1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Peningkatan konsentrasi CO
2
ke atmosfer menjadi salah satu penyebab pemanasan global akibat efek gas rumah kaca, sehingga membuatnya menjadi isu
yang ramai dibicarakan oleh masyarakat secara luas, indikatornya adalah terjadinya peningkatan temperatur udara permukaan bumi. Menurut laporan IPCC
2007, dari tahun 1906-2005 telah terjadi kenaikan temperatur udara permukaan bumi rata-rata 0.74
˚ C. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya CO
2
yang terperangkap di atmosfer bumi, sehingga konsentrasi karbon di atmosfer
meningkat secara tajam yang dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Salah satu yang marak diperbincangkan sebagai penyebab peningkatan
CO
2
di atmosfer adalah pembukaan kebun kelapa sawit terutama di Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar di dunia, karena dianggap bertanggung
jawab atas penggundulan hutan konversi hutan menjadi areal perkebunan, emisi karbon, dan hilangnya keragaman hayati. Akibatnya, muncul keluhan yang
meluas bahwa industri minyak sawit tidak berkelanjutan serta usul untuk menghentikan atau membatasi semua konversi lahan hutan di masa depan. Lebih
lanjut, isu pembukaan kebun kelapa sawit tersebut diposisikan sebagai penyebab signifikan terjadinya perubahan iklim, meskipun kita ketahui bersama bahwa
emisi CO
2
lebih banyak berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil untuk kepentingan industri, transportasi, listrik, dan sebagainya yang banyak dilakukan
oleh negara-negara maju seperti USA dan China Yulianti, 2009. Indonesia semakin menjadi “bulan-bulanan” dan kecaman negara-negara
luar sebagai penyebab efek GRK setelah didapati kenyataan banyaknya lahan gambut di Indonesia yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit,
sebagai dampak dari harga CPO yang terus menanjak. Konversi lahan gambut inilah yang membuat posisi Indonesia selalu terpojokan, karena secara hidrologis
lahan gambut berfungsi sebagai tempat penyimpanan air Andriesse, 1988 dalam Noor, 2001.
Melihat dari kenyataan yang menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan suhu udara inilah yang menyebabkan banyak Lembaga Swadaya Masyarakat
2 LSM yang melakukan orasi tentang keselamatan alam di masa depan. LSM-
LSM lingkungan tersebut memperjuangkan agenda “tanpa konversi” dalam upaya menghentikan konversi lahan hutan untuk pertanian, seperti yang disuarakan oleh
Green Peace World Growth, 2011.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengamanatkan dalam pasal 21 ayat 5
dan pasal 56, untuk menetapkan Peraturan Pemerintah PP tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut, yang pada intinya bahwa lahan gambut yang
mempunyai kedalaman 3m dilarang untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit dan sebaiknya dijadikan sebagai kawasan hutan lindung. Rancangan PP
Tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut telah disampaikan ke Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 11 Desember 2009 untuk harmonisasi
Yulianti, 2009. Pada Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani Letter of Intent
yang menjadi kerangka kerja Indonesia untuk menerima sumbangan keuangan dari Pemerintah Norwegia Carbon Trading dengan imbalan pelaksanaan
kebijakan pengurangan emisi, termasuk penangguhan semua konsesi baru untuk konversi gambut dan hutan alam selama dua tahun. Pada Juli 2010, Bank Dunia
mengusulkan kerangka kerja bagi keterlibatannya dalam sektor kelapa sawit, atas permintaan LSM lingkungan untuk memperketat kebijakan persyaratan dukungan
keuangan Kelompok itu bagi proyek Kelapa Sawit. Versi kerangka kerja yang telah direvisi diterbitkan pada Januari 2011 untuk dijadikan pegangan World
Growth, 2011. Pembatasan konversi kawasan hutan akan berdampak negatif pada
pertumbuhan ekonomi dan keamanan pangan di Indonesia, dan berdampak langsung terhadap penduduk miskin. Karena inilah, negara berkembang menolak
untuk memasukkan “tanpa konversi” dalam pendekatan kehutanan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Cancun pada Desember 2010 World
Growth, 2011. Pada tahun 2002, pertanian khususnya perkebunan meliputi 23 lapangan
kerja di pedesaan dimana sebagian besar penduduk miskin di Indonesia terdapat disana. Dalam hal ini perkebunan terbukti efektif untuk mengurangi angka
3 kemiskinan dan meningkatkan pendapatan para petani kecil. Meskipun terdapat
kampanye yang menentang industri kelapa sawit, kenyataannya produksi minyak sawit lebih berkelanjutan daripada minyak nabati lainnya Bank Dunia, 2010
dalam World Growth, 2011. Produksi minyak sawit menggunakan energi jauh
lebih sedikit, menggunakan lahan lebih sedikit, dan menghasilkan lebih banyak minyak nabati per-hektar dibandingkan dengan biji minyak lain seperti kedelai,
dan merupakan penyerap karbon yang efektif World Growth, 2011. Sebelum kebun kelapa sawit semakin terpojokkan sebagai penyebab utama
efek GRK, alangkah baiknya apabila dilakukan penelitian secara berkala untuk membuktikan kebenarannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
mengukur neraca karbon pada kebun kelapa sawit tersebut. Pada penelitian ini diukur neraca karbon pada kebun Panai Jaya dan Meranti Paham yang terletak di
kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran emisi CO
2
kebun kelapa sawit di Indonesia.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung neraca karbon kebun kelapa sawit di kebun Panai Jaya dan Meranti Paham, PT. Perkebunan Nusantara IV
PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara pada tahun 2009.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut