berpartisipasi dalam pemilihan umum. Karena menentukan pemimpin merupakan hak dari masyarakat itu sendiri. Menurut St. P. Siregar, selaku Parhanger di Gereja HKBP Simanosor mengatakan bahwa “Memilih voting merupakan hak setiap masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk menentukan siapa pemimpinnya secara bebas dan rahasia. Jemaat memilih karena mendapat undangan langsung yang dibagi-bagikan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah melalui kepala lorong. Dengan memilih juga menghindari berbagai kecurangan yang akan dilakukan oleh oknum-oknom yang tidak bertanggung jawab” Pendeta GPdI Simanosor, Bapak Pdt. Y. Purba mengatakan bahwa ia tidak mengerti sama sekali tentang politik. Menurut beliau, politik adalah sesuatu yang sifatnya dosa. Meskipun beliau merupakan alumni dari SAAT, sebuah perguruan tinggi agama Kristen yang cukup elit di Asia Tenggara. Tidak membuat beliau mengerti arti dari politik itu. Beliau juga mengatakan bahwa jika ia paham akan politik itu maka ia akan memberikan pendidikan politik pada jemaatnya. Bapak St. M. Simanungkalit yang merupakan Parhanger di Gereja HKBP Hutagur-gur mengatakan bahwa “ di gereja kami tidak memiliki program terkait dengan pendidikan politik. Saya bahkan tidak mengerti apa itu politik. Yang saya tahu, politik merupakan taktik kotor yang dipergunakan calon elit politik untuk mendapatkan kekuasaan. Pendidikan politik yang diberikan oleh Gereja pada jemaat sifatnya hanya memberi dorongan pada masyarakat agar semua jemaat tidak ada golput”. Ketidak adaan pendidikan politk di dua desa yang saya teliti ini juga dilatarbelakangai oleh karena ketidak pedulian dari jemaat itu sendiri. Ketidak pedulian itu terjadsi karena menurut masyarkat, pendidikan poltik itu tidak begitu penting bagi masyarakat. Jika pemerintah memang peduli pada masyarakat, pemerintah sebaiknya memberikan pendidikan tentang bercocok tanam yang baik dan benar itu pada masyarakat. Sehingga hasil panen masyarkat tidak terus merosot. Pemerintah seharusnya memberi solusi atas masalah yang dihadapi warga akan pertaniannya. Seperti menurut Bapak Kaosa Halawa dari gereja BNKP pendidikan politik itu tidak diperlukan dalam kondisi masyarakat seperti ini. Yang perlu itu bagaimana pendidikan tentang bertani yang baik, agar hasil panen bagus. Supaya padi-padi yang kami tanam terhindar dari hama dan tikus dan lain-lain. Juga supaya pembagian bibit unggul dari pemerintah tidak dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Jangan dinikmati sama keluarga bapak kepala desa dan kepala lorong saja. Kami rakyat kecil harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan uang. Bukan Cuma itu, beras bulog yang seharusnya juga gratis tapi kami harus membayar 35.000 rupiah perkeluarga. Itupun cuma dapat 10 kg. Sebenarnya itu beras tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia, ayam pun tidak mau memakannya. Tapi apa boleh buat, sulitnya perekonomian karena harga getah karet turun drastis membuat kami terpaksa memakannya. Untuk itu besar harapan kami, untuk semua anak bangsa agar bisa merubah politik kotor dinegri ini. Begitu juga halnya dengan bapak Darius gulo dari gereja BNKP juga berkata demikian. Bahwa menganggap pendidikan politik untuk masyarakat di desa ini tidak perlu. Karena kondisi perekonomian mereka yang masih sulit membuat masyarakat lebih membutuhkan program pemerintah dan juga program dari gereja untuk memberikan solusi pada setiap masalah yang masyarakat hadapi. Beliau mengatakan bahwa masyarakat sebaiknya diberi bimbingan bagaimana bisa bertani dengan baik. Biar hasil panen bisa banyak. Untuk itu, selain karena tingkat dan kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang, yang dalam hal ini adalah pengurus gereja merupakan salah satu hal yang melatar belakangi mengapa pendidikan politik tidak ada diberikan di dua desa ini. Ketidak pedulian juga merupakan factor yang mendasar mengapa masyarakat tidak membutuhkan pendidikan politik. Oleh sebab itu, pengetahuan atau wawasan dan perilaku yang dimiliki seseorang adalah salah satu penentu dari tingkat kepeduliannnya terhadap fenomena-fenomena politik yang terjadi saat ini. Faktor kedua adalah kultur. Kultur kita kenal dengan istilah budaya. Kultur adalah dasar dari bangunan kerangka tempat individu disosialisasikan. Kultur yang dimiliki oleh setiap individual akan sangat mempengaruhi bagaimana cara dia disosialisasikan. Karena Kultur merupakan keseluruhan system, gagasan, tidakan dan hasil karya dari kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia sendiri yang diperoleh dengan cara belajar. Kebudayaan sifatnya dilestarikan atau diajarkan turun temurun pada generasi berikutnya. Kardinger berpendapat bahwa pengaruh sosialisasi dari orang tua ditentukan oleh tradisi kultural: kultur orang tua yang berbeda akan mensosialisasikan anaknya secara berbeda berdasarkan tradisi cultural. Yang intinya, tradisi kultural yang sama akan mempromosikan pembelajaran yang sama, yang kemudian akan mempromosikan dalam karakteristik kepribadian diantara orang-orang dalam kultur spesifik. Subkultur yang terdapat di dalam masyarakat di kecamatan Sibabangun, yakni di desa Simanosor dan Hutagur-gur juga merupakan faktor yang melatarbelakangi mengapa pendidikan politik tidak diberikan. Satu cara untuk memahami mengapa pendidikan politik itu tidak dilakukan adalah dengan menelaah subkultur itu sendiri. Subkultur menyangkut agama. Secara terminology agama diartikan sebagai aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Agama merupakan landasan jati diri untuk sebagian besar orang, dan bagaimana cara mereka bertindak dalam membuat dan mengambil suatu keputusan. Hal ini dikarenakan agama dapat dipergunakan untuk memperoleh pembenaran atas praktik kehidupan dalam masyarakat sekaligus peneguh nilai-nilai yang dipegang masyarakat. Oleh karena itu, agama mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam menjalani hidupnya. Adanya persepsi bahwa politik tabu di kalangan masyarkat umat Kristen tidak lain adalah karena politik merupakan hal duniawi. Dalam ajaran Kristen, hal duniawi adalah pertentangan dengan Allah. Hal ini djelaskan dalam Kitab Perjanjian Baru, Yakobus 4:4 “ Hai kamu, orang-orang yang tidak setia. Tidakkah kamu tahu, persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barang siapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah” . 1.1.2 Faktor Ekonomi Masyarakat di desa Simanosor dan Hutagur-gur cenderung bersikap apatis terhadap segala fenomena politik yang terjadi di tanah air. Hal ini bisa maklumi, selain karena tingkat pendidikan dari masyarakat masih cukup rendah. Rendahnya tingkat pendidikan yang dikecam pada masyarakat disebabkan oleh rendahnya income penghasilan dari masyarakat itu sendiri. Majunya sebuah bangsa harus didukung oleh kemapanan ekonomi dari Negara itu sendiri. Kesulitan ekonomi yang dialami oleh masyarakat di desa Simanosor maupun Hutagur-gur mengakibatkan sikap apatisme pada masyarakat akan fenomena politik yang terjadi di negeri ini. Sumber income masyarakat yang hanya mengandalkan hasil dari pertanian membuat para masyarakat kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak didesa ini hanya mengecam pendidikan sampai tingkat menengah keatas atau SMA. Anak-anak yang sudah tamat merantau keberbagai daerah di negeri ini. Berbakal ijazah SMA yang merek miliki, mereka hanya bisa bekerja sebagai buruh pabrik dan lain-lain. Sementara untuk anak-anak yang cukup mapan melanjutkan sekolahnya di unversitas- universitas swasta terdekat, tetapi ada juga diluar daerah, seperti Padang, Medan dan lain-lain. Penghasilan masyarakat di dua desa ini bersumber dari hasil karet dan tanaman padi. Getah karet di panen setiap siminggu sekali yaitu setiap hari rabu yang kemudian dijual dipasar. Untuk saat ini, di bulan maret, penurunan harga karet dunia membuat mayarakat harus berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal ini dikarenakan hasil karet merupakan penghasilan utama dari masyarakat di dua desa ini. Berbeda dengan keadaan dipulau jawa, di desa simanosor dan hutagur-gur, mayoritas masyarakat memiliki lahan pertanian sendiri. Istilah tuan tanah tidak dikenal di desa terpencil dan masih kolot ini. Walaupun demikian, itu tidak membuat masyarakat mendapatkan keuntungan yang penuh atas hasil taninya. Masyarakat masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli pupuk, obat anti hama, obat penyubur tanaman, alat untuk menyewa traktor untuk membajak sawah, sewa untuk mesin pemroses hasil panen dan lain sebagainya. Terkadang lebih besar pengeluaran dari pada hasil yang di dapatkan oleh petani. Meskipun seperti itu, masyarakat tidak pernah meminta bantuan pada pemerintah untuk sesuap nasi. Bahkan masyarakat tidak pernah mengeluh atau menuntut pemerintah akan kesulitan ekonomi yang mereka alami. Bisa kita katakan, masyarakat di desa simanosor dan desa hutagur-gur adalah masyarakat yang sangat mandiri. Berjuang untuk hidupnya tanpa berpikir bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk mensejahterahkan mereka. Bahkan fenomena yang saya dapati di desa ini, bantuan dari pemerintah, seperti pemberian bibit padi, pupuk bersubsidi, beras bulog dan lain-lainnya. tidak langsung dibagikan pada masyarakat, kepala desa dan kepling nya banyak melakukan kecurangan. Mereka membagi-bagikan bantuan tersebut pada saudara-saudara terdekatnya. Justru masyarakat yang lebih membutuhkannya harus merogoh kantong untuk mendapatkannya. Contohnya, bibit padi dan beras bulog yang harusnya dibagi-bagikan pada masyarakat secara gratis dan diberikan pada masyarakat yang membutuhkannya. Namun pada realitanya, masyarakat harus membayar 35.000-40.000 perkarungnya untuk beras bulog tersebut. Sementara mahalnya harga beras dipasar membuat masyarakat mau tidak mau akan membeli beras tersebut. Dengan demikian, sulitnya perekonomian yang ada di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur inilah yang merupakan salah satu penyebab mengapa pendidikan politik tidak diberikan pada masyarakat. Hal tersebut juga merupakan alasan mengapa masyarakat bersikap apatis terhadap fenomena ataupun permasalahan politik yang terjadi di negeri ini. 1.1.3 Personalitas Input ketiga yang berdampak signifikan yang melatarbelakangi mengapa sosialisasi politik tidak diberikan oleh pengurus gereja pada jemaat adalah personalitas atau kepribadian. Personalitas tidak sepenuhnya independen dari kultur dan lingkungan dan bahkan dipengaruhi, setidaknya sebagian, oleh keduanya. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda dengan individu lain. Kepribadian tersebut dimiliki melalui sosialisasi sejak seseorang dilahirkan. Dalam bahasa sehari-hari istilah kepribadian juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten yang memberikan identitas bagi dirinya sebagai individu khusus. Ciri watak yang diperlihatkan secara lahir, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya membuat individu tersebut memiliki identitas khususnya yang berbeda dengan individu lain. Kepribadian personality adalah ciri-ciri dan sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang yang mencakup pola-pola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, mentalitas, yang umumnya sejalan dengan kebiasaan umum. Setiap kelompok manusia memiliki nilai-nilai, norma-norma, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Setiap individu dalam kelompok manusia secara sadar atau tidak berupaya mempengaruhi anggota-anggotanya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan pengalaman khasnya, sehingga menimbulkan kepribadian khas dari anggota masyarakat tersebut. Kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan yang baik disertai pendidikan yang bagus akan membuat pribadi seseorang lebih mapan. Sikap apatisme merupakan satu watak yang sudah mengakar dalam masyarakat. selain karena disebabkan oleh rendahnya pendidikan, juga karena adanya persepsi bahwa politik itu adalah sesuatu yang dianggap tabu dan bertentangan di kalangan umat Kristen. Persepsi ini tertanam karena melihat carut-marutnya dunia politik yang disuguhkan baik di pertelevisin maupun didepan mata. 1.2 Komunikan Komunikan merupakan orang-orang penerima pesan yang mencakup nilai-nilai. Norma-norma, ide-ide atau gagasan-gagasan dari komunikator atau sipemberi pesan atau informasi tersebut. Komunikan dalam hal ini juga bisa diartikan sebagai objek. Komunikan disini adalah jemaat Gereja itu sendiri. Baik laki-laki maupun perempuan yang sudah tergolong dewasa. Sementara pendidikan politik untuk anak-anak sendiri hanya bersifat pembentukan karakter. Pembentukan karakter dilakukan sejak dini agar mampu menjadi anak bangsa yang memiliki moral yang agamais.

2. Kontribusi Gereja sebagai Agen mobilisasi Suara