Pengaturan terkait bidang pendaftaran tanah oleh menteri baik melalui peraturan menteri, keputusan menteri, maupun surat edaran
menteri tidak saja dibuat oleh Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, namun juga dibuat oleh menteri lain semuanya
harus dijadikan petunjuk pelaksana atau petunjuk teknis dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah baik yang bersifat teknis,
yuridis maupun administratif sepanjang relevan dengan pendaftaran tanah.
Contohnya Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah yang diundangkan tanggal 1 Oktober Tahun 1997 telah membantu pelaksanaan pendafaran tanah di seluruh Indonesia,
karena isinya lebih kepada petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pendaftaran tanah yang tidak diatur dalam peraturan lebih tinggi dan
sampai hari ini masih eksis, walaupun masih ditemukan kekurangan seperti tidak diaturnya secara eksplisit mengenai pendaftaran tanah wakaf
sebagaimana diharapkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3. Kebijaksanaan Pejabat Pelaksana Pendaftaran Tanah
Kebijaksanaan pejabat pelaksana pendaftaran tanah yang langsung berhubungan dengan masyarakat selaku jajaran birokrasi pemerintah juga
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
diperlukan dalam upaya mengisi kekosongan peraturan perundangan yang belum diatur di dalam peraturan perundangan atau ketika berhadapan
dengan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sehingga sebagai good government untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada
masyarakat selaku public service berdasarkan azas kepatutan yang dilandasi azas kebebasan administrasi discretionaire yang dimiliki
pemerintah sebagai bagian dari kebebasan untuk membuat keputusan sendiri terhadap suatu kebijaksanaan untuk mengatur orang banyak
sepanjang tidak melanggar azas yang ada dalam hukum atau peraturan perundangan berlaku sekaligus melengkapi azas legalitas wetmatigheid
dan yuridikitas rechtmatigheid.
77
Umumnya para birokrat dalam membuat kebijaksanaan, lebih bersikap hati-hati, bahkan hanya dilakukan terhadap perubahan yang
tidak prinsip marginal dan juga tidak bersifat radikal sehingga kemungkinan berbuat kesalahan akan menjadi kecil dan mudah
diperbaiki. Sebaliknya isi peraturan menteri tersebut juga ada tidak diatur peraturan pemerintah, contohnya terkait tata ruang seperti bantalan sungai
dan daerah milik jalan agar menjadi perhatian dalam kegiatan pendaftaran tanah.
77
ibid, Halaman 21-22.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Pengaturan hukum pendaftaran tanah terkait tata ruang diatur di dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang
dilaksanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang KabuptenKota RTRK bersangkutan setidaknya dapat dilaksanakan atas rekomendasi site plan
sehingga penegakan hukum penataan ruang dapat dilaksanakan dalam kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana arahan di dalam konsideran
Undang-undang Pokok Agraria menyebutkan agar pengaturan tanah sesuai dengan national planning dan regional planning.
Pada umumnya kebijaksanaan yang dibuat oleh pejabat pelaksana pendaftaran tanah di daerah seperti oleh kantor wilayah provinsi maupun
kantor pertanahan kabupatenkota hanya terbatas kepada hal-hal yang bersifat prosedural dan administratif sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan dan azas hukum. Dalam hal ini menurut Soerjono Soekanto bahwa kebijaksanaan
yang dibuat oleh pelaksana pemerintah di daerah disebut dengan debirokratisasi yang keberadaannya memang diperlukan oleh setiap
organinsasi yang menganut pembagian kerja, lebih lagi bagi organisasi negara yang memang sangat diperlukan karena tujuannya adalah untuk
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
melancarkan pelayanan dan komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.
78
Selain itu, juga dikatakan bahwa kewenangan kegiatan pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan jajarannya
merupakan kewenangan administratif, dengan pengertian bahwa kewenangan pendaftaran tanah tidak dapat dicampuri oleh pihak manapun
termasuk oleh pengadilan sendiri, contoh sejak diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960 sampai sekarang banyak putusan
pengadilan yang telah membatalkan sertipikat hak atas tanah, namun ternyata tidak semua putusan pengadilan tersebut dilaksanakan oleh
kantor pertanahan, bukan berarti tidak menghormati putusan pengadilan melainkan karena kewenangan administrasinya berada di tangan lembaga
pendaftaran tanah. Lebih tegas kewenangan administratif kantor pertanahan dapat
dilihat di dalam isi Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MARI Tanggal 3 Nopember 1971 Nomor 383KSip1971 pada kasus
hibah tanah di Propinsi Bali yang diputuskan sah oleh pengadilan, namun oleh kantor agararia pada saat itu dengan kewenangan administratif
menolak pencatatan putusan pengadilan secara serta merta, dengan alasan bahwa secara administratif putusan tersebut harus ditindaklanjuti dengan
78
Soerjono Ssoekanto, Pokok Pokok Sosiologi Hukum,op.cit., Halaman 99
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pembuatan akta hibah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT yang pada akhirnya tindakan kebijaksanaan penolakan yang dilakukan
oleh kantor agraria tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
79
Pembenaran kebijaksanaan tersebut selain karena sesuai menurut peraturan perundangan dan adanya azas-azas hukum sebagai sandaran
juga ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan mendesak di dalam masyarakat dalam mengisi peraturan perundangan yang belum lengkap,
selanjutnya menurut Boedi Harsono pendaftaran tanah memungkinkan tetap dapat dilaksanakan tanpa harus ditunda menunggu tersedia
peraturan pendaftaran tanah yang tersusun lengkap.
80
Penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bersama jajarannya, selain selaku pelaksana
hukum administrasi administratief recht dengan tugas pokok dan fungsi menjalankan peraturan perundangan bidang pertanahan juga turut
memecahkan masalah-masalah yang sedang berkembang di dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga adakalanya harus dilaksanakan
melalui pengambilan langkah kebijaksanaan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana birokrat.
81
79
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, Halaman 519
80
Ibid., Halaman 473.
81
Bambang Sungguno, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, op.cit., Halaman 132.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dengan demikian kebijaksanaan pemerintah dalam pendaftaran tanah dimaksud merupakan hasil dari perbuatan pemerintah
overheidshandeling berupa keputusan yang berwujud hukum yang erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu ciri dari
negara kesejahteraan welfarestate seperti Indonesia.
B. Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan
Pemerintah Dalam
Mengatasi Konflik Pengaturan Hukum Pendaftaran Tanah
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa konflik merupakan perbedaan nilai terhadap sesuatu yang dipermasalahkan, dalam hal ini pengaturan hukum
pendaftaran tanah sebagai sesuatu hal yang wajar terjadi karena tidak ada hukum yang dibuat manusia bersifat abadi dan universal serta selalu up-todate
atau mutaakhir melintasi ruang dan waktu, justeru sebaliknya hukum selalu pontang panting mengejar ketinggalan zaman het recht hink achter de feiten
aan.
82
Ketika pemerintah melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dan berhadapan dengan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sehingga
harus mengambil langkah kebijaksanaan dengan langkah menolak proses atau melanjutkan proses atau melengkapi persyaratan permohonan, namun pada
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
gilirannya tindakan tersebut dipandang sebagai permasalahan pertanahan yang mempunyai cara kerja yang tidak tertib, tidak bertanggungjawab, mempersulit
urusan, menyalahgunakan wewenang dan lain sebagainya.
83
Namun menurut Cipto Soenaryo selaku Notaris dan PPAT di Kota Medan bahwa jika terjadi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebaiknya
pemerintah dalam hal ini pejabat kantor pertanahan memang harus mengambil langkah kebijaksanaan yang responsif dalam mengatasinya, dengan catatan
asalkan kebijaksanaaan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti Pancasila sebagai sumber hukum dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia sebagai hukum dasar serta peraturan perundangan berlaku tanpa terlebih dahulu diuji kebenarannya di hadapan hakim
pengadilan.
84
Hal ini disampaikan beliau karena masyarakat membutuhkan pelayanan yang baik, cepat dan berkepastian hukum dari pemerintah tanpa harus
menunggu pengaturan hukum pendaftaran tanah yang tersusun lengkap tanpa konflik dan ini sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dalam menjalankan
roda pemerintahan di bidang pendaftaran tanah. Muhammad Abduh selaku ahli hukum administrasi negara menyatakan
bahwa konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah tidak terlepas dari
82
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, op.cit., Halaman 19.
83
A.A. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi dan Pertanahan, 1996, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Halaman 248.
84
Wawancara dengan Cipto Soenaryo, Notaris dan PPAT di Kota Medan, tanggal 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
prosedural pendaftaran tanah, karena konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah tidak akan terjadi jika tidak ada yang diproses sebaliknya kebijaksanaan
pemerintah tidak dibuat jika tidak ada konflik sinkronisasi, konsistensi atau stagnasi pada prosedural pendaftaran tanah yang kebenarannya boleh diuji di
hadapan hakim pengadilan sesuai ketentuan perundangan berlaku.
85
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh tersebut bahwa konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dapat juga terjadi pada prosedural
pendaftaran tanah, namun perlu diperhatikan terlebih dahulu rumusan prosedural itu sendiri yaitu tahapan yang harus dilalui organ negara baik Badan
Pertanahan Nasional, warga negara atau oleh masyarakat dengan konsekuensi jika tahapan tersebut tidak dilalui sesuai dengan ketentuannya, maka penetapan
atau beshikking berupa kebijaksanaan beleidsregel policy yang dibuat pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah
dapat batal atau dibatalkan sesuai ketentuan peraturan perundangan berlaku.
Dalam hal ini menurut Suriyono selaku Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan menyatakan bahwa jika terjadi konflik pengaturan hukum
pendaftaran tanah ataupun kesalahan prosedur yang berujung kepada delik aduan atau pembatalan keputusan pejabat tata usaha negara bersangkutan
85
Wawancara dengan Muhammad Abduh, Ahli Hukum Administrasi Negara, tanggal 16 Juni 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
seperti pembatalan sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak, kemungkinan dapat saja terjadi dengan salah satu dari 4 empat sebab
kemungkinan, sebagai berikut ;
86
1. Batal dengan sendirinya, misal karena kedaluarsa
2. Dibatalkan oleh pejabat tata usaha negara yang menerbitkan
3. Dibatalkan oleh pengadilan
4. Dikembalikan oleh pemegang keputusan tata usaha negara bersangktutan.
Pendapat Suriyono tersebut didukung oleh pendapat dari hasil angket berupa kuesioner yang dilaksanakan pada waktu penelitian menyatakan dapat
batal. Selanjutnya menurut Suriyono tersebut bahwa jika terjadi konflik
pengaturan hukum pendaftaran tanah kemudian pejabat tata usaha negara bersangkutan membuat langkah kebijaksanaan maka kebijaksanaan tersebut
dapat diuji di hadapan hakim pengadilan dengan kemungkinan permasalahan sebagai berikut ;
1. Jika yang dipermasalahkan tersebut merupakan masalah kepemilikan
maka dapat diuji menurut hukum perdata
86
Wawancara dengan Suriyono, Pemohon Pendaftaran Peralihan Hak di Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 20 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2. Jika yang dipermasalahkan prosedural maka diuji menurut hukum tata
usaha atau administrasi negara 3.
Jika yang dipermasalahkan pelanggaran atau kejahatan maka diuji menurut hukum pidana
Selanjutnya ditambahkan beliau bahwa jika hakim pengadilan tidak melihat ada aturan hukum yang mengatur suatu permasalahan stagnasi maka
dilakukan hal sebagai berikut ; pertama penemuan hukum rechtsfinding ; kedua penetapan hukum rechtsciping.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini yaitu ketika keadaan konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah menyangkut hal pengaturan
penataan ruang dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, awalnya disebut di dalam undang-undang namun tidak diatur di dalam peraturan pemerintah tetapi
kemudian berbunyi di dalam peraturan menteri sehingga antara peraturan perundangan dengan peraturan pelaksana dibawahnya ternyata tidak konsisten.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pengaturan tanah bantalan sungai dan daerah milik jalan supaya tidak diberi sesuatu hak dalam penyelenggaran
pendaftaran tanah jelas disebut dalam konsideran Undang-undang Pokok Agraria agar sesuai dengan national planning dan regional planning, namun
tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tetapi diatur dalam Pasal 20 Angka 5 Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang menghendaki adanya Rencana Detail Tata Ruang Wilayah atau dengan advice planning.
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh mengenai advice itu ada 2 dua macam ; pertama advice intern yang dikeluarkan oleh departemen yang sama ;
kedua advice extern yang dikeluarkan oleh departemen yang berbeda, namun keduanya mempunyai akibat hukum yang sama yaitu jika tidak dilaksanakan
proses tidak boleh dilanjutkan atau jika diteruskan maka sertipikat yang diterbitkan dapat dibatalkan. Oleh karena itu menurut beliau tahapan prosedural
harus teliti dan jika terjadi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah seperti tersebut di atas kembali kepada ketentuan advice baik yang diatur secara
internal maupun eksternal. Sahadi, umur 53 tahun beralamat Jl. Setia Budi Gg. Melati No. 7 selaku
pemohon hak atas tanah ketika diwawancarai pada penelitian di Kantor Pertanahan Kota Medan menjelaskan bahwa dalam persyaratan permohonan
hak atas tanah tidak disyaratkan adanya advice planning dari Dinas Tata Kota Medan, selanjutnya dijelaskan oleh Syafruddin dari Kantor Pertanahan bahwa
advice planning memang tidak disyaratkan di dalam permohonan hak atas tanah, namun di dalam pelaksanaannya oleh panitia A dilakukan pemeriksanaan
lapangan dan ketika ditanya apakah tidak mengakibatkan kerugian bagi pemohon hak jika ternyata tanah tersebut merupakan areal fasilitas umum
fasum fasilitas lingkungan fasling atau fasilitas sosial fasol dikatakan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
beliau bahwa mungkin hal demikian dapat terjadi, namun jika nanti digunakan pemerintah tentu melalui pembebasan tanah dan memang ini termasuk konflik
konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah.
87
Rustam Effendi Rasyid selaku pemohon pendaftaran peralihan hak mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah kantor pertanahan tentang umur
dewasa dalam perbuatan hukum terhadap hak atas tanah harus telah berumur 21 dua puluh satu tahun sebagaimana di atur di dalam Pasal 330 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata Indonesia padahal sudah jelas dibunyikan di dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
bahwa orang yang berumur 18 delapan belas tahun atau sudah menikah dilindungi undang-undang melaksanakan perbuatan hukum hak atas tanah.
88
Imanullah Rambey selaku pemohon pendaftaran hak tanggungan merasa kecewa dengan kebijaksanaan pemerintah Pejabat Kantor Pertanahan Kota
Medan yang mengembalikan permohonan pencatatan hak tanggungan dengan alasan bahwa akta pemberian kuasa hak tanggungan dibuat berdasarkan kuasa
umum di hadapn notaris, padahal lex generalis dapat digunakan ketika lex spesialis tidak dapat dilaksanakan, seperti halnya menghadirkan para pihak
87
Wawancara dengan Sahadi, Pemohon Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 15 Juni 2009
88
Wawancara dengan Rustam Effendi Rasyid, Pemohon Pendaftaran Peralihan Hak di Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 18 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yang ada di luar daerah atau di luar negeri sehingga tidak memungkinkan para debitur dan kreditur hadir pada waktu dan tempat yang sama.
89
Keadaan ini merupakan konflik stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah, dengan demikian hendaknya menjadi perhatian pemerintah atau
setidaknya Kepala Kantor Pertanahan harus berani membuat kebijaksanaan karena tidak bertentangan dengan UUD RI.
Kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah merupakan kebijaksanaan publik yang memang harus
dilakukan oleh pemerintah bersama jajaran birokrasinya sampai ke birokrasi terendah seperti kantor pertanahan selaku unit pelayanan publik.
Menurut Thomas R. Dye bahwa kebijaksanaan publik meliputi semua tindakan pejabat pemerintah, baik memilih untuk melakukan sesuatu atau
memilih untuk tidak melakukan sesuatu yang senantiasa mempunyai tujuan tertentu dan keduanya tetap mempunyai akibat yang sama besarnya terhadap
kehidupan sosial masyarakat.
90
Salah satu keuntungan Negara Indonesia karena mempunyai sumber hukum dan hukum dasar yang bersifat ringkas dan supel sehingga telah
mengurangi risiko konflik peraturan perundangan pada tingkat UUD, karena dapat dibayangkan hanya dalam beberapa waktu tidak lama undang undang
dasar harus diubah guna mengikuti perkembangan zaman, bahkan ketika
89
Wawancara dengan Imanullah Rambey, Pemohon Pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 18 Mei 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
ditemukan konflik stagnasi, konsistensi atau stagnasi peraturan perundangan tentu akan membuat jalannya roda pemerintahan menjadi sulit.
Selanjutnya menurut Muhammad Yamin selaku ahli hukum agraria bahwa jika terjadi konflik pengaturan pada prosedural pendaftaran tanah
seharusnya pemerintah memang membuat kebijaksanaan dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, hal ini telah diatur di dalam Undang Undang
Dasar Republik Indonesia sebagai bagian kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, namun demikian
harus memperhatikan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang- undang
Pokok Agraria.
91
Misalnya, ketika terjadi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah sebagaimana uraian terdahulu pada ; 1. Konflik sinkronisasi,
terhadap kecakapan seseorang dalam bertindak menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan pada
umur 18 tahun, namun kantor pertanahan masih menggunakan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu pada umur 21 Tahun ; 2. Konflik
konsistensi, terhadap penggunaan tata ruang dalam pendaftaran tanah oleh Undang-undang Pokok Agraria telah digariskan, namun oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sama sekali
90
Bambang Sungguno, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, op. cit., Halaman 21.
91
Wawancara dengan Muhammad Yamin, Ahli Hukum Agraria, tanggal 15 Juni 2009
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tidak diatur ; 3. Konflik stagnasi, terhadap tata laksana kewenangan pejabat pembuat akta tukar menukar antara tanah hak dengan tanah wakaf belum
pernah diatur Menurut Hans Kelsen bahwa norma konstitusi yang mengatur norma
umum yang diaplikasikan organ pelaksana hukum bukan merupakan norma lengkap independen, disebabkan karena norma konstitusi secara intrinsik
merupakan bagian dari semua aturan hukum yang harus diaplikasikan oleh organ pelaksana hukum sehingga secara dinamis pembuatan norma umum
ditentukan oleh norma lebih tinggi, dengan kata lain bahwa norma konstistusi diproyeksikan sebagai bagian dari norma yang lebih rendah.
92
Seharusnya pada tataran hukum tidak ditemukan kekosongan hukum jika memang ada suatu kedaulatan atau kewenangan bukan berarti yang berwenang
mengisi kekosongan hukum, melainkan menambahkan kepada hukum yang valid suatu norma individual yang tidak berhubungan dengan norma umum.
Pada kasus lain organ berwenang menolak membuat putusan, hal ini tergantung kepada fakta bahwa pelaksanaan hukum valid yang ada telah sesuai dengan
pendapat yang berwenang secara hukum maupun politik.
93
92
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Lawand State, Tranlated by : Anders Wedberg, Russell Russell, New York, Halaman 143.
93
Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, op. cit., Halaman 129
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Hasil wawancara juga dapat menunjukan bahwa memang dibutuhkan kebijaksanaan pemerintah ketika berdapan dengan konflik pengaturan hukum
pendaftaran tanah Keadaan demikian menggambarkan betapa penting kebijaksanaan yang
harus diperbuat oleh pemerintah dalam hal ini ketika terjadi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah di kantar pertanahan tanpa harus menghentikan
kegiatan yang nota bene bersifat administratif namun tetap memperhatikan ketentuan hukum berlaku terlepas dari benar atau tidak, sah atau tidak sah atau
harus dibatalkan ketika diuji di hadapan hakim pengadilan sepanjang kebijaksanaan pemerintah tersebut dibuat tidak bertentangan dengan UUD RI
serta peraturan perundangan berlaku atau hanya semata-mata digunakan untuk memberi pelayanan kepada publik sesuai dengan tujuannya tanpa ada pihak
tertentu yang diuntungkan. Setidaknya menurut Muhammad Abduh bahwa pemerintah beserta
jajarannya selaku administrator negara tidak pernah menunggu peraturan dari atasan ketika sedang menjalankan roda pemerintahan, melainkan harus selalu
dinamis, kreatif dan punya kebijaksanaan yang dilandasi kepada azas kebebasan administrasi discretionaire yaitu kebebasan untuk membuat keputusan sendiri
berupa kebijaksanaan yang digunakan untuk mengatur orang banyak karena belum tersedianya aturan pokok yang mengatur, sepanjang tidak melanggar
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
azas-azas hukum dan undang-undang juga melengkapi azas legalitas wetmatigheid dan azas yuridikitas rechtmatigheid.
94
Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa pemerintah harus tetap berpijak kepada pemikiran dasar meliputi ; teori, ilmu dan sistem hukum yang
harus terpelihara dengan baik yang satu dengan lainnya harus saling mendukung dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai sebagai berikut ;
1. Tujuan teori hukum, seperti juga setiap ilmu untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan. 2.
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan, dengan kata lain hanya pengetahuan tentang hukum yang ada bukan tentang hukum
yang seharusnya ada. 3.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam. 4.
Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, yang isinya dapat berubah-ubah
menurut jalan atau pola yang spesifik. 6.
Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
95
94
Muhammad Abduh, 1988, Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar USU, Tgl. 22 Oktober 1988 di Medan
95
http:72.14.235.132search?q=cache:ryiW7-unJ-QJ:unisri.ac.idanitawp- contentuploads200809sosiologihukumbarubgt.doc+sosiologi+hukumbarubgtcd=1hl=idct=clnk
gl=id
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Kebijaksanaan pemerintah dalam pendaftaran tanah pada kenyataannya terjadi antara lain karena terjadinya perubahan sosial yang berkembang di
dalam kehidupan masyarakat baik secara domestik maupun global sehingga saling mempengaruhi sebagai akibat adanya interaksi yang terus menerus dan
juga disebabkan penduduk yang heterogen disertai rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap peraturan yang ada ditambah pula dengan sistem
masyarakat yang terbuka akan mempercepat terjadinya perubahan sosial, tanpa dapat dihindari berpengaruh ke arah perubahan peraturan perundangan,
termasuk juga peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah, karena secara realistis tidak ada yang mampu menghindar dari perubahan sosial yang sedang
berkembang, karena pada pelaksanaannya akan selalu terjadi konflik kepentingan interest conflict.
96
Indonesia sebagai negara hukum sedang berkembang pada masa transisi di era reformasi saat ini relevan menggunakan teori hukum responsif dalam
menjawab perlunya kebijaksanaan bidang pertanahan, tegasnya cukup relevan terhadap pengadaan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik
peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah, bahkan tekanan sosial masyarakat dijadikan sumber pengetahuan dan koreksi diri.
Teori hukum responsif merupakan jawaban cukup tepat dalam membuat kebijaksanaan bidang pertanahan, sebagai negara hukum sedang berkembang
96
Soerjono Soekanto, 2002, Pokok Pokok Sosiologi Hukum, op. cit., Halaman 99
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pada masa transisi di era reformasi saat ini, tegasnya relevan dalam kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik perarturan perundangan
bidang pendaftaran tanah, bahkan tekanan sosial masyarakat merupakan sumber pengetahuan dan koreksi diri, sebagaimana juga diajarkan oleh penganut legal
realism seperti Jerome Frank dan James William Hurst, justeru untuk membuat hukum menjadi responsif terhadap kebutuhan sosial. Ternyata hukum responsif,
ditandai dengan pertahanan yang kuat terhadap hal yang essensial dalam integritasnya, namun tetap memperhitungkan kekuatan baru di dalam
lingkungannya, dengan membuat keterbukaan dan integritas menjadi saling menopang walaupun di antara keduanya terdapat benturan
Akhirnya dalam membangun teori dalam tulisan ini sampai kepada generalisasi ada baiknya mencermati pendapat Radbruch mengatakan bahwa
hukum yang baik setidaknya dilandasi oleh 3 tiga nilai dasar, walaupun satu dengan lainnya terdapat ketagangan spannungsverhaltnis karena perbedaan
tuntutan masing-masing sebagai berikut ; 1.
Kepastian hukum, berlandaskan yuridis. 2.
Keadilan hukum, berlandaskan filosofis 3.
Kemanfaatan hukum, berlandaskan sosiologis.
97
97
Satjipto Raharjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke IV, Halaman 20.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tiga nilai dasar tersebut di atas akan menjadikan hukum lebih baik dan saling melengkapi satu sama lain, karena kepastian hukum tanpa keadilan
hukum menjadi timpang, keadilan hukum tanpa kemanfaatan hukum menjadi sia-sia sedangkan kemanfaatan hukum tanpa kepastian hukum menjadi tidak
teratur, demikian ketiga hal pokok yang pada dasarnya berdiri sendiri-sendiri dan tidak pernah bertemu namun saling melengkapi. Keadaan demikian perlu
diantisipasi melalui mekanisme suatu kebijaksanaan pemerintah yang melaksanakannya termasuk oleh menteri sampai kepada pejabat pelaksana,
namun sebenarnya hukum juga memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengoreksi dirinya sendiri baik secara yuridis maupun administratif sehinga
tidak jarang di dalam putusan pejabat pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sering ditemukan dalam putusan atau ketetapan pemerintah adanya
ketentuan peninjauan kembali.
98
Hal tersebut disebabkan karena kebijaksanaan pemerintah juga belum tentu sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat terutama di bidang
pendaftaran tanah, karena sampai saat ini belum diketahui adanya penelitian ke arah itu yang komprehensif yang menyatakan demikian, bahkan faktual masih
ditemukan konflik pengaturan bidang pendaftaran tanah seperti konflik sinkronisasi, konsistensi dan stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah yang
dibuat pemerintah ketika dilaksanakan kegiatannya di kantor pertanahan.
98
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., Halaman 83
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Hasil wawancara juga menunjukan bahwa kebijaksanaan pemerintah perlu diambil ketika terjadi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah tanpa harus
menunggu tersusunnya peraturan perundangan secara lengkap, namun kebijaksanaan tersebut tidaklah seperti yang diungkap orang suku Baduy pada
seminar nasional Konsursium Pembaruan Agraria September 1997 yang mengatakan “Sulitnya orang pemerintah yang hanya memikirkan pengaturan
kepentingan hubungan manusia dengan tanah, susahnya kepentingan manusia itu adalah kepentingan manusia-manusia serakah”.
99
Pembenaran organ administratif membuat keputusan terhadap peraturan bermuatan konflik pada akhirnya dapat diuji oleh organ yang kompeten seperti
hakim pengadilan dan jika aturan hukum hanya menentukan suatu pertanggungjawaban personal organ, maka tujuannya adalah untuk mencegah
agar perbuatan hukum kepada ex injuria jus non oritur
100
. Ketika harus memilih membuat kebijaksanaan atau menunggu pengaturan
hukum pendaftaran tanah yang telah tersusun lengkap para ahli hukum berpendapat perlu dibuat kebijaksanaan sesuai peraturan perundangan berlaku.
Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat dalam mengatasi konflik stagnasi peraturan perundangan dalam pendaftaran tanah, maka pemerintah sebagai
99
Dianto Bachriadi, Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen, Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, Halaman 299.
100
Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, op. cit., Halaman 141
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pemegang kedaulatan yang mempunyai otorisasi dapat membuat keputusan yang harus dibuat pada tatanan hukum yang memiliki kekosongan gaps.
Dalam hal ini menurut Hans Kelsen bahwa terhadap konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah berupa konflik sinkronisasi dan
konsistensi maka solusi pemecahan masalahnya ; 1.
Kesesuaian antara keputusan yudisial dengan norma hukum. 2.
Kesesuaian antara undang-undang dengan konstitusi. 3.
Garansi konstitusional. 4.
Nullity dan Annullability. 5.
Non kontradiksi antara norma inferior dengan superior.
101
Dengan kata lain ketika peraturan perundangan yang tersedia tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak adanya norma umum yang sesuai
dengan kasus bersangkutan. Dengan demikian pendapat Hans Kelsen secara logis tidak mungkin mengaplikasikan hukum valid yang ada kepada kasus
konkrit yang terjadi karena tidak adanya premis yang dibutuhkan sehingga tidak salah jika otorisasi yang dipunyai pemerintah digunakan untuk mengisi
kekosongan hukum yang sedang terjadi.
102
101
Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, op. cit., Halaman 134-143
102
Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, op. cit., Halaman 129.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa peraturan perundangan merupakan sarana bagi implementasi kebijaksanaan pemerintah,
dengan kata lain bahwa peraturan perundangan akan menjadi efektif ketika dalam pembuatan maupun implementasinya didukung sarana-sarana
kebijaksanaan pemerintah yang memadai sehingga keberadaan kebijaksanaan pemerintah sebagai instrumen dalam peraturan perundangan terkait konflik
pengaturan hukum pendaftaran tanah dapat digunakan secara efektif dalam kegiatan prosedural pendaftaran tanah di kantor pertanahan.
Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat dalam mengatasi konflik stagnasi peraturan perundangan dalam pendaftaran tanah, maka pemerintah sebagai
pemegang kedaulatan yang mempunyai otorisasi dapat membuat keputusan yang harus dibuat pada tatanan hukum yang memiliki kekosongan gaps,
dengan kata lain ketika peraturan perundangan yang tersedia tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak adanya norma umum yang sesuai
dengan kasus bersangkutan. Dengan demikian pendapat Hans Kelsen tersebut secara logis tidak mungkin mengaplikasikan hukum valid yang ada kepada
kasus konkrit yang terjadi karena tidak adanya premis yang dibutuhkan sehingga tidak salah jika otorisasi yang dipunyai pemerintah boleh digunakan
untuk mengisi kekosongan hukum yang sedang terjadi.
103
103
Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, op. cit., Halaman 129
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Menurut Maria S.W. Sumardjono selama ini pengaturan hukum pendaftaran tanah banyak mendapat kritik dan tantangan sehingga perlu
dicarikan jalan keluarnya, antara lain melalui pendekatan yang mencerminkan pola pikir proaktif yang dilandasi sikap kritis dan obyektif, namun dalam
menghadapinya paling tidak ada dua rekasi yang muncul ; pertama reaksi legalistik yaitu karena sikap konservatif yang membuat sulit terhadap kehadiran
perubahan dengan alasan tidak ditunjuk secara eksplisit di dalam suatu peraturan perundangan ; kedua rekasi funsional yaitu karena sikap akomodatif
terhadap perubahan dengan alasan untuk kemanfaatan. Kedua reaksi tersebut kurang mementingkan bangunan konsep atas azas yang ada di balik kaedah
peraturan perundangan dan cenderung pragmatis karena terlalu cepat menolak atas menerima perubahan sebelum memikirkan akibatnya, maka solusi terbaik
yaitu dengan menggunakan metode interpretasi dan metode analogi.
104
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemerintah beserta jajaran birokrasinya sampai ke tingkat paling bawah dalam membuat putusan
kebijaksanaan di bidang pendaftaran tanah pada dasarnya bukan merupakan law making yang membuat peraturan perundangan, karena in-casu tidak berwenang
membuat peraturan perundangan wetgevende bevoegdheid, oleh karena itu maka kebijaksanaan tersebut hanya dipandang sebagai kepantasan dan
kepatutan atas dasar kepercayaan vertrouwensbeinsel yang dimiliki oleh
104
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit buku Kompas, Jakarta, Halaman 1-3
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pemerintah beserta jajaran birokrasinya sehingga tidak perlu mendapat pengujian terlebih dahulu dari lembaga yang berwenang, selain itu
kebijaksanaan itu juga tidak mengikat hukum secara langsung, namun tetap saja mempunyai relevansi hukum karena terkait kewenangan berdasarkan azas
discretionaire. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat diketahui bahwa pemerintah
diberi wewenang membuat kebijaksanaan ketika terjadi konflik pengaturan bidang pendaftaran tanah dengan ketentuan tidak beretentangan denga
Pancasila, Undang Undang Dasar Republik Indonesia serta peraturan perundangan berlaku tanpa dimaksudkan untuk memberi keuntungan bagi pihak
tertentu dan hanya harus semata untuk menjalankan roda pemerintahan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN