Biografi Hamka dan Penulisan Tafsîr Al-Azhar

BAB IV BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

A. Biografi Hamka dan Penulisan Tafsîr Al-Azhar

1. Biografi Hamka Ia adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal dengan nama Buya Hamka seorang ulama dan mufasir asal Maninjau Sumatra Barat. Berkat karyanya yang fenomenal yaitu tafsîr Al-Azhar, yang ditulisnya saat berada dalam penjara, membuatnya terkenal sampai ke manca negara. Ia dilahirkan tanggal 17 Februari 1908, 7 berasal dari keluarga yang agamis karena ayahnya H. Abdul Karim Amrullah 1879- 1945M adalah seorang ulama dan pelopor pembaharuan agama di Sumatra Barat. 8 Pendidikan sekolah dasar dan agamanya hanya sempat berlangsung selama tiga tahun, karena perceraian ibu dan ayahnya sehingga sekolahnya terbengkalai, namun hobi membaca, belajar otodidak dan kecerdasannya membuat ia mampu mengusai bahasa Arab dan literatur asing lainnya. 9 Di tahun 1924 Hamka berangkat ke Yogyakarta untuk belajar berorganisasi dan pergerakan Islam. Ia belajar kepada H.O.S Tyokroaminoto, H. Fakhruddin, R.M Suryopranoto dan iparnya sendiri AR Sutan Mansur. Di Yogya ini pula Hamka bertemu dan belajar tafsîr dengan Ki Bagus Hadikusumo. 10 7 Hamka dilahirkan ketika gerakan pembaharuan keagamaan Paderi ditanah Minang sedang bergolak dan menggelora di tahun kelahiran Hamka. Gerakan itu dimotori oleh kalangan muda, termasuk ayah Hamka H.Abdul Karim Amrullah mereka mengadakan pembaharuan keagamaan, membersihkan dan memurnikaan ajaran Islam dari praktik-pratik menyimpang dan bertentangan dengan Al-Quran dan al-Sunnah. 8 Gerakan Paderi adalah gerakan pembaharuan keagamaan abad 19 di Sumatra Barat yang mengawali berbagai gerakan pembaruan di ndonesia. Gerakan ni dilanjutkaan oleh generasi berikutnya termasuk yang dilakukan oleh Hamka. Meskipun secara politis penjajah Belanda mampu menghancurkan gerakan Paderi hingga tahun 1838, namun gerakan Paderi tersebut melanjutkan perjuangannya. Ide besarnya tak dapat dibendung dalam darah daging orang awak. Tokoh-tokoh pembaru Minangkabau masa berikutnya seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thahir Jalaluddin, Syaikh Muhammad Jamil Jambek, H. Abdulllah Ahmad dan H.Abdul Karim Amrullah ayah Hamka dan lain lain adalah kaum revivalis penerus ide besar gerakan Paderi, meskipun dengan bentuk gerakan yang berbeda. Gerakan pedidikan Thawalib, al-Irsyad, Persatuan Islam dan Muhammadiyah, meskipun dengan metode yang berbeda, Merupakan gerakan purifikasi dan pembaharuan serupa yang terbentuk berikutnya. Dinukil dari jurnal Refleksi Buya Hamka Tokoh Modernis Karismatik Shobahussurur vol. XI, No. I, 2009. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta; Lp3ES, 1980, h. 38-40 dan Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, 1966, h. 298. 9 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet. ke-III, h. 42. 10 M.Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 43. Pada usia 17 tahun tepatnya tahun 1925, Hamka kembali ke kampung halamannya ke surau jembatan besi. Pada usia ini Hamka mulai berkiprah sebagai seorang pengajar dan penceramah, bahkan di usia ini pula ia mulai menulis. 11 Di awal tahun 1927 Hamka berangkat ketanah suci Makkah, selain untuk beribadah haji ia juga sempat membaca beberapa literatur disana. Enam bulan kemudian ia kembali ke tanah air. Ketika kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tinggi tahun 1930, Hamka tampil sebagi narasumber dengan makalah berjudul “Agama Islam dan Adat Minangkabau”. Ketika menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1943, Hamka diangkat menjadi anggota tetap majelis konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada tahun 1946 Hamka terpilih sebagai ketuanya. Posisi sebagai ketua membuat Hamka sering bepergian ke berbagai daerah untuk menggalang persatuan. 12 Pada tahun 1958 Hamka berangkat ke Lahore Pakistan untuk menghadiri undangan seminar dari Universitas Punjab, beliau kemudian melanjutkan pelajaran ke Mesir, untuk menghadiri undangan Muktamar Islami disana. Hamka sempat memberi ceramah dihadapan anggota jamaah „Syubbanul Muslimin‟ dengan tema “Pengaruh Paham M. Abduh di Indonesia dan Malaysia”. 13 Pada tahun yang sama Hamka mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar. Gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang kesusastraan juga diperoleh Hamka dari Universitas di Malaysia, tepatnya pada hari Sabtu 6 Juni tahun 1974. 14 Hamka sempat mendekam dipenjara dizaman orde lama selama dua tahun, tepatnya dari tanggal 27 Januari 1964 sampai tahun 1966. Saat dipenjara inilah ia berhasil menyelesaikan karya tafsîrnya yang fenomenal yaitu tafsîr Al-Azhar. 15 Pada tanggal 26 Juli tahun 1975 Hamka diangkat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia namun dua bulan sebelum wafat ia mengundurkan diri. 16 Pada tanggal 24 Juli tahun 1981 Hamka wafat dalam usia 73 tahun. 17 11 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al-Quran dan Realitas Umat, Jakarta: Penerbit Republika, 2010, h 143. 12 .Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 50... 13 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Pustaka Panjimas,2001, jilid I, h. 58. 14 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Pustaka Panjimas,2001, jilid IV, h. 11. 15 Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, jilid IV, h. 70. 16 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet. ke-III, h. 42. 17 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 55. 2. Karya-Karya Hamka Hamka sebagai salah seorang tokoh yang lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berpikiran maju dalam pemahaman keagamaan telah banyak melahirkan karya tulis tentang Islam. Karya tulisnya tersebar dan memasuki berbagi bidang ilmu, yaitu tafsîr, tasawuf, teologi, sejarah Islam dan tak terkecuali sastra. Karangan Hamka di bidang sastra, yaitu: Di Bawah Lindungan Ka‟bah 1935, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau di Deli, Di dalam Lembah Kehidupan 1939, Dijemput Mamaknya 1939, Keadilan Ilahi 1939, Tuan Direktur 1939, Terusir 1939 dan Margaretta Gauthier 1940. Dalam bidang keagamaan: Pedoman Muballigh Islam 1937, Agama dan Perempuan 1939, Tasawuf Modern 1939, Falsafah Hidup 1939, Lembaga Hidup 1940 dan Lembaga Budi 1946. Kemudian pada tahun 1945, Hamka menerbitkan karya-karyanya di bidang politik dan budaya yaitu: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau menghadapi Revolusi dan Dari Lembah Cita-cita. Hamka Hijrah dari Minangkabau ke Jakarta pada tahun 1949, dan diterima sebagi Koresponden surat kabar Merdeka, majalah Pemandangan. Dan pada saat itu juga Hamka menulis autobiografinya Kenang-kenangan hidup, dan sekembalinya dari Amerika, Hamka menerbitkan buku perjalanannya selama empat bulan di Amerika, sebanyak dua jilid. 18 Mengenai komentar orang terhadap Hamka adalah tentang keberaniannya – mengikuti jejak ayahandanya – mengkritik pemahaman dan sikap keberagamaan yang berlaku ditengah masyarakat. Ia giat menyuarakan keberpihakannya kepada nasib perempuan. Karena ia menyadari adanya ketidaksesuaian antara adat dan ajaran agama Islam terhadap penafsiran. Sikapnya ini menjadi ciri dari pembaharuannya. 19 Hamka juga berani bertentangan dengan pemerintah, seperti sikapnya mengeluarkan fatwa haramnya ucapan selamat Natal oleh umat Islam kepada kelompok yang merayakannya ketika ia menjadi ketua Majlis Ulama Indonesia yaitu pada tanggal 7 Maret 1981. Sikap 18 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar Jakarta: Penamadani, 2003, Cet. ke-II, h. 48-50 19 Hamka banyak mengkritisi pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap perempuan yang selalu disalahkan dan disuruh menanggung resiko ketika terjadi perceraian. Perempuan hanya dituntut taat dan patuh kepada suaminya tetapi ia tidak boleh supaya suaminya menjaga perasaannya. Mungkin perceraian orang tuanya menyadarkan Hamka adanya ketidaksesuaian antara adat dan ajaran agama. Lihat Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, jilid II, h. 276, dan M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, Jakarta Penamadani, 2004, Cet ke-III, h. 42. yang sangat kontra dengan sikap pemerintah dalam hal ini Mentri Agama ketika itu. Karena mentri sedang mensosialisasikan Tri kerukunan umat beragama, kerukunan antar umat beragama, antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Karena sikap tegasnya itu ia digelari sebagai penjaga gawang akidah di Indonesia. 20 3. Latar Belakang Penulisan Tafsîr Al-Azhar Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tersusunnya tafsîr Al-Azhar, yaitu: pertama, adanya semangat para pemuda Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang bebahasa melayu yang sangat ingin mengetahui isi Al-Quran, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa arab. Untuk mereka inilah tujuan pertama tafsîr ini disusun. Kedua golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli dakwah. Para mubaligh menghadapi anak bangsa yang sudah mulai cerdas dengan mengentasnya penyakit buta huruf dikalangan umat. Masyarakat mulai berani membantah pemuka pemuka agama yang disampaikan, apabila pengajaran itu tidak masuk akal. Kalau mereka itu diberi keterangan berdasarkan Al-Quran secara langsung, maka mereka bisa melepaskan dahaga rokhani mereka. Maka tafsîr ini merupakan materi bagi mereka dalam menyampaikan dakwahnya.. 21 Sebelum memulai penulisan Tafsîr Al-Azhar, Hamka awalnya memberikan ceramah setiap setelah shalat shubuh sejak tahun 1959 di masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. Hamka memberika materi ceramah dengan cara membahas tafsîr Al-Quran. Ceramah ini dimuat secara teratur dalam Majalah Gema Islam sampai Januari 1964. Tanpa di duga sebelumnya pada hari senin 12 Ramadhan 1383 H bertepatan dengan 27 Januari 1964 M, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di Masjid Al-Azhar, beliau ditangkap oleh penguasa Orde Lama lalu dimasukan ke dalam tahanan. 22 20 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 54. 21 Pendahuluan Hamka, “Tafsîr Al-Azhar”, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982 22 Penangkapan ini lebih disebabkan oleh pertentangan antara kubu Islam dan Komunis yang telah hampir mencapai klimaksnya. Partai komunis PKI yang membawa ideologi komunis sekaligus atheis bergandengan rapat dengan Presiden Soekarno. Golongan Islam telah benar-benar dipinggirkan. Mohammad Natsir, yang pernah menjadi kartu truf bagi Soekarno dalam menghadapi persoalan- persoalan dalam negeri, telah diasingkirkan dari panggung politik. Partai Masyumi telah dibubarkan beberapa tahun sebelumnya, Bahkan PKI menggunakan nama “Masyumi” untuk melambangkan konotasi buruk, sebagaimana media barat kini mengasosiakan jihad dengan terosrisme. Antara Buya Hamka dan Soekarno telah terjadi benturan yang sangat keras dan nampaknya sudah tak bisa diperbaiki lagi. Buya, yang tadinya memandang Soekarno sebagai anak muda penuh kharisma dan semangat, kini memandangnya sebagai musuh yang telah kebablasan. Karena pernah pada suatu ketika Soekarno 4. Ide-Ide Pembaharuan Tafsîr Al-Azhar Karya-karya Hamka secara sederhana terlihat tidak bisa dipisahkan dari konteks pembaharuan yang dirintis utamanya oleh M. Abduh dan Amin al-Khauli, dua orang mufasir Mesir yang menggagas corak tafsîr adabi ijtima‟i. Ini terlihat dari referensinya yang kebanyakan berbahasa Arab dan dari tulisan para cendekiawan Timur Tengah. Tentu sedikit banyaknya ia terpengaruh oleh ide pembaharuan M. Abduh. Ide pembaharuan dan reformasi tafsîr Al-Quran Abduh bersumber dari pernyatannya bahwa yang dibutuhkan umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat 23 . Banyak kita temukan dalam tafsîr Hamka bahasan beberapa isu kontemporer yang menggelisahkan umat. Ia juga melakukan perombakan terhadap praktek-praktek bid‟ah dan adat istiadat melalui penafsirannya, terutama perlakuan masyarakat terhadap perempuan di Sumatra Barat, yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran agama. 24 Dengan memunculkan corak adabi ijtima‟i dalam tafsirnya Hamka telah memunculkan penafsiran-penafsiran baru, yang merupakan solusi dari berbagai masalah yang di hadapi masyarakatnya. Tentu dengan corak tafsîr yang berbeda, yang bernuansa lokal dan bercorak ke Indonesiaan. 5. Sumber Penafsiran dan Metode Penulisan Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsîr Al-Azhar, bisa penulis katakan bahwa sumber tafsîr ini merupakan kolaborasi antara tafsîr yang menggunakan riwayat- riwayat baik itu riwayat yang bersumber dari Nabi, Sahabat dan Tabi‟in bi al- ma‟tsûr dengan tafsîr yang menggunakan logika tafsîr bi al-ro‟yî. Hal ini bisa dilacak dari penjelasan-penjelasannya ketika menafsirkan sebuah ayat. Penafsiran dan penjelasan kandungan ayat yang ditafsîrkan itu dikaitkan dan dirinci berdasarkan pengamatannya terhadap lingkungan, fakta-fakta sejarah, fenomena yang terjadi di masyarakat dan lain-lain. Kemudian hadis-hadis Nabi menjadi sumber penafsiran berikutnya. Namun Hamka membatasi pengambilan riwayat- riwayat hanya pada yang memiliki bukti keshahihannya menurut ilmu ulûm al-hadîs dan disepakati oleh Sahabat menyatakan pandangannya dalam sebuah sidang, kemudian ia mengatakan, “Inilah As-Shirât al- Mustaqîm jalan yang benar”. Buya menimpali, “Bukan, itu al-Shirât al-Jahîm jalan menuju neraka.” Sudah barang tentu, Buya tidak pernah bisa menerima pemikiran Soekarno pada saat itu yang sudah terlalu terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran sekuler dan komunis. 23 Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al-Fikri, 1998, vol. I, h. 24 24 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 48 dan Tabi‟in. Logika yang digunakan Hamka ketika menafsirkan, selain untuk menghindari taqlid buta terhadap penafsiran para ulama –ulama sebelumnya juga dalam rangka mengaitkan penafsiran ayat dengan berbagai problema yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian Hamka telah berusaha membumikan pesan-pesan Al- Quran yang di sesuaikan dengan nuansa lokal ke Indonesiaan. Ada beberapa metode penulisan tafsîr yang dikenal dan digunakan di kalangan mufasir. Yaitu analisis tahlîli, global ijmali, komparatif muqoron dan tematik maudhû ‟i. Mencermati penafsiran Al-Azhar bisa dikatakan tafsîr ini dituliskan berdasarkan metode analisis tahlilî, karena metode penulisan tafsîrnya dimulai dari surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas. Atau dengan kata lain berdasarkan susunan surah-surah yang ada di Mushaf, kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat per ayat. Dengan metode penulisan ini Hamka menyoroti kandungan ayat-ayat Al- Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsîrkannya. Hamka juga memperluas masalah-masalah penafsiran yang tidak disentuh oleh mufassir Indonesia sebelumnya. Di sisi lain penulis melihat Hamka dalam tafsîrnya melakukan pengelompokan ayat-ayat berdasarkan keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat tersebut. Ia juga memberikan tema pada setiap pembahasan ayat sesuai dengan kandungannya. Dengan demikian bisa penulis katakan bahwa tafsîr Al-Azhar menggunakan metode semi tematik yaitu paduan antara metode penulisan tahlili atau analisa dengan metode penulisan tafsîr maudhû‟i atau tematik.yaitu metode yang pernah di gagas oleh Prof al- Kumi mantan Dekan fakultas Ushuluddin al-Azhar Cairo mesir pada tahun enam puluhan. 6. Corak Penafsiran Penafsiran dengan menggunakan metode penulisan tahlîli tentu tidak bisa dilepaskan dari subyektifitas penulisnya, yaitu kecenderungan atau orientasi pemikiran yang dilatarbelakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya. Adanya berbagai aspek yang melatarbelakangi kehidupan seorang mufassir memungkinkan munculnya beberapa corak hanya dari sebuah kitab tafsîr. Berikut ini beberapa corak tafsîr yang bisa penulis deteksi dari tafsîr Al-Azhar karya Hamka a. Corak al-Adabi-Ijtimâ‟i Hamka adalah salah seorag mufasir yang mempraktekan metode pengembangan tafsîr yang bercorak al- Adabi Ijtimâ‟i atau tafsîr yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan di Indonesia. 25 Tafsîr Hamka banyak menonjolkan ketelitian redaksi ayat Al-Quran, dengan ungkapan bahasa Indonesia yang mudah di pahami. Penguasaan ilmu sastra Indonesianya membantu menyajikan tafsîr dengan bahasa yang lugas, karena selain ulama dan mufassir Hamka juga seorang sastrawan di blantika sastra Indonesia b. Corak Tafsîr al-Hida‟i Corak tafsîr yang bisa dirasakan bagi pembaca kitab tafsîr Al-Azhar adalah corak Hida‟i, yaitu corak yang dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak Al-Quran menjadi poros atau sentral dari usaha penafsiran terhadap kitab suci Al-Quran. Hidayah Al-Quran menjadi perhatian utama Hamka ketika menafsirkan. Hal ini dipicu bukan hanya karena banyaknya ayat-ayat aqidah yang berisi hidayah dalam Al-Quran, tapi juga adanya kenyataan di masyarakat muslim yang membutuhkan tuntunan Al-Quran. Mengingkari hidayah Al-Quran, terlalu mengandalkan logika atau membebaskan pemikiran tanpa batas dan melalaikan tujuan dan pesan-pesan Al-Quran sebagaimana yang di isyaratkan ayat-ayatnya, menyebabkan keterbelakangan ummat dan merebaknya dekadensi moral di kalangan kaum muslimin. Agama menurut Hamka adalah sarana yang paling efektif dalam membina akhlak, sehingga perbuatan manusia menjadi benar dan baik. Selain itu hati mereka juga akan tenang dan berbahagia. Dengan akhlak ini pula keadilan ditegakkan. Karena pembinaan akhlak umat melalui pesan-pesan Al-Quran menjadi misi penafsirannya, maka perhatian Hamka terhadap pendidikan budi pekerti terlihat juga pada buku tafsîrnya. 26 Hamka sadar bahwa dalam menegakkan akhlak yang baik dengan melalui pendidikan prosesnya sangat lambat tetapi pengaruhnya diyakini olehnya sangat 25 M. Quraish Shihab menyatakan, yang dimaksud dengan tafsîr bercorak al-Adabi al- Ijtimâ‟i adalah tafsîr yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksi Al-Quran, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan diturunkannya Al-Quran, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. 26 Sebagai contoh lihat penfsiran Hamka pada surah al-Mâidah [5] ayat 16 pada vol 6, h. 182- 184 dan pada surah al- Isrâ [18] ayat 9, vol 15, h. 28-29. baik di hari kemudian. Inilah cara Hamka dalam menegakkan akhlak yang baik dalam tafsîrnya. Kecenderungan terhadap corak hida‟i ini dapat dilacak pada pernyataan- pernyataannya seputar “tuntunan akhlak bagi seorang muslim dengan sub tema khidmah kepada ibu bapa, kaum keluarga dan fakir miskin, larangan zina kejujujuran berniaga, jangan sombong, pentingnya ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang alam semesta, situasi dan kondisi penciptaan dan kehidupan manusia di dunia”. 27 c. Corak Ilmi. Kesan adanya kecenderungan Hamka terhadap corak ilmi terlihat pada upayanya menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu pengetahuan dan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Upayanya ini dimaksudkan agar masyarakat lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam Al-Quran apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufasir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa yang timbul dalam kehidupan sekitar mereka. Itu sebabnya Hamka menurut penulis bisa digolongkan sebagai mufasir yang condong kepada corak ilmi dan cara berfikir yang rasional. 28 7. Referensi Penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar Dalam hal memilih sumber referensi untuk tafsîr Al-Azhar, Hamka tidak fanatik terhadap satu karya tafsîr dan tidak terpaku pada satu madzhab pemikiran. Hamka mengutip dari berbagai kitab, bukan hanya kitab tafsîr melainkan kitab hadîs, fisafat sejarah dan sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsîr yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsîrnya. Bukan saja dari segi pemikiran, tetapi juga dari orientasi atau coraknya. Tafsîr yang paling banyak di rujuk oleh Hamka adalah tafsîr al-Manâr yang ditulis oleh Sayyid Rashid Ridha 29 yang notabene berdasarkan pada ajaran tafsîr gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsîr ini mempunyai karakter khas yaitu dalam penafsirannya selain menggunakan pendekatan klasik juga mengaitkan penafsirannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan. Selanjutnya adalah Tafsîr al- 27 Lihat penfsiran Hamka pada surah al-Isrâ ‟ dari ayat 22 sampai ayat 39, vol 15, h. 35-65. 28 Lihat penafsirannya tentang “Lebah” vol. 14, h. 218-220 dan “tentang kejadian manusia”, vol. 14, h. 266-274. Marâghi, Tafsîr al-Qasimî, dan Tafsîr Fî Zhilâl Al-Quran karya Sayid Qutub. Selain keempat kitab tafsîr ini Hamka juga mengutip pendapat dari berbagai kitab tafsîr lainnya. 30 Secara keseluruhan pada volume 1 kitab tafsirnya, beliau menyebutkan bahwa referensinya mencapai 45 buku yang disebutkan secara ekplisit. Beliau juga mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana modern dan karangan-karangan orientalis Barat yang bagi para mufasir Indonesia lain mungkin masih merupakan hal yang tabu. Apa yang dilakukan Hamka ini telah menjadi karakteristik khusus tafsîr Al- Azhar yang menambah bobot ilmiyahnya diantar buku-buku tafsir lainnya di Indonesia.

B. Biografi Quraish dan Penulisan Tafsîr Al-Misbah