Sikap Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai

persepsi yang selektif, yaitu kondisi dimana seorang individu dan keluarganya yang membutuhkan tempat tinggal dan tidak memperhatikan aspek lain, seperti kebersihan dan keamanan. Faktor lain yang sesuai dengan kondisi persepsi dari bermukim dibantaran sungai adalah: faktor pengalaman yang melatar belakangi sesorang mempersepsikan bantaran sungai. Sebagai contoh karena tidak padatnya penduduk dan perbedaan regulasi disuatu daerah di daerah. Bermukim bantaran sungai tidak menjadi permasalahan, akan tetapi berbeda ketika individu yang memiliki pengalaman tersebut berada di Jakarta untuk bermukim di bantaran sungai. Mereka mulai memperlakukan bantaran dan sungai berdasarkan pengalaman di daerah asalnya, hal ini akan berdampak pada rusaknya bantaran sungai dan juga memberikan kesempatan maupun contoh pada pemukim lain untuk melakukan hal yang sama.

12. Sikap Pemukim Tentang Bermukim Di Bantaran Sungai

Alport dalam Sears 1985 mendefinisikan bahwa sikap adalah: keadaan saraf dan mental dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman dan memberikan pengaruh dinamik pada respon individu semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Definisi ini dipengaruhi dengan adanya tradisi tentang belajar dan juga pengalaman masa lalu individu yang membentuk sikap. Kretch dan Crutchfield yang diacu oleh Sears mendukung perspektif dari kognitif yang mendefinisikan sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia seseorang. Robbins 2007 mendefinisikan sikap sebagai pernyataan yang bersifat evaluatif, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan, mengenai obyek, individu maupun peristiwa. Sikap sendiri terbagi kedalam tiga komponen, yaitu kognitif, afektif dan konatif Siagian 2004, komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap yaitu, fakta pengetahuan dan keyakinan objek, komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang pada objek penilaian, komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecendrungan untuk bertindak pada objek. Aspek sikap merupakan aspek yang dapat memudahkan untuk memahami bentuk dari perilaku bermukim di bantaran sungai. Pemecahan melalui komponen sikap dapat dilakukan menjadi bagaimana, ketiga komponen sikap tersebut dapat saling mempengaruhi. Komponen kognitif dari sikap bermukim adalah: bagaimana meyakini bahwa bantaran sungai dapat menunjang kehidupan mereka di Jakarta, dan bagaimana bantaran sungai berfungsi secara optimal dengan aspek fisiknya yang memenuhi kebutuhan tempat tinggal, berkegiatan MCK mandi,cuci, kakus setiap harinya. Komponen dari sikap mengenai afektif dalam perilaku bermukim, lebih mencangkup kepada aspek emosional pemukim, hal ini dapat termasuk tentang melihat seseorang yang telah tinggal lebih lama di bantaran sungai kemudian mempengaruhinya untuk tinggal di bantaran sungai, dan berperilaku seperti membuang sampah di sungai serta merusak bantaran dengan mendirikan bangunan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Harihanto 2001 menurut teori belajar sosial, sikap dapat terbentuk atau berubah karena meniru orang lain. Aspek perilaku dalam sikap lebih mengarah kepada maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu pada sesuatu, dalam hal ini dijelaskan tentang bagaimana seseorang ketika berusaha mencari tempat bermukim. Aspek perilaku dalam sikap mengarahkan bagaimana seseorang meyakini dan kemudian bertindak berdasarkan fakta atau pengaruh yang membuat seseorang bersikap untuk bertempat tinggal di bantaran sungai, kemudian diaktualisasikan kedalam perilaku bermukimnya. Komponen dalam sikap pada umumnya berinteraksi secara sistematis ketika mempengaruhi seseorang dalam bersikap. Komponen tersebut mempengaruhi melalui fakta pengetahuan dan keyakinan dalam perilaku bermukim di bantaran sungai. Tentang unsur dalam bermukim dibantaran sungai, diperlihatkan dalam Gambar. 1. Gambar 1. Unsur-Unsur dalam Bermukim Di Bantaran Sungai Gambar diatas memperlihatkan tentang bagaimana sikap dapat dipengaruhi secara kognitif afektif dan maksud untuk berperilaku di dalam bermukim di bantaran sungai. Akan tetapi Sears 1985 menilai bahwa unsur- unsur tersebut dapat menjadi bagian yang terpisah kedalam kompleksitas kognitif, kesederhanaan eveluatif serta sikap dan perilaku. 1. Kompleksitas Kognitif: Salah satu unsur dari berbagai sikap dalam tingkat kepentingan yang berbeda, sikap juga dapat berupa hal-hal yang rumit dan melibatkan sejumlah kognisi yang mempunyai perbedaan dalam hubungannya dengan inti masalah dan dalam komponen penilaiannya. Segala macam kesulitan yang ditimbulkan kenyataan bahwa kognisi-kognisi ini berhubungan dengan satu sama lain dan berhubungan dengan banyak komponen lainnya. Pendapat bahwa bantaran sungai dapat menerima penambahan pemukim lagi dan menghasilkan keuntungan, dapat menghasilkan sikap yang terkait dengan tindakan lainnya bagi pemukim, seperti mendirikan bangunan. 2. Kesederhanaan Evaluatif: Perbandingan pada fakta yang ada membuat fungsi fakta dapat diubah dengan adanya peran konfirmatory atau adanya perbandingan baru yang dihasilkan dari fakta terbaru. Pada kondisi ini sikap Bantaran Sungai Berbahaya Untuk Dijadikan Pemukiman Mencukupi Kebutuhan Sungai Dalam Kondisi Optimal akan berbeda. Sikap bila ditetapkan, akan jauh lebih sulit berubah dibandingkan keyakinan akan fakta, karena seseorang tidak akan mengubah sikapnya sebelum terlebih dahulu mengadakan perlawanan dan tanpa dihadapkan pada sejumlah tekanan yang sungguh-sungguh. Hal tersebut ditambah dengan adanya komponen evaluatif yang mengubah dinamika tersebut, membuat proses perubahan sikap menjadi lebih sulit. Salah satu mengapa penilaian ini dapat menjadi lebih sulit karena penilaian tentang objek sikap dapat berlangsung lama setelah dampak yang dihasilkannya dilupakan. Komponen afektif lebih dapat bertahan dan lebih pokok daripada komponen kognitif. Hal ini karena fakta yang terdapat dibantaran sungai walaupun perbuatan seperti membuang sampah dan mendirikan bangunan dapat mengakibatkan kerusakan dan bencana, tetapi fakta tersebut tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat oleh pemukim. 3. Sikap Dan Perilaku: Komponen ketiga dari sikap menyangkut pada kecenderungan berperilaku, dalam kasus perilaku bermukim jika seseorang diyakinkan pada bahaya untuk berperilaku merusak bantaran, maka yang selanjutnya apakah perilaku yang diterapkan oleh pemukim merupakan perilaku yang lestari atau bahkan mulai pindah dan tidak menggunakan bantaran sungai lagi. Hal ini disebut sebagai ketidaksesuaian perilaku nyata dengan sikap. Banyak pemukim yang mengetahui tentang berbahayanya untuk tinggal dan merusak bantaran sungai. Tetapi tetap tidak memiliki keinginan untuk pindah atau melestarikan bantaran sungai. Perilaku bermukim mereka tidak dikendalikan dengan adanya kognisi dan penilaian negatif mereka tentang bermukim di bantaran sungai. Hal ini menyimpulkan bahwa komponen perilaku dari sikap tidak selalu sesuai dengan komponen afektif dan kognitif. Perilaku Bermukim Melihat asal katanya, bermukim memiliki beberapa padanan yang sesuai menurut terjemahan dari kata settlement. Berdasarkan Oxford advanced learner dictionary 2000 yaitu, a place where people have come to live and make their home, esspecialy where few or no people lived before dan yang selanjutnya adalah: the process of the people making their homes in a place. Melalui definisi baku kamus tersebut diketahui beberapa komponen yang dapat melatarbelakangi seorang pemukim untuk bermukim di suatu tempat. Defenisi pertama disebutkan bahwa bermukim berkaitan dengan perencanaan dan pemilihan sebuah lokasi guna dijadikan tempat bermukim. Selanjutnya, bermukim merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk membuat hunian di sebuah tempat. Hal tersebut menunjukan bahwa, bermukim memiliki komponen diantaranya adalah: merencanakan, membangun, dan menghuni, yang didalamnya terdapat juga beberapa aktivitaskomponen pendukung guna mendapatkan hunian yang sesuai keinginan pemukim, seperti perilaku MCK serta pemeliharaan bangunan, aktivitas ekonomi, aktivitas kesehatan, aktivitas sosial dan mempertahankan bangunan. Kondisi tersebut didefinisikan oleh Rosen 1985 sebagai sebuah upaya untuk mencapai standar hunian yang layak. Komponen perilaku pemukim yang pertama dalam definisi tersebut adalah: perilaku merencanakan. Usaha tersebut diantaranya, mencari lokasi yang sesuai, mencari bangunan dan lingkungan yang nyaman, kemudian menyesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimiliki oleh calon pemukim. Kriteria tersebut disebutkan Rosen 1985 sebagai komponen yang harus dipenuhi dari sebuah hunian, yang diantaranya. Memiliki fasilitas air, memiliki dapur, konstruksi atap dan bangunan yang kuat, dan harga yang terjangkau, akan tetapi kondisi tersebut merupakan kondisi ideal dari pemukim yang berkecukupan. Berbeda hal nya dengan perilaku pemukim yang tidak berkecukupan. Hal yang dikemukakan oleh Abrams 1964 sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal yang harus tetap dipenuhi. Melalui pendapat Abrams dapat diterjemahkan bahwa perilaku bermukim dapat terbentuk melalui adanya keputusan pemukim untuk tetap tinggal, meskipun tidak adanya sumber daya sebagai penunjang. Hal ini dapat dilihat melalui adanya perilaku bermukim yang menempati lahan atau fasilitas publik yang tidak seharusnya berpenghuni seperti bantaran sungai. Lebih jauh lagi Abrams memberikan alasan bahwa penetapan keputusan untuk bertahan pemukim lebih karena adanya alasan substansial mengenai ketiadaan sumber daya pemukim di daerah asalnya. Pada aspek ini perilaku pemukim berdampak pada terciptanya motivasi pendatang lain untuk bertempat tinggal di bantaran sungai yang memiliki peluang untuk merusak bantaran sungai dengan cara mendirikan bangunan Action, 2006. Perilaku bermukim merupakan hasil dari perencanaan pemukim mengenai fungsi bangunan yang didirikan. Aspek ini memperlihatkan fase selanjutnya dari perilaku pemukim yaitu merealisasikan perencanaan dengan cara membangun atau menyewa bangunan guna ditempati. Bagian ini juga memperlihatkan jenis kerusakan pada bantaran sungai akibat dari perilaku bermukim. Perilaku pertama yaitu membangun hunian, komponen didalamnya, ialah, pemilihan material bangunan. Pengerjaan bangunan pemukiman pada umumnya dilakukan secara swadaya dengan pemukim lain menggunakan material yang didapatkan dengan harga murah. Disain pemukiman pada umumnya, bagi pemukim yang memasuki badan sungai adalah: menggunakan disain rumah panggung atau rumah dua lantai hal tersebut dilakukan pemukim guna mengantisipasi banjir. Hal yang sama dikatakan Action 2006 bahwa pemukim di bantaran sungai pada umumnya meninggikan beberapa meter konstruksi bangunannya dan juga meletakan beberapa kantung pasir guna mencegah banjir. Lebih jauh lagi menurut Dent dan Roberts 1974 bahwa terdapat beberapa aspek yang biasa di kerjakan untuk pemukiman dengan rawan bencana seperti di bantaran sungai. 1 penyesuaian struktur bangunan dengan tempat berdirinya bangunan 2 klasifikasi elemen bangunan. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: pada penyesuaian disesuaikan dengan area pemukiman yaitu bantaran sungai. Tipe rumah yang berdiri di bantaran sungai pada umumnya menurut Wijanarka 2008 adalah rumah yang ditopang dengan banyak tiang. Hal tersebut disesuaikan dengan ketinggian maksimal air sungai ketika hujan turun. Adapun tinggi tiang bangunan berkisar satu sampai dua meter. Dijelaskan selanjutnya dengan Gambar 2. Tipe dari bangunan yang didirikan di bantaran sungai Gambar 2. Tipe Bangunan Yang Didirikan Di Bantaran Sungai Bagian selanjutnya adalah penentuan arah hadap muka bangunan. Yang dimaksud disini adalah bidang bangunan yang merupakan pintu masuk utama ke dalam bangunan. Menurut Wijanarka 2008 arah hadap muka bangunan tersebut terkait dengan perilaku pemukim mengenai magnet lingkungan misalkan bangunan di tepi sungai yang sedang berkembang akan membuat arah hadap muka bangunan mengarah pada jalan besar, sedangkan pada pemukim di bantaran sungai Jakarta arah hadap muka bangunan cenderung mengarah pada sungai dengan demikian jika bangunan tersebut merupakan bangunan yang telah didirikan sejak lama maka pencemaran di bantaran sungai merupakan perilaku yang disengaja. Klasifikasi elemen bangunan pemaparan akan dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: 1 pondasi bangunan 2 tembokdinding 3 atap dan lantai bagian atas. Pembahasan mengenai bangunan pemukim di bantaran sungai tergantung pada lahan bantaran. Tegaknya pondasi bangunan diatas lahan bantaran menyebabkan pengerjaan elemen lain seperti tembok dan atap dapat dengan mudah dikerjakan. Menurut Soedibyo dan Soeratman 1980 yang sesuai dengan kondisi lahan bantaran adalah jenis pondasi tiang pancang. Hal tersebut disebabkan karena lahan berdirinya bangunan memiliki karakteristik diantaranya adalah: 1 keadaan muka air tanah sangat tinggi hingga dapat mengakibatkan pelaksanaan pekerjaan pondasi menjadi sulit 2 keadaan lapisan tanah yang memiliki daya dukung yang berbeda. Adapun pengerjaan selanjutnya dalam mendirikan bangunan adalah membuat dinding. Menurut Utomo 2006 dinding pada umumnya dibuat dari bahan batu bata atau batako dengan perekat spesi dengan campuran semen pasir atau kapur. Pembuatan dinding juga dapat menggunakan bahan batu kali dari bawah sampai ke atas, dengan penggunaan bahan tersebut dinding menjadi tebal dan kuat. Surjamanto 2002 mengemukakan tentang pembuatan atap bangunan bahwa, 1 struktur atap dapat dipisahkan maupun disatukan dengan bangunan karena yang terpenting kedua struktur tersebut harus bersinergi 2 struktur atap pada umumnya berbeda dengan struktur bahan bangunan 3 struktur atap terletak paling atas untuk menerima beban sehingga berat atap perlu dipertimbangkan 4 atap bangunan mempunyai fungsi sebagai pelindung, mereduksi dari pengaruh iklim dan nilai estetika. Lebih lanjut diungkapkan mengenai aspek yang ada pada saat merancang atap adalah: 1 aspek yang timbul dari gaya-gaya akibat, berat sendiri, berat muatan contohnya: berat atap, berat pekerja, beban angin 2 aspek pengaruh alam secara langsung dengan pengaruh iklim maupun pengaruh tempratur. Setelah mengetahui aspek tersebut, hal selanjutnya adalah mengetahui unsur-unsur atap yang terdiri dari: 1 komponen struktur yang terdiri dari: a kuda-kuda b rangka atap c jurai. 2 ikatan angin 3 gording rangka di bawah rangka genteng dan nok bagian rangka di ujung paling atas 4 penahan untuk atap asbes 5 penutup atap yang terdiri dari: a logam: seng, alumunium, tembaga b alami: ijuk, nipahkelapa, lalang, sirap c buatan yang bukan logam: genteng tanah liat, pres beton, tegola asbes. Perbedaan jenis bangunan di bantaran sungai dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu, permanent, semi permanent, dan tidak permanent. Melalui bahan dan komponen yang telah disebutkan perbedaan ketiga jenis tersebut dapat dibedakan melalui sifat bangunan dan jenis material yang digunakan. Pada bangunan permanent memiliki prinsip tidak dapat dirubah bentuk maupun posisinya sedangkan pada bangunan semi permanent bentuk dan posisinya dapat dirubah sebagian karena pemilihan material bangunan yang sebagian terdiri dari bambu atau kayu, begitu juga dengan bangunan tidak permanent keseluruhan material bangunan terdiri dari komponen yang dapat dirubah bentuk maupun posisinya. Komponen tersebut diatas sesuai dengan penelitian Souza 2000 yang mendefinisikan informal settlement sebagai sebuah keluarga atau seseorang yang tidak memiliki sumber daya dalam memenuhi kebutuhan bermukimnya, sehingga memilih untuk menempati lahan yang digunakan sebagai fasilitas publik. Kondisi yang diungkapkan oleh Souza tersebut berhubungan dengan adanya fakta yang bahwa seorang manusia akan mencari tempat yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, dengan begitu komponen ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Souza 2000 dan Abrams 1964 bahwa pemukiman informal atau pemukiman kumuh merupakan upaya manusia dalam mempertahankan hidupnya, yang diterapkan pada pendirian tempat tinggal sementara yang dibuat sendiri dengan menggunakan sumber daya atau material yang tersedia. Realiasi dari perencanaan pemukim selanjutnya, dengan cara menyewa bangunan di bantaran sungai. Sebagian besar pemukim di bantaran sungai berprofesi sebagai pekerja kasar atau buruh pabrik dengan jumlah upah yang terbatas, hal tersebut yang menyebabkan para pemukim penyewa rumah di bantaran berusaha untuk menghemat segala bentuk aktivitas yang dapat memboroskan upah yang diterima. Salah satu bentuk penghematan tersebut dengan cara menyusutkan jumlah pengeluaran pada aspek transportasi menuju lokasi pekerjaan, dengan menyewa rumah di tempat terdekat dengan lokasi kerja maka hal tersebut dapat diterapkan. Contoh dari pendapat ini adalah: pada bantaran sungai di Jakarta Utara, banyaknya pabrik yang berada di daerah tersebut menghidupkan aktivitas ekonomi lain seperti sewa rumah yang diperuntukan bagi pekerja di pabrik tersebut. Nunnualy 2009 mengatakan bahwa pertumbuhan pabrik di sepanjang bantaran sungai adalah salah satu penyebab meningkatnya pemukim yang mendirikan bangunan selain perumahan. Meningkatnya realisasi pembangunan pemukiman di bantaran sungai mengakibatkan kerusakan pada bantaran yang diantaranya adalah: Semakin sempitnya wilayah bantaran sungai karena banyaknya pemukim yang mendirikan bangunan melebihi jarak aman sub DAS yaitu 20-25 meter. Semakin menyempitnya tanah di bantaran membuat bangunan yang berdiri diatasnya memiliki peluang hancur akibat erosi sungai, hal tersebut karena, struktur tanah bantaran tidak diperuntukkan guna berdirinya bangunan. hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Ragsdale et al, 2008 mengenai kerusakan lain yang terjadi akibat erosi sungai pada pemukiman di sekitarnya. Erosi pada tepi sungai menurutnya juga, beresiko pada banjir yang dialami pemukim di bantaran, kerusakan bantaran juga berdampak pada kerugian besar seperti hilangnya infrastruktur pribadi yang merupakan aset bagi pemukim di bantaran. Curah hujan yang semakin besar menyebabkan sungai di Jakarta mengalami banjir setiap tahunnya. Perilaku bermukim juga mempengaruhi tipe kerusakan yang terjadi pada bantaran sungai sehingga menyebabkan banjir yang berbeda. Menurut Action 2006 terdapat klasifkasi banjir yang disebabkan oleh perilaku bermukim yang diantaranya adalah: 1 banjir yang terkonsentrasi di daerah tertentu Localised flooding hal ini disebabkan pemukim yang telah lama bermukim di bantaran sungai dan jenis aktivitas pemukim yang menyebabkan kerusakan pada bantaran seperti parit yang tersumbat akibat sampah yang dibuang dan aliran air yang tertutupi akibat bangunan yang didirikannya. 2 banjir kecil small stream memiliki ciri-ciri yaitu air yang cepat meningkat akibat hujan besar, hal ini juga disebabkan sampah yang di buang pemukim tidak sesuai tempatnya. 3 banjir di sungai besar major rivers merupakan banjir besar yang dihasilkan akibat alih fungsi lahan bantaran, yang dapat mengubah aliran air dari sungai ke sungai sehingga menyebabkan banjir di bantaran sungai dan daerah pesisir seperti di Jakarta Utara. 4 banjir di musim hujan wet season flooding merupakan banjir dengan intensitas waktu yang lebih lama, hal ini karena kombinasi antara air hujan dan air sungai yang meningkatkan debit air pada rawa buatan, yang secara geologis terbentuk didalam patahan bantaran. Meningkatnya populasi pemukim di bantaran sungai mempengaruhi kurangnya ruang terbuka hijau di Jakarta RTH. Idealnya bagi kota Jakarta kebutuhan sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang RUTR 2005 adalah: sebesar 40 dari luas kota Jabotabek. RTH sendiri terbagi menjadi beberapa bagian dan bantaran sungai masuk kedalam kategori RTH konservasi. Secara sistem, RTH merupakan bagian dari kota yang tidak terbangun dan berfungsi untuk menunjang kenyamanan dan kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam Sugandhi dan Hakim 2007. Semakin padatnya bangunan di bantaran sungai menghilangkan beberapa fungsi seperti ekologis dan estetika. Fungsi ekologis lahan bantaran diperuntukan sebagai, lahan serapan air yang berlebih sehingga intensitas hujan tidak akan menyebabkan banjir atau bencana lainnya. Hal ini dikatakan oleh Kornblum dan Julian 1989 sebagai bentuk dari kerusakan lingkungan environmental stress ketika manusia sudah berinteraksi dengan lingkungan maka perubahan akan terjadi, pada udara, air dan tanah. Pencemaran pada udara merupakan dampak dari perilaku bermukim pada pembuangan sampah. Sampah pada umumnya diperlakukan dengan cara berbeda- beda oleh pemukim, sampah yang dibiarkan berada di ruang terbuka dan sampah yang di bakar. Sampah juga menjadi permasalahan yang berbeda ketika pemukim membuang sampah atau limbah dengan cara menghanyutkan ke sungai. Hal tersebut menjadi ancaman besar bagi kelangsungan ekosistem yang lestari, pembuangan limbah olahan seperti residu, plastik dan pestisida mengakibatkan kerusakan pada fungsi lingkungan terutama dampaknya pada manusia. Berdekatannya pemukiman dengan industri berakibat pada kualitas udara dan berdampak pada kesehatan pemukim yang berada dilingkungan tersebut. Adapun komponen yang termasuk dalam pencemaran udara adalah: hydrocarbon, karbondioksida, nitrogen serta sulfur hal tersebut belum termasuk adanya industri kecil seperti pengasapan ikan yang membuat udara menjadi kotor dengan adanya asap serta jenis besi tertentu yang mencemari pemukiman yang dekat dengan wilayah industri, contohnya pada pemukim di bantaran sungai daerah Jakarta Timur. Pencemaran tersebut memiliki efek pada manusia dengan adanya efek jangka panjang pada kesehatan, seperti daya tahan tubuh yang semakin melemah kemudian bronchitis, emphysema dan kanker paru-paru. Perilaku bermukim juga menjadi sebab tercemarnya air tanah. Contoh yang dapat diangkat pada pembuangan limbah disepanjang sub DAS Ciliwung dan menuju Jakarta Timur, penelitian menemukan tingkat kejenuhan Timbal pb pada hasil ikan tangkapannya. Limbah berbahaya lainnya yang menjadi permasalahan dalam pemukiman adalah: perilaku MCK pemukim. Pada rumah tangga yang memiliki tingkat pendapatan diatas rata-rata, konsumsi air tanah yang tercemar dapat diminimalkan dengan adanya pembelian air bersih yang dapat menjadi pengganti air guna aktivitas MCK. Akan tetapi dengan rumah tangga miskin yang terjadi adalah: keterpaksaan untuk mengkonsumsi air tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Disepanjang bantaran sungai air yang dikonsumsi sehari-hari merupakan air yang sudah tercemar dengan adanya pembuangan limbah domestik rumah tangga. Kompas 2004. Kekurangan maupun pencemaran pada air tanah diperparah dengan kesulitan akses pada air bersih dipemukiman. Adapun kesalahan tersebut menurut Baker et al 2008 akibat kesalahan pemerintah dan elemen terkait didalamnya yang tidak mampu mendistribusikan secara merata kebutuhan akan air bersih pada seluruh masyarakat. Pencemaran yang berikutnya terjadi adalah pencemaran pada tanah pemukiman, tanah terdiri dari unsur hara yang dapat ditanami oleh tumbuhan dan pepohonan karena alih fungsi lahan bantaran menjadi pemukiman menyebabkan hilangnya nutrisi dan unsur hara yang terkandung didalam tanah. Kerusakan atau pencemaran pada tanah di bantaran juga menjadi ancaman bagi pemukim karena dengan mengalirnya air lautan kedalam sungai merupakan pertanda bahwa tanah bantaran tidak lagi dapat membendung air lautan yang menyebabkan terkontaminasinya air sungai dengan air laut, dengan begitu para pemukim yang mengkonsumsi air sungai juga mengkonsumsi air yang tercemar dengan limbah dan air laut. Fungsi lain yang juga hilang pada saat bantaran dipenuhi dengan bangunan pemukiman adalah: hilangnya fungsi estetika atau keindahan pada bantaran sungai, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Bolay 2006 pemukiman kumuh tidak hanya dipandang sebagai sebuah cara berbahaya seseorang untuk hidup akan tetapi pemukiman kumuh dapat juga dilihat sebagai sebuah solusi dan upaya pemukim untuk berkreasi secara ekonomis dan ber inovasi secara sosial. Walaupun sebagian besar pemukim tidak memiliki tanah yang mereka tempati Lasserve dan Royston dalam Bolay 2006. Eksistensi perilaku bermukim diketahui dengan adanya kegiatan maupun aktivitas pemukim pada saat menghuni di bantaran sungai. kegiatan yang termasuk dalam perilaku menghuni di bantaran sungai adalah: 1 perilaku membuang sampah 2 Perilaku MCK 3 perilaku melestarikan bantaran sungai. Pada komponen lainnya aktivitas ekonomi pemukim terbagi kedalam dua sektor yaitu, sektor formal dan sektor informal. Pada sektor formal para pemukim menjadi, pegawai di perkantoran atau buruh di pabrik-pabrik. Akan tetapi mayoritas pekerjaan para pemukim pada umumnya berada di sektor informal, dengan beberapa profesi diantaranya ialah, sebagai pedagang di rumah makan, pedagang kaki lima dan pemilik toko kelontong. Aktivitas ekonomi pemukim yang terkonsentrasi pada sektor informal disebabkan karena skill individu para pemukim yang terbatas. Tuntutan pekerjaan di Jakarta terkonsentrasi pada penguasaan skill individu berbasis teknologi seperti komputer, dan bahasa asing. Persyaratan tersebut ditambah dengan terbatasnya kemampuan industri untuk menyerap tenaga kerja. Hal ini akhirnya memicu kebutuhan pemukim untuk mengubah konstruksi pemukiman mereka dengan menyertakan konsep usaha, seperti rumah makan, bengkel, dan toko-toko kelontong warung yang digabungkan dengan rumah tinggal. Penyakit Endemic, seperti diare, demam berdarah dengue DBD maupun malaria dihasilkan akibat perilaku bermukim. di bantaran sungai seperti, membiarkan genangan sampah yang berada di bantaran dan jarak rumah yang berdekatan, merupakan rawan penularan penyakit DBD karena nyamuk pembawa penyakit tersebut memiliki karakteristik jarak terbang yang pendek, maka dengan semakin padatnya penduduk di bantaran penyakit tersebut dapat menyebar dengan mudah. Kebutuhan mengenai pemukiman yang sehat sebenarnya dibutuhkan oleh tiap pemukim tanpa terkecuali begitu juga disetiap bantaran sungai di Jakarta tidak semua perilaku menggambarkan tentang perilaku merusak. Gerakan masyarakat peduli lingkungan merupakan perilaku lestari yang diwujudkan oleh pemukim di bantaran sungai. Hal tersebut dapat terlihat pada bantaran sungai Pesanggrahan di Jakarta Selatan. Peran gerakan tersebut sangat berpengaruh karena mampu mengkordinasikan masyarakat di bantaran sungai Pesanggrahan untuk berpartisipasi secara aktif pada kelestarian di bantaran sungai. Perilaku lestari tersebut diwujudkan dengan cara melakukan pemindahan bangunan yang sudah memasuki badan sungai dan juga penanaman pepohonan yang dapat membuat ekosistem di bantaran sungai kembali lestari. Berdasarkan sintesa beberapa teori yang telah dikembangkan kedalam pen definisian sebuah konsep. Maka definisi dari perilaku bermukim adalah: upaya seseorang untuk mendapatkan tempat tinggal dan bertahan hidup melalui beberapa tahapan seperti, merencanakan, membangun, berinvestasi, dan menghuni. Dengan cara menyesuaikan diri pada tempat dimana mereka bermukim melalui penggunaan sumber daya, baik dari diri sendiri maupun lingkungan secara illegal maupun legal, yang digunakan sebagai penunjang kehidupan untuk diaplikasikan pada bentuk bangunan dan kondisi lingkungan ditempat mereka bermukim. Komponen Komponen Perilaku Bermukim 1. Merencanakan Pemukiman Di Bantaran Sungai Perilaku bermukim merupakan manifestasi dari upaya pemukim dalam merencanakan hingga menghuni bantaran sungai. Aspek perencanaan ini berkaitan dengan kebutuhan pemukim dalam bertempat tinggal, yang diantaranya adalah: mendapatkan fasilitas yang dapat diakses guna meningkatkan pendapatan mereka walaupun memiliki resiko yang besar, perencanaan untuk bermukim menurut ESCAP dan UNHABITAT 2008 telah dipertimbangkan secara matang oleh pemukim. Adapun yang termasuk dalam aspek perencanaan pemukim ialah, 1 pemilihan lokasi 2 jarak antara bangunan dengan sungai 3 biaya terjangkau Pemilihan lokasi dapat dikategorikan kedalam variabel penghubung diantara keinginan seorang pemukim untuk berdekatan dengan lokasi pekerjaan atau aktivitas bisnisnya Harihanto 2001 atau kondisi yang kedua adalah: pemilihan dilakukan berdasarkan lahan atau sumber daya yang tersedia, dengan begitu pemilihan lokasi bermukim menjadi aspek yang didasari oleh persepsi dari pemukim berkaitan dengan kondisi finansial pemukim. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh ESCAP dan UNHABITAT 2008 kedekatan dengan tempat kerja dan kesempatan mendapatkan pekerjaan menjadi alasan kuat dalam perencanaan pemukim. Hal tersebut yang berusaha diimplementasikan oleh pemukim. Pertimbangan memilih tempat tinggal umumnya akan mencantumkan alasan kuat pemukim seperti, kedekatan dengan pasar, pabrik, daerah usaha, jaringan transportasi dan lokasi konstruksi, hal tersebut berpengaruh pada harapan untuk dapat mendapatkan penghasilan yang lebih besar, kesempatan kerja yang lebih baik, dan biaya transportasi yang lebih rendah. Terungkap alasan para pemukim mengenai perencanaan bermukim mereka yang tidak menempatkan program perumahan pemerintah sebagai prioritas, selain karena pesimisme pemukim mengenai kondisi dan fasilitas juga harga, rumah dari program perumahan pemerintah umumnya dibangun terlalu jauh dari pusat kota, area industri, sekolah, klinik, dan pusat pelayanan sosial. Hal tersebut yang menyebabkan pemukiman di bantaran sungai tetap memilih bermukim di bantaran sungai meski seberapapun kumuhnya. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 9 Tahun 1999 http:air.bappenas.go.id mengatakan tentang pentingnya kelestarian DAS maupun bantaran sungai. melalui Kepres tersebut diketahui jarak yang sesuai untuk bertempat tinggal dari bantaran sungai adalah: 20-25 meter menjauhi bantaran sungai. akan tetapi, bangunan yang berada dibantaran sungai berada di bagian badan sungai hal tersebut membahayakan tidak hanya bagi pemukim tapi juga tanah bantaran akan lebih rapuh dan menyebabkan kelongsoran pada bantaran sungai serta menyempitnya sungai. Pemilihan jarak antara bangunan dengan sungai merupakan perilaku pemukim yang dikondisikan dalam keadaan terpaksa. Hal tersebut diungkapkan oleh Sengupta dan Sharma 2009 sebagai security situation yang tidak terpikirkan lagi karena pada faktanya seorang pemukim yang memiliki keuangan yang lebih baik akan memilih bertempat tinggal yang menjauhi sungai. Hal senada diungkapkan oleh Marx dalam Giddens 2007 bahwa pemukim yang sedang dalam bentuk terasing dan membahayakan akan tetap merasa nyaman karena adanya unsur alamiah yang tersedia bebas untuk digunakan sebagai tempat berlindung. Ahli keuangan di bidang perumahan mengasumsikan 25-30 dari penghasilan rumah tangga dialokasikan untuk pembayaran sewa rumah ESCAP dan UNHABITAT 2008. Hal tersebut berlaku hanya untuk pemukim dalam golongan kelas menengah untuk pemukim, di bantaran sungai sebagian besar penghasilan digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, biaya kesehatan transportasi dan kebutuhan darurat lainnya. Program rumah yang ditawarkan oleh pemerintah bagi pemukim tidak terjangkau dalam artian, sulit untuk pemukim mengalokasikan anggaran guna pembayaran cicilan dari penghasilan para pemukim. Melalui adanya kebutuhan tersebut manusia berusaha untuk mencari sumber daya yang dibutuhkan guna mendapatkan tempat tinggal. Berbagai tingkatan mengenai jenis bangunan perumahan disesuaikan dengan kemampuan pemukim, pembagian ini dipisahkan oleh Abrams 1964 menjadi beberapa kriteria, mendirikan bangunan yang bersifat permanent, semi permanent atau non permanent. Perilaku mendirikan tersebut dijelaskan juga dilakukan oleh pemukim sesuai dengan kemampuannya sendiri. dengan begitu pilihan untuk mendirikan bangunan dengan kondisi permanent dan semi permanent diputuskan oleh pemukim dengan mempertimbangkan kemampuan dari sumber daya yang dimiliki. Menurut Chimhowu dan Hulme 2006 seorang pemukim akan berpindah menjadi pemukim tetap jika memiliki tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang sesuai dengan yang di inginkan. Adapun lebih lanjut dipaparkan juga oleh Souza 2001 seorang pemukim yang berada dilahan yang menjadi tanah Negara dan menggunakan fasilitas publik, tetap memiliki status terhadap bangunan yang ditempatinya, yaitu sewa, membuat sendiri, dan membeli. Melalui penjelasan tersebut pemukim di bantaran sungai diasumsikan memiliki kondisi yang tidak sama pada status bangunan yang mereka miliki. Kondisi tersebut akan mempengaruhi pada perilaku bermukim yang ditampilkan, karena seorang pemukim yang menyewa rumah tidak akan bermukim secara penuh dan curahan waktu tinggal pemukim sewa tersebut menggambarkan perilaku bermukim yang intensitasnya terputus, berbeda halnya dengan pemukim yang menetap di bantaran, perilaku merusak bantaran sungai akan secara kontinu dilakukan. Bangunan yang didirikan di bantaran sungai umumnya memiliki keragaman dari segi fungsi. Fungsi pertama sebagai bangunan yang didirikan sebagai rumah tinggal, kemudian sebagai bangunan dengan aktivitas ekonomi seperti rumah dengan toko kelontong dan pabrik. Hal ini menyebabkan perbedaan jenis biaya dalam pendirian bangunan. Sidik 2000 mengungkapkan lebih jauh perihal biaya-biaya yang harus dikeluarkan guna mendirikan suatu bangunan biaya tersebut diantara lain adalah: 1. Biaya utama komponen bangunan: yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membayar seluruh unsur pekerjaan yang berkaitan dengan dengan pembuatan konstruksi utama bangunan a. Biaya untuk pekerjaan persiapan pemagaran proyek, pembersihan, direksi keet, barak kerja b. Biaya untuk pekerjaan pondasi mulai dari galian pondasi hingga urugan tanah kembali c. Biaya untuk pekerjaan betonbeton bertulang pembuatan lantai kerja, sloof, kolom, balok, dinding, beton baik di luar maupun di dalam, plat, lantai serta atap d. Biaya untuk pekerjaan pembuatan struktur rangka atap kuda-kuda dan gording baik dengan menggunakan baja atau kayu, termasuk didalamnya pekerjaan pengawetan dengan pelapis cat atau sejenisnya. 2. Biaya komponen material bangunan: yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membayar seluruh unsur-unsur pekerjaan yang berkaitan dengan elemen penyelesaian akhir bangunan yang dititikberatkan pada aspek arsitektural, yang meliputi. a. Biaya untuk pekerjaan atap meliputi pemasangan kaso, seng, alumunium foil dan tripleks b. Pekerjaan dinding luar meliputi pembuatan rangka dinding hingga pemberian lapisan permukaan, baik dari cat maupun penyelesaian material lainnya c. Biaya untuk pekerjaan pintu dan jendela yang menempel pada dinding luar. Pintu dan jendela tersebut dapat terbuat dari kayu, alumunium, kaca, danatau jenis material lainnya d. Pekerjaan dinding dalam. Biaya untuk pekerjaan dinding dalam meliputi, pembuatan rangka dinding hingga pemberian lapis permukaan, baik dari cat maupun penyelesaian material lainnya e. Biaya untuk pekerjaan pintu dan jendela yang menempel pada dinding dalam. Pintu dan jendela tersebut dapat terbuat dari kayu, alumunium kaca, dan jenis material yang lain. f. Biaya untuk pekerjaan langit-langit meliputi pembuatan rangka plafon hingga pemberian lapisan permukaan, baik dari cat mapun penyelesaian material lainnya g. Biaya untuk pekerjaan lantai meliputi pembuatan lantai kerja hingga pemberian lapisan permukaan Pembuatan bangunan di bantaran memiliki aspek relatif dalam hal penilaian harga. Hal tersebut karena keragaman jenis bangunan di bantaran. Dengan mengetahui biaya yang dikeluarkan pada komponen tersebut maka akan diketahui alasan dari pemukim untuk tetap bertempat tinggal di bantaran sungai. Sebelum membangun suatu bangunan terlebih dahulu seorang pemukim harus memiliki jumlah anggaran biaya secara teliti. Hal tersebut untuk menghindari hambatan-hambatan yang umumnya terjadi di wilayah pemukiman yang di tuju. Hambatan tersebut mencangkup perbedaan harga bahan dan upah pekerja di lokasi, hambatan lain ialah, iklim di suatu lokasi yang mempengaruhi waktu penyelesaian suatu pekerjaan dan mengakibatkan pertambahan biaya pada upah pekerja dan bahan. Menurut Mukomoko 1977 sebelum mendirikan bangunan maka seorang pemukim atau pemilik harus memiliki 1. Rencana pekerjaan 2. Daftar upah 3. Daftar harga barang 4. Daftar analisa 5. Daftar banyaknya tiap pekerjaan 6. Daftar susunan harga biaya Akan tetapi apakah hal tersebut berpengaruh pada pemukim di bantaran sungai. keragaman bangunan di bantaran sungai Jakarta membuat keseluruhan aspek tersebut tidak diterapkan keseluruhan. Pada pembangunan rumah sewa, komponen tersebut kemungkinan digunakan oleh pemilik. Akan tetapi, bagi pemukim perumahan sangat sederhana tidak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sporn 1970 bahwa keseluruhan biaya bangunan pemukiman kumuh di bebankan pada pemukim itu sendiri. hal tersebut yang membuat pemukim mendirikan bangunan dengan material seadanya dengan kemampuan yang dimiliki. Senada dengan yang diungkapkan oleh Abrams 1964 bahwa kesulitan tersebut akibat adanya ketimpangan jauh antara pendapatan para pemukim dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika mendirikan bangunan. Hal tersebut memperlihatkan kaitan antara jenis pekerjaan pemukim dengan tingkat pendapatan dan juga pengaruhnya pada tipe bangunan pemukim itu sendiri. Salah satu definisi Rosen 1985 mengenai perilaku bermukim adalah upaya seseorang dalam mencukupi kebutuhan akan hunian yang murah dan memiliki fasilitas-fasilitas pemukiman yang baik individu dan keluarganya. Komponen yang dipaparkan oleh Rosen merupakan upaya pemukim yang tidak memiliki kecukupan finansial sehingga usaha yang dilakukan adalah mencari rumah sewa yang sesuai dengan kondisi keuangan yang dimilikinya. Dalam aspek ini juga disebutkan mengenai seorang pemukim yang menjadi pemilik bangunan landlords. Hal ini juga dikemukakan oleh Newman 2005 mengenai pemilik bangunan sewaan. Adapun komponen lain yang termasuk didalamnya adalah, kualitas dari rumah dan kualitas pemukim disekitarnya. Kualitas dari rumah sewaan dikaitkan oleh Abrams 1964 dengan upaya seseorang untuk beradaptasi dengan keadaan di rumah sewaan. Kondisi yang ada pada umumnya adalah, 1 berbagi ruangan 2 kekurangan fasilitas personal. Pendatang yang menyewa hunian di bantaran sungai seringkali datang secara berkelompok, mereka memiliki tujuan bekerja secara jangka pendek maupun jangka panjang hal lain adalah pendatang yang menumpang sementara dengan kerabat yang juga menyewa hunian. Cara ini dilakukan untuk menghemat dana yang mereka miliki maka diputuskan untuk membagi biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan jumlah penghuni didalamnya. Dampak yang dihasilkan dari sewa rumah dengan jumlah penghuni yang melebihi kapasitasnya adalah, kekurangan fasilitas secara personal, fasilitas tersebut meliputi kebutuhan air bersih, jumlah ruangan dan biaya yang harus ditanggung seperti biaya pemakaian listrik. Air bersih merupakan kebutuhan yang mendasar bagi pemukim, dengan semakin banyaknya pemukim yang ada di suatu rumah maka kebutuhan akan air bersih akan semakin meningkat. Sedangkan jumlah ruangan berpengaruh pada kenyamanan seseorang di dalam suatu rumah. Ruangan yang diisi oleh banyak orang akan dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya konflik diantara penghuni. Bolay 2006 dan Souza 2001 menjelaskan hal tersebut sebagai kegagalan untuk memenuhi fungsi rumah sebagai aktivitas personal dan tempat untuk berkreasi secara sehat.

2. Perilaku Bermukim Di Bantaran Sungai