Perjanjian PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT

25

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT

JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian adalah merupakan bagian dari hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah sendi yang amat penting dalam hukum perdata, oleh karena hukum perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang berdasar atas janji seseorang. 35 Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atu lebih. Pengertian perjanjian menurut pasal tersebut menurut para sarjana hukum perdata dianggap kurang lengkap dan mengandung kelemahan-kelemahan yaitu : 36 a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Kata mengikatkan dalam rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih merupakan kata kerja yang mengandung arti perbuatan tersebut berasal dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian adalah mengikatkan 35 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, C.V.Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.1. 36 Purwahid Patrik, Hukum Perdata II-Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang-Jilid I, FH Semarang Undip, hal.24. Universitas Sumatera Utara 26 diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidaknya perlu ada rumusan ”saling mengikatkan diri”. Dengan penambahan rumusan tersebut akan nampak jelas adanya konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. b. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan yang tanpa kesepakatan. Dalam pengertian termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum. Kedua tindakan tersebut merupakan perbuatan dalam rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan perbuatan hukum. c. Pengertian perjanjian dalam rumusan terlalu luas. Perjanjian yang terlalu luas tersebut dapat juga diartikan sebagai perjanjian kawin padahal perjanjian kawin telah diatur dalam hukum keluarga. Dalam pelaksanaan rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah hubungan antara kreditur dan debitur ini terletak dalam lapangan hukum mengenai harta kekayaan. d. Pengertian perjanjian tanpa menyebutkan tujuan. Pengertian perjanjian yang banyak mengandung kelemahan tersebut menjadikan banyak sarjana hukum perdata mendefenisikan perjanjian secara lengkap. Pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu Universitas Sumatera Utara 27 peristiwa dimana seseorang lain atau dimana orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 37 Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.” 38 Wirjono Projodikoro memberikan pengertian “perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan dua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal sedang pihak yang lain berhak menuntut perjanjian itu.” 39 Menurut R.Subekti, perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang lain itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.” 40 Menurut Hartono Hadisoeprapto, perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum antara dua oran atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.” 41 37 Subekti, Hukum Perjanjian, P.T. Intermassa, Jakarta, 1987, hal.4. 38 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, hal.77. 39 Wiryono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, 1989, hal 9. 40 R.Subekti, Hukum Perjanjian, P.T. Intermassa, Jakarta , 1985. 41 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal 78. Universitas Sumatera Utara 28 Pendapat sama juga disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo yang menyebutkan bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” 42 Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah “suatu yang abstrak, merupakan suatu hubungan hukum yang bersumberkan pada undang-undang dan persetujuan.” R.Subekti berpendapat bahwa : “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah timbul suatu perikatan. Artinya perjanjian itu menerbitkan perikatan antar dua orang atau lebih yang membuatnya, dan dalam bentuknya mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.” 43 Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu saling setuju untuk melakukan sesuatu. Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu : a. Asas Konsensualitas Perkataan konsensualitas berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Berdasarkan asas konsensualitas, suatu perjanjian sudah dilahirkan sejak 42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal.97. 43 R.Subekti, Op.Cit, hal 12. Universitas Sumatera Utara 29 adanya kata sepakat diantara para pihak yang membuat perjanjian. Asas ini tersimpul dari Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yaitu oleh undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak memenuhi bentuk tertentu, misalnya hipotek, yang harus secara tertulis dengan suatu akta notaris. b. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terdapat pada Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak pada pasal ini, terdapat pada kata “semua perjanjian”. Ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisikam apa saja. Walaupun demikian terdapat pembatasan yang melekat pada asas tersebut yaitu : 44 1 Bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 2 Bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan kesusilaan. 3 Bahwa perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum dan undang- undang. 44 R.Subekti, Ibid., Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 30 Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, dapat dikatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga menganut sistem terbuka. c. Asas Kekuatan Mengikat. Asas kekuatan mengikat adalah suatu asas yang menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat para pihak sebagaiamana mengikatnya undang-undang. Asas ini tersimpul pada Pasal 1338 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena adanya alasan-alasan yang oleh undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu. 45 d. Asas Itikad Baik Asas ini terdapat di dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Isi dan pasal tersebut adalah bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik mengandung makna bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan. e. Asas Hukum Pelengkap Maksud asas ini adalah para pihak dalam membuat perjanjian diberi kebebasan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian menurut kehendak para pihak. Apabila di dalam perjanjian yang dibuat tersebut masih terdapat hal-hal yang belum diatur, maka ketentuan-ketentuan 45 R.Subekti, Ibid., Pasal 1338 ayat 2. Universitas Sumatera Utara 31 yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata akan mengaturnya, misalnya janji-janji dalam surat kuasa membebankan hak tanggungan diperbolehkan, asalkan tidak melanggar kepatutan dan keadilan itikad baik. 2. Sifat dari Perjanjian Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua kontrak perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. Suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang diadakan dengan cara tertulis dan perjanjian yang dilakukan dengan cara Universitas Sumatera Utara 32 lisan. Untuk kedua bentuk perjanjian tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah dijadikan alat bukti bila sampai terjadi sengketa terhadap perjanjian tersebut. Sedangkan dalam bentuk lisan jika terjasi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan saksi-saksi juga itikad baik para pihak dalam perjanjian itu. 46 Dalam praktek, para pihak dari suatu perjanjian menginginkan dibuat dalam bentuk tertulis dan dilegalisir oleh notaris atau dalam bentuk akta otentik akta notariil untuk memperkuat kedudukan para pihak jika terjadi sengketa dikemudian hari. Ada beberapa bentuk perjanjian tertulis yang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris antara lain: 47 a. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian semacam itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat para pihak. Para pihak atau salah satu pihak berkewajiban untuk mengajukan bukti- bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. 46 Purwahid Patrik, Op.Cit., hal.49. 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jakarta, BP.Cipta Jaya, 2004, hal.26. Universitas Sumatera Utara 33 b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tandatangan para pihak. Akan tetapi kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian, namun pihak yanng menyangkal adalah pihak yang harus membuktikan penyangkalannya. 3. Sahnya Suatu Perjanjian Sebagaimana disebutkan dalam doktrin lama teori lama yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam defenisi ini telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum tumbuhlenyap hak dan kewajiban kemudian menurut doktrin baru teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian diartikan sebagai “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” 48 Membedakan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu melahirkan perikatan dan perikatan lahir karena adanya perjanjian. Jadi pada hakekatnya perikatan itu lebih luas dari perjanjian karena perikatan mencakup semua kekuatan dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum 48 Salim, HS. Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.26. Universitas Sumatera Utara 34 Perdata, baik itu perikatan yang bersumber dari perjanjian maupun perikatan yang bersumber dari undang-undang. Suatu perjanjian baru sah menurut hukum, apabila syarat-syarat untuk sahnya perjanjian itu dapat dipenuhi. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian baru sah kalau memenuhi 4 syarat sebagai berikut : a. Kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian. b. Kecakapan untuk membuat perjanjian. c. Adanya suatu hal tertentu d. Adanya suatu sebab yang halal. Di dalam suatu perjanjian, oleh undang-undang disyaratkan adanya suatu sebab yang halal. Yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal adalah isi dan tujuan atau maksud di dalam suatu perjanjian tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan atau dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu sebab yang halal, menurut Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata suatu perjanjian tanpa sebab atau karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Kemudian dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa suatu sebab terlarang apabila oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Universitas Sumatera Utara 35 Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif karena berhubungan dengan orang-orang sebagai subyek yang mengadakan perjanjian. Suatu perjanjian yang mengandun cacat pada subyeknya tidak menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi memberi kemungkinan untuk dibatalkan, artinya perjanjian terebut dapat dibatalkan dengan tuntutan. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Suatu yang mengandung cacat pada obyeknya mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum.

B. Jual Beli Secara Cicilan Sebagai Jual Beli dalam Pasal 1457 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata