Situasi tidak resmi Situasi Sosial Pembicaraan

53 Dari dialog 6 dapat disimpulkan bahwa pada situasi resmi juga terjadi bilingalisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia yang terdapat di Kantor Kepala Desa antara penduduk dan penggurus desa dalam pembagian beras dari pemerintah.

4.2.1.2 Situasi tidak resmi

Situasi tidak resmi pada percakapan sehari-hari sering di temukan pada saat di luar rumah maupun di ranah keluarga, pada situasi ini penutur bebas untuk menggunakan bahasa apapun dan biasanya, tergantung pada lawan bicara. Bahasa tidak resmi biasanya digunakan pada saat melakukan interaksi di rumah, luar rumah, dan interaksi jual beli. Dalam komunikasi sehari-hari pada ranah keluarga mereka menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia antara suami dengan istri serta dengan anak-anak. Demikian halnya pada tetangga sangat tergantung pada lawan bicaranya. Dialog 7 : Anggota Keluarga kawin campur Isteri : O Pak Tobat… rega sekai nge ndai mayang ta ndai? mak Tobat berapa tadi harga pinang kita tadi? Suami : Hari ini murah kali… Anak : Kok murah kali kam bilang pak? Berapa kin kam jual tadi? kok murah kali bapak bilang? Berapa bapak jual tadi isteri : Harga berapa kin tadi pak Tobat? harga berapa rupanya tadi pak Tobat suami : 10.000 ribu ngenca ndai 10.000 ribu cuman tadi Universitas Sumatera Utara 54 isteri : murah naring e nyah sambil berjalan ke dapur murah kalilah itu. Dari interaksi 7 di atas telah terjadi bilingalisme antara anak dengan orangtua pada saat berinteraksi di ranah keluarga, di mana suami berasal dari etnis batak Toba yang bernama Carles Bagariang, mempunyai isteri bernama Saten br Ginting yang berasal dari etnis Karo pada saat berinteraksi mereka menggunakan dua bahasa antar bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Misalnya; O pak Tobat rega sekai nge ndai mayang ta ndai? ‘Pak Tobat berapa tadi harga pinang kita tadi?’ merupakan kosakata bahasa Karo, seian itu Kok murah kali kam bilang Pak? Berapa kin kam jual tadi? ‘kok murah kali bapak bilang? Berapa rupanya bapak jual tadi’ kam, kin ‘kamu’ merupakan kata ganti orang sedangkan kin merupakan fartikel yang tidak mengandung makna leksikal atau tidak dapat berdiri sendiri. Dari dialog 7 dapat disimpulkan telah terjadi bilingualisme pada ranah keluarga antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia yang dilakukan anata suami, istri, dan anak. Dialog 8 : Suami etnis Melayu dan Istri etnis Karo Suami : mana anakndu? Sudah tidur? di mana anakmu? Sudah tidur? Istri : belum, rumah temanna ia belum rumah temanya dia Suami : ngapain dia kesitu kin? ngapain dia kesan? Istri : i lakueteh… sambil pergi I tidak tahu Universitas Sumatera Utara 55 Dari dialog 8 telah terjadi bilingalisme antara suami dengan istri. Suami berasal dari etnis Melayu yang bernama Edy. Edy memiliki seorang istri yang bernama Esma yang berasal dari etnis setempat. Mereka berinteraksi di ranah keluarga biasanya menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia, sehingga dapat disebut bilingualisme. Misalnya mana anakndu? di mana merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan ndu ‘mu’ tidak mengandung makna leksikal yang tidak dapat berdiri sendiri seperti nya, lah, dan lain sebagainya. Selain itu belum, rumah temanna Ia belum, rumah temannya merupakan kosakata bahasa Indonesia dan temanna ia ‘temanya dia’ merupakan kosakata bahasa Karo ‘ngapain dia kesitu kin’ ngapain dia kesitu merupakan kosakata bahasa Indonesia dan kin merupakan fartikel bahasa Karo yang memiliki arti lah. Selanjutnya i lakueteh… ‘ I tidak tahu saya’ merupakan kosakata bahasa Karo. Dari dialog 8 dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingalisme antara suami dan istri pada ranah keluarga antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi mereka dominan menggunakan bahasa Indonesia pada saat berinteraksi di ranah keluarga baik dengan anak maupun suami dengan istri. Dialog 9: Orang Tua dan Anak etnis Karo Hendra. S : udah makan kam ini nakku? sudah makan kamu nak? Kam merupakan anak yaitu Tobat Mekel : sudah tadi pak Hendra. S : mana mamak kam kin? di mana ibu kamu ini? Mekel : belakang Hendra. S : sudah makan tobat e? sudah makan Tobat ini? Universitas Sumatera Utara 56 Esma : sudah tadi…, kenapa kin? sudah tadi…, kenapa rupanya? Henda. S : lokai pe sambil berjalan keluar tidak apa-apa Dari dialog 9 terjadi bilingualisme pada ranah keluarga antara orang tua dan anak. Keluarga tersebut asli penduduk Desa Pasar X, Kecamatan Kutalimbaru. Akan tetapi, dalam berkomunikasi mereka menggunakan dua bahasa antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia sehingga dapat dikatakan bilingualisme. Misalnya udah makan kam nakku? ‘sudah makan kamu nak?’ Sudah makan merupakan kosakata bahasa Indonesia, kam nakku ‘kamu nak’ merupakan kosakata bahasa Karo selain itu terdapat kalimat lain seperti; di mana mamak kam kin? di mana ibu kamu ini? dimana merupakan kosakata bahasa Indonesia, mamak kam kin ‘ibu kamu ini?’ merupakan kosakata bahasa Karo sedangkan kata kin merupakan penegasan sedangan kata e ‘ini’ dan lokai pe ‘tidak apa-apa’ merupakan kosakata bahasa Karo. Dari dialog 9 dapat disimpulkan bahwa dialog tersebut adalah bilingalisme karena mereka dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia pada ranah keluarga. Dialog 10 : Tetangga etnis Karo dan Tetangga etnis Toba Aji Manis : uga nge kakndu pemilihen Presiden sange? Ise pilih ndu? bagaimana menurut kamu pemilihan Presiden kemaren? Siapa kamu pilih? Tetangga : Aku pe bingung kel pemilihen endai. saya juga bingung pemilihan ini tadi Aji Manis : ue, balilahkita e. iya, samalah kina ini. Universitas Sumatera Utara 57 Mardiah : apa rupanya pak Tobat? Aji Manis : oo masalah pemilihan presiden kemaren oo masalah pemilihan presiden kemaren Mardiah : kenapa kin? kenapa rupanya? Tetangga : kam siapa pilihndu? siapa kamu pilih? Mardiah : aku nomor sada. saya nomor satu Dari dialog 10 dapat disebut bilingualisme yaitu penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Dari dialog 8 salah satunya informan dari hasil perkawinan campur. Istri Aji Manis berasal dari etnis Melayu, tetapi mereka dapat menggunakan dua bahasa juga mempunyai tetangga yang bernama Rido yang beretnis Karo. Rido juga dapat menggunakan dua bahasa terhadap Aji Manis dan Mardiah sehingga dapat dikatakan bilingalisme antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia misalnya; uga nge kakndu pemilihen Presiden sange? Ise pilih ndu? kosakata bahasa Karo yang artinya bagaimana menurut kamu pemilihan Presiden kemaren? Siapa kamu pilih?, Aku pe bingung kel pemilihen endai. Kosakata bahasa Karo artinya saya juga bingung pemilihan ini tadi, ue, balilahkita e. kosakata bahasa Karo iya, samalah kita ini, kenapa kin? kenapa merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan kin merupakan fartikel bahasa Karo yang artinya rupanya, dan kam siapa pilihndu? Kata siapa merupakan kosakata bahasa Indonesia sedangkan kam pilihndu merupakan kosakata bahasa Karo yang artinya kamu, pilih Universitas Sumatera Utara 58 Dari interaksi 10 dapat disimpulkan bahwa mereka adalah bilingual karena mereka dapat menggunakan dua bahasa sekali gus dalam brinteraksi antara tetangga. Dialog 11: di Warung sampah dengan tetangga etnis Karo dan etnis Jawa Dewi : asa kai uang sekolah Wenny gundari? berapa uang sekolah Wenny sekarang? Sayuti : kalau dia masih murahnya…, karena dia kan SMA Negeri kalau dia masih murah…, karena dia SMA Negeri. Dewi : dia mahal kali kin, uang praktek aja enggo sada juta dia mahal kalilah, uang praktek saja udah 1 juta Jadi : ue lah atem gia adi kejuruan. mahallah ialah karena dia kejuruan. mahallah Mariani : ia lah bik,,, ia kan bisa langsung kerja adi go tamat. ia lah bik,,, dia kan bisa langsung kerja jika sudah tamat. Dewi : perban si e makana mahal uang sekolahna nak karena itulah uang sekolahnya menjadi lebih mahal… Nak merupakan partikel dari bahasa Karo atau kata sapaan Dari dialog 11 telah terjadi bilingalisme di warung anatar Dewi beretnis Karo, Sayuti beretnis Jawa, Jadi, dan Mariani beretnis Karo mereka semuanya adalah tetangga, pada saat mereka berbincang-bincang tentang uang sekolah pada saat ini telah terjadi penggunaan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Di mana pada interaksi tersebut telah terjadi penggunaan dua bahasa antara bahasa Karo dengan bahasa Indonesia. Misalnya kena asakai uang sekolah Wenny gundari,’berapa uang sekolah Wenny sekarang’ kin, enggo sada juta,’sudah satu juta’ ue, atem gia adi, ‘iya kalau’ adi enggo tamat,’jika sudah selesai’ perban si e maka mahal uang sekolahna nak ‘karena itulah uang Universitas Sumatera Utara 59 sekolahnya menjadi lebih mahal…’ merupakan bahasa Karo dan nak merupakan bahasa Karo dan mengandung kata sapaan dalam bahasa Karo. Dari dialog 11 di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingualisme antara tetangga di warung dalam interaksi tentang uang sekolah anak. Dialog tersebut terjadi antara penduduk asli dengan etnis pendatang yang bersuku Jawa. Akan tetapi, etnis pendatang dapat menggunakan bahasa setempat yaitu bahasa Karo, demikian juga dengan penduduk setempat yang dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia sehingga dapat dikatakan bilingualisme. Dialog 12 : Penjual etnis Melayu dan Pembeli etnis Karo Esma : berapa harga gulandu ini kila? berapa harga gula ini paman? Ngatinem : kalau 1 kg 12.000 ribu, berapa kg kin kam ambil? kalau 1 kg 12.000 ribu, berapa kg kamu ambil? Esma : tiga kg aja nyah kila tiga kg saja paman Ngatinem : cukup tiga kg kin e? sambil menuju gula cukup tiga kg saja? Esma : cukup nyah kila. cukup lah paman. Dialog 12 merupakan iteraksi di warung. Ngatinem seorang pemilik warung yang bersuku Jawa dan Esma seorang pembeli yang bersuku Karo. Pada saat komunikasi terlihat adanya bilingual antara Ngatinem yang bersuku Jawa dengan Esma yang bersuku Karo. Ngatinem pada awalnya menggunakan bahasa Karo dengan menggunakan kata orang seperti Kam dan ndu, dan kata tambahan seperti kata kin, e, dan nyah yang biasanya digunakan dalam komunikasi bahasa Universitas Sumatera Utara 60 Karo. Terlihat juga bahwa Ngatinem mampu menggunakan bahasa Karo terhadap penutur bahasa Karo meskipun tidak sefasih penutur aslinya. Ngatinem bukanlah penduduk asli di Desa Pasar X, melainkan masyarakat pendatang yang berdomisili di Desa Pasar X yang beretnis Jawa. Seiring dengan berjalannya waktu, Ngatinem pun mampu menggunakan Bahasa Karo. Dari dialog diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi bilingalisme anatara bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Penduduk setempat juga dapat menggunakan dua bahasa terhadap lawan bicaranya sehingga dapat disebut bilingal, demikian juga Ngatinem yang bukan penduduk asli yang dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Dialog 13: Pembeli etnis Karo dan Penjual etnis Jawa Edy. S : isap sada bik… rokok satu bik Ngatinem : rokok apa sama ndu? rokok apa sama kamu? Edy. S : isap sempurna saja enta bik rokok sempurna saja bik Ngatinem : piga man banndu? berapa samamu? Edy.S : sada bungkus satu bungkus Tetangga : bik minyak 1kg bik merupakan panggilan wanita bagi yang lebih tua Ngatinem : ia bentar ya sambil mengamil rokok ia sebentar ya. Pada dialog 13 terdapat bilingualisme anata penjual dan pembeli, pembeli asli penduduk Desa Pasar X dan penjual adalah pendatang yang beretnis Universitas Sumatera Utara 61 Jawa. Mereka dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Karo dan bahasa sehingga dapat disebut bilingalisme seperti kalimat tersebut; isap sada bik… ‘rokok satu bik’ merupakan kosakata bahasa Karo, rokok apa sama ndu? ’rokok apa sama kamu?’ rokok apa sama merupakan kosakata bahasa Indonesia ndu ‘mu’ merupakan fartikel yang tidak dapat berdiri sendiri seperti lah, mu, dan lain sebagainya. Dari dialog di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi jual beli diwarung telah terjadi bilingualisme antara bahasa Karo dan bahasa Indonesia. Universitas Sumatera Utara 62 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan