Perceraian dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah

BAB V PEREMPUAN DALAM PENAFSIRAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

A. Perceraian dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah

Menikah dan membangun rumah tangga adalah naluri dasar manusia. Sebagai mahluk, manusia ditakdirkan memiliki pasangan dan berupaya bertemu dengan pasangannya. Itulah ketetapan Ilahi:” Segala ssesuatu telah kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah ” QS. Adz-Dzâriyât [51]: 49. Tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga Sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana QS Al-Rum [30]: 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” Sakinah, mawaddah dan rahmah akan memberikan ketenangan kepada jiwa suami dan istri. Ketenangan jiwa ini akan mendorong suami istri untuk beribadah kepada Allah Swt. Keluarga sakinah menjadi hal yang sangat penting, sebab menjadi bagian dari modal pembangunan bangsa. Melalui keluarga-keluarga yang harmonis itu, terdapat teladan yang bisa dipetik, baik dalam perilaku berkeluarga maupun dalam membentuk masyarakat yang baik. Melalui keluarga sakinah ini nilai-nilai agama berupa moral dan kebenaran hakiki, spiritualitas dan berbagai aspek kehidupan yang bisa menyelamatkan manusia, diwariskan kepada anak-anak mereka. Pembinaan keluarga sakinah merupakan strategi dasar dalam rangka membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kunci utama keberhasilan mempertahankan keluarga sakinah adalah menegakkan sendi-sendi agama di rumah tangga. Nilai-nilai agama bisa membentengi diri dari pengaruh luar yang merusak, seperti faktor infotainment yang mendemostrasikan perceraian publik figur. Perceraian akan menyisakan masalah, bukan hanya bagi suami istri sebagai orang tua, tetapi turut mengorbankan anak. Karenanya, hal terpenting adalah mempersiapkan proses perkawinan lebih baik lagi. Orang tua mesti memberikan pengarahan kepada anak tentang arti tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Prinsipnya pernikahan mesti didasari dengan cinta, kasih sayang, dan amanah. Perkawinan yang merupakan suatu ikatan suami istri yang kekal, digambarkan Allah Swt. sebagai mîsâqan ghalîzan Perjanjian yang kuat; QS. An-Nisâ [4]: 21. Seyogyanya, perjanjian yang kuat ini dipelihara dan mendapat tempat yang layak di hati suami istri. Akan tetapi dalam perjalanan berumah tangga, cinta kasih tidak selamanya bersemayam di hati sanubari masing-masing. Banyak faktor pribadi dan social yang ikut berperan dalam kehidupan sebuah rumah tangga. Sebagai manusia biasa, perselisihan pendapat antara suami dan istri sulit untuk dihindari 38 , sehingga terjadilah talak atau perceraian. 39 Perceraian adalah perbuatan yang yang harus di hindari dalam agama, karena Hadis Nabi mencela adanya perceraian .“Allah tidak menjadikan sesuatu yang dihalalkan- Nya demikian ia benci kecuali thalak”, dan “perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah thalaq”. Khutbah beliau ketika naik haji yang penghabisan haji wada‟ berisi salah satu pesan buat semua laki-laki dalam menghadapi wanita: “aku wasiatkan kepadamu, wahai umatku, agar berlaku baik terhadap wanita. Karena kamu mengambilnya sebagai amanat dari Allah. Dan menjadi halal kehormatannya bagi kamu melalui kalimat Allah.” Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa ketika dua hari sebelum Nabi Muhammad meninggal dunia, beliau naik ke atas mimbar, dan berkhutbahdidepan para sahabatnya agar memelihara dua perkara, pertama: shalat jangan di tinggalkan. kedua: An nisa‟… wanita, wanita Peliharalah baik-baik wanitamu. 40 Lembaga perkawinan saat ini menghadapi tantangan yang semakin berat, yaitu: pertama adanya desakralisasi nilai perkawinan, yang muncul bersamaan dengan berbagai tantangan hidup di era globalisasi ini. Perkawinan yang selama ini dimaknai sebagai institusi yang luhur dan sakral, tak jarang dianggap hanya sebagai hubungan orang perorang secara perdata, tak ada hubungannya dengan norma agama dan kemanusiaan”. Akibat dari pandangan diatas marak terjadi perceraian, gonta ganti pasangan sudah dianggap hal yang lumrah, tak ada beban bagi pelakunya Padahal 38 Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, jilid 6, h. 1778 39 Talak artinya ialah lepas. Atau putus pertalian, habis pergaulan, bercerai dan berpisah. lihat Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987, Cet. ke-1, Juz 2, h. 212 40 Hamka, Tafsîr al-Azhar. Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 299 perilaku semacam itu berdampak buruk bagi masa depan anak-anaknya yang kelak juga akan mengabaikan nilai-nilai sakral agama dalam sebuah perkawinan. Sikap dan pandangan seperti diatas menyebabkan tingginya angka perceraian yang terus meningkat setiap tahunnya Tantangan kedua adalah budaya patriarkhal yang mengakar di masyarakat. Persepsi masyarakat tentang masalah-masalah perempuan di tengarai dipengaruhi oleh penafsiran yang dianggap diskriminatif. Pemahaman yang keliru ini harus diluruskan. Anggapan laki-laki lebih utama daripada kaum perempuan yang dikenal dengan paham patriakhal, mengakibatkan peran perempuan terpinggirkan baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam bidang pekerjaan. Keyakinan patriakhal pada lelaki juga sering menjadi pemicu perceraian dalam rumah tangga. Tantangan ketiga adalah kekerasan dalam rumah tangga, yang disingkat menjadi KDRT. Kekerasan yang menimpa perempuan dalam rumah tangga kenyataannya berlapis, baik berupa kekerasan psikis, seksual, fisik, maupun ekonomi. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan Komnas Perempuan selama 2012 mencatat kekerasan di ranah personal sebagai kekerasan yang paling banyak terjadi, yaitu sebanyak 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Angka yang disodorkan oleh Komnas Perempuan seperti disebutkan diatas tentu jauh lebih kecil dari kenyataan yang ada di masyarakat, karena sebagian besar perempuan yang mengalami KDRT lebih memilih bungkam dari pada mengadukan nasibnya kepada orang lain, baik karena takut atau demi menjaga keutuhan keluarga. Alasan tidak dilaporkannya KDRT karena masih adanya anggapan bahwa tindakan pelaporan justru dianggap sebagai tindakan penyerangan atas integritas keluarga. Intervensi dari pihak luar dianggap sebagai bentuk gangguan terhadap kekuasaan suami terhadap istri. Akibat pandangan seperti itu hingga kini temuan-temuan kasus KDRT sangat tersembunyi. Hampir tidak ada data nasional yang seragam tentang KDRT, kecuali yang memang dilaporkan. Contohnya catatan Komisi Nasional Perempuan seperti tersebut diatas ternyata berbeda dengan catatan Pengadilan agama . Kekerasan yang terjadi di ranah personal yang menyebabkan perceraian, yang ditangani pengadilan agama tahun 2012, tercatat 203.507 kasus, seluruhnya dicatat dalam kekerasan yang terjadi di ranah personal atau yang terjadi terhadap istri. Sementara dari 12.649 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 66 persen atau 8.315 kasus. Penyebab dari begitu besarnya jumlah korban KDRT, menurut kriminolog asal Universitas Indonesia, Purnianti, diakibatkan oleh paradigma yang salah. Menurutnya sampai saat ini masih ada anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa KDRT bukanlah sebuah kejahatan. KDRT sering dimaafkan oleh kebiasaan social dan ditempatkan sebagai bagian dari kehidupan perkawinan ketimbang sebuah tindak kejahatan. Padahal segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga KDRT harus dianggap sebagai tindak kejahatan yang bisa diajukan ke pengadilan. Muhammad Hakimi guru besar FK UGM mengatakan dalam seminar bertema “Gerakan Pencegahan Kekerasan pada Perempuan dan Anak di RS Dr. SarjitoYogyakarta ” Kamis 284 2005 mengungkapkan ada beberapa hal mengapa seorang suami tega melakukan kekerasan pada perempuan yang dikawini, seperti citra diri yang buruk dan pandangan terhadap perempuan yang stereotipik yaitu perempuan pasif dan dapat dikendalikan. Seorang pria bisa melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya jika memiliki pengalaman masa kecil yang buruk, bisa berupa anak tersebut yang mengalami sendiri atau ia menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya. Melihat kenyataan tingginya angka KDRT di Indonesia, tentu membutuhkan perhatian dari berbagai fihak, termasuk para pemuka agama, karena tindak kekerasan pada perempuan sudah merupakan kezholiman yang tidak bisa ditoleransi lagi. KDRT harus dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan tujuan penciptaan dan tujuan perkawinan. Untuk mencegah KDRT Pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT melalui penghapusan KDRT itu, kini perempuan sebagai bagian dari anggota dalam rumah tangga, memiliki kekuatan untuk melaporkan setiap kekerasan yang dialaminya guna membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tantangan keempat adalah terjadinya pergeseran nilai keluarga dan hidup berumah tangga pada saat ini. Nilai-nilai keharmonisan rumah tangga yang dulu erat dipegang mulai terkikis. Kerapuhan iman menjadi salah satu penyebab utama timbulnya perceraian. Sebab itu, langkah antisipasi adalah memperkuat fondasi agama di lingkungan keluarga. Organisasi masyarakat keagamaan, diharapkan aktif berperan memberikan penyadaran dan penyuluhan pranikah kepada pasangan suami isteri, terutama bagi para perempuan dan remaja. Penyadaran diharapkan menyentuh pula pemahaman tentang Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jauh sebelumnya, untuk mengurangi tingginya angka perceraian di Tanah Air, Pemerintah dan Kementrian Agama telah melakukan berbagai langkah penting yang bisa menjaga fungsi lembaga perkawinan, diantaranya adalah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Perkawinan. Sebagai bukti pemerintah dan bangsa Indonesia khususnya para pemuka agamanya masih menganggap perkawinan adalah sesuatu yang sakral bahkan umat Islam menganggapnya sebagai ibadah. Untuk itu umat Islam di Indonesia ingin agar perkawinan itu sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum negara. Untuk tujuan itulah maka UU No. 1 Tahun 1974 menjadi UU pertama yang mengandung ketentuan partikular s yari‟at Islam dan KHI menjadi penjelas dari UU tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan melindungi dan menyetarakan kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga, Yang berbeda hanya dalam masalah yang bersifat fungsional karena kodrat masing-masing jenis kelamin. UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan sepenuhnya sudah mengikuti fiqh munakahat, bahkan banyak mengutip langsung dari Al-Quran dan hadis. Contohnya ketentuan larangan perkawinan dengan mahram, ketentuan tentang masa tunggu masa iddah bagi istri yang bercerai dari suaminya. Namun ada dari ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang perkawinan sama sekali tidak terdapat dalam fiqh munakahat, tetapi karena bersifat administrative dan bukan substansial dapat ditambahkan kedalam fiqh munakahat. Contohnya pencatatan perkawinan dan pencegahan perkawinan Ini berarti perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah. Untuk menghindari perceraian karena bukan saja perbuatan yang tidak di sukai tapi juga menyebabkan berpisahnya dua orang suami istri, tetapi juga merusak hubungan kedua keluarga dan membuat anak-anak kehilangan pegangan. Karena itu Islam menempatkan berbagai tuntunan dan prosedur yang menghalangi terjadinya perceraian, antara lain: pertama menyatakan bahwa prinsip mendasar dalam hidup berumah tangga, adalah saling berinteraksi secara baik serta saling menghormati dan menghargai. Tiap permasalahan yang mengemuka, diatasi dengan cara yang santun dan kepala dingin. Ini sesuai dengan tuntunan yang terdapat di surah an-Nisâ [4] : 19. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak. Kedua, mendorong para suami untuk tetap bersabar menghadapi tingkah laku, kondisi fisik dan akhlak istri yang tidak ia sukai. Sebab, untuk kesabaran itu dijanjikan pahala dan manfaat yang besar dari Allah SWT. juga harapan, semoga dari istri yang tidak ia sukai itu, ia dapat memperoleh keturunan yang sholeh yang bermanfaat bagi keluarga dan umatnya. Allah berfirman: “…kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” QS, An-Nisâ [4]: 9. Membaca paparan diatas, membuat kita menaruh hormat kepada Hamka yang telah menaruh perhatian besar terhadap urusan perempuan dengan cara mengaitkan fenomena yang menggambarkan perlakuan miring masyarakat terhadap perempuan dengan tuntunan Al-Quran. Ia meluruskan pemahaman agama yang keliru yang selama ini di pahami masyarakatnya. Hal ini bisa kita ketahui dari penafsirannya berikut ini. Ayat yang paling sering di tuding sebagai ayat yang melegalkan KDRT dalam rumah tangga adalah: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar “QS. An- Nisâ [4]: 34. Ayat ini di turunkan untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi di dalam rumah tangga atau syiqâq dalam istilah Al-Quran. Tapi menurut Hamka melalui ayat ini Allah Swt. menuntun para suami agar berupaya menasehati istri yang mulai meninggalkan kewajibannya. Hamka menafsirkan ayat An-Nisâ [4]: 34 sebagai perintah kepada suami yang baik untuk menegur istrinya dengan kata-kata dan sikap yang layak. Dengan sabar suami harus mendidik istrinya. karena mendirikan dan menegakkan ketentraman sebuah rumah tangga kadang-kadang meminta waktu berpuluh tahun. suami hendaklah menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan bijaksana. Pukulan hanya dilakukan kepada perempuan yang patut dipukul berdasarkan penjelasan Rasulullah saw. bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakiti. 41 Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan perlunya digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan apalagi pemukulan. Al-Quran menganjurkan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan. Termasuk di dalamnya persoalan yang dihadapi keluarga. 42 Berdasarkan penelusuran penulis terhadap penafsiran Hamka dan Quraish terhadap ayat-ayat yang membahas relasi suami istri, keduanya sepaham bahwa perceraian seharusnya di hindarkan, bukan di jadikan sebagai cara menghukum istri atau bahkan menyiksa perempuan. Apalagi bagi orang awam yang hanya memahami bahwa pemutusan hubungan perkawinan hanya ada di tangan suami. Apalagi sabda Rasulullah saw.: “Wanita mana saja yang menuntut cerai pada suaminya tanpa alasan, diharamkan baginya bau surga ” HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu dawud dan Ibnu Majah 43 selalu di dengungkan para pemuka agama dalam dakwahnya tanpa menjelaskan secara rinci masalah perceraian dalam pandangan Islam Menafsirkan firman Allah “ pukullah mereka “ Quraish bahkan berpesan bahwa memukul adalah langkah terakhir bagi suami demi memelihara kehidupan rumah tangganya. jangan memahami kata memukul dalam arti menyakiti, jangan juga diartikan sebagai sesuatu tang terpuji. Nabi Muhammad saw mengingatkan agar, “jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti ”. Di kali lain, beliau bersabda, “Tidakkah kalian malu memukul istri kalian, seperti memukul keledai?” malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan nasehat dan cara lain. 44 Menurut Hamka hukum ini tidak hanya berlaku bagi istri. Apabila nusyuz tersebut muncul dari pihak suami, maka istri juga berhak melakukan hal yang sama, yaitu menasehati suami atau memperlihatkan keengganan ketika diajak tidur bersama. 41 Hamka, Tafsîr al-Azhar, Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 48 42 M. Quraish shihab, Al-Misbah Jakarta: Lentera Hati,, Vol. 2, h. 408 43 Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 932 44 Mohammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, jilid 2, ciputat, Lentera Hati, cetakan 1, 2000 hal 410 Apabila suami memang tidak dapat disadarkan, bahkan sering menganiaya istrinya, maka Islam juga memberi jalan keluar bagi para istri melalui khulu‟ 45 Kesediaan seorang istri membayarkan sesuatu demi perceraiannya menunjukkan bahwa rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Pihak yang seharusnya berhak menerima –dalam hal ini istri– kini bersedia membayar kepada yang tadinya berkewajiban memberi, yakni suami. Ini berarti telah terjadi penjungkir balikan keadaan sehingga surga kehidupan rumah tangga telah berubah menjadi neraka. Nah, karena itu melalui ayat ini Allah membolehkan sang istri memberi sesuatu kepada suaminya sebagai imbalan perceraiannya. Penyebab terjadinya khulu‟ antara lain adalah munculnya sikap suami yang meremehkan istri hingga senantiasa membawa pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menempuh jalan khuluk. Inilah yang dimaksudkan Allah Swt. dalam firman-Nya pada surat an-Nisa 4 ayat 128 yang a rtinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar- benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…” perdamaian dalam ayat ini dapat dilakukan dengan mengakhiri hubungan suami istri melalui perceraian atas dasar permintaan istri dengan kesediannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar suami yang telah diberikan ketika akad nikah berlangsung. Alasan lain penyebab khuluk menurut Ibnu Qudamah adalah ketidakpuasan seorang istri dalam nafkah batin. 46 Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama dibolehkannya khulu‟ adalah sabda Rasulullaah saw. dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban tentang kasus istri sabit bin Qais yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah Saw. mendengar seluruh pengaduan tersebut, rasulullah saw. bertanya: “maukah kamu mengembalikan kebunnya Sabit?” Istri sabit menjawab: “Mau.” Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Sabit bin Qais:” Ambillah kembali kebun engkau dan ceraikanlah ia satu kali.” 47 45 Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 1778 46 Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 933 47 Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 932. Hamka mengatakan bahwa istri boleh meminta cerai jika melihat suaminya tidak tahu kewajiban, baik kewajiban rumah tangga atau kewajibannya kepada Allah, atau ia disia-siakan. Karena dengan kehidupan rumah tangga yang terganggu, rumah menjadi neraka. Hilang respek keluarga dan masayarakat, bahkan perlakuan buruk itu mengundang murka Allah, dan dengan demikian ia benar-benar menganiaya diri sendiri di dunia dan akhirat. Namun sebelum terjadi perceraian harus melalui rekonsiliasi dan mediasi dimana keluarga dan hakim mesti turut campur tangan untuk menyatukan kembali keutuhan keluarga. QS an- Nisa‟ 2; 128, 130 Namun berbeda dengan Quraish yang menyebutkan bahwa jika hakim gagal mendamaikan maka perceraian terpaksa dilakukan oleh suami, bukan oleh mediator atau hakim. 48 Dalam hal ini Hamka tegas menyatakan bahwa fungsi hakim bukan hanya berfungsi menyatukan suami istri, tapi juga berhak memisahkan suami istri, sesuai dengan kemaslahatan keluarga itu, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak, atau menentukan ganti kerugian yang di sebut khulu 49 ‟. Dari sinilah timbul ijtihad ulama adanya perjanjian sebagai ta‟lik talak 50 ketika perkawinan akan dilangsungkan. Kedua pihak boleh mengemukakan syarat-syarat, di antaranya khulu‟. Segala perjanjian yang tidak mengharamkan yang halal atau mengahalalkan yang haram, boleh dilakukan. 51 Khulu‟ untuk tujuan membebaskan perempuan dari pada siksaan laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sejak tahun 1916 di nagari Sungai Batang dan Tanjung Sani Minangkabau, atas anjuran ayah Hamka telah diadakan satu sighat ta‟liq thalaq yang akan menolong bagi kaum perempuan. Sejak itu negeri-negeri yang lain di 48 Mohammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, jilid 2, ciputat, Lentera Hati, cetakan 1, Th 2000. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat mayoritas mufasir yang lebih mengutamakan keharmonisan dari perceraian. lihat Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Nida‟ Li al-Jins al- Lathif, terjemah, Bandung: Perpustakaan Salman Institut Teknologi, 1986, cet.1, hal. 150-151 , dan Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, tafsir al-Sya‟rawi , Akhbar al-Yaum. Tth vol 5 hal 2695. Pendapat ini juga sesuai dengan pendapat Abu hanifah dan juga Syafi‟i. Menurut suatu riwayat keduanya tidak memberi wewenang kepada hakam untuk menceraikan. Hak menceraikan hanya berada di tangan suami dan tugas hakim hanya mendamaikan, tidak lebih dan tidak kurang. Lihat Hamka Tafsir al-Azhar. Juz V, , Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hal 412. 49 Dalam hal ini Hamka mengikuti pendapat Malik dan Ahmad bin Hambal. Keduanya memberii wewenang kepada hakam untuk menceraikan suami istri yang bertikai. Lihat Hamka Tafsir al-Azhar. Juz V, , Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, hal 412. Adapun khulu‟, ia merupakan jalan keluar bagi istriyang tidak menyukai suaminya dengan alasan selain yang bisa melahirkan fasakh rusaknya ikatan perkawinan, yakni kasus dimana istri memberikan semacam ganti rugi atau mahar, nafkah, dan lain-lain dengan tujuan agar si suami bersedia dengan rela hati menjatuhkan thalak kepadanya. 50 Ta‟lik thalak 51 Hamka Tafsir al-Azhar. Juz 5, h. 412 Minangkabau meniru cara Shighat Ta‟liq yang ringkas itu. Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang- wenang kepada istri. 52 Hamka memahami ketaatan Perempuan sebagai istri terhadap suaminya dalam perkawinan, bukanlah semata-mata ketundukan mutlak kepada suaminya. Taat ialah bagaimana perempuan tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan tahu akan tenggang menenggang dan juga tahu akan harga dirinya. Jika suami mencari pertikaian dengan istri semacam ini, maka jangan disesalkan kalau istri melawan. Hamka menegaskan agar jangan kesalahan yang terjadi dalam rumah tangga ditimpakan seluruhnya kepada istri. Karena meskipun dia perempuan, dia juga manusia yang patut dihormati 53 surah al- baqarah ayat 228 menyebutkan yang artinya :”Dan bagi mereka perempuan adalah hak seumpama kewajiban yang atas mereka jua dengan patut.” Di dalam ayat ini dijelaskan posisi perempuan. Mereka mempunyai hak disamping memikul kewajiban, sebagaimana orang laki-laki ada hak dan ada kewajiban. 54 Ketegasan Hamka ini dalam menafsirkan dan mengaitkan penafsiran dengan kondisi dan problema masyarakat setempat, sebenarnya diwariskan dari ayahnya Syaikh Abdul karim Amrullah. Hamka pernah bertanya kepada ayahnya tentang hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak perempuan kalau terjadi syiqaq dalam sebuah perkawinan. Ayahnya menyatakan bahwa inilah langkah terbaik kalau terjadi syiqaq. dalam kitab-kitab fiqih telah banyak diperbincangkan tentang fasakh nikah dan hak hakim buat untuk memisahkan antara kedua suami istri. Tetapi ahli-ahli fiqih banyak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ayahnya pernah memfasakh pernikahan seorang istri dengan suaminya. Setelah di selidiki kehidupan si suami. terbukti ada alasan untuk menetapkan bahwa si suami memang tidak sanggup meneruskan pergaulan ini, walaupun keduanya suka sama suka. Artinya mereka diceraikan dengan keputusan beliau sendiri. 55 Ayahnya Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah teah mengambil dasar 52 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 5, h. 58-59 53 Hamka Tafsir al-Azhar. Juz V, Prof. DR. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 51 54 Hamka Tafsir al-Azhar. Juz V, Prof. DR. Hamka, h 51 55 Wibawa beliau dalam agama di Minagkabau pada waktu itu menyebabkan tidak ada bantahan yang tegas daripada ulama-ulama yang lain. Pihak laik-laki akhirnya mengadu kepada Adviseur voor Inlandsche Zaken di “Betawi”. Ketika itu kepala kantor Inlandsche Zaken ialah Dr. Hazen, seorang orientalis Belanda yang terkenal. Maka terjadilah surat menyurat di antara ayahku dengan Dr. Hazen, dan akhirnya Dr, Hazen tidak dapat membantah keputusan itu, walaupun Dr Hazen telah meminta nasehat keputusan ini daripada hadis Rasulullah saw. “Jangan ada yang memberi mudharat dan jangan ada kemudharatan. Dengan demikian cukup jelas keterangan bahwa kesetaraan gender dalam talak adalah merupakan petunjuk agama, jika terjadi perselisihan atau sesuatu sebab yang itu menjadi alasan kuat dalam memutuskan perkawin-an, seorang suami dapat mentalaq isterinya, begitupun isteri dapat menggunakan hak khulu‟-nya. Untuk lebih menjaga objektivitas sebuah persoalan yang menjadi titik pokok pengajuan cerai atau khulu‟, perlu adanya pihak ketiga yang berfungsi, di samping sebagai penengah yang mengupayakan penyatuan kembali perdamaian antara suami dan isteri, juga sebagai lembaga yang memutuskan sebuah perceraian atau putusnya perkawinan dengan khulu‟. Dalam UU perkawinan 1974, dan diperkuat oleh KHI pasal 114.

B. Karir dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah