Bilingualisme Pada Masyarakat Karo Desa Pasar X Kecamatan Kutalimbaru

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR INFORMAN

NO Nama Jenis

Kelamin

Usia Pendidikan

1 Sepakat L 38 tahun SMA

2 Edy Shaputra L 35 tahun SMA 3 Esma br Surbakti P 32 tahun SMA

4 Ave Mario L 8 tahun SD

5 Dimas L 8 tahun SD

6 Carles Bagariang L 50 tahun SMA 7 Saten br Ginting P 50 tahun SD

8 Mekel L 7 tahun SD

9 Melsri Mawarni P 30 tahun Guru

10 Mardiah P 67 tahun SD

11 Sarudian Maharaja L 51 tahun Guru

12 Marlina P 49 tahun Guru

13 Mesrina. S P 31 tahun Guru 14 Jadi br Sembiring P 68 tahun SMP 15 Tian br Ginting P 48 tahun PNS

16 Tobat L 6 tahun TK


(2)

LAMPIRAN 11

DAFTAR PERTANYAAN

Pilihlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dibawah ini!!!

1.A. Pertannyaan yang dijawab oleh suami bersuku karo pada ranah keluarga 1. Bahasa apa yang Anda gunakan saat berbicara dengan istri di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan anak-anak di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

B. Pertanyaan yang dijawab istri bersuku Karo pada ranah keluarga

1. Bahasa apa yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan suami di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan Bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan anak-anak di rumah?


(3)

b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indinesia

C. Pertanyaan yang dijawab anak bersuku Karo pada ranah keluarga

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan ayah di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan ibu di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan kakak/abang di rumah

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

ll.A. Pertanyaan dijawab oleh suku Karo dalam ineraksi di luar rumah

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbincang-bincang tentang pekerjaan kepada sesama suku karo?


(4)

b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbincang-bincang tentang topik harga barang di pasar sesama suku Karo?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesi

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbincang-bincang tentang pristiwa aktual (kenaikan BBM, biaya pendidikan, para calek) kepada sesama suku Karo?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

111.A. Pertanyaan yang dijawab oleh suami dari perkawinan campuran pada ranah keluarga

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan istri di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan anak-anak di rumah?


(5)

b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

B. Pertanyaan dijawab oleh istri dari perkawinan campuran pada ranah keluarga.

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan suami di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan anak-anak di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesi

C. Pertanyaan dijawab oleh anak dari perkawinan campuran pada ranah keluarga.

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan ayah di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia


(6)

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan ibu di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesi

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan abang/kakak di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Krao dan bahasa Indonesia

4. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan adik di rumah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia c. Bahasa Karo dan bahasa

1V. A. Pertanyaan yang dijawab bukan suku Karo dalam interaksi saat di luar rumah

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbincang-bincang tentang pekerjaan kepada orang yang berbeda suku dari anda?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia


(7)

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbincang-bincang tentang topik harga barang di pasar kepada orang yang berbeda suku dari anda?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbincang-bincang tentang pristiwa aktual (kenaikan BBM, biaya pendidikan, para calek) kepada sesame suku Karo?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

V.A. Pertanyaan dijawab oleh siswa di sekolah (resmi).

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan guru di lingkungan sekolah?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dengan teman sekelas di ruang kelas?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia


(8)

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara dalam rapat osis dengan guru/teman?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Krao dan bahasa Indonesia

B. Pertanyaan dijawab oleh para guru dan pegawai pada ranah pendidikan (resmi)

1. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan kepala sekolah di lingkungan sekolah

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

2. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara kepada murid dalam proses belajar mengajar

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia

c. Bahasa Karo dan bahasa Indonesia

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan pada saat berbicara kepada teman

(sesama guru) di lingkungan sekolah? a. Bahasa Karo

b. Bahasa Indonesia


(9)

4. Bahasa apakah yang Anda gunakan saat berbicara dengan kepala desa di lingkungan kantor kepala desa?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Leonie Chaer Abdul. 2007. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Rineka Cipta.

Alwi, Hasan. 2003. Tata Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusat

Apriani, Rini. 2009. “Bilingualisme pada Masyarakat Simalungun”. (skripsi). Effendi. S dkk. 1976/1977. Singkatan Laporan Penelitian Sosiolinguistik.

Perpustakaan Fakultas Sastra USU.

Hasan, Kailani. 2001. Butir-Butir Linguistik Umum dan Sosiolinguistik. Unri Perss

Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah. Mahsun.2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Aditima. Martondang, J Erni. 1997. “Bilingualisme pada Masyarakat Cina”. (skripsi). Nababan, P.W.J. 1998. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama.

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Pustaka belajar. Yokyakarta

Rahardi,Kunjana. 2002. Kajian Sosiolinguistik. Ghalia. Indonesia Sembiring, Sugiana. 2004. Alih Kode Penutur Bahasa Karo Kelurahan

Sempakata Kecamatan Medan Selayang. (Tesis). Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.


(11)

Sinaga, Risma Jojor. 1996. “Bilingualisme pada Masyarakat Batak Toba”. (Skripsi).

Siregar. Umar Bahren. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa. (Kasus

Mayarakat Bilingalisme di Medan). 1998. Jakarta: Pustaka Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar

PenelitianWahana Kebudayaan secara Linguistik. Duta Wacanan University Perss.

Sumarsona dan Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Sabda.

Tanjung, dkk. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, dan Tesis). Jakarta: Kencana.

Tarigan, Henry Guntur.1988. Pengajaran Kedwibahasaan. Angkasa Bandung. Umar, Azahar Delvi. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik Suatu Pengantar. Pustaka Widyasarana.

Woollams, Geoff. 2004. Tata Bahasa Karo. Bina Media Perintis. Internet

indonesia.

Wirduna. 2011. pukul 10.11 Wib.

Sembiring.jo-blogspot.com/2009/05hidup-dan-dalam-pikiran-orang-karo.html. Diakses 07, April 2004 pukul 10.11 Wib.


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, dengan mengumpulkan beberapa narasumber untuk mendapatkan data penelitian ini. Alasan mengambil lokasi penelitian ini karena peneliti tertarik dengan lokasi dan letak Desa Pasar X jauh dari perkotaan.

3.1.2Waktu Penelitian

Waktu adalah seluruh rangkaian ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau langsung (Alwi, 2005:1267). Penulis melalukan penelitian terhadap objek mulai dari tanggal 15 Juli sampai tanggal 15 Agustus 2014.

3.2 Sumber Data

Data adalah kenyataan yang ada, yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun suatu pendapat; keterangan atau bahan yang dipakai untuk penalaran atau penyelidikan (Alwi, 2005:319).

Data yang digunakan adalah data lisan dan tulisan. Data lisan adalah data yang disampaikan melalui alat ucap kita sendiri, sedangkan data tulisan adalah data yang disampaikan melalui tulisan sering disebut kepustakaan. Data penelitian ini penulis mengambil informan sebanyak tujuh belas orang. Dalam hal ini


(13)

peneliti melakukan wawancara langsung dan tidak langsung kepada informan tentang bilingualisme dengan mengajukan pertanyaan dari peneliti, agar data yang diperoleh dari informan valid, terlebih dahulu ditentukan persyaratan bagi informan. Persyaratan tersebut menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, asal-usul, kemampuan, dan kemurnian bahasa informan. Dalam penelitian yang diambil harus memenuhi kriteria-kriteria seperti yang disebutkan Mahsun (1995: 106) sebagai berikut:

1. Berjenis kelamin pria dan wanita; 2. Usia seorang informan adalah 8-50 ; 3. Merupakan warga setempat;

4. Berpendidikan maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP);

5. Bersetatus sosial menegah (tidak rendah dan tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya;

6. Memiliki kebanggaan terhadap bahasanya; 7. Dapat berbahasa indonesia;

8. Sehat jasmani dan rohani.

Persyaratan tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan antara lain: informan yang buta huruf kurang ideal, karena umumnya mereka sangat sukar untuk ditanya, dan tidak mempunyai kebiasaan menerjemahkan bentuk-bentuk kalimat yang rumit. Informan yang terlalu tua kurang ideal, karena mereka pada umumnya sudah tidak spontan, ingatannya sudah banyak berkurang, pendengaranya berkurang, dan sebagainya, disamping ketahanan jasmani juga


(14)

banyak sudah berkurang untuk menghadapi pekerjaan yang butuh waktu banyak dan ketentuan.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki (Alwi 2005:740). Menurut Sudaryanto (1993:137) metode adalah cara yang dilaksanakan.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode

Kepustakaan dan metode simak. Metode simak dengan menggunakan teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap kemudian dilanjutkan dengan teknik catat. Kedua metode ini menggunakan teknik yang berawal peneliti ikut dalam sebuah tanya jawab kepada informan dan kemudian menyimak pembicara informan mengenai bilingualisme bahasa Karo yang disampaikan. Data yang diperoleh dari informan dikumpulkan sebagai kajian, sebagai tambahan digunakan data tulis, yaitu data yang dikumpulkan dari buku-buku yang berhubungan dengan bilingualisme pada masyarakat Karo Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru.

Selain metodesimak, peneliti juga menggunakan metode cakap yaitu percakapan antara peneliti dengan narasumber yang berbentuk wawancara sepontanitas ada juga teknik wawancara yang berencana dalam bentuk pertanyaan. Ada pun teknik dasar yang digunakan dalam metode cakap adalah teknik pancing.


(15)

Metode pengumpulan data yang digunakan membahas masalah pertama adalah metode kepustakaan dan masalah kedua adalah metode cakap dengan menyimak yang disampaikan oleh informan .

Dalam metode ini diperoleh melalui kuesioner langsung. Dalam pengumpulan data lisan digunakan metode wawancara dan metode rekam. Pengumpulan data lisan ini akan dilakukan di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data lisan adalah dengan menggunakan teknik sadap, yaitu peneliti menggunakan segenap kemampuannya untuk menyadap pembicaraan dari informan, kemudian dilanjutkan dengan teknik catat sebagai teknik lanjut akhir dari metode cakap. Teknik catat untuk mencatat kata-kaya yang telah diucapkan oleh informan mengenai data yang berkaitan dengan judul penelitian.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan dengan teknik dasar teknik pilah, unsur penentu yaitu memilah atau menguasai suatu konstruksi tertentu atas unsur-unsur langsung. Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental daya pilah pembeda reaksi digunakan untuk menganalisis pemakaian bahasa pada masyarakat Karo di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru.

Penelitian ini menggunakan rancangan atau pendekatan kualitatif. Pedekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat


(16)

diamati (Margono: 2003). Penelitian kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran yang jelas. Objek, sistematis, dan cermat mengenai fakta-fakta yang didapat dari sifat populasi tertentu. Setelah data diperoleh, selanjutnya peneliti menganalisis data. Langkah analisis data adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan.

Sebagai contoh, salah satu faktor terjadinya bilingualisme adalah perkawinan campuran, faktor ini dipaparkan dengan lengkap agar permasalahan penelitian dapat terjawab dengan baik dan benar.

Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental daya pilah pembeda reaksi digunakan untuk menganalisis pemakaian bahasa pada masyarakat Karo di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru.

Contoh pada ranah keluarga melakukan interaksi antara Guntur dan Maya mereka berasal dari suku Karo dan menggunakan dua bahasa sebagai berikut:

Guntur : Mari sini kam dulu!

(kemari kamu dulu!)

Maya : apakin Guntur?

(apa rupanya Guntur?)

Guntur : Enggo dung tugasndu?

(sudah siap tugasmu?)

Maya : udah nak, kam?

(sudah, kamu?)

Guntur : Enggolah...

(sudahlah)

Pada ranah pendidikan mereka melakukan interaksi antara seorang guru dan murid yang bernama Guntur, mereka asli dari suku Karo tinggal di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru melakukan interaksi sebagai berikut:


(17)

Guru : Guntur, sudah siap tugas kamu yang saya berikan semalam?

Guntur : Sudah bu…

Guru : Kalau sudah siap tolong kamu kumpulkan semuanya

Guntur : Iya bu,,,

Guru : siapa yang belum siap angkat tangannya.

Riana : aku bu… nomor sada

(saya belum siap nomor satu bu…)

Guru : kenapa belum siap Riani?

Riana : lakueteh bu

(tidak tahu saya bu)

Guru : lakueteh nim ka, kenapa kamu tidak bertanya? berdiri.

(tidak tahu kamu bilang, mengapa kamu tidak bertanya?)

Riana : iya bu.

Dari percakapan di atas dapat dikatakan telah terjadi bilingualisme karena, ketika Guntur dan Maya melakukan intraksi di ranah keluarga (non resmi) mereka menggunakan bahasa ibu (B1) dan bahasa Indonesia (B2). Akan tetapi, di ranah pendidikan (resmi) seorang guru dan murid yang bernama Guntur yang berasal dari suku Karo dan murid bernama Riana berasal dari perkawinan campuran, tetapi Riana terkadang menggunakan bahasa Karo dalam berinteraksi karena di lingkungan tempat tinggal mereka berasal dari etnis karo, dalam interaksi di sekolah (resmi) dalam proses belajar-mengajar mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Karo karena masyarakat desa Pasar X berasal dari etnis Karo. Akan tetapi, dari perkawinan campuran mereka juga terkadang dalam peroses belajar-menggajar menggunakan bahasa Karo karena, terpengaruh oleh tetangga mereka di rumah.


(18)

BAB 1V PEMBAHASAN

4.1 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bilingualisme pada Masyarakat Karo di Desa Pasar X

Bilingualisme menyangkut masalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok yang biasanya menggunakan dua bahasa. Bilingualisme terjadi akibat perpindahan penduduk antara penduduk satu dengan yang lain yaitu etnis batak Toba bedomisili ke Desa Pasar X sehinggga terjadi bilingualisme oleh penutur asli maupun pendatang.

4.1.1 Perkawinan Campuran

Beberapa suku pendatang ke Desa Pasar X untuk bekerja sebagai tenaga Guru ini beretnis Batak, Jawa, melayu, dan lain sebagainya. Pada awalnya, mereka yang datang ke desa Pasar X belum berkeluarga dan bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Indonesia. Setelah mereka lama tinggal di desa Pasar X dan berbaur dengan masyarakat setempat maka mereka kawin campur dengan etnis setempat dan dengan demikian bahasa yang mereka gunakan bukan lagi bahasa Indonesia melainkan sudah menggunakan percampuran bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia.

Di Desa Pasar X masyarakat yang kawin campur dengan suku lain yaitu etnis Karo dengan etnis Batak Toba , etnis Karo dengan etnis Jawa, etnis Karo


(19)

dengan etnis India, etnis Karo dengan etnis Melayu, etnis Karo dengan etnis Cina memiliki ± 40 KK. (sumber: Seketaris Dusen Desa Pasar X)

Dengan terjadinya perkawinan campuran maka penduduk yang berdomisili di Desa Pasar X dapat menguasai bahasa setempat yaitu bahasa Karo, agar komunikasi antara penduduk pendatang dengan penduduk asli berjalan dengan lancar. Selain itu penduduk setempat juga dapat menggunakan bahasa Indonesia, agar komunikasi antara penduduk asli dengan pendatang dapat berinteraksi dengan lancar.

Agar tercapainya tujuan komunikasi, bahasa yang mereka gunakan dalam keluarga adalah campuran, yang dominan adalah menggunakan bahasa Indonesia yang mereka peroleh setelah bahasa pertama (B1). Pada saat mereka kembali ke etnis masing-masing, maka mereka kembali menggunakan bahasa pertama (B1) yang sering disebut bahasa ibu.

4.1.2 Perpindahan Penduduk

Kabupaten ini memiliki keaneka ragaman sumber daya alam yang besar sehingga memiliki peluang invenstasi yang menjanjikan, selain yang memiliki sumber daya yang besar, Deli Serdang juga memiliki keanekaragaman budaya yang disemarakkan oleh semua suku-suku yang ada di Nusantara, yang salah satunya etnis batak Toba, etnis Jawa dan sebagainya. Adapun etnis asli penghuni Deli Serdang adalah suku Karo serta beberapa etnis pendatang ke desa Pasar X seperti Melayu, Jawa dan paling dominan adalah etnis batak Toba.


(20)

Pada awalnya Kecamatan Kutalimbaru dihuni oleh masyarakat Karo dan hanya menggunakan bahasa Karo sebagai alat komunikasi, kemudian seiring berjalannya waktu masyarakat penutur lain datang berdomisili ke Kecamatan Kutalimbaru yaitu Batak Toba, Jawa, Nias, Melayu, dan lain-lain. Kedwibahasaan terjadi ketika etnis pendatang berkomunikasi dengan penduduk setempat, lalu etnis pendatang mempelajari bahasa setempat agar komunikasi semakin lancar terhadap masyarakat Desa Pasar X, maka pendatang dengan penduduk lain dapat menjalin komunikasi lebih lancar dengan masyarakat Desa Pasar X.

Kedatangan etnis lain ke desa Pasar X mengakibatkan masyarakat desa tersebut menjadi bilingual. Masyarakat pendatang yang pada awalnya tidak mengerti bahasa Karo, seiring berjalannya waktu menjadi mengerti bahasa Karo walaupun tidak sefasih masyarakat penutur yang asli.

4.1.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan hal terpenting dalam hidup seorang manusia. Saat ini Desa Pasar X telah banyak berdiri sekolah untuk pendidikan warga diantaranya adalah taman kanak. Di Desa Pasar X terdapat taman kanak sebagian anak-anak yang berumur 5-6 tahun di sekolahkan di taman kanak-kanak tersebut.

Guru yang mengajar di taman kanak-kanak tersebut menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Di samping itu guru-guru sedapat mungkin menggunakan bahasa Indonesia agar murid-murid terbiasa menggunakan bahasa


(21)

Indonesia kepada siswa yang beretnis Karo maupun yang tidak beretnis Karo. Di samping itu di Desa Pasar X terdapat dua buah sekolah dasar, di sekolah dasar dari kelas satu mereka sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi kenyataanya guru sering menggunakan bahasa Karo dan bahasa Indonesia dalam proses belajar-mengajar agar murid dapat mengerti apa yang dijelsakan oleh guru.

Pada tingkat SMP dan SMA saat proses belajar-mengajar berlanggsung mereka telah menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, saat berinteraksi dengan teman dilingkungan sekolah terkadang masih menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia.

4.1.4 Rasa Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri. Demikian juga ketika kita berbicara tentang nasionalisme. Nasionalisme merupakan jiwa bangsa Indonesia yang akan terus melekat selama bangsa Indonesia masih ada.

Sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Okrober 1928, bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu telah dijadikan menjadi bahasa kesatuan atau bahasa nasional. Hal ini sangat penting bagi bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis dan berbagai bahasa daerah. Keaneka ragaman bahasa ini akan mempersulit komunikasi antaretnis dan pemerintahan, dengan adanya bahasa Indonesia sebagai


(22)

bahasa nasional merupakan hal yang penting bagi bangsa Indonesia yang multietnik dan multibahasa daerah.

Kedudukan bahasa Indonesia selanjutnya diperkuat lagi dengan dicantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36.

Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:

1. Lambang kebanggaan nasional 2. Lambang identitas nasional

3. Alat pemersatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda, latar belakang yang berbeda, bahasa ibu yang berbeda

4. Alat penghubung antara budaya.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:

1. Bahasa resmi kenegaraan

2. Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan

3. Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah

4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Desa Pasar X memiliki beberapa etnis, sehingga mereka memerlukan bahasa pemersatuan yang mereka ketahui oleh seluruh etnis yang ada di Desa Pasar X yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang berfungsi sebagai alat pemersatu dan alat penghubung berbagai suku yang


(23)

berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasa ibu (B1). Suatu masyarakat yang dulunya hanya menggunakan satu bahasa saja untuk melakukan inetaksi. Akan tetapi, pada saat ini terpaksa memerlukan bahasa lain untuk memperlancar suatu komunikasi.

Bahasa daerah ialah bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk sesama penutur. Bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang masih dilestarikan, salah satunya adalah bahasa Karo. Dalam hal ini, bahasa Karo berkedudukan sebagai bahasa daerah dan berfungsi sebagai:

1. Lambang identitas daerah

2. Lambang sebagai kebanggaan daerah

3. Alat penghubung di dalam suatu keluarga dan masyarakat daerah Hubungan bahasa daerah dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai:

1. Alat pengembangan serta penduduk kebudayaan daerah 2. Pendukung bahasa nasional

3. Bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah yang terpencil pada tahap permulaan.

4.2Penggunaan Bahasa Karo (B1) dan Bahasa Indonesia (B2) Di Desa Pasar X

Penggunaan bahasa adalah kebiasaan seseorang menggunakan bahasa tertentu dengan mitra bicara tertentu dikaitkan dengan situasi interaksi yang terjadi antara mitra bicara tersebut (Sugiana, 2004:22)


(24)

Grosjean (dalam Umar, 1993:26) mengemukakan bahwa penggunaan bahasa ibu (B1) dan bahasa Indonesia (B1) pada seorang dwibahasawan tergantung pada lawan bicara, situasi pembicaraan menyangkut situasi resmi dan tidak resmi.

4.2.1 Situasi Sosial Pembicaraan

Situasi sosial pembicaraan menyangkun situasi formal dan situasi nonformal. Dalam situasi formal biasanya digunakan dengan bahasa baku, dan disampaikan dengan serius dan situasi formal seperti di sekolah, kantor, dan situasi resmi lainya. Berbeda dengan situasi nonformal, bahasa yang digunakan dalam situasi nonformal adalah bahasa yang tidak baku. Biasanya digunakan bahasa nonformal seperti di ranah keluarga, diluar rumah, membicarakan jual beli, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini situasi resmi terjadi di lingkungan sekolah dan di kantor kepala desa. Sedangkan situasi tidak resmi terjadi di luar lingkungan sekolah baik itu di ranag rumah maupun di luar keluarga.

4.2.1.1 Situasi Resmi

Situasi resmi berhubungan dengan penggunan bahasa baku. Penggunaan bahasa baku sering dijumpai di instansi resmi. Misalnya di perkantoran, di ranah pendiikan, pemerintahan, dan instansi terkait lainnya.

Sekolah adalah salah satu lembaga yang menggunakan bahasa baku. Dengan kata lain sekolah merupakan salah satu instansi yang memiliki situasi


(25)

resmi. Demikian halnya dengan Sekolah Dasar (SD). Proses belajar dalam sekolah dasar dominan menggunkan bahasa Indonesia atau bahasa baku. Interaksi antara guru dengan murid menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar para guru terhadap siswanya.

Di samping menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, siswa kelas satu sampai kelas tiga sekolah dasar masih jelas terlihat bilingual, dengan manggunakan bahasa Karo dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, mereka juga menggunakan bahasa Karo sebagai bahasa ibunya (B1). Kebiasaan oleh sebahagian keluarga penutur bahasa karo berinteraksi dengan anaknya dengan menggunakan bahasa Karo. Secara natural maka anak-anak mereka lebih menguasai bahasa ibunya. Sehingga dalam proses belajar disekolah, guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya dan menggunakan bahasa karo sebagai bahasa penegasan untuk memperlancar komunikasi.

Kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia di sekolah oleh gurunya, maka para siswa akan mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ataupun bahasa resmi.

Dialog 1: Guru dan Murid (etnis Karo)

Guru : selamat pagi anak-anak!

Siswa : pagi bu…

Guru : udah siap PRnya nakku?

(sudah selesai PRnya nak?)

Siswa : sudah bu, kumpulken?

(sudah bu, kumpulkan?)


(26)

(ia nak, siapa yang belum siap?))

Mekel : aku belum siap bu

(saya belum siap bu)

Guru : kenapa kamu belum siap?

Mekel : lakueteh jawabsa bu

(tidak tahu saya menjawabnya bu)

Guru : kelilingi lapangen 10 kali

(keliling lapangan 10 kali)

Mekel : ia bu. (sambil berlari)

Dari percakapan (1) antara guru dengan murid di atas terjadi bilingualisme di mana murid dan guru berasal dari etnis Karo yang menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Karo. Misalnya, pada kalimat sudah bu, kumpulken? ‘sudah bu kumpulkan?’ kata sudah bu merupakan bahasa Indonesia sedangkan kumpulken adalah kosakata bahasa Karo yang artinya kumpulkan. Contoh lain lakueteh jawabsa bu ‘tidak tahu saya jawabnya bu’ lakueteh jawabsa tidak tahu saya menjawabnya bu adalah kosakata bahasa Karo. Contoh selanjutnya adalah kelilingi lapangen sepuluh kali ‘keliling lapangan sepuluh kali’ kelilingi lapangen merupakan kosakata dari bahasa Karo, sedangan kata sepuluh kali adalah kosakata bahasa Indonesia.

Dari dialog (1) di atas dapat disimpulkan bahwa pada situasi formal di sekolah ditemukan bilingualisme antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia.

Dialog 2 : Guru (etnis Toba) dan Murid (etnis Karo)

Guru : selamat pagi anak-anak

Murid : pagi pak

Guru : sudah siap tugas kalian?

Murid :sudah pak


(27)

Mica : aku langa dung pak.

(saya belum siap pak)

Guru : engkai langa dung?

(kenapa belum siap)

Mica : Gak tau aku pak

(tidak tahu saya pak)

Guru : ya sudah kerjakan, (sambil berjalan)

(ya sudah kerjakan)

Dari percakapan (2) antara guru dengan murid terjadi bilingualisme antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia di mana dalam proses belajar-mengajar mereka menggunakan dua bahasa seperti; aku langa dung pak ‘saya belum siap pak’ kata aku merupakan kosakata bahasa Indonesia kata baku saya, langa dung yang artinya ‘belum siap’ merupakan kosakata bahasa Karo. Contoh lain engkai langa dung? ‘kenapa kamu belum siap’ merupakan kosakata bahasa Karo.

Dari dialog (2) di atas dapat di simpulkan bahwa dialog formal dalam proses belajar-mengajar terjadi bilingalisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia di ruang kelas, walaupun gurunya berasal dari etnis batak Toba tetapi dapat menggunakan bahasa Karo, karena mereka mengajar pada lingkungan etnis Karo. Supaya proses belajar-mengajar berjalan dengan lancar guru tersebut dapat menguasai bahasa pertama murid yaitu bahasa Karo.

Dialog 3 : Guru (etnis Karo)dan Guru (etnis Toba)

Meisri S. : bagaimana tadi anakku waktu ujian tadi

Bu…? Dapatnya tadi?

Marlina : anak-anak zaman sekarang sudah gak seperti dulu cara


(28)

(anak-anak zaman sekarang tidak seperti jaman dulu cara belajarnya)

Sarudin : kenapa gitu kam bilang bu?

(mengapa ibu berkata seperti itu?)

Marlina : memang belajar pun malas kali kin ia

(memang malas kali mereka belajar)

Mesrina G. : ue kin adi marenda labo bagenda kel, go mbuesa

main-main ras lalit kepedulian dari orang tuana.

(memang iya, zaman dulu tidak seperti ini, terlalu banyak

bermain-main dan tidak ada kepedulian orang tua mereka)

Sarudin : memang bu,,, karena pengaruh teknologi sekarang, enggo

mbuesa main-main

(memang iya bu,,, karena pengaruh teknologi sekarang, kebanyakan main game dan hape)

Marlina : memang pak butuh pengawasan dari rumah memang Bu,,,

kalau hanya dari sekolah diharapkan orang tuana mana bisa kita ajari sepenuhnya, kalau di rumah pun gak kin ajari mamakna

(memang Pak,,, butuh pengawasan dari rumah memang Bu,,, kalau hanya dari sekolah diharapkan orang tuanya mana bisa kita ajari sepenuhnya, kalau di rumah pun tidak di ajari orang tuanya.)

Dari dialog (3) di atas telah terjadi bilingualisme antara guru dengan guru di ruang guru yang melakukan interaksi dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia sehingga disebut bilingalisme . Guru tersebut ada juga yang berasal dari etnis batak Toba yaitu Marlina dan Sarudian dan etnis Karo yang bernama Meisri. S dan Mesrina. G. Mereka melakukan interaksi dengan menggunakan dua bahasa yaitu

bahasa Karo dan bahasa Indonesia seperti; memang belajar pun malas kali kin ia ‘memang belajar pun malas kalilah dia’ memang belajar pun malas kali merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan kin merupakan fartikel dari bahasa Karo yang artinya lah. Kata lain ue kin adi marenda labo bagenda kel,


(29)

enggo mbuesa main-main ras lalit kepedulian dari orang tuana ‘memang iya, zaman dulu tidak seperti ini, terlalu banyak bermain-main dan tidak ada kepedulian orang tua mereka’ main-main dan kepedulian dari orang merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan ue kin adi marenda labo bagenda kel, go mbuesa, ras lalit dan tuana ‘ia memang kalau dulu tidak seperti ini kali, sudah kebanyakan’ dan ‘orang tuanya’ merupakan kosakata bahasa Indonesia dan contoh lain kin artinya lah yang merupakan partikel yang tidak dapat berdiri sendiri. ajari mamakna artinya ‘memang ajari ibunya’ merupakan kosakata bahasa Karo.

Dari dialog (3) dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingual antarguru dengan guru, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Guru-guru tersebut ada juga yang bukan penutur asli bahasa Karo. Akan tetapi, mereka mengajar di lingkungan etnis Karo dan ada juga tinggal di sana, maka mereka dapat menggunakan bahasa Karo dan bahasa Indonesia walaupun tidak sefasih penutur asli bahasa Karo.

Dialog 4 : Guru (etnis Toba dan Karo) dan Orang Tua Murid (etnis Karo)

Saten : siang Bu…

Marlina : iya,,, ada apa Bu…?

Saten : bayar uang sekolah anakku ndai ateku sendah

(saya mau bayar uang sekolah anak saya sekarang)

Marlina : sudah pulang dia Bu…, kelamaan kam datang

(sudah pulang dia Bu…, kelamaan ibu datang)

Dia merupakan petugas penerimaan uang sekolah

Saten : ini pun tadi saya dari ladang murau perik…

(ini pun saya dari ladang menghalau burung…)

Meisri S. : enca dung libur e kam reh…, tanggal 4


(30)

Marlina : ue Bu… cepat kam datang

(iya Bu… cepat datang)

Saten : ue Bu nyah...

(baiklah Bu…)

Dialog (4) terjadi bilingalisme antara guru dengan orang tua murid di lingkungan sekolah di mana dalam berinteraksi terjadi bilingualisme antra bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Misalnya mau bayar uang sekolah anakku ateku endai mau bayar uang sekolah anakku merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan ateku endai ‘mau saya tadi’ merupakan bahasa Karo. Selain itu ada juga kata kam, ‘kamu’ murau perik, menghalau burung’ enca dung libur e kam reh, ‘setelah siap libur ini kamu datang’ ue nyah. ‘baiklah’ merupakan bahasa Karo nyah merupakan fartikel yang tidak mengandung makna leksikal.

Dari dialog (4) dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingalisme antara guru dengan orang tua murid. Di mana pada awalnya guru menggunakan bahasa Indonesia, tetapi orang tua murid selalu menggunakan dua bahasa sehingga guru tersebut juga menggunakan dua bahasa dalam melakukan interaksi tersebut, sehingga dapat dikatakan seorang penutur dapat menggunakan dua bahasa atau bilingualisme.

Dialog 5: Murid dan Murid (etnis Karo)

Ave M. : udah siap tugasmu Dimas?

(Dimas, sudah selesai tugas kamu?)

Dimas : belum… kau udah siap kin?

(belum… kamu sudah selesai?)

Ave M. : udah, kau nomor berapa kin yang belum siap?


(31)

Dimas : nomor empat.

Mekel : Dimas… nen PRmu endo

(Dimas…lihat tugas kamu sini)

Dimas : PR-PR nim… langa dung aku nak

(PR-PR kamu bilang … saya juga belum siap)

Ave M. : e enah,,, kerjakan cepat (sambil memberikan buku)

(inilah kerjakan cepat)

Dari dialog (5) terjadi bilingualisme antara murid dengan murid di ranah pendidikan. Di mana mereka berasal dari etnis Karo tetapi mereka dapat menggunakan dua bahasa dengan memasukkan kosakata dan kata yang tidak mengandung makna leksikal. Misalnya belum, kau udah siap kin, kamu belum siap merupakan kosakata bahasa Indonesia, kin merupakan fartikel yang tidak mengandung makna leksikal. Kin sama seperti lah, nya dan lain sebagainya yang tidak dapat berdiri sendiri. Contoh lain Dimas… nen PRmu endo ‘Dimas lihat tugas kamu sini’ merupakan kosakata bahasa Karo, PR-PR nim… langa dung aku nak ‘PR-PR kamu bilang belum siap aku’ merupakan kosakata bahasa Karo, dan nak merupakan fartikel yang tidak dapat berdiri sendiri , selanjutnya e enah kerjakan cepat, e enah ‘inilah’ merupakan bahasa Karo sedangkan kerjakan cepat merupakan bahasa Indonesia.

Dari dialog (5) dapat disimpulkan bahwa pada situasi formal terjadi bilingalisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia, karena mereka berada di lingkungan Karo, sehingga disituasi resmi juga biasa menggunakan bahasa Karo.

Dialog di Kantor Kepala Desa


(32)

Sepakat : piga nari langa dat?

(berapa lagi yang belum dapat)

Henny : aku belum dapat ini…

(saya belum dapat…

Sepakat : kam kenapa belum dapat?

(mengapa kamu belum dapat?)

Tian : ue… ia memang langa dat…, soalna ia langa masuk

kependuduken jenda, kam kan belum daftar jadi penduduk sini

(ia… dia memang belum dapat..., karena dia belum

termasuk penduduk di desa ini, kamu kan belum daftar jadi penduduk disini)

Sepakat : kam mau beli kin untuk sekarang ini?

(Apakah kamu beli untuk sekarang ini?)

Henny : gak usahnyah.

(tidak usahlah)

Tian : besok aja kam datang biar aku data kam menggo...

(besok kamu datang supaya saya data kamu ya…)

Dari dialog (6) telah terjadi bilingualisme yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia di kantor Kepala Desa, di mana Sepakat dan Tian berasal dari etnis Karo, sedangkan Henny adalah penduduk pendatang yang berasal dari etnis Jawa. Dialog tersebut terjadi antara penduduk dengan perangkat Desa di Desa Pasar X di mana seorang penduduk yang berasal dari etnis pendatang yang berdomisili ke Desa Pasar X. Kantor Kepala Desa merupakan situasi resmi. Akan tetapi, mereka selalu cenderung menggunakan bahasa daerah dalam melalukan interaksi. Bahasa Karo dari dialog tersebut muncul seperti kata-kata tersebut piga nari langa dat, dat, soalna ia langa, kependuduken jenda, kam, kin, dan nyah. Kata tersebut merupakan bahasa Karo yang terdapat pada dialog (6) tersebut. Dialog tersebut terkait tentang penerimaan beras yang dari pemerintah.


(33)

Dari dialog (6) dapat disimpulkan bahwa pada situasi resmi juga terjadi bilingalisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia yang terdapat di Kantor Kepala Desa antara penduduk dan penggurus desa dalam pembagian beras dari pemerintah.

4.2.1.2 Situasi tidak resmi

Situasi tidak resmi pada percakapan sehari-hari sering di temukan pada saat di luar rumah maupun di ranah keluarga, pada situasi ini penutur bebas untuk menggunakan bahasa apapun dan biasanya, tergantung pada lawan bicara. Bahasa tidak resmi biasanya digunakan pada saat melakukan interaksi di rumah, luar rumah, dan interaksi jual beli.

Dalam komunikasi sehari-hari pada ranah keluarga mereka menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia antara suami dengan istri serta dengan anak-anak. Demikian halnya pada tetangga sangat tergantung pada lawan bicaranya.

Dialog 7 : Anggota Keluarga (kawin campur)

Isteri : O Pak Tobat… rega sekai nge ndai mayang ta ndai?

( mak Tobat berapa tadi harga pinang kita tadi?)

Suami : Hari ini murah kali…

Anak : Kok murah kali kam bilang pak? Berapa kin kam jual

tadi?

(kok murah kali bapak bilang? Berapa bapak jual tadi)

isteri : Harga berapa kin tadi pak Tobat?

(harga berapa rupanya tadi pak Tobat)

suami : 10.000 ribu ngenca ndai


(34)

isteri : murah naring e nyah (sambil berjalan ke dapur)

(murah kalilah itu.)

Dari interaksi (7) di atas telah terjadi bilingalisme antara anak dengan orangtua pada saat berinteraksi di ranah keluarga, di mana suami berasal dari etnis batak Toba yang bernama Carles Bagariang, mempunyai isteri bernama Saten br Ginting yang berasal dari etnis Karo pada saat berinteraksi mereka menggunakan dua bahasa antar bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Misalnya; O pak Tobat rega sekai nge ndai mayang ta ndai? ‘Pak Tobat berapa tadi harga pinang kita tadi?’ merupakan kosakata bahasa Karo, seian itu Kok murah kali kam bilang Pak? Berapa kin kam jual tadi? ‘kok murah kali bapak bilang? Berapa rupanya bapak jual tadi’ kam, kin ‘kamu’ merupakan kata ganti orang sedangkan kin merupakan fartikel yang tidak mengandung makna leksikal atau tidak dapat berdiri sendiri.

Dari dialog (7) dapat disimpulkan telah terjadi bilingualisme pada ranah keluarga antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia yang dilakukan anata suami, istri, dan anak.

Dialog 8 : Suami (etnis Melayu) dan Istri (etnis Karo)

Suami : mana anakndu? Sudah tidur?

(di mana anakmu? Sudah tidur?

Istri : belum, rumah temanna ia

(belum rumah temanya dia)

Suami : ngapain dia kesitu kin?

(ngapain dia kesan?)

Istri : i lakueteh… (sambil pergi)


(35)

Dari dialog (8) telah terjadi bilingalisme antara suami dengan istri. Suami berasal dari etnis Melayu yang bernama Edy. Edy memiliki seorang istri yang bernama Esma yang berasal dari etnis setempat. Mereka berinteraksi di ranah keluarga biasanya menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia, sehingga dapat disebut bilingualisme. Misalnya mana anakndu? di mana merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan ndu ‘mu’ tidak mengandung makna leksikal yang tidak dapat berdiri sendiri seperti nya, lah, dan lain sebagainya. Selain itu belum, rumah temanna Ia belum, rumah temannya merupakan kosakata bahasa Indonesia dan temanna ia ‘temanya dia’ merupakan kosakata bahasa Karo ‘ngapain dia kesitu kin’ ngapain dia kesitu merupakan kosakata bahasa Indonesia dan kin merupakan fartikel bahasa Karo yang memiliki arti lah. Selanjutnya i lakueteh… ‘ I tidak tahu saya’ merupakan kosakata bahasa Karo.

Dari dialog (8) dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingalisme antara suami dan istri pada ranah keluarga antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi mereka dominan menggunakan bahasa Indonesia pada saat berinteraksi di ranah keluarga baik dengan anak maupun suami dengan istri.

Dialog 9: Orang Tua dan Anak (etnis Karo)

Hendra. S : udah makan kam ini nakku?

(sudah makan kamu nak?)

Kam merupakan anak yaitu Tobat)

Mekel : sudah tadi pak

Hendra. S : mana mamak kam kin?

(di mana ibu kamu ini?)

Mekel : belakang

Hendra. S : sudah makan tobat e?


(36)

Esma : sudah tadi…, kenapa kin?

(sudah tadi…, kenapa rupanya?)

Henda. S : lokai pe (sambil berjalan keluar)

(tidak apa-apa)

Dari dialog (9) terjadi bilingualisme pada ranah keluarga antara orang tua dan anak. Keluarga tersebut asli penduduk Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru. Akan tetapi, dalam berkomunikasi mereka menggunakan dua bahasa antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia sehingga dapat dikatakan bilingualisme. Misalnya udah makan kam nakku? ‘sudah makan kamu nak?’ Sudah makan merupakan kosakata bahasa Indonesia, kam nakku ‘kamu nak’ merupakan kosakata bahasa Karo selain itu terdapat kalimat lain seperti; di mana mamak kam kin? (di mana ibu kamu ini?) dimana merupakan kosakata bahasa Indonesia, mamak kam kin ‘ibu kamu ini?’ merupakan kosakata bahasa Karo sedangkan kata kin merupakan penegasan sedangan kata e ‘ini’ dan lokai pe ‘tidak apa-apa’ merupakan kosakata bahasa Karo.

Dari dialog (9) dapat disimpulkan bahwa dialog tersebut adalah bilingalisme karena mereka dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia pada ranah keluarga.

Dialog 10 : Tetangga (etnis Karo) dan Tetangga (etnis Toba)

Aji Manis : uga nge kakndu pemilihen Presiden sange? Ise pilih ndu?

(bagaimana menurut kamu pemilihan Presiden kemaren?

Siapa kamu pilih?)

Tetangga : Aku pe bingung kel pemilihen endai.

(saya juga bingung pemilihan ini tadi)

Aji Manis : ue, balilahkita e.


(37)

Mardiah : apa rupanya pak Tobat?

Aji Manis : oo masalah pemilihan presiden kemaren

(oo masalah pemilihan presiden kemaren)

Mardiah : kenapa kin?

(kenapa rupanya?)

Tetangga : kam siapa pilihndu?

(siapa kamu pilih?)

Mardiah : aku nomor sada.

(saya nomor satu)

Dari dialog (10) dapat disebut bilingualisme yaitu penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Dari dialog (8) salah satunya informan dari hasil perkawinan campur. Istri Aji Manis berasal dari etnis Melayu, tetapi mereka dapat menggunakan dua bahasa juga mempunyai tetangga yang bernama Rido yang beretnis Karo. Rido juga dapat menggunakan dua bahasa terhadap Aji Manis dan Mardiah sehingga dapat dikatakan bilingalisme antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia misalnya; uga nge kakndu pemilihen Presiden sange? Ise pilih ndu? kosakata bahasa Karo yang artinya bagaimana menurut kamu pemilihan Presiden kemaren? Siapa kamu pilih?, Aku pe bingung kel pemilihen endai. Kosakata bahasa Karo artinya saya juga bingung pemilihan ini tadi, ue, balilahkita e. kosakata bahasa Karo iya, samalah kita ini, kenapa kin? kenapa merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan kin merupakan fartikel bahasa Karo yang artinya rupanya, dan kam siapa pilihndu? Kata siapa merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan kam pilihndu merupakan kosakata bahasa Karo yang artinya kamu, pilih


(38)

Dari interaksi (10) dapat disimpulkan bahwa mereka adalah bilingual karena mereka dapat menggunakan dua bahasa sekali gus dalam brinteraksi antara tetangga.

Dialog 11: di Warung sampah dengan tetangga (etnis Karo dan etnis Jawa)

Dewi : asa kai uang sekolah Wenny gundari?

(berapa uang sekolah Wenny sekarang?)

Sayuti : kalau dia masih murahnya…, karena dia kan SMANegeri

(kalau dia masih murah…, karena dia SMA Negeri.)

Dewi : dia mahal kali kin, uang praktek aja enggo sada juta

(dia mahal kalilah, uang praktek saja udah 1 juta)

Jadi : ue lah atem gia adi kejuruan. mahallah

(ialah karena dia kejuruan. mahallah)

Mariani : ia lah bik,,, ia kan bisa langsung kerja adi go tamat. (ia lah bik,,, dia kan bisa langsung kerja jika sudah tamat.)

Dewi : perban si e makana mahal uang sekolahna nak

(karena itulah uang sekolahnya menjadi lebih mahal…)

Nak merupakan partikel dari bahasa Karo atau kata sapaan

Dari dialog (11) telah terjadi bilingalisme di warung anatar Dewi beretnis Karo, Sayuti beretnis Jawa, Jadi, dan Mariani beretnis Karo mereka semuanya adalah tetangga, pada saat mereka berbincang-bincang tentang uang sekolah pada saat ini telah terjadi penggunaan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Di mana pada interaksi tersebut telah terjadi penggunaan dua bahasa antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Misalnya kena asakai uang sekolah Wenny gundari,’berapa uang sekolah Wenny sekarang’ kin, enggo sada juta,’sudah satu juta’ ue, atem gia adi, ‘iya kalau’ adi enggo tamat,’jika sudah selesai’ perban si e maka mahal uang sekolahna nak ‘karena itulah uang


(39)

sekolahnya menjadi lebih mahal…’ merupakan bahasa Karo dan nak merupakan bahasa Karo dan mengandung kata sapaan dalam bahasa Karo.

Dari dialog (11) di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingualisme antara tetangga di warung dalam interaksi tentang uang sekolah anak. Dialog tersebut terjadi antara penduduk asli dengan etnis pendatang yang bersuku Jawa. Akan tetapi, etnis pendatang dapat menggunakan bahasa setempat yaitu bahasa Karo, demikian juga dengan penduduk setempat yang dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia sehingga dapat dikatakan bilingualisme.

Dialog 12 : Penjual (etnis Melayu) dan Pembeli (etnis Karo)

Esma : berapa harga gulandu ini kila?

(berapa harga gula ini paman?)

Ngatinem : kalau 1 kg 12.000 ribu, berapa kg kin kam ambil?

(kalau 1 kg 12.000 ribu, berapa kg kamu ambil?

Esma : tiga kg aja nyah kila!

(tiga kg saja paman!)

Ngatinem : cukup tiga kg kin e? (sambil menuju gula) (cukup tiga kg saja?)

Esma : cukup nyah kila.

(cukup lah paman.)

Dialog (12) merupakan iteraksi di warung. Ngatinem seorang pemilik warung yang bersuku Jawa dan Esma seorang pembeli yang bersuku Karo. Pada saat komunikasi terlihat adanya bilingual antara Ngatinem yang bersuku Jawa dengan Esma yang bersuku Karo. Ngatinem pada awalnya menggunakan bahasa Karo dengan menggunakan kata orang seperti Kam dan ndu, dan kata tambahan seperti kata kin, e, dan nyah yang biasanya digunakan dalam komunikasi bahasa


(40)

Karo. Terlihat juga bahwa Ngatinem mampu menggunakan bahasa Karo terhadap penutur bahasa Karo meskipun tidak sefasih penutur aslinya. Ngatinem bukanlah penduduk asli di Desa Pasar X, melainkan masyarakat pendatang yang berdomisili di Desa Pasar X yang beretnis Jawa. Seiring dengan berjalannya waktu, Ngatinem pun mampu menggunakan Bahasa Karo.

Dari dialog diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingalisme anatara bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Penduduk setempat juga dapat menggunakan dua bahasa terhadap lawan bicaranya sehingga dapat disebut bilingal, demikian juga Ngatinem yang bukan penduduk asli yang dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia.

Dialog 13: Pembeli (etnis Karo) dan Penjual (etnis Jawa)

Edy. S : isap sada bik…!

(rokok satu bik)

Ngatinem : rokok apa sama ndu?

(rokok apa sama kamu?)

Edy. S : isap sempurna saja enta bik!

(rokok sempurna saja bik!)

Ngatinem : piga man banndu?

(berapa samamu?)

Edy.S : sada bungkus

(satu bungkus)

Tetangga : bik minyak 1kg

(bik merupakan panggilan wanita bagi yang lebih tua)

Ngatinem : ia bentar ya (sambil mengamil rokok)

(ia sebentar ya.)

Pada dialog (13) terdapat bilingualisme anata penjual dan pembeli, pembeli asli penduduk Desa Pasar X dan penjual adalah pendatang yang beretnis


(41)

Jawa. Mereka dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa sehingga dapat disebut bilingalisme seperti kalimat tersebut; isap sada bik…! ‘rokok satu bik’ merupakan kosakata bahasa Karo, rokok apa sama ndu? ’rokok apa sama kamu?’ rokok apa sama merupakan kosakata bahasa Indonesia ndu ‘mu’ merupakan fartikel yang tidak dapat berdiri sendiri seperti lah, mu, dan lain sebagainya.

Dari dialog di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi jual beli diwarung telah terjadi bilingualisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia.


(42)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai bilingualisme pada masyarakat Karo Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru, maka dapat disimpulkan bawha:

1. Masyarakat bahasa Karo Desa pasar X, Kecamatan Kutalimbaru mengalami bilingualisme. Adapun faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bilingalisme di Desa Pasar X, yaitu (1) perkawinan campuran, (2) perpindahan penduduk, (3) rasa nasionalisme, dan (4) pendidikan.

Dari keempat faktor tersebut, perpindahan penduduk merupakan faktor yang paling dominan, selain itu pengaruh perkawinan campuran juga memmpengaruhi terjadinya bilingualisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru.

2. Bilingualisme terjadi pada situasi tidak resmi maupun resmi. Bilingualisme terjadi di situasi resmi seperti di lingkungan sekolah antara guru dengan murid, murid dengan murid, dan guru dengan guru, kantor kepala desa. Sedangkan situasi tidak resmi terjadi seperti di ranah keluarga antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, di luar rumah antara tetangga dengan tetangga, anata pembeli dan penjual di warung.


(43)

5.2 Saran

Pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia agar terus dilaksanakan dalam segala hal. Mahasiswa hendaknya tidak henti-hentinya mengadakan penelitian terhadap penggunaan bahasa Indonesia pada etnis-etnis yang ada di Indonesia terutama bahasa Karo untuk mengetahui seberapa jauh fungsi dan peranan bahasa Indonesia pada etnis tersebut.


(44)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2005:588) konsep merupakan gambaran mental objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam penyusunan karya ilmiah akan lebih mudah jika memiliki konsep yang dijadikan dasar pengembangan penulisan karya ilmiah, konsep yang disajikan dasar pengembangan penulisan selanjutnya.

2.1.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, proses sosial yang ada di dalam masyarakat, cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan lain-lain, linguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. (Chaer dan Agustina, 1995:2).

Sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial. Booij, dkk 1975 (dalam Chaer dan Agustina, 1995:5)


(45)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat.

2.1.2 Bilingualisme

Di Indonesia terdapat masyarakat yang memakai lebih dari satu bahasa, seperti bahada daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasaan atau bilingual. orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan atau orang bilingual.

Bilingualisme adalah berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Mackey 1962 (dalam Chaer dan Agustina, 1995:12), Bilingualisme terjadi akibat perpindahan penduduk terhadap penduduk lainnya, sehingga terjadi bilingualisme pada pedesaan atau masyarakat. Bila sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dan dapat mengguasai bahasa tersebut maka terjadilah penguasaan dua bahasa atau bilingual, dan terjadi interaksi antara penduduk setempat dan sekelompok penutur yang berpindah.

Weinreich 1970 (dalam Umar, 1993:8) membatasi kedwibahasaan sebagai praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian. Bahasa yang digunakan adalah pertama (B1) dan bahasa kedua (B2).


(46)

Bahasa pertama (B1) disebut juga bahasa ibu yaitu bahasa yang pertama sekali dikenal seseorang pada masa kanak-kanak melalui intraksi dengan keluarga. Bahasa kedua (B2) yaitu bahasa lain yang menjadi bahasa kedua, dan bahasa kedua diperoleh setelah bahasa pertama (B1). Kebanyakan masyarakat Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua (B2) dan bahasa pertama (B1) adalah bahasa ibu atau bahasa daerah masing-masing. Akan tetapi pada saat ini masa kanak-kanak yang bahasa ibu bahasa Karo (B1) tidak mengetahuinya lagi, karena orang tua mengajak berbicara menggunakan bahasa Indonesia (B2) sehingga sianak tidak dapat berbahasa ibu.

2.1.3 Bahasa Karo

Bahasa Karo hingga kini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari antara masyarakat penuturnya. Masyarakat Karo akan lebih baik dalam menyampaikan perasaan hatinya jika menggunakan bahasa Karo, entah itu ditujukan kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Dalam dialognya, mereka sering tidak sadar banyak ungkapan yang disampaikan itu merupakan partikel fatis. Selain untuk menyatakan penuturnya, ungkapan fatis itu juga dipakai untuk menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut dapat berupa ucapan salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi pergaulan.

Bahasa Karo digunakan sebagai alat komunikasi oleh penutur yang tersebar di wilayah Sumatera Utara. Suku Karo aslinya mendiami Pesisir Timur Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan


(47)

Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara (Sembiring.jo-blogspot.com/2009/05hidup-dan-dalam-pikiran-orang-karo.html). Nama suku ini juga dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yait sendiri yang disebut Karo jahe Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Kemudian masyarakat yang ada pada Kabupaten tersebut menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, baik di daerah Medan maupun daerah lainnya di Provinsi Sumatera Utara.

2.1.4 Masyarakat Karo di Desa Pasar X

Kecamatan Kutalimbaru Desa Pasar X merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Masyarakat di Desa Pasar X terdapat beberapa etnis. Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru merupakan masyarakat bilingual di mana mereka dalam berintraksi menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Bahasa pertama (B1) di Desa Pasar X Kecamatan Kutalimbaru yang mereka kenal adalah bahasa Karo, di samping itu ada juga etnis pendatang.

Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru memiliki jumlah penduduk laki-laki 975 jiwa, perempuan 1.510 jiwa total 2.485 jiwa. Desa Pasar X Merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Masyarakat yang tinggal di desa ini mayoritas etnis Karo yang merupakan etnis asli di desa tersebut. Bahasa pertama (B1) yang mereka kenal adalah bahasa Karo.


(48)

Jumlah penutur di desa Pasar X 355 jiwa dan di samping etnis Karo juga terdapat etnis pendatang.

Desa Pasar X memiliki enam dusun. Keenam dusun tersebut juga memakai bahasa Karo sebagai bahasa pertama. Keenam dusun itu adalah:

Dusun I Pasar X Dusun II Silemak

Dusun III Gunung Gertam Dusun IV Lau Cal-cal Dusun V Kinangkung Dusun VI Lau Batur.

Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru berbatasan sebelah utara dengan Desa Namo Mirik dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kutalimbaru.

2.2 Landasan Teori

Landasan teori merupakan dasar atau kerangka dari sebuah penelitian. Mustahil sebuah penelitian tidak memiliki landasan atau kerangka penelitian. Landasan teori juga diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang dibahas agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.


(49)

2.2.1 Bilingualisme

Mackey 1962 (dalam Chaer dan Agustina, 1995:112) mengatakan bahwa bilingualisme berasal dari bahasa Inggris yaitu bilingualism yang dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan yang diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Konsep kedwibahasaan selalu mengalami perubahan dan semakin meluas akibat perkembangan teknologi.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme atau sering juga disebut kedwibahasaan. Kedwibahasaan merupakan memahami, mengerti, dan kebiasaan memahami dua bahasa antara bahasa Karo (B1) dan bahasa Indonesia (B2) oleh seorang penutur dalam melakukan intraksi dengan orang lain.

Bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya Bloomfield, 1933 (dalam Chaer dan Agustina 1995:115). Kapan menggunakan bahasa pertama (B1) dan kapan pula menggunakan bahasa kedua (B2) tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan.

Menurut Mackey 1970 (dalam Chaer dan Agustina, 1995) bilingualisme bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan dua bahasa, yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian. Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengunaan kapan dan bilingualisme tersebut terdiri dari dua tipe. Yang pertama, bilingualisme setara, yaitu bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses berpikir. Tipe yang


(50)

kedua, yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi ialah masuknya unsur-unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.

Weinreich 1970 (dalam Umar, 1993:8) membatasi kedwibahasaan sebagai praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian.

Bloomfield (dalam Umar, 1993:8) menerangkan bawha, kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baik terhadap dua bahasa, seperti halnya penguasaan oleh penutur asli. Pendapat tersebut masih diragukan karena kriteria penggunaan dua bahasa sama baiknya oleh penutur asli sangat sulit diukur. Para penutur asli berbeda-beda penguasaan terhadap kedua bahasa.

Konsep kedwibahasaan selalu mengalami perubahan dan semakin diperluas. Haugen 1972 (dalam Umar, 1993:8) mengemukakan, tidak perlulah kedwibahasaan menggunakan kedua bahasanya. Cukup ia mengetahui kedua bahasa itu, jadi menurut Haugen kedwibahasaan adalah penguasaan tentang dua bahasa oleh seorang penutur.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan adalah kemampuan memahami dan kebiasaan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) oleh seorang penutur untuk berintraksi dengan orang lain, dalam hal ini Grosjea (dalam Umar, 1993:26) mengemukakan bahwa lawan bicara mencakup perbedaan etnis.


(51)

Situasi sosial pembicaraan mencakup situasi resmi (formal) dan situasi tidak resmi (nonformal). Situasi formal berada di lingkungan sekolah dan di lingkungan kantor kepala desa. Situasi nonformal berada di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan kantor kepala desa.

2.2.2 Kontak Bahasa

Weinreich 1970 (Umar, 1993:16) mengemukakan bahwa dua bahasa atau lebih disebut kontak, apabila bahasa-bahasa itu dipergunakan secara bergantian oleh orang yang sama maka kontak bahasa terjadi pada diri dwibahasawan.

Mackey (dalam Umar, 1993:16) mengatakan kontak bahasa adalah pengaruh bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan perubahan bahasa dan mempengaruhi perkembangan bahasa itu.

Kontak bahasa berlangsung bukan hanya di dalam diri perseorangan melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa kedua. Karena itu, kontak bahasa sering pula dianggap sebagai baguan yang lebih luas, yaitu kontak budaya. Yang terlibat dalam kontak ini bukan hanya perseorangan, yaitu orang-orang yang mempelajari bahasa kedua, melainkan juga orang lain. Unsur-unsur bahasa yang sebelumnya mempengaruhi dwibahasawan secara perseorangan kemudian menyebar lebih luas, sehingga pengaruh itu mendapat penguatan bersama. Pada ekabahasawan menerima pengaruh kontak bahasa, kemudian menggunakannya. Dengan demikian pengaruh tersebut diterima


(52)

dan dimasukkan menjadi bagian dari sistem bahasa itu. Pada tingkat ini, dapat dikatakan telah terjadi kontak bahasa.

Kontak bahasa merupakan peristiwa yang sudah terjadi sejak lama dan terus berlangsung hingga saat ini maupun pada masa yang akan datang.

Contoh: Bahasa Indonesia sudah mengalami kontak dengan bahasa lain secara langsung dengan bahasa asing (Arab, Belanda, Cina, Sansekerta dan sebagainya) sejak dulu hingga sekarang.

Kontak yang telah berlangsung dalam waktu yang lama itu telah mengakibatkan terjadinya kedekatan kosakata antar bahasa yang mengalami kontak bahasa tersebut. Bahasa Karo juga mengalami kontak bahasa dengan bahasa Indonesia maka dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan zaman bahasa Karo juga mengalami perubahan. Akibat peristiwa kebahasaan terjadi adanya kontak bahasa yaitu alih kode, campur kode.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan bersumber dari paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam penelitian yang bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

Risma Jojor Sinaga (1996) dalam sekripsinya yang berjudul Bilingualisme pada Masyarakat Batak Toba yang membicarakan, tentang bagaimana proses terjadinya bilingualisme pada masyarakat Batak Toba. Teori yang digunakan yaitu teori struktural (melihat bahasa dari strukturnya) dan sosiolinguistik. Dari hasil


(53)

penelitiannya, masyarakat Batak Toba di Balige merupakan masyarakat bilingual, disamping bahasa daerah yaitu bahasa Toba, masyarakat Balige juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.

Masyarakat Batak Toba di Balige memperoleh bahasa kedua dari situasi formal yaitu proses belajar mengajar disekolah dan diajarakan secara informal di tengah-tengah keluarga. Di Kecamatan Balige anak-anak yang berusia 4-5 tahun juga diajari menggunakan bahasa Indonesia di tengah-tengah keluarga. Walaupun kosakata yang diajarkan masih terbatas, karena keterbatasan kosakata yang dimiliki anak-anak tersebut.

Di sekolah dasar, anak-anak sudah mendapat pelajaran bahasa Indonesia, tetapi sebagian besar bahasa pengantarnya masih mempergunakan bahasa Toba. Sinaga mengatakan motivasi belajar bahasa kedua berorientasi pada dua hal yaitu orientasi instrumental dan orientasi integratif. Orientasi instrumental adalah penggunaan bahasa untuk mendapatkan keuntungan material, memproleh pekerjaan, dan lain sebagainya. Orientasi integrative memberikan penekanan pada penggunaan bahasa sebagai alat yang menbuat anak didik sanggup menjadi anggota masyarakat.

Erni J. Marondang (1997) dalam skripsinya yang berjudul Bilingalisme pada Masyarakat Cina di Kecamatan Medan Denai yang menerangkan tentang bagaimana proses terjadinya bilingualisme pada masyarakat Cina di Kecamatan Medan Denai. Penelitian Matondang tidak jauh berbeda dari penelitian Ariani, teori yang digunakan juga sama. Menurut Martondang, karena adanya bilingualisme sehingga sering terjadi alih kode dan campur kode dalam


(54)

masyarakat Cina. Alih kode di sini terbagi menjadi dua yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern terjadi dalam bahasa daerah dalam satu bahasa nasional. Sementara itu, alih kode ekstern terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing yaitu bahasa Cina.

Rini Apriani (2009) dalam skripsinya yang berjudul Bilingalisme pada Masyarakat Simalungun di Kecamatan Pematang Raya membahas tentang seorang bilingual menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dan penyebab bilingualisme. Di kecamatan Pematang Raya memperoleh bahasa kedua dari situasi formal yaitu proses belajar mengajar disekolah dan diajarakan secara informal di tengah-tengah keluarga. Di Kecamatan Pematang Raya anak-anak yang berusia 4-5 tahun juga diajari menggunakan bahasa Indonesia di tengah-tengah keluarga. Dalam penelitian Apriani menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua adalah bahasa Indonesia (B2), di Desa Sondi Raya juga masih banyak sebagian bahasa pengantarnya masih mempergunakan bahasa Toba

Hasil penelitian bilingualisme sebelumnya dapat menjadi informasi bagi peneliti saat ini dalam meneliti Bilingalisme pada Masyarakat Karo di Kecamatan Kutalimbaru. Pada kesempatan ini, peneliti membicarakan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya bilingualisme di Kecamatan Kutalimbaru, faktor-faktor bilingualisme adalah adanya rasa nasionalisme, mobilisasi penduduk, rasa nasionalisme antar etnis yang berbeda. Selain itu peneliti juga meneliti kapan digunakan B1 dan dan kapan digunakan B2 di Kecamatan Kutalimbaru, Desa Pasar X yang mencakup tentang formal dan nonformal. Pada masyarakat Karo


(55)

anak-anak usia 3-6 tahun juga di ajarkan mengunakan bahasa Indonesia di tengah-tengah keluarga, walaupun kosakata yang diajarkan masih terbatas, akibat keterbatasan kosakata yang dimiliki anak-anak tersebut, tidak jarang dalam berbicara sehari-hari sering terjadi campur kode dan alih kode.


(56)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan sebagai alat untuk berinteraksi dalam menyampaikan pendapat terhadap masyarakat, baik berupa pesan lisan, maupun dalam bentuk lain. Manusia merupakan mahluk sosial, yang memiliki naluri untuk selalu hidup bersama yang menyebabkan perlu berkomunikasi dengan sesama dalam mengutarakan pendapat. Bahasa merupakan alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf,1971:1). Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang dimiliki manusia.

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, dalam surat-menyurat, sebagai bahasa negara, terutama dalam acara resmi seperti rapat, seminar, dan kongres. Akan tetapi, sebagian masyarakat Karo belum dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dalam percakapan sehari-hari belum semua masyarakat menggunakan bahasa Indonesia karena latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda.

Bagi masyarakat Karo dalam berbicara harus memperhatikan situasi dan kondisi yaitu menggunakan bahasa Karo apabila lawan bicaranya orang Karo, menggunakan bahasa Indonesia apabila lawan bicaranya bukan suku Karo. Namun, dalam situasi seperti di sekolah, perkantoran, rapat, dan tempat lain semuanya masyarakat (suku Karo) menggunakan bahasa Indonesia.


(57)

Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam etnis dan setiap etnis mempunyai bahasa daerah masing-masing. Setiap etnis dalam percakapan sehari-hari tidak selalu menggunakan bahasa Indonesia. Demikian juga masyarakat Karo cenderung menggunakan bahasa Karo dalam tuturan sapaan selalu menggunakan bahasa Karo. Bahasa Karo merupakan bahasa daerah yang sering dipakai oleh masyarakat Karo yaitu menggunakan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Karo.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang juga didampingi 1.128 suku bangsa dan memiliki lebih kurang 746 bahasa daerah Nusantara. Blogspot.com/2011). Salah satunya suku Karo yang menggunakan bahasa Karo. Biasanya suku Karo menggunakan bahasa ibu sebagai alat komunikasi sehari-hari yaitu bahasa Karo, baik itu di rumah maupun di luar rumah.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru, telah mengalami bilingualisme, di mana masyarakat Karo Desa Pasar X dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Faktor penyebab terjadinya bilingualisme pada masyarakat Karo Kecamatan Kutalimbaru adalah;

1. Kemajuan teknologi yang pesat mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk bahasa.

2. Terjadinya perkawinan campuran antar suku yang berbeda. 3. Perpindahan penduduk dari daerah lain ke daerah Pasar X. 4. Pengaruh pendidikan


(58)

5. Kontak bahasa, bahasa satu dengan bahasa lain.

Jika seseorang menggunakan dua bahasa dalam pergaulan, maka disebut berdwibahasa atau bilingual. Bilingualiseme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain (Nababan, 1998:2). Bilingualisme sudah banyak dibicarakan antara lain bilingualisme pada masyarakat Toba, bilingualisme pada masyarakat Cina, bilingualisme pada masyarakat Jawa, dan lain-lain. Masyarakat Karo adalah masyarakat bilingual yang mempergunakan bahasa Indonesia dan bahasa Karo. Bilingualisme pada masyarakat Karo di Kecamatan Kutalimbaru belum pernah dibicarakan karena dianggap sama seperti daerah lainnya yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Bahasa yang digunakan penduduk setempat adalah bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat Umar (1993:9) faktor penyebab terjadinya bilingualisme adalah:

1. Perpindahan penduduk 2. Rasa nasionalisme 3. Perkawinan campuran 4. Pendidikan

1. Perpindahan penduduk

Awalnya Kecamatan Kutalimbaru dihuni oleh masyarakat Karo dan hanya menggunakan bahasa Karo sebagai alat komunikasi, kemudian seiring berjalannya waktu masyarakat penutur lain datang berdomisili ke Kecamatan Kutalimbaru yaitu Batak Toba, Jawa, Nias, Melayu, dan lain-lain. Kedwibahasaan terjadi ketika etnis pendatang berkomunikasi dengan penduduk setempat, lalu etnis


(59)

pendatang mempelajari bahasa setempat agar komunikasi semakin lancar terhadap masyarakat Desa Pasar X, maka pendatang dengan penduduk lain dapat menjalin komunikasi lebih lancar dengan masyarakat Desa Pasar X.

2. Rasa nasionalisme

Dengan beragamnya etnis yang terdapat di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru maka mereka memerlukan satu bahasa persatuan yang diketahui oleh semua etnis yang berada di Desa Pasar X yaitu bahasa Indonesia. Pada mulanya masyarakat di Desa Pasar X hanya memiliki satu bahasa yaitu bahasa Karo. Akan tetapi, mereka juga memerlukan bahasa lain seperti bahasa Indonesia untuk memperlancar komunikasi antara etnis lain yang berdomisili ke Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru.

3. Perkawinan campuran

Masyarakat penutur bahasa Karo yang kawin campur dengan etnis Batak Toba, etnis Jawa dengan etnis Karo, etnis Karo dengan etnis Nias, etnis Melayu dengan etnis Karo. Dari perkawinan campuran tersebut untuk memperlancar proses komunikasi dalam keluarga maka bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Indonesia dalam keluarga.

4. Pendidikan

Di sekolah meskipun guru dan murid menggunakan bahasa Indonesia, mereka belum fasih seperti menggunakan bahasa Karo, sehingga mereka terkadang menggunakan bahasa Karo pada saat proses belajar-mengajar berlangsung. Dalam hal ini bahasa Indonesia yang dapat digunakan dalam proses


(60)

belajar-mengajar. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua (B2) bagi guru dan murid.

Berdasarkan hal tersebut masyarakat Karo juga termasuk bilingual atau dwibahasa karena mereka mampu menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo sebagai bahasa pertama (B1) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2). Hal ini didukung oleh pendapat Tarigan (1988:2) yang mengatakan kedwibahasaan atau bilingualisme adalah pemakaian dua bahasa dalam berinteraksi.

Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik meneliti lebih jauh tentang bilingualisme pada masyarakat Karo Desa Pasar X Kecamatan Kutalimbaru, dengan alasan ingin mengetahui seluk beluk masyarakat bilingual dalam bahasa Karo, dan memperdalam pengetahuan tentang bahasa Karo.

Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang memiliki tuturan yang cukup luas. Mereka menggunakan bahasa pertama yaitu bahasa Karo dalam situasi kekeluargaan. Dalam situasi resmi atau bila berbicara dengan lawan yang berbeda menggunakan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia

Pada umumnya sekolah-sekolah di Kecamatan Kutalimbaru Desa Pasar X sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Akan tetapi, sekolah yang jauh dari perkotaan masih menggunakan bahasa Karo dalam peroses belajar-mengajar pada kelas satu sampai kelas tiga Sekolah Dasar.

Robert 1964 (dalam Chaer, 1995:114) mengatakan bahwa bilingalisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa oleh seseorang dengan sama baik


(61)

atau hampir sama, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Haugen 1961 (dalam Chaer, 1995:114) tahu akan dua bahasa atau lebih disebut bilingual dan seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur asli dari bahasa Karo dapat memahami bahasa Indonesia (B2). Bagi masyarakat Karo tidak gampang untuk memahami bahasa Indonesia (B2) tanpa penutur bahasa Karo didampingi oleh penutur bahasa lain.

Kedwibahasaan masa kanak-kanak atau chil bilingualism, secara defenisi, mencakup pemerolehan dua bahasa. Pemerolehan suksetif adalah perpindahan keluarga ke daerah, maka hal itu mempunyai hubungan erat dengan masa sulit beradaptasi atau penyesuaian diri dalam kehidupan sang anak dan jelas sekali bahwa hal ini juga mencakup belajar bahasa tersebut. Berbeda dengan bilingualisme atau kedwibahasaan masa remaja (adolescent bilingualism) adalah suatu istilah yang dipakai mengacu kepada orang-orang yang menjadi dwibahasawan setelah masa pubertas, sedangkan kedwibahasaan masa dewasa (adult bilingualism) dipakai bagi orang-orang yang menjadi dwibahasaan setelah usia mereka belasan tahun. Harding dan Riley, 1986 (dalam Tarigan, 1988 : 6).

Berdasarkan kenyataan yang telah diuraikan di atas sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian di Desa Pasar X Kecamatan Kutalimbaru dengan judul “Bilingualisme pada Masyarakat Karo Desa Pasar X Kecamatan Kutalimbaru”.


(62)

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor apa sajakah yang menyebabkan proses terjadinya bilingualisme pada masyarakat Karo Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang?

2. Kapan seorang bilingual menggunakan bahasa Karo (B1) dan bahasa Indonesia (B2) secara bergantian di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru?

1.3Batasan Masalah

1 Penelitian hanya membahas faktor-faktor bilingualisme dari faktor perkawinan campuran, perpindahan penduduk, rasa nasionalisme, dan pendidikan.

2. Penggunaan bahasa (B1) dan bahasa (B2) yang tergantung pada lawan bicara, dan situasi sosial pembicaraan, dan topik pembicaraan lawan bicara mencakup perbedaan etnis. Pembicaraan mencakup situasi resmi (formal) dan situasi tidak resmi (non formal).

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan baik pribadi maupun kelompok mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Begitu juga dengan penulis dalam penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:


(1)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, baik berupa bantuan moral seperti doa, dukungan, nasihat, dan petunjuk praktis, maupun bantuan material. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A., Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah menyediakan fasilitas pendidikan bagi penulis

2. Prof. Dr. Ikwanuddin Nasution, M.Si. sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah mengarahkan penulis dalam menjalani perkuliahan dan membantu penulis dalam hal admistrasi.

3. Drs. Haris Sultan Lubis, M.S.P. Sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan informasi terkait perkuliahan kepada penulis.

4. Dra. Sugiana br Sembiring, M.Hum dosen pembimbing I, meluangkan waktu untuk membimbing penulis, yang telah banyak memberikan dorongan, nasihat, dan yang selalu bersedia membimbing penulis selama menyelesaikan skripsi ini.


(2)

5. Dra. Roliana Lubis , M.Hum dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, nasihat, dan yang selalu bersedia membimbing penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

6. Dra. Salliyanti, M.Hum, dosen Penasehat Akademik, yang telah memberikan bimbingan serta perhatian kepada penulis selama menjalani perkuliahan

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis menjalani perkuliahan. 8. Kak Tika yang membantu penulis dalam hal admistrasi di Departemen

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. 9. Kepala Desa Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru yang telah banyak

membantu dalam mengumpulkan data.

10.Kedua orang tua tercinta, Ayahanda T. Sembiring dan Ibunda B. br Tarigan yang senantiasa memberikan dukungan moral, material, dan kasih sayang tanpa batas kepada penulis dan doa yang tidak pernah berhenti untuk penulis.

11.Kakak Novita dan Asibuan Barus yang memberikan dukungan, masukan, motivasi, dan semangat kepada penulis.


(3)

13.Para informan yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis menyediakan data penelitian

14.Teman-teman setambuk 2010 Helly Sheba, Heppi. M. Bangun, Gio Vani Lumban Gaol, dan seluruh setambuk 2010 yang memberikan masukan kepada penulis, di Departemen Sastra Indonesia setambuk 2010 atas semua bantuan dan dukungan kepada penulis.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga berkat Tuhan melimpah bagi kita semua.

Medan, Oktober 2014

Binaria


(4)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ABSTRAK PRAKATA DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang ………..………..…...1

1.2 Masalah………...……….……..7

1.3 Batasan Masalah ………..………..…....7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….……..….……….7

1. 4.1 Tujuan Penelitian …..…………....………...7

1. 4.2 Manfaat Penelitian…….…..………...8

1.4.2.1 Manfaat Teoretis………...………..8

1.4.2.2 Manfaat Praktis………...………8

BAB 11 KONSEP LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep………...………..………10

2.1.1 Sosiolinguistik………...…….10

2.1.2 Bilingualisme………..………11


(5)

2.2.2 Kontak Bahasa…….………...17

2.3 Tinjauan Pustaka………..………..………….…...18

BAB 111 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………...………22

3.1.1 Lokasi Penelitian……….22

3.1.2 Waktu Penelitian……….22

3.2 Sumber Data……….22

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data …..……….………...24

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data …………..…….………....25

BAB 1V PEMBAHASAN 4.1 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bilingualisme di Desa Pasar X...28

4.1.1 Perkawinan Campuran………28

4.1.2 Perpindahan Penduduk………29

4.1.3 Pendidikan………..……30

4.1.4 Rasa Nasionalisme……….………...…………..31

4.2 Penggunaan Bahasa Karo (B1) dan Bahasa Indonesia (B2) di Desa Pasar X……….34

4.2.1 Situasi Sosial Pembicaraan……….34

4.2.1.1 Situasi Resmi……….…35


(6)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan………..52

5.2 Saran………53

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN