1. Konflik sistem hukum pendaftaran tanah
Sebagaimana paparan terdahulu konflik merupakan perbedaan nilai, dalam hal ini perbedaan pengaturan dalam pendaftaran tanah, dalam
prakteknya dapat saja terjadi karena beberapa sebab ; pertama karena perbedaan pengaturan antara oleh beberapa peraturan terhadap masalah
kegiatan yang sama disebut konflik sinkronisasi ; kedua karena perbedaan pengaturan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang
lebih rendah terhadap masalah kegiatan yang sama disebut konflik konsistensi ; ketiga karena tidak adanya peraturan yang mengatur suatu
kegiatan tertentu disebut konflik stagnasi. Konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebenarnya tidak
perlu terjadi jika pembuat peraturan perundangan pada tahap pembuatan law making memperhatikan dengan seksama sistem hukum dan
persyaratan hukum yang baik seperti pemenuhan nilai yuridis uantuk kepastian hukum dan nilai filosofis untuk keadilan serta nilai sosiologis
untuk kemanfaatan, walaupun kenyataan yang ada bahwa peraturan perundangan diadakan secara parsial, namun satu sama lain tidak boleh
saling bertentangan atau saling tumpang tindih atau saling tidak selaras atau terdapat celah kekosongan peraturan perundangan yang dapat
bermuara kepada ketidakteraturan masyarakat dalam hal ini terkait dengan kepentingan pelayanan pendaftaran tanah.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Namun demikian, pada praktek penyelenggaraan pemerintahan terhadap konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebenarnya dapat
dilakukan antisipasi melalui suatu tindakan kebijaksanaan oleh pejabat pemerintah yang melaksanakan roda pemerintahan di bidang pendaftaran
tanah, karena hukum juga memiliki kekuatan dan kemampuan mengoreksi dirinya sendiri baik secara yuridis maupun administratif
sehinga tidak jarang di dalam putusan pejabat pemerintah ditemukan ketentuan peninjauan kembali.
52
Faktual, konflik pengaturan dalam pendaftaran tanah sering dihadapi ketika dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah yang oleh kantor
pertanahan dilaksanakan melalui salah satu dari 3 tiga opsi ; kemungkinan pertama permohonan ditolak ; kemungkinan kedua
permohonan dikembalikan ; dan kemungkinan ketiga permohonan diproses.
Namun ketiga opsi tersebut tetap mempunyai 3 tiga konsekuensi ; pertama tidak ada permasalahan ; kedua permasalahan dari pemohon ;
ketiga permasalahan dari pihak lain, demikian dijelaskan oleh Syafruddin
Chandra selaku Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, sebagai berikut ;
53
52
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., Halaman 83
53
Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
a.
Konflik sinkronisasi pengaturan bidang pendaftaran tanah merupakan perbedaan pengaturan oleh beberapa peraturan
perundangan terhadap obyek kegiatan yang sama dalam arti tidak sejalannya pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hukum,
contohnya ;
Konflik sinkronisasi hukum pendaftaran tanah.
1. Kewenangan pembuatan surat keterangan ahli waris
Kewenangan pembuatan surat keterangan ahli waris menurut Pasal 111 Ayat 1 Huruf c PermenagKa.BPN
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah ditetentukan sebagai berikut ;
“Bagi Waga Negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan ahli waris dibuat oleh para ahli waris dengan
disaksikan oleh 2 dua orang saksi dan dikuatkan oleh kepala desalurah dan camat tempat tinggal pewaris
pada waktu meninggal dunia ; Bagi Warga Negara Indonesia keturuanan Tionghoa akta keterangan hak
mewaris dari notaris ; bagi Warga Negara Indonesia keturunan timur asing lainnya surat keterangan waris
dari balai harta peninggalan.”
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan kewenangan membuat surat keterangan ahli waris bagi Warga
Negara Indonesia dalam pendaftaran tanah diatur oleh 3 tiga aturan hukum penggolongan penduduk yang masing-
masing aturannya saling berbeda yaitu ; pertama pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia
penduduk asli atau pribumi diatur oleh hukum nasional ; kedua pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara
Indonesia keturunan tionghoa diatur oleh hukum barat ; ketiga pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara
Indonesia turunan timur asing lainnya diatur oleh hukum adat bangsa bersangkutan, misalnya hukum adat India, Pakistan
atau Arab. Perbedaan mencolok terhadap 3 tiga aturan hukum
tersebut terletak pada perbedaan porsi warisan yang harus diterima para ahli waris, misalnya terhadap pengaturan
warisan bagi penduduk asli atau pribumi maka porsinya merupakan pemilikan bersama di antara para ahli waris, dan
bagi penduduk turunan tionghoa porsinya ditentukan berdasarkan tali perkawinan dan tali darah menurut aturan
hukum barat atau Burgelijk Wetbook BW sedangkan bagi
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
penduduk turunan timur asing lainnya misal turunan India porsinya berdasarkan hukum adat Bangsa India dan turunan
Arab yang porsi warisannya sesuai dengan hukum adatnya, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan hukum waris di
Indonesia masih berdasarkan penggolongan penduduk Indonesia.
54
Akhirnya menurut Syafruddin dari kantor pertanahan tersebut bahwa ketentuan mengenai kewenangan membuat
surat keterangan ahli waris semua dipakai dalam kegiatan pendaftaran tanah, karena alasan belum ada kodifikasi
peraturan.
55
Pengaturan tersebut memang terkesan masih imperealis berdasarkan ketentuan kolonial Belanda yang belum tentu
sama dengan kemauan Bangsa Indonesia, karena itu setelah Indonesia merdeka seharusnya aturan yang dibuat hendaknya
lebih kepada kepentingan bangsa dan negara sesuai nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia sesuai tata hukum. perundangannya yang khusus bersifat umum.
54
J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, Halaman 6.
55
Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Kuasa membebankan hak tanggungan
Berdasarkan ketentuan di Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan disebut
bahwa surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta pejabat pembuat akta
tanah dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan dimaksud di dalam ketentuan Pasal 15 Ayat
1 sampai dengan Ayat 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 yang intinya antara lain menyebutkan bahwa surat kuasa
tersebut tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum selain membebankan hak tanggungan, tidak
memuat kuasa subsitusi, mencantumkan secara jelas mengenai ; obyek hak tanggunan, jumlah utang, identititas
kreditur dan debitur, kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir dengan
alasan apapun juga kecuali kuasa tersebut telah digunakan atau telah habis jangka waktunya.
Namun kenyataannya Imanullah Rambe selaku notaris mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah seharusnya
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
misalnya ketika salah seorang debitur tidak berada di kabupatenkota yang sama dengan kreditur atau berada di luar
negeri yang tidak mungkin dapat hadir menghadap notaris, pada waktu dan tempat yang sama sehingga hanya dapat
dilakukan dengan akta kuasa umum sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata berdasarkan azas kebebasan berkontrak
dan aturan yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terutama Pasal 1792 sampai dengan Pasal
1819 antara lain juga menyebutkan bahwa pemberian kuasa merupakan persetujuan berisikan pemberian kekuasaan
kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa yang dapat
dibuat dengan akta kuasa umum.
56
Konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggiungan SKMHT
tidak perlu terjadi jika pemerintah mau membuat kebijaksanaan misalnya dengan membolehkan penggunaan
akta kuasa umum yang dibuat di hadapan notaris yang berada di dalam maupun di luar negeri atau di hadapan pejabat
perwakilan Negara Indonesia di negara sahabat.
56
Wawancara dengan Imanullah Rambe, Notaris, tanggal 18 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Namun ketika di tanya di Kantor Pertanahan Kota Medan dan dijelaskan oleh Syafruddin tersebut bahwa dasar
hukum ketentuan pendaftaran tanah mengenai SKMHT hanya Pasal 15 Undang-undang Hak Tanggungan sehingga setiap
permohonan pendaftaran hak tanggungan yang menggunakan kuasa hanya dapat diproses jika SKMHT yang dibuat di
hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah sesuai isian format blanko yang telah disediakan Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia di setiap kantor pertanahan sedangkan akta kuasa umum ditolak.
b.
Konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hal ini berbedanya atau tidak konsisten atau tidak selarasnya
pengaturan hukum pendaftaran tanah oleh dua atau beberapa peraturan perundangan terhadap satu permasalahan yang sama di
dalam pendaftaran tanah sehingga dapat menimbulkan kesalahan persepsi ataupun kesalahan penafsiran yang seharusnya tidak terjadi
pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diharuskan oleh peraturan
perundangan, contohnya sebagai berikut ;
Konflik konsistensi hukum pendaftaran tanah.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1. Pengaturan penataan ruang dalam pendaftaran tanah
Konsideran Undang-undang Pokok Agraria antara lain menghendaki agar pengaturan tanah sesuai dengan national
planning dan regional planning, namun semangat UUPA agar peruntukan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
planning kotakabupaten tidak direalisasikan secara konsisten oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Konsistensinya justru terealisasi di dalam peraturan menteri yaitu PermenagKa.BPN No.3 Tahun 1997 Pasal 20 Ayat 5
yang menyatakan bahwa bidang-bidang tanah yang menurut bukti penguasaan dapat didaftar atau dapat diberikan dengan
sesuatu hak kepada perorangan atau badan hukum, penetapan batasnya dengan mengecualikan tanah bantalan sungai dan
tanah yang direncanakan untuk jalan sesuai rencana detail tata ruang wilayah yang bersangkutan.
Konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah terkait penataan ruang justru terjadi pada kebijaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 seharusnya mewajibkan rencana tata ruang kotakabupaten dalam
penerbitan sertipikat hak atas tanah di kantor pertanahan sebagaimana harapan konsideran UUPA bahwa untuk
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara tersebut perlu suatu rencana mengenai peruntukan
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara melalui
rencana umum national planning yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-
rencana khusus regional planning dari tiap-tiap daerah. Sebaliknya pemegang hak atas tanah juga berkewajiban
menggunakan lahan sesuai peruntukannya, namun akibat pengaturan hukum pendaftaran tanah yang tidak konsisiten
sehingga pengawasan menjadi lemah terutama ketika masyarakat memohon pendaftaran hak atas tanahnya di kantor
pertanahan tanpa didahului rekomendasi site plann sehingga penggunaan tanah belum tentu sesuai dengan peruntukkan
penataan ruang. Konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran
tanah terkait penataan ruang dirasakan akibatnya yaitu ketika pemerintah menggusur bangunan yang digunakan tidak sesuai
dengan peruntukannya sehingga menimbulkan permasalahan baru, bahkan menurut Syafruddin tersebut dari Kantor
Pertanahan Medan yang diinformasikan dari Lasdi pegawai
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dinas Tata Kota Medan bahwa ada seorang ibu yang langsung jatuh pingsan ketika Izin Mendirikan Bangunan
IMB yang dimohonnya ditolak oleh Dinas Tata Kota Medan, karena sudah 17 tujuh belas tahun pemohon tersebut
bersama suaminya berusaha mengumpulkan uang gaji selaku guru sekolah dasar, namun setelah mereka membeli sebidang
tanah dan memperoleh sertipikat hak milik dari kantor pertanahan ternyata seluruh tanahnya berada di dalam rencana
badan jalan sehingga permohonan IMB harus ditolak. Sebaliknya oleh kantor pertanahan site plann dari Dinas Tata
Kota bukan merupakan persyaratan mutlak dalam pengaturan hukum pendaftaran tanah, arena tidak konsistennya
pengaturan hukum pendaftaran tanah terhadap pengaturan penataan ruang, padahal advice planning merupakan tindakan
preventif, di samping untuk kepentingan pemegang haknya sendiri juga sebagai sarana pengawasan pada penegakanan
hukum di bidang penataan ruang.
57
Dalam hal ini menurut Alvi Syahrin bahwa fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang dituangkan dalam
bentuk pengaturan pencegahan yang pada dasarnya
57
Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia,
termasuk risiko dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan risiko itu.
58
Selama penelitian juga tidak ditemukan ada pemohon hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan yang
melampirkan advice planning Dinas Tata Kota, menurut Syafruddin tersebut bahwa terhadap permohonan hak
memang tidak dipersyaratkan advice planning dari Dinas Tata Kota Medan karena di dalam aspek risalah panitia pada
prosedur permohonan hak atas tanah telah berpedoman kepada rencana umum tata ruang dan memang seharusnya
diperlukan advice planning sesuai rencana tata ruang kota yang sudah ditetapkan pemerintah, tetapi penerapannya di
lapangan menjadi wewenang Dinas Tata Kota yang menjadi kendala lagi tidak konsistennya pengaturan penataan ruang ke
dalam pengaturan hukum pendaftaran tanah sehingga tidak ada pejabat pemerintah di daerah yang berkemauan ataupun
berani mensyaratkannya.
58
Alvi Syahrin, op. cit., Halaman 10 dan 211
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Selanjutnya manfaat yang diperoleh melalui pengaturan hukum penataan ruang dalam kegiatan pendaftaran di kantor
pertanahan menurut Syafruddin tersebut setidaknya ada 6 enam manfaat yang mendasar dalam pelaksanaannya yaitu
sebagai berikut ; a.
Mendapatkan izin mendirikan bangunan dari Dinas Tata Kota kabupaten dan Tata Bangunan yang sesuai
dengan peruntukan dan penggunaannya. b.
Menghindari risiko hapusnya hak atas tanah karena dicabut untuk kepentingan umum seperti rencana atau
pelebaran jalan, rencana atau pelebaran sungai, rencana pelestarian pantai, fasilitas lingkungan, fasilitas umum
dan lain sebagainya. c.
Mengurangi risiko hapusnya hak atas tanah sebagai akibat tanahnya musnah karena bencana alam, hal ini
dipastikan karena sertipikat hak atas tanah tidak boleh diterbitkan di daerah lahan kritis.
d. Menata dan memelihara kepemilikan dan peruntukan
serta penggunaan dan pemanfaatan lahan sebagai penyangga kehidupan bersama ekosistemnya secara
berkelanjutan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
e. Menghindari risiko yang akan diterima masyarakat dan
lingkungan alam sekitarnya karena pencemaran akibat penggunaan tanah oleh pengusahanya yang tidak sesuai
dengan peruntukan dan penggunaannya. f
Menjadikan kota kabupaten yang bersih, sehat, tertib, aman, indah dan asri dalam tatanan etika dan etestika.
59
2. Kecakapan Berbuat Dalam Pendaftaran Tanah
Menurut Pasal 39 Ayat 1 bertalian dengan Pasal 15 Ayat 2 Hurf f Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris dijelaskan bahwa penghadap notaris termasuk orang yang hendak melakukan perbuatan hukum
bidang pendaftaran tanah paling sedikit berumur 18 delapan belas tahun atau telah menikah. Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa orang yang telah berumur 18 delapan belas tahun atau sudah menikah menurut undang-undang
dinyatakan sudah memenuhi syarat melakukan perbuatan hukum perikatan sebagaimana ketentuan Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tentang syaratnya antara lain kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
59
S. Chandra, 2006, Perlindunagn Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah, Pustaka Bangsa Press, Medan, Halaman 82.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Kecakapan membuat perikatan dikaitkan umur 18 delapan belas tahun telah diatur Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004, namun berbeda kebijaksanaan pemerintah oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bersama
jajarannya sampai ke level kantor pertanahan mensyaratkan bahwa cakap membuat perikatan dalam bidang pendaftaran
tanah yaitu orang yang sudah berumur 21 dua puluh satu tahun atau sudah pernah menikah. Demikian dijelaskan oleh
Syafruddin selaku Koordinator Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.
Selanjutnya dijelaskan lagi oleh beliau bahwa kebijaksanaan pemerintah terhadap ketentuan cakap
seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dalam bidang pendaftaran tanah dikaitkan dengan umur dewasa seseorang
secara fisik tidak menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 melainkan masih bersandar kepada ketentuan Pasal 330
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan sebelumnya belum pernah kawin”, karena hukum adat juga tidak tegas.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa dengan adanya Ordonansi tanggal 31 Januari 1931 Lembaran Negara
Nomor 1921-54 maka kriteria belum dewasa itu diperlakukan juga terhadap golongan bumi putra. Hal ini dijelaskan beliau
sekedar untuk mengetahui sejarahnya, karena ketentuan hukum adat tidak tegas.
60
Hukum adat menentukan dewasa bukan dari segi hitungan tahun yang dilewati seseorang, melainkan dari segi
psikologis kemapanan karakter atau kepribadian, dari segi manajemen kemampuan berkomonikasi berorganisasi dan
dari segi ekonomi telah berpenghasilan sendiri, yang totalitasnya sanggup mandiri untuk menikah.
Hukum Islam menyatakan dewasa bukan karena batasan umur, melainkan oleh perkembangan fisik dan mental, baik
secara biologis maupun psikologis yaitu pada saat seorang pria atau wanita telah melihat dan merasakan dalam dirinya
sesuatu tanda baligh berakal, mulai saat itu wajib baginya bertanggungjawab terhadap segala perbuatannya, hal ini juga
60
Mariam Darus Badrulzaman, 1999, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasaan, Penerbit Alumni, Bandung, Halaman 103.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dimaknai bahwa setiap perbuatan manusia akan dipertanggungjawaban secara langsung di hadapan Tuhan.
61
Hukum Keimigrasian, Hukum Lalu lintas dan Pemilu berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992
Tentang Keimigrasian, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1994 Tentang Lalu-lintas, Undang-undang Nomor 2 Tahun
2004 Tentang Pemilu, semua mengacu kepada ketentuan pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang
Kependudukan yang menyatakan bahwa dewasa seseorang umur 17 tujuh belas tahun.
Hukum Perkawainan dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai umur 21 dua puluh satu tahun,
namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 sembilan belas tahun atau wanita berumur 16 enam belas
tahun dapat melakukan perbuatan hukum perkawinan atas persetujuan orangtua atau walinya.
61
S. Chandra, 2005, Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, PT. Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta, Halaman 30.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Hukum Perlindungan Anak dan Ketenagakerjaan yang diatur di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan di dalam Pasal 1 Angka 26 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa seseorang dikatakan dewasa setelah ia mencapai umur 18 delapan belas tahun.
Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian tersebut di atas menunjukkan adanya
perbedaan persangkaan kemampuan fisik dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, yang
terukur secara biologis atau psikologis sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban hukum tetentu.
Selanjutnya dipahami juga adanya perbedaan nilai umur dewasa di dalam peraturan perundangan ternyata tidak
satupun ketentuan hukum yang khusus secara umum dan tegas menetapkan cakap melakukan perbuatan hukum
dikaitkan dengan unsur dewasa secara yuridis dan unsur umur secara biologis supaya boleh dipersangkakan secara normal
mempunyai kematangan berfikir dan kemampuan menyadari secara penuh atas segala akibat tindakan yang harus
dipikulnya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Namun sebaliknya hukum dapat melihat tujuannya yaitu untuk melindungi kepentingan anak bawah umur yang tidak
patut menanggung segala akibat hukum yang akan timbul karena sebab perbuatan hukum yang harus dilakukannya yang
semestinya dapat dihindari.
62
Demikian alasan pembenaran tindakan kebijaksanaan pemerintah dalam masalah kecakapan berbuat terhadap
tindakan hukum dalam bidang pendafaran tanah dikaitkan antara dewasa dengan batas umur yaitu ketika orang telah
berumur 21 dua puluh satu tahun atau telah pernah menikah, sekalipun peraturan perundangan dalam hal ini tidak
konsisten, namun begitulah kebijaksanaan yang dibuat pemerintah, demikian penjelasan Syafruddin dari Kantor
Pertanahan Kota Medan.
c.
Konflik stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hal ini berarti terdapat kekosongan hukum terhadap suatu masalah
dalam kegiatan dalam pendaftaran tanah. Betapapun juga cepatnya pembuat undang-undang bekerja, namun persoalan yang timbul
dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan pengaturan
Konflik stagnasi hukum pendaftaran tanah.
62
J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi, PT. Citra Aditya, Bandung, Halaman 48-60.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
ternyata lebih cepat lagi sehingga sering terjadi konflik karena belum adanya peraturan hukumnya.
63
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa peraturan perundangan belum menyentuh permasalahan tertentu di bidang pendaftaran
tanah yang secara faktual terdapat di dalam kehidupan masyarakat sehingga ketika konflik stagnasi berhadapan dalam
penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah menempatkan pejabat pemerintah pada posisi dilematik, di satu sisi perkembangan
kehidupan masyarakat sebagai suatu tuntutan disis lain tidak ada peraturan yang mengatur, contohnya sebagai berikut ;
1. Roya Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Berubah Hak
Roya hak tanggungan dalam terminologi undang- undang disebut dengan pencoretan hak tanggungan demikian
berdasarkan ketentuaan Pasal 18 dan Pasal 22 Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang
isinya dapat diuraikan sebagai berikut bahwa hak tanggungan hapus karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan
tersebut hapus, namun tidak menyebabkan hapusnya utang piutang yang dijamin dan berdasarkan permohonan dari pihak
yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikatnya dan
63
H. Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, Halaman 61
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
surat pengantar dari kreditur maka pihak kantor pertanahan melaksanakan pencoretan terhadap catatan hak tanggungan
tersebut pada buku tanah hak dan sertipikat hak tanah bersangkutan selambatnya selama 7 tujuh hari kerja.
Keadaan normatif memang seperti uraian di atas, namun lain halnya ketika hak atas tanah tanah yang dimohon
pencoretan hak tanggungannya hapus karena perobahan hak dari hak guna bangunan menjadi hak milik, secara yuridis hak
tanggungannya hapus karena hak atas tanahnya hapus, berdasarkan azas droit de suit hak jaminan masih melekat
sedangkan secara adminstratif tidak tertib, kadaan demikian menjadi konflik stagnasi karena tidak adanya ketentuan
peraturan perundangan yang langsung mengaturnya sementara masyarakat menjadi resah bahkan dianggap tidak
mampu memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat. Contoh kasus seorang pemohon roya hak tanggungan yang
risau hatinya karena setiap menawarkan tanahnya tidak ada orang yang mau membeli, sebab di sertipikat hak milik
bersangkutan masih tertera catatan pembebanan hak tanggungan, namun Kantor Pertanahan Kota Medan menolak
mencatat penghapusan roya di sertipikat tersebut dengan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
alasan hak guna bangunan yang dibebani hak tangungan tersebut telah hapus karena dirobah menjadi hak milik, kasus
seperti ini tidak pernah diatur peraturan perundangan sehingga terjadi konflik stagnasi hukum, akhirnya Kantor
Pertanahan Kota Medan membuat suatu kebijaksanaan dengan mengganti blanko sertipikatnya.
64
2. Kewenangan pembuatan akta tukar menukar hak atas tanah
dengan tanah milik wakaf Memahami kewenangan notaris sebagaimana bunyi
Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris bahwa notaris berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Dengan pengertian
bahwa notaris hanya berwenang membuat akta otentik secara umum, namun notaris tidak berwenang membuat akta yang
bersifat khusus seperti akta peralihan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah atau akta ikrar wakaf.
64
S.Chandra, 2007, Salah Kaprah atau Tidak Paham, Majalah Renvoi, Jakarta, No. 7.55 V, Tanggal 3 Juli 2007.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT menurut ketentuan Pasal Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 2 Ayat
2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 bahwa pejabat pembuat akta tanah selanjutnya disebut PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun. Dengan pengertian bahwa PPAT hanya diberi wewenang membuat
akta yang berkaitan dengan peralihan dan pembebanan hak atas tanah dan satuan rumah susun meliputi akta ; jual beli,
tukar menukar, hibah, inbreng, pembagian hak bersama dan pemberian hak tanggungan serta surat kuasa membebankan
hak tanggungan. Seterusnya menurut ketentuan Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bertalian dengan Pasal 1 Angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Tentang Pelaksanaan Wakaf antara lain menyatakan bahwa pejabat pembuatan akta ikrar wakaf selanjutnya disingkat
dengan PPAIW merupakan pejabat berwenang yang ditetapkan menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dengan penegertian bahwa PPAIW hanya berwenang membuat akta otentik khusus tanah wakaf.
Namun ketika ditanya di Kantor Pertanahan Kota Medan siapa pejabat yang berwenang untuk membuat akta
tukar menukar antara kepemilikan tanah hak dengan kepemilikan tanah wakaf ? selanjutnya dijawab oleh
Syafruddin bahwa sampai saat ini belum ada suatu peraturan perundangan secara khusus yang mengatur tetang perbuatan
hukum itu, karena jika aktanya dibuat di hadapan PPAIW menjadi tidak berwenang terhadap kepemilikan tanah hak dan
jika dibuat di hadapan PPAT menjadi tidak berwenang terhadap kepemilikan tanah wakaf demikian juga jika dibuat
di hadapan notaris maka kedua kepemilikan baik tanah hak maupun tanah wakaf sama tidak berwenang sehingga
permasalahan ini merupakan konflik stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah yang membutuhkan kebijaksanaan.
Selanjutnya dari hasil penelitian diketahui bahwa bentuk konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah
melipputi konflik sinkronisasi, konsistensi dan stagnasi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bentuk konflik
pengaturan hukum pendaftaran tanah yang memerlukan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasinya meliputi konflik sinkronisasi, konflik konsistensi dan konflik stagnasi.
2. Konflik Penerapan Hukum Pendaftaran Tanah