Kontribusi Gereja sebagai Agen mobilisasi Suara

2. Kontribusi Gereja sebagai Agen mobilisasi Suara

Sikap apatisme dari masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan terhadap fenomena politik disebabkan oleh faktor karena tidak adanya kepercayaan masyarakat pada pemerintah, tidak ada kesadaran politik, tidak tertarik pada masalah politik dan juga dikarenakan kurangnya pemahaman akan politik tersebut. Oleh karena sikap apatisme dari masyarakat inilah yang menyebabkan mobilisasi politik seringkali terjadi di dalam masyarakat. Mobilisasi tersebut terjadi dalam upaya meraup suara dari masyarakat yang oleh calon elit politik tertentu yang tujuan tidak lain adalah untuk pemenangannya dalam pemilihan umum voting. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan elektoral tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrument-instrumen mobilisasi politik non partai politik. 47 47 Kris Nugroho. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi Politik Elektoral. Jurnal Tahun 2011, Volume 24, Nomor 3. Hal: 202 Non partai politik artinya adalah orang-orang yang tidak terlibat atau bagian dari partai politik. Seperti tokoh agama, tokoh adat dan lain sebagainya. Ketidak efektifan partai politik sebagai agen mobilisasi adalah karena tidak adanya legitimasi yang diperoleh dari masyarakat pada partai politik tersebut. Masyarakat menganggap partai politik tidak mewakili suara mereka dalam pemerintahan melainkan mewakili suara elit tertentu. Mobilisasi politik non partai pun menjadi alternatif yang cukup menjanjikan karena dianggap lebih efektif dalam menggerakkan massa ketimbang menggunakan instrumen partai politik. Hal inilah yang mendasari para aktor calon wakil rakyat secara pragmatis memilih menggunakan instrument non partai sebagai agen pendongkrak suaranya dalam pemilihan umum. Salah satunya adalah melalui tokoh agama dalam Gereja. Baik itu Pendeta maupun SintuaParhanger. Hal ini terjadi karena para calon elit politik melihat Pendeta maupun SintuaParhanger memiliki kepercayaan penuh dari jemaatnya, selain itu gereja juga memiliki basis massa yang cukup besar. Sehingga para calon wakil rakyat tersebut memilih melakukan pendekatan untuk menarik simpati pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada pimpinan Gereja dan tidak jarang para pengurus gereja tersebut terpolitisasi oleh elit politik tersebut untuk memobilisasi jemaatnya dalam kegiatan elektoral. Adanya kepercayaan yang dimiliki oleh pengurus gereja dari jemaat membuat para pengurus gereja tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi sikap dari jemaat dalam menentukan pilihan politiknya. Untuk mereka calon wakil rakyat yang beragama Kristen dan juga merupakan bagian dari pengurus gereja, menjadi satu alternatif bagi mereka dalam pendekatannya pada jemaat yang tujuannya untuk mendapatkan simpati dari jemaat. Maka mereka akan memilih menggunakan identitasnya sebagai pengurus gereja baik sintua maupun parhanger di gereja mereka untuk meraih dukungan penuh dari semua jemaat. Pada pemilihan umum tahun 2014 lalu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan baik oleh calon eksekutif kepala daerahBupati maupun calon legislatif DPRD pada gereja sudah mulai berkurang. Yang sebelumnya mereka mengaku bahwa ada begitu banyak kandidit-kandidat yang melakukan money politik. Dengan memberikan sejumlah uang untuk pembangunan gereja. Ada juga pemberian unag secara kess langsung pada masyarakat. Dan hampir semua masyarakat menerima sogokan uang tersebut. Bahkan tidak jarang kita bisa menemukan sejumlah pengurus gereja bahkan ada pendeta yang terlibat dalam pemenangan calon kepala daerah dan juga calon legislatf. Berkurangnya keterlibatan mereka dalam pemenangan calon tertentu disebabkan mulai adanya kesadaran dalam diri mereka. Dimana pada pemilihan umum sebelum-sebelumnya mereka aktif sebagai agen mobilisasi suara dalam pemenangan calon tertentu, tetapi untuk pemilihan umum tahun 2014 lalu, kontribusi mereka sebagai agen mobilisasi suara bersifat pasif. Rentannya politisasi yang dilakukan oleh calon elit politik pada pengurus gereja disebabkan oleh rendahnya tingkat dan kualitas pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh pengurus gereja itu sendiri dan juga faktor personalitas pengurus gereja itu sendiri yaitu rendahnya realisasi dari pada tindak lanjut terhadap manajemen kepemimpinan dan spritualitas yang semakin merosot pada pemimpin agama. Minimnya pengetahuan dari pengurus gereja akan politik membuat para pengurus gereja tersebut tidak sadar bahwa mereka telah dipolitisisasi oleh calon elit politik tersebut. Berdasarkan data yang saya peroleh dari hasil wawancara baik pada pemimpin gereja maupun pengurus gereja di dua desa, yakni desa Simanosor dan desa Hutagur-gur yang merupakan pusat pemukiman di kecamatan sibabangun. Kontribusi Gereja sebagai agen mobilisasi suara dapat kita katakana sifatnya pasif, yang artinya kontribusi yang diberikan gereja hanya member pandangan-pandangan atau arahan-arahan kepada masing-masing jemaat agar memberikan dukungannya pada kandidat sesuai hati nurani. Tetapi dalam penyampaiannya cenderung diselipkan kata-kata yang sifatnya mempersuasif jemaat agar memberikan pilihan politiknya pada calon tertentu. Dengan mengatakan “memilih sesuai hati nurani. Pilihlah yang dianggap kira- kira yang bisa mewakili suara kita dalam pemerintahan. Tetapi alangkah baiknya kita memilih calon yang sudah kita kenal dan yang paling utama yang seiman dengan kita”. Dilapangan penulis juga menemukan bahwa ucapan syukur yang diberikan oleh calon legislatif tertentu dalam bentuk dana ke gereja dalam upaya pendekatan dengan meminta dukungan doa, dianggap oleh pihak gereja sebagai hal yang wajar. Karena menurut mereka ucapan syukur yang diberikan oleh calon legiislatif tersebut tidak akan mempengaruhi sikap gereja. Menurut mereka, pemberian dana merupakan bentuk rasa syukur si calon legislatif tersebut kepada Tuhan. Namun pertanyaannya, mengapa ucapan syukur diberikan sebelum pemilihan umum berlangsung? Mengapa setelelah terpilih sebagai anggota dewan perwakilan rakyat daerah, beliau tidak ada memberikan ucapan syukurnya pada gereja? Para pengurus mengatakan bahwa ucapan syukur dapat dilakukan kapan saja. Karena menurut mereka waktu bukanlah menjadi patokan untuk kita menyampaikan rasa syukur kita pada Tuhan. Tetapi bukankah rasa syukur itu kita berikan atas pencapaian akan sesuatu yang sudah kita raih dengan susah payah. Pemberian sejumlah uang untuk gereja sebagai rasa ucapan syukur kita memanglah baik, tetapi alangkah baiknya ucapan syukut itu tidak dijadikan sebagai satu pendeatan dalam upaya meminta dukungan. Dengan menyelipkan kata-kata dukung dalam doa agar menang. Maka secara tidak langsung beliau sudah meminta pengurus gereja dan jemaat memberikan sura padanya untuk pemenangannya.

BAB IV PENUTUP