Biografi Quraish dan Penulisan Tafsîr Al-Misbah

Marâghi, Tafsîr al-Qasimî, dan Tafsîr Fî Zhilâl Al-Quran karya Sayid Qutub. Selain keempat kitab tafsîr ini Hamka juga mengutip pendapat dari berbagai kitab tafsîr lainnya. 30 Secara keseluruhan pada volume 1 kitab tafsirnya, beliau menyebutkan bahwa referensinya mencapai 45 buku yang disebutkan secara ekplisit. Beliau juga mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana modern dan karangan-karangan orientalis Barat yang bagi para mufasir Indonesia lain mungkin masih merupakan hal yang tabu. Apa yang dilakukan Hamka ini telah menjadi karakteristik khusus tafsîr Al- Azhar yang menambah bobot ilmiyahnya diantar buku-buku tafsir lainnya di Indonesia.

B. Biografi Quraish dan Penulisan Tafsîr Al-Misbah

1. Biografi Quraish. M. Quraish lahir di Rappang Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944, dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat, Ayahnya, Abdurrahman Shihab 1905-1986 merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadiannya. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsîr. M. Quraish memulai pendidikan di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Hadist al-Fiqhiyyah. 31 Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di Al-Azhar. Tahun 1967 dia meraih gelar Lc S1 pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsîr Hadis Universitas Al-Azhar, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk sepesialis Tafsîr Al-Quran. 32 Kemudian pada tahun 1982 ia berhasil meraih gelar doktor dalam studi ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cumlaude, yang disertai dengan penghargaan tingkat 1 mumtâ z ma‟a martabat al- syaraf al-ûla. Dengan demikian ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut. 33 Karirnya dimulai setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1984, M. Quraish ditugaskan di fakultas Ushuluddin dan Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1995, ia dipercaya menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah 30 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Juz I, h. 86. 31 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam beragama, Bandung: Mizan,1999, h. v 32 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Jakarta: Mizan, 1999, h. 5 33 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, h. 6 Jakarta. Jabatan lain di luar Kampus yang pernah diembanya, antara lain, Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Pusat sejak 1984: anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama sejak 1989, selain itu ia banyak berkecimpung dalam berbagai organisasi profesional, seperti pengurus perhimpunan ilmu-ilmu Al-Quran s yari‟ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1998, tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru, ia pernah dipercaya sebagai Menteri Agama oleh Presiden Suharto, kemudian pada 17 Februari 1999, dia mendapat amanah sebagai Duta Besar Indonesia di Mesir. Walaupun berbagai kesibukan sebagai konsekuensi jabatan yang diembanya, Quraish tetap aktif dalam kegiatan tulis menulis di berbagai media massa dalam rangka menjawab permasalahan yang berkaitan dengan persoalan agama. Di harian Pelita, ia mengasuh rubrik “ Tafsîr Amanah” dan juga menjadi anggota dewan Redaksi Jurnal Ulûm Al-Quran dan Mimbar Ulama di Jakarta. Dan kini, aktifitasnya adalah Guru Besar Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatatullah Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Quran PSQ Jakarta. Sikap yang menonjol dari Quraish adalah keberaniannya mengkritik pemahaman dan sikap keberagamaan yang berlaku ditengah masyarakat yang menjadi bagian dari pembaruan Quraish. Misalnya ketika Quraish ingin mencairkan hubungan antar umat beragama yang diwarnai ketegangan pada dekade tahun delapan puluhan. Ketika itu MUI memfatwakan haram hukumnya mengucapkan selamat natal apalagi menghadiri perayaan natal, tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap fatwa tersebut yang berusaha menjaga kemurnian akidah umat. Quraish berdasarkan pemahaman QS. Maryam [19]:33 menawarkan pemahaman bahwa ucapan selamat natal itu merupakan ajaran Al-Quran yangajarkan penghormatan kepada para Nabi. Tentu harus disertai dengan maksud-maksud dan keyakinan yang diajarkan Al-Quran, demi terjaganya kemurnian akidah. 34 Mengenai pemikiran fikihnya Quraish berbeda dengan ulama lain yang cenderung tidak fanatik dalam bermazhab, Quraish berpandangan bahwa dalam beragama seseorang tidak perlu terikat dengan mazhab tertentu baik dalam hal metode maupun fatwa hukum, akan tetapi jawaban terhadap suatu persoalan hukum berorientasi 34 M. Quaraish Shihab, Membumikan Al-Quran hal 370 kepada ketenangan dalam pengamalan dan nilai kemaslahatan yang ada tanpa menandang mazhab mana yang memberikan pendapat itu talfiq. 2. Karya-Karya Quraish Shihab Quraish Shihab adalah sosok pemikir dan mufasir yang sangat handal. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufasir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi sosial keagamaan. Diantaranya, beliau ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Pusat sejak 1984; Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama sejak 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989 dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI. Disela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik Pelita Hati. Dia juga mengasuh rubrik Tafsîr Al-Amanah dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulûmul Quran dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah beberapa bukunya diterbitkan, diantaranya Tafsîr Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984; Filsafat Hukum Islam Jakarta: Departemen Agama, 1987; Mahhota Tuntunan Ilahi Tafsîr Surat Al-Fatihah Jakarta: Untagma, 1988, dan lain sebagainya. Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah: Rasionalitas Tafsîr Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984, Filsafat Hukum Islam Jakarta:Departemen Agama, 1987, Mahkota Tuntunan Ilahi Tafsîr Surat Al-Fatihah Jakarta: Untagma, 1988, 1001 Soal Ke-Islaman yang Patut Anda Ketahui, Membumikan Al-Quran Bandung: Mizan, 1992, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan Republika, 2007, Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan Republika, 2007, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib Republika, 2007, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al- Quran Republika, 2007, Wawasan Al Qur ‟an: Tafsîr Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat Republika, 2007, Tafsîr Al-Mishbâh, Tafsîr Al-Quran lengkap 30 Juz Jakarta: Lentera Hati, Sunnah-Syiah; Bergandengan Tangan, mungkinkah? Jakarta, Lentera Hati, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam, Jakarta, Lentera Hati, Kaidah Tafsîr, Jakarta: Lentera Hati, 2013 Sebenarnya masih cukup banyak karyanya yang belum sempat penulis paparkan, yang pasti Quraish adalah sosok yang sangat produktif meskipun ia mempunyai banyak aktivitas. Dari karya-karya tersebut kita dapat membaca pemikiran tafsîrnya. Bagi Howard, karya-karya Quraish layak mendapatkan apresiasi yang tinggi karena ia banyak memusatkan perhatiannya pada isu isu kontemporer yang cocok digunakan oleh berbagai kalangan. 3. Latar Belakang Penulisan Tafsîr Al-Misbah Banyak faktor yang melatarbelakangi penulisan tafsir al-Misbah. yang memotivasi seseorang menulis tafsir. Diantara faktor pendorong itu adalah : Pertama, memberikan langkah-langkah yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat Al-Quran dimulai dengan menjelaskan secara rinci pesan- pesan Al-Quran, melalui tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia. Karena menurut Quraish Shihab walaupun banyak orang yang berupaya memahami pesan-pesan yang terdapat dalam Al-Quran, namun ada kendala yang di hadapi baik dari segi keterbatasan waktu, keilmuanyang belum memadai dan kelangkaan refrerensi sebagai bahan acuan. Kedua, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia khususnya yang menggugah hati dan membulatkan tekad Quraish Shihab untuk menulis karya tafsîr. Ketiga, Obsesi dan semangatnya untuk menghadirkan karya tafsîr Al-Quran kepada masyarakat. Ia juga dikobarkan oleh apa yang dianggapnya sebagai suatu fenomena melemahnya kajian Al-Quran di masyarakat sehingga Al-Quran tidak lagi menjadi pedoman hidup dan sumber rujukan setiap pengambilan keputusan. 4. Ide-Ide Pembaharuan Tafsîr Al-Misbâh Karya karya Quraish banyak di pengaruhi ide-ide pembaharuan atau tajdîd yang dirintis oleh M. Abduh dan Amin Al-Khauli. Sehingga Quraish tidak bisa dipisahkan dari konteks pembaharuan yang dirintis oleh Abduh, Quraish sendiri yakin pentingnya pembaharuan dalam dunia tafsîr Al-Quran. 35 Quraish menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan dimanapun, maka setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya juga dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran. Dengan demikian pesan-pesan Al-Quran dapat digunakan dalam segala situasi dan tempat, serta zaman apapun, itu sebabnya pembaharuan al-tajdîd dalam tafsîr sangat di perlukan. Prinsip-prinsip dasar yang diletakan oleh para pendahulu selayaknya harus menjadi perhatian dalam memahami Al-Quran dan Sunnah. Mereka telah menyusun metodologi pemahaman yang –demi kesinambungan ilmu– tidak boleh diabaikan, walau boleh disempurnakan atau direvisi. Quraish menyatakan bahwa dalam perkembangan dan pengembangan ijtihâd agama atau tajdîd, ia berpegang kepada adagium terkenal dalam kajian agama: “al-muhâfazhat „alâ al-Qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah”. Tajdîd kita perlukan, bukan saja untuk mengiringi kita menerima dampak positif globalisasi, tetapi juga untuk membentengi kita dari dampak negatifnya, karena globalisasi bukan hanya menghasilkan produk material, tetapi juga produk pemikiran dan nilai yang sebagian diantaranya bertentangan dengan nilai-nilai Al-Quran. Tajdîd dalam arti pembaharuan adalah mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, yang belum pernah diungkap oleh siapapun sebelumnya. 5. Sumber Penafsiran dan Metode Penulisan Dengan melihat dan mencermati kandungan Tafsîr Al-Misbâh, bisa penulis katakan bahwa sumber Tafsîr Al-Misbâh ini merupakan kolaborasi antara tafsîr yang menggunakan sumber riwayat, baik itu riwayat yang bersumber dari Nabi, Sahabat dan 35 ia mendefinisikan istilah “tajdîd” dengan makna pemantapan, pencerahan, dan pembaharuan. Makna pertama terkait dengan Hadis Nabi yang isinya menunjukan pentingnya pemantapan keimanan seorang muslim, misal dengan membaca “Lâ ilâha illa Allâh”. Tajdîd dalam arti pencerahan dapat mencakup penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai menyangkut, masa lalu, Sedang tajdîd dalam arti pembaharuan adalah mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, yang belum pernah diungkap oleh siapapun sebelumnya. Tabi‟in bi al-ma‟tsûr dengan tafsîr yang menggunakan logika tafsîr bi al-ro‟yî. Hal ini bisa dilacak dari penjelasan-penjelasannya ketika menafsirkan sebuah ayat. Sepanjang penelusuran penulis, metode p e n u l i s a n tafsîr yang digunakan oleh Quraish- s e p e r t i h a l n y a H a m k a - adalah kolaborasi dua metode tafsîr yakni metode tafsîr tahlîli dan maudhû ‟i atau tematik. Dalam menafsirkan ayat selain dimulai dari surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas, atau dengan kata lain berdasarkan susunan surah-surah yang ada di Mushaf, kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat per ayat. Namun sering kita dapatkan Quraish merujuk pada ayat-ayat dari surah-surah yang lain, yang terkait dengan ayat yang sedang di tafsîrkannya, menjelaskan tujuan utama surah, ayat serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, untuk lebih memperjelas ulasannya, sehingga penafsirannya menjadi lebih utuh dan menyeluruh. 36 Metode penulisan dengan langkah-langkah seperti yang disebutkan di atas menurut para pakar tafsîr bisa digolongkan dalam metode tafsîr semi tematik maudhû‟i yaitu metode yang diterapkan pertama kali oleh Syaikh Al-Azhar Mahmud Syaltut dalam karya taf sîrnya “Tafsîr Al-Qurân al-Karîm” 37 Hal tersebut dilakukan oleh Quraish agar para pembaca lebih mudah memahami dan mengakses pesan-pesan atau maksud dari kandungan Al-Quran dengan cepat dan menyeluruh. Selain kedua metode tersebut, tampaknya Quraish juga menggunakan metode pendekatan tafsîr muqarran. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan ayat-ayat dengan mengutip atau menukil pendapat beberapa mufassir lain dalam kitab-kitab mereka kemudian membandingkannya dan berusaha menemukan formulasi penafsiran yang paling tepat. Metode yang digunakan oleh Quraish dalam tafsîrnya jika kita bandingkan dengan tafsîr-tafsîr lainnya nampaknya bukanlah hal yang baru dan yang pertama kali dalam dunia tafsîr. Kolaborasi dua metode yakni antara metode tahlîli dan maudhû‟i ternyata pernah dilakukan oleh mufassir-mufassir sebelumnya seperti yang pernah 36 Menurut penulis langkah penafsiran yang di ambil Quraish ini mungkin didasari oleh kesadaran adanya kritikan terhadap metode tahlili yang dianggap memiliki kekurangan yaitu memberi pemahaman yang bersift parsial., Itu sebabnya mengapa Baqir al-Shodr menamakannya sebagai metode tajzi‟I, karena menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah , karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubunga n tercantum dalam sekian banyak surah yang terpisah- pisah. Lihat baqir Shodr, pedoman Tafsîr modern, terjemah hidayaturrahman.jakarta: Risalah Masa, 1992 hal.9 Lihat juga M. Quraih shihab, Membumikan A- Qur‟an, Pnerbit Mizan, th 1999hal. 113. 37 Langkah penafsiran Hamka bisa dikatakan semi tematik karena tidak mengikuti seluruh langkah yang seharusnya dijalankan oleh mufassir tematik, sebagaimana yang digagas oleh al-Farmawi. Lihat al-Farmawi Muqoddimah fî Tafsîr al- Maudhû‟i, Kairo : al-Hadhoroh al-Arabiyah, 1977, h. 61-62. dilakukan oleh Sayyid Qutub dalam tafsîrnya Fi Dzilâl Al-Qurân, Mutawali asy- Sya „rawi dan lain-lain. Akan tetapi untuk tataran tafsîr-tafsîr yang berkembang di Indonesia, metode yang digunakan oleh Quraish merupakan hal yang baru terjadi. Tentu dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, baik kajian kalam, fikih, pemikiran Islam, dan sosial kemasyarakatan yang dibingkai dalam pendekatan tafsîr. 6. Corak Penafsiran Sebuah karya tafsîr tidak akan bisa dilepaskan dari kecendrungan atau orientasi pemikiran yang dilatar belakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya. Corak tafsîr adabi ijtima‟i adalah corak yang paling menonjol dari Tafsîr Al-Misbâh. Quraish telah melakukan kajian kritis atas realitas sosial politik yang terjadi pada saat tafsîr itu ditulis, untuk selanjutnya membimbing dan meluruskan pemahaman keagamaan masyarakat yang dianggap melenceng dari ajaran Al-Quran. Semangat untuk melakukan perubahan sosial dan pembaharuan melalui rekonstruksi pemahaman teks-teks keagamaan nampak dari motivasi Quraish dalam menafsirkan. Ia ingin menghadirkan Al-Quran sebagai sumber hidayah dan petunjuk dalam memecahkan berbagai persoalan dalam konteks kekinian di Indonesia. Maka Persoalan-persoalan yang populer saat itu dikemas dalam tema tertentu kemudian diulas dengan menggunakan perspektif tafsîr tematik. Karya- karyanya semisal „Jilbab‟ adalah contoh kecil bagaimana ia mencoba menjawab persoalan kekinian dengan menggunakan pendekatan tematik dan corak tafsîrnya yang bernuansa adabi ijtima‟i. Oleh sebab itu bisa dikatakan Quraish memiliki setting teologi, sosio kutural kemasyarakatan dan lingkungan. 7. Referensi penafsiran Dalam hal memilih sumber referensi untuk tafsîr, Quraish tidak fanatik terhadap satu karya tafsîr dan tidak terpaku pada satu madzhab pemikiran. Ia mengutip dari berbagai kitab dari berbagai disiplin ilmu yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsîr yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsîrnya. Bukan saja dari segi pemikiran, tetapi juga orientasi atau coraknya. Dengan rendah hati, Quraish menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan pada tafsir Al-Misbah bukan sepenuhnya ijtihad dan penafsirannya sendiri Tafsir Al-Mishbah banyak dan mengemukakan uraian penjelasan sejumlah penafsir ternama dalam karyanya sehingga menjadi referensi yang mumpuni, informatif dan argumentatif. Ia menyatakan bahwa karya-karya ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak ia nukil. Sebut saja misalnya Mahmud Syaltut, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Madhani, Muhammad Hijazi, Ahmad Badawi, Muhammad Ali ash-Ashabuni, Muhammad Sayyid Tanthawi, Syekh Mutawalli asy-Syarawi, Syekh Muhammad Husain ath-Thabathabai seorang ulama Syiah terkemuka, dan terakhir Ibrahim bin Umar al- Baqa‟i, ulama asal Bekaa, Lebanon w. 885 H1480 M yang mana karya tafsirnya yang berjudul Nazm al- Dhurar ketika masih berupa manuskrip menjadi bahan disertasi penulis tafsir ini di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dua puluh tahun yang lalu.

BAB V PEREMPUAN DALAM PENAFSIRAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB