62
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai bilingualisme pada masyarakat Karo Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru, maka dapat disimpulkan
bawha: 1.
Masyarakat bahasa Karo Desa pasar X, Kecamatan Kutalimbaru mengalami bilingualisme. Adapun faktor-faktor yang mengakibatkan
terjadinya bilingalisme di Desa Pasar X, yaitu 1 perkawinan campuran, 2 perpindahan penduduk, 3 rasa nasionalisme, dan 4 pendidikan.
Dari keempat faktor tersebut, perpindahan penduduk merupakan faktor yang paling dominan, selain itu pengaruh perkawinan campuran
juga memmpengaruhi terjadinya bilingualisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia di Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru.
2. Bilingualisme terjadi pada situasi tidak resmi maupun resmi. Bilingualisme terjadi di situasi resmi seperti di lingkungan sekolah antara guru dengan
murid, murid dengan murid, dan guru dengan guru, kantor kepala desa. Sedangkan situasi tidak resmi terjadi seperti di ranah keluarga antara anak
dengan orang tua, suami dengan istri, di luar rumah antara tetangga dengan tetangga, anata pembeli dan penjual di warung.
Universitas Sumatera Utara
63
5.2 Saran
Pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia agar terus dilaksanakan dalam segala hal. Mahasiswa hendaknya tidak henti-hentinya mengadakan
penelitian terhadap penggunaan bahasa Indonesia pada etnis-etnis yang ada di Indonesia terutama bahasa Karo untuk mengetahui seberapa jauh fungsi dan
peranan bahasa Indonesia pada etnis tersebut.
Universitas Sumatera Utara
20
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Alwi, 2005:588 konsep merupakan gambaran mental objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dalam penyusunan karya ilmiah akan lebih mudah jika memiliki konsep yang dijadikan dasar
pengembangan penulisan karya ilmiah, konsep yang disajikan dasar pengembangan penulisan selanjutnya.
2.1.1 Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, proses sosial yang ada di dalam masyarakat, cara manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan lain-lain, linguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Chaer dan Agustina, 1995:2. Sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari faktor-
faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan sosial. Booij, dkk 1975 dalam Chaer dan Agustina, 1995:5
Universitas Sumatera Utara
21
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya
dengan penggunaan bahasa dan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat.
2.1.2 Bilingualisme
Di Indonesia terdapat masyarakat yang memakai lebih dari satu bahasa, seperti bahada daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di
mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasaan atau bilingual. orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan
atau orang bilingual. Bilingualisme adalah berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua
kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian. Mackey 1962 dalam Chaer dan Agustina, 1995:12, Bilingualisme terjadi akibat perpindahan penduduk terhadap penduduk lainnya, sehingga terjadi
bilingualisme pada pedesaan atau masyarakat. Bila sekelompok penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dan dapat mengguasai
bahasa tersebut maka terjadilah penguasaan dua bahasa atau bilingual, dan terjadi interaksi antara penduduk setempat dan sekelompok penutur yang berpindah.
Weinreich 1970 dalam Umar, 1993:8 membatasi kedwibahasaan sebagai praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian. Bahasa yang digunakan adalah
pertama B1 dan bahasa kedua B2.
Universitas Sumatera Utara
22
Bahasa pertama B1 disebut juga bahasa ibu yaitu bahasa yang pertama sekali dikenal seseorang pada masa kanak-kanak melalui intraksi dengan
keluarga. Bahasa kedua B2 yaitu bahasa lain yang menjadi bahasa kedua, dan bahasa kedua diperoleh setelah bahasa pertama B1. Kebanyakan masyarakat
Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua B2 dan bahasa pertama B1 adalah bahasa ibu atau bahasa daerah masing-masing. Akan tetapi pada saat ini
masa kanak-kanak yang bahasa ibu bahasa Karo B1 tidak mengetahuinya lagi, karena orang tua mengajak berbicara menggunakan bahasa Indonesia B2
sehingga sianak tidak dapat berbahasa ibu.
2.1.3 Bahasa Karo
Bahasa Karo hingga kini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari antara masyarakat penuturnya. Masyarakat Karo akan lebih baik dalam
menyampaikan perasaan hatinya jika menggunakan bahasa Karo, entah itu ditujukan kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Dalam dialognya, mereka
sering tidak sadar banyak ungkapan yang disampaikan itu merupakan partikel fatis. Selain untuk menyatakan penuturnya, ungkapan fatis itu juga dipakai untuk
menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut dapat berupa ucapan salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi
pergaulan. Bahasa Karo digunakan sebagai alat komunikasi oleh penutur yang
tersebar di wilayah Sumatera Utara. Suku Karo aslinya mendiami Pesisir Timur Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan Sumatera Timur, Dataran Tinggi Karo,
Universitas Sumatera Utara
23
Suku Karo merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara Sembiring.jo- blogspot.com200905hidup-dan-dalam-pikiran-orang-karo.html. Nama suku
ini juga dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami dataran tinggi Karo yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa
sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Bahasa Karo juga terdapat di Karo jahe Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Kemudian
masyarakat yang ada pada Kabupaten tersebut menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, baik di daerah Medan maupun daerah lainnya di Provinsi
Sumatera Utara.
2.1.4 Masyarakat Karo di Desa Pasar X Kecamatan Kutalimbaru Desa Pasar X merupakan sebuah Kecamatan di
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Masyarakat di Desa Pasar X terdapat beberapa etnis. Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru merupakan masyarakat
bilingual di mana mereka dalam berintraksi menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Bahasa pertama B1 di Desa Pasar X
Kecamatan Kutalimbaru yang mereka kenal adalah bahasa Karo, di samping itu ada juga etnis pendatang.
Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru memiliki jumlah penduduk laki- laki 975 jiwa, perempuan 1.510 jiwa total 2.485 jiwa. Desa Pasar X Merupakan
salah satu desa yang berada di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Masyarakat yang tinggal di desa ini mayoritas etnis Karo yang merupakan etnis
asli di desa tersebut. Bahasa pertama B1 yang mereka kenal adalah bahasa Karo.
Universitas Sumatera Utara
24
Jumlah penutur di desa Pasar X 355 jiwa dan di samping etnis Karo juga terdapat etnis pendatang.
Desa Pasar X memiliki enam dusun. Keenam dusun tersebut juga memakai bahasa Karo sebagai bahasa pertama. Keenam dusun itu adalah:
Dusun I Pasar X Dusun II Silemak
Dusun III Gunung Gertam Dusun IV Lau Cal-cal
Dusun V Kinangkung Dusun VI Lau Batur.
Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru berbatasan sebelah utara dengan Desa Namo Mirik dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kutalimbaru.
2.2 Landasan Teori
Landasan teori merupakan dasar atau kerangka dari sebuah penelitian. Mustahil sebuah penelitian tidak memiliki landasan atau kerangka penelitian.
Landasan teori juga diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang dibahas agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara
25
2.2.1 Bilingualisme
Mackey 1962 dalam Chaer dan Agustina, 1995:112 mengatakan bahwa bilingualisme berasal dari bahasa Inggris yaitu bilingualism yang dalam bahasa
Indonesia disebut kedwibahasaan yang diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Konsep kedwibahasaan selalu mengalami perubahan dan semakin meluas akibat perkembangan teknologi.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme atau sering juga disebut kedwibahasaan. Kedwibahasaan merupakan memahami, mengerti, dan
kebiasaan memahami dua bahasa antara bahasa Karo B1 dan bahasa Indonesia B2 oleh seorang penutur dalam melakukan intraksi dengan orang lain.
Bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya Bloomfield, 1933 dalam Chaer dan Agustina
1995:115. Kapan menggunakan bahasa pertama B1 dan kapan pula menggunakan bahasa kedua B2 tergantung pada lawan bicara, topik
pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Menurut Mackey 1970 dalam Chaer dan Agustina, 1995 bilingualisme
bukanlah fenomena sistem bahasa melainkan fenomena pertuturan atau penggunaan dua bahasa, yakni praktik penggunaan bahasa secara bergantian.
Bilingualisme bukan ciri kode melainkan ciri pengunaan kapan dan bilingualisme tersebut terdiri dari dua tipe. Yang pertama, bilingualisme setara, yaitu
bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan bahasa secara relatif sama. Di dalam bilingualisme setara ini terdapat proses berpikir. Tipe yang
Universitas Sumatera Utara
26
kedua, yakni bilingualisme majemuk, bilingualisme ini terjadi pada penutur yang tingkat kemampuan menggunakan bahasanya tidak sama. Sering terjadi kerancuan
dalam bilingualisme ini sehingga dapat menyebabkan interferensi. Interferensi ialah masuknya unsur-unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.
Weinreich 1970 dalam Umar, 1993:8 membatasi kedwibahasaan sebagai praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian.
Bloomfield dalam Umar, 1993:8 menerangkan bawha, kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baik terhadap dua bahasa, seperti halnya penguasaan
oleh penutur asli. Pendapat tersebut masih diragukan karena kriteria penggunaan dua bahasa sama baiknya oleh penutur asli sangat sulit diukur. Para penutur asli
berbeda-beda penguasaan terhadap kedua bahasa. Konsep kedwibahasaan selalu mengalami perubahan dan semakin diperluas.
Haugen 1972 dalam Umar, 1993:8 mengemukakan, tidak perlulah kedwibahasaan menggunakan kedua bahasanya. Cukup ia mengetahui kedua bahasa itu, jadi
menurut Haugen kedwibahasaan adalah penguasaan tentang dua bahasa oleh seorang penutur.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan adalah kemampuan memahami dan kebiasaan menggunakan dua
bahasa yaitu bahasa pertama B1 dan bahasa kedua B2 oleh seorang penutur untuk berintraksi dengan orang lain, dalam hal ini Grosjea dalam Umar, 1993:26
mengemukakan bahwa lawan bicara mencakup perbedaan etnis.
Universitas Sumatera Utara
27
Situasi sosial pembicaraan mencakup situasi resmi formal dan situasi tidak resmi nonformal. Situasi formal berada di lingkungan sekolah dan di lingkungan
kantor kepala desa. Situasi nonformal berada di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan kantor kepala desa.
2.2.2 Kontak Bahasa
Weinreich 1970 Umar, 1993:16 mengemukakan bahwa dua bahasa atau lebih disebut kontak, apabila bahasa-bahasa itu dipergunakan secara bergantian oleh
orang yang sama maka kontak bahasa terjadi pada diri dwibahasawan. Mackey dalam Umar, 1993:16 mengatakan kontak bahasa adalah pengaruh
bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan perubahan bahasa dan mempengaruhi perkembangan bahasa
itu. Kontak bahasa berlangsung bukan hanya di dalam diri perseorangan
melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa kedua. Karena itu, kontak bahasa sering pula dianggap sebagai baguan yang
lebih luas, yaitu kontak budaya. Yang terlibat dalam kontak ini bukan hanya perseorangan, yaitu orang-orang yang mempelajari bahasa kedua, melainkan juga
orang lain. Unsur-unsur bahasa yang sebelumnya mempengaruhi dwibahasawan secara perseorangan kemudian menyebar lebih luas, sehingga pengaruh itu
mendapat penguatan bersama. Pada ekabahasawan menerima pengaruh kontak bahasa, kemudian menggunakannya. Dengan demikian pengaruh tersebut diterima
Universitas Sumatera Utara
28
dan dimasukkan menjadi bagian dari sistem bahasa itu. Pada tingkat ini, dapat dikatakan telah terjadi kontak bahasa.
Kontak bahasa merupakan peristiwa yang sudah terjadi sejak lama dan terus berlangsung hingga saat ini maupun pada masa yang akan datang.
Contoh: Bahasa Indonesia sudah mengalami kontak dengan bahasa lain secara langsung dengan bahasa asing Arab, Belanda, Cina, Sansekerta dan
sebagainya sejak dulu hingga sekarang. Kontak yang telah berlangsung dalam waktu yang lama itu telah
mengakibatkan terjadinya kedekatan kosakata antar bahasa yang mengalami kontak bahasa tersebut. Bahasa Karo juga mengalami kontak bahasa dengan bahasa
Indonesia maka dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan zaman bahasa Karo juga mengalami perubahan. Akibat peristiwa kebahasaan terjadi adanya
kontak bahasa yaitu alih kode, campur kode.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan bersumber dari paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam penelitian yang bersumber dari pendapat para ahli,
empirisme pengalaman peneliti, dokumentasi, dan nalar peneliti yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Risma Jojor Sinaga 1996 dalam sekripsinya yang berjudul Bilingualisme pada Masyarakat Batak Toba yang membicarakan, tentang bagaimana proses
terjadinya bilingualisme pada masyarakat Batak Toba. Teori yang digunakan yaitu teori struktural melihat bahasa dari strukturnya dan sosiolinguistik. Dari hasil
Universitas Sumatera Utara
29
penelitiannya, masyarakat Batak Toba di Balige merupakan masyarakat bilingual, disamping bahasa daerah yaitu bahasa Toba, masyarakat Balige juga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Masyarakat Batak Toba di Balige memperoleh bahasa kedua dari situasi
formal yaitu proses belajar mengajar disekolah dan diajarakan secara informal di tengah-tengah keluarga. Di Kecamatan Balige anak-anak yang berusia 4-5 tahun
juga diajari menggunakan bahasa Indonesia di tengah-tengah keluarga. Walaupun kosakata yang diajarkan masih terbatas, karena keterbatasan kosakata yang
dimiliki anak-anak tersebut. Di sekolah dasar, anak-anak sudah mendapat pelajaran bahasa Indonesia,
tetapi sebagian besar bahasa pengantarnya masih mempergunakan bahasa Toba. Sinaga mengatakan motivasi belajar bahasa kedua berorientasi pada dua hal yaitu
orientasi instrumental dan orientasi integratif. Orientasi instrumental adalah penggunaan bahasa untuk mendapatkan keuntungan material, memproleh
pekerjaan, dan lain sebagainya. Orientasi integrative memberikan penekanan pada penggunaan bahasa sebagai alat yang menbuat anak didik sanggup menjadi
anggota masyarakat. Erni J. Marondang 1997 dalam skripsinya yang berjudul Bilingalisme
pada Masyarakat Cina di Kecamatan Medan Denai yang menerangkan tentang bagaimana proses terjadinya bilingualisme pada masyarakat Cina di Kecamatan
Medan Denai. Penelitian Matondang tidak jauh berbeda dari penelitian Ariani, teori yang digunakan juga sama. Menurut Martondang, karena adanya
bilingualisme sehingga sering terjadi alih kode dan campur kode dalam
Universitas Sumatera Utara
30
masyarakat Cina. Alih kode di sini terbagi menjadi dua yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern terjadi dalam bahasa daerah dalam satu bahasa
nasional. Sementara itu, alih kode ekstern terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing yaitu bahasa Cina.
Rini Apriani 2009 dalam skripsinya yang berjudul Bilingalisme pada Masyarakat Simalungun di Kecamatan Pematang Raya membahas tentang
seorang bilingual menggunakan bahasa pertama B1 dan bahasa kedua B2 dan penyebab bilingualisme. Di kecamatan Pematang Raya memperoleh bahasa kedua
dari situasi formal yaitu proses belajar mengajar disekolah dan diajarakan secara informal di tengah-tengah keluarga. Di Kecamatan Pematang Raya anak-anak
yang berusia 4-5 tahun juga diajari menggunakan bahasa Indonesia di tengah- tengah keluarga. Dalam penelitian Apriani menggunakan bahasa pertama B1
dan bahasa kedua adalah bahasa Indonesia B2, di Desa Sondi Raya juga masih banyak sebagian bahasa pengantarnya masih mempergunakan bahasa Toba
Hasil penelitian bilingualisme sebelumnya dapat menjadi informasi bagi peneliti saat ini dalam meneliti Bilingalisme pada Masyarakat Karo di Kecamatan
Kutalimbaru. Pada kesempatan ini, peneliti membicarakan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya bilingualisme di Kecamatan Kutalimbaru, faktor-faktor
bilingualisme adalah adanya rasa nasionalisme, mobilisasi penduduk, rasa nasionalisme antar etnis yang berbeda. Selain itu peneliti juga meneliti kapan
digunakan B1 dan dan kapan digunakan B2 di Kecamatan Kutalimbaru, Desa Pasar X yang mencakup tentang formal dan nonformal. Pada masyarakat Karo
Universitas Sumatera Utara
31
anak-anak usia 3-6 tahun juga di ajarkan mengunakan bahasa Indonesia di tengah-tengah keluarga, walaupun kosakata yang diajarkan masih terbatas, akibat
keterbatasan kosakata yang dimiliki anak-anak tersebut, tidak jarang dalam
berbicara sehari-hari sering terjadi campur kode dan alih kode.
Universitas Sumatera Utara
11
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang