Amonium inhibition ψ Nilai suhu perairan

Perubahan atau kalibrasi dilakukan pada parameter yang berhubungan dengan nutrien dan fitoplankton dikarenakan hanya variabel tersebut yang memiliki data validasi yang cukup. Parameter yang diubah merupakan parameter dengan sensitifitas tinggi terhadap hasil model. Selanjutnya nilai parameter inilah yang digunakan dalam memodelkan pola konsentrasi setiap variabel. Data validasi dari setiap variabel cenderung menunjukkan sebaran yang tinggi seperti pada data validasi amonium 0.07 – 0.039 mgl sehingga model juga dituntut untuk dapat menghasilkan data yang sesuai. Tabel 4 juga menunjukkan rentang nilai parameter yang dapat digunakan bagian dalam kurung sehingga model dapat menghasilkan data maksimum dan minimum.

4.1.1 Kalibrasi parameter nutrien

1. Amonium inhibition ψ

Amonium inhibition adalah parameter yang membatasi penggunaan nitrat karena keberadaan amonium dalam fotosintesis di perairan. Dalam persamaan fotosintesis pers. 3.1 baik nitrat maupun amonium bersama-sama digunakan dalam proses tetapi dengan adanya parameter amonium inhibition maka pengaruh nitrat dibatasi. Zehr dan Ward 2008 menyatakan bahwa amonium lebih disukai oleh fitoplankton karena dapat langsung digunakan. Semakin kecilnya nilai parameter ini maka semakin kecil hambatan bagi amonium untuk digunakan dalam fotosintesis. Kishi et al. 2006 menyebutkan nilai amonium inhibition di perairan sebesar 1.4 l molN. Melalui running model dihasilkan konsentrasi amonium rata-rata dalam setahun sebesar 0.005 mgl dan nilai ini lebih rendah dari nilai nitrat di perairan Teluk Jakarta. Penelitian P2O-LIPI pada Mei 2008 menyebutkan bahwa konsentrasi amonium mencapai 0.06 mgl. Kecenderungan konsentrasi amonium yang besar juga disebutkan oleh Dahuri 1997 bahwa perairan Teluk Jakarta memungkinkan untuk terjadinya penurunan kualitas dilihat dari besarnya masukan limbah nitrogen organik ke dalam teluk yang merupakan sumber dari amonia di perairan, ditambahkan juga bahwa konsentrasi amonia cenderung besar bahkan beberapa tempat melebihi baku mutu perairan 0.3 mgl sesuai Kepmen LH No.512004. Walaupun tidak memodelkan pengaruh limbah dan sumber amonium lainnya dan juga karena konsentrasi amonium di Teluk Jakarta cukup besar sehingga diduga fotosintesis seharusnya banyak dilakukan melalui pemanfaatan amonium maka dilakukan penyesuaian terhadap model dengan menurunkan nilai koefisien amonium inhibition menjadi 0.1 – 0.33 l molN agar pembatasan terhadap amonium dapat dikurangi dan fotosintesis dapat berlangsung baik melalui pengaruh amonium maupun nitrat.

2. Laju nitrifikasi

k N0 Parameter lain yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap nutrien adalah laju nitrifikasi yang mengatur keberadaan nitrat di perairan. Nilai awal untuk parameter ini adalah 0.01 perhari Kishi et al., 2006 dan setelah disimulasikan menghasilkan konsentrasi nitrat sebesar 1.8 mgl. Data validasi P2O-LIPI menyebutkan konsentrasi nitrat pada bulan Maret adalah sekitar 0.029 mgl dan nilai ini masih lebih rendah dari nilai yang dihasilkan oleh model awal. Sebagai sumber utama nitrat dalam model maka laju nitrifikasi diturunkan menjadi 0.001 mgl dengan tujuan dapat menghasilkan data-data yang sesuai. Nursyirwani 1999 mengatakan bahwa aktivitas bakteri nitrifikasi lebih tinggi di dasar perairan dibandingkan dengan di permukaan sehingga penurunan laju nitrifikasi dalam model cukup beralasan karena model disimulasikan di permukaan laut.

4.1.2 Kalibrasi parameter fitoplankton

Kalibrasi parameter untuk nutrien harus seimbang dengan perubahan parameter lainnya termasuk fitoplankton yang merupakan konsumen utama nutrien sehingga dapat dihasilkan data yang stabil dan sesuai dengan data in situ. Beberapa parameter untuk fitoplankton yang berubah adalah laju fotosintesis, laju respirasi dan juga laju grazing. Laju fotosintesis ditetapkan sebesar 0.65 per hari sedikit berubah dari nilai awal yaitu 0.4 per hari Kishi et al., 2006. Peningkatan pada laju fotosintesis ditetapkan karena perairan Teluk Jakarta memiliki asupan bahan organik yang besar dari lingkungan sekitarnya, sedikitnya terdapat 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan juga tersedianya cahaya yang besar dan merata sepanjang tahun diduga akan meningkatkan kecepatan fotosintesis, bukti lainnya adalah terjadinya kematian massa ikan pada tahun 2004, 2005, dan 2007 di Teluk Jakarta Wouthuyzen, 2007 yang juga mengindikasikan adanya kecepatan pertumbuhan sehingga terjadi blooming alga. Laju respirasi ditetapkan sebesar 0.05 per hari sesuai dengan pernyataan Parsons et al. 1984 bahwa laju respirasi merupakan rasio dari laju fotosintesis yang disebut dengan ‘loss factor’, nilainya sekitar 0.1 atau 10 dari laju fotosintesis. Sedangkan laju grazing ditetapkan lebih rendah dari laju fotosintesis fitoplankton karena melihat kondisi Teluk Jakarta yang berpotensi untuk terjadi 26.5 27 27.5 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec waktu su h u c e lc iu s validasi model blooming alga yang diduga karena lebih rendahnya pemangsaan dan juga karena lebih cepatnya reproduksi fitoplankton.

4.2 Variabel luar

Suhu dan cahaya merupakan faktor luar yang bekerja dalam model ini, hal tersebut didasarkan pada fungsi keduanya yang berperan penting baik dalam fotosintesis maupun dalam proses lainnya. Melalui model dihasilkan nilai prediksi suhu dan cahaya di perairan Teluk Jakarta selama 1 satu tahun, diharapkan data hasil model ini serupa atau mendekati data validasi dari SEAWATCH BPPT dan BMKG sehingga model dapat dikatakan mewakili proses alam yang sebenarnya. Berikut ditampilkan grafik pola sebaran suhu dan cahaya permukaan hasil running model beserta data validasinya selama 1 satu tahun.

4.2.1 Suhu Perairan

Gambar 6. Pola sebaran suhu perairan o C Teluk Jakarta hasil running model dan validasinya

1. Nilai suhu perairan

Suhu perairan di sebagian besar wilayah tropis termasuk indonesia tidak begitu banyak mengalami perubahan konstan. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 6 bahwa suhu berubah sekitar 1 – 2 o C dalam satu tahun, berbeda dengan perairan subtropis yang dapat mencapai perbedaan 8 o C dalam satu tahun. Nilai suhu perairan hasil running model menunjukkan persamaan dengan nilai validasinya, hal tersebut dapat dilihat pada bulan-bulan dengan puncak terendah atau tertinggi suhu perairan. Nilai suhu model pada bulan Mei adalah 30.0 o C sedangkan data validasi menunjukkan nilai suhu sebesar 30.1 o C, begitu juga pada bulan Januari dan Agustus, model menunjukkan nilai suhu yang mencapai 28.7 o C dan 28 o C sedangkan data validasi menunjukkan nilai suhu sebesar 29 o C dan 28.5 o C. Perbedaan nilai suhu model hanya terlihat di bulan Agustus yang lebih rendah dari suhu di bulan Januari, tidak demikian halnya dengan data validasi. Hal tersebut lebih disebabkan oleh persamaan matematis suhu yang digunakan dalam model, walaupun demikian fenomena serupa juga terjadi di perairan Teluk Ambon seperti yang dilaporkan oleh Wenno 1986 bahwa di perairan Teluk Ambon pada bulan Agustus suhu permukaan mencapai 26 o C, lebih rendah dari musim barat yaitu sekitar 29 o C pada bulan Januari. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai in situ suhu perairan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan nilai tersebut dapat berubah-ubah, relatif lebih cepat dari perubahan pola musiman suhu itu sendiri.

2. Pola suhu perairan