Perumusan Masalah Pola Asuh Orang Tua

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan dari kondisi permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkajinya melalui penelitian tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak autisme.

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimanakah perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orangtua dari anak autisme berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan. 1.3.2. Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan informasi pola asuh orangtua yang memiliki anak autisme. 2. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme berdasarkan usia. 3. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme berdasarkan tingkat pendidikan. 4. Mengetahui perbedaan tingkat pola asuh orang tua dari anak autisme berdasarkan pekerjaan. 1.4. Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penanganan anak autisme. Adapun secara khusus penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat sebagai berikut: 1.4.1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu dapat menambah keragaman ilmu pengetahuan dan penelitian bagi dunia kedokteran umumnya, khususnya ilmu kedokteran jiwa. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 1.4.2. Bagi pihak pengelola sekolah luar biasa autisme, yaitu memberikan masukan dalam rangka pemberian informasi yang berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anak autisme. 1.4.3. Bagi peneliti selanjutnya, yaitu dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang berkaitan tentang autisme. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme 2.1.1. Definisi Autisme bukan suatu penyakit tetapi berupa sindroma kumpulan gejala terjadi penyimpangan perkembangan sosial, gangguan kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekelilingnya sehingga anak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, perilaku, intelektual, dan kemauan Yatim, 2007. Istilah autisme berasal dari bahasa Yunani. kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti paham. Ini berarti bahwa autisme memiliki makna keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian terhadap dunianya sendiri. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, pola bermain, dan perilaku emosi. Gejala autisme mulai terlihat sebelum anak-anak berumur tiga tahun. Keadaan ini akan dialami di sepanjang hidup anak-anak tersebut Muhammad, 2008. Menurut Huzaemah 2010, autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialis, sensoris, dan belajar. Biasanya gejala sudah mulai tampak sebelum usia anak 3 tahun. Gulo 1982, menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subjektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri Muhammad, 2008. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Autisme menurut para ahli dari National Society for Children and Adult with Autism adalah gejala kelainan perilaku yang manifestasinya muncul sebelum usia 30 bulan dengan karakteristik gambaran: 1 gangguan pola dan kecepatan perkembangan; 2 gangguan respon terhadap berbagai stimuli sensori; 3 gangguan bicara, bahasa, kognisi dan komunikasi nonverbal; dan 4 gangguan dalam kemampuan mengenal orang, kejadian dan objek Tsai et al, 2001. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan gejala kelainan perkembangan pada anak yang disebabkan karena kerusakan otak, sehingga menimbulkan gangguan dalam interaksi sosial, gangguan bicara dan berbahasa, komunikasi nonverbal, kognisi, dan gangguan perilaku yang cenderung stereotip. Gangguan ini sudah tampak pada anak di bawah usia 3 tahun. Perilaku autistik menurut Handojo 2003, digolongkan menjadi 2 jenis yaitu: 1. Perilaku yang eksesif berlebihan adalah perilaku yang hiperaktif dan tantrum mengamuk berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar dan memukul, dan juga sering menyakiti diri sendiri. 2. Perilaku yang defisit berkekurangan ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue, bermain tidak benar, dan emosi tanpa sebab misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab.

2.1.2. Penyebab

Penyebab terjadinya autisme adalah adanya kelainan pada otak Handojo, 2003. Menurut Veskariyanti 2008, autisme disebabkan karena kondisi otak yang secara struktural tidak lengkap, atau sebagian sel otaknya tidak berkembang sempurna, ataupun sel-sel otak mengalami kerusakan pada masa perkembangannya. Penyebab sampai terjadinya kelainan atau kerusakan pada otak belum dapat dipastikan, namun ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab kelainan tersebut, antara lain faktor keturunan genetika, infeksi virus Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, obat-obatan serta akibat polusi udara, air, dan makanan;banyak mengandung Monosodium Glutamate MSG, pengawet atau pewarna. Gangguan atau kelainan otak tersebut terjadi sejak janin dalam kandungann, yaitu saat fase pembentukan organ-organ organogenesis pada usia kehamilan trimester pertama 0-4 bulan. Hal ini mengakibatkan neuro-anatomis pada bagian otak berikut ini: 1 lobus parietalis, menyebabkan anak autisme tidak peduli dengan lingkungan sekitar; 2 serebelum otak kecil terutama pada lobus VI dan VII menimbulkan gangguan proses sensoris, daya ingat, berpikir, berbahasa dan perhatian; 3 sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan pada hipokampus mengakibatkan gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi serta fungsi belajar dan daya ingat, sehingga anak autisme kurang dapat mengendalikan emosi, terlalu agresif atau sangat pasif, timbulnya perilaku atau gerakan yang diulang-ulang, aneh, dan hiperaktif serta kesulitan menyimpan informasi baru. Kelainan pada amigdala mengakibatkan gangguan berbagai rangsang sensoris pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, dan rasa takut. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali berisiko lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autisme jika memiliki saudara kandung yang juga autisme sekitar 3. Studi lain menunjukkan, saudara kembar dengan jenis kelamin yang sama tapi merupakan monozigotik, mempunyai risiko 300 kali lebih besar dari pada dizigotik Yoder, 2004. Beberapa kasus terjadinya anak autisme berhubungan dengan infeksi virus rubella kongenital atau cytomegalic inclusion disease, fenilketonuria suatu kekurangan enzim yang sifatnya diturunkan, dan sindroma-x yang rapuh kelainan kromosom. Abnormalitas yang paling sering terjadi yaitu duplikasi pada kromosom 15 dan kromosom seks. Bagian 15q dari kromosom yang didapat secara maternal ditemukan paling banyak berpengaruh pada individu yang menderita autisme. Bagian ini juga terlibat dalam basis genetik dari disleksia, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara salah satu gambaran klinis spektrum autisme. Bahkan akhir-akhir ini, gen ini dilaporkan ikut berpartisipasi dalam pengkodean gen 3-gamma-aminobutyric acid GABA-A receptor subunits Trottier, 1999. Sedangkan menurut Budiman 2001, peningkatan kasus autisme selain karena faktor kondisi dalam rahim seperti terkena virus toksoplasmosis sitomegalovirus, rubella atau herpes dan faktor herediter, juga diduga karena pengaruh zat-zat beracun, misalnya timah hitam Pb dari knalpot kendaraan, cerobong pabrik, cat tembok, kadmium Cd dari batu baterai, serta air raksa Hg yang juga digunakan untuk menjinakkan kuman untuk imunisasi. Demikian pula antibiotik yang memusnahkan hampir semua kuman baik dan buruk di saluran pencernaan, sehingga jamur merajalela di usus. Logam-logam berat yang menumpuk di dalam tubuh wanita dewasa masuk ke janin lewat demineralisasi tulang lalu tersalur ke bayi melalui Air Susu Ibu ASI. Peresepan antibiotik yang berlebihan adalah masalah yang tidak dapat dipisahkan dari autisme dan sudah memicu timbulnya resistensi organisme terhadap antibiotik sehingga organisme semakin sulit untuk dieradikasi Jepson, 2003. Selain itu, penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan mikroorganisme di tubuh Herbert, 2002. Anak-anak autisme mempunyai masalah khusus pada keadaan ini karena pada penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa anak-anak autisme mempunyai aktivitas T-helper 1 Lymphocyte yang rendah Jepson, 2003. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Warren 1995 dalam Trottier 1999, anak-anak autisme menunjukkan kelainan cell-mediated immunity termasuk kelainan aktivasi sel T dan penurunan jumlah helper-inducer lymphocytes. Keadaan ini menyebabkan rendahnya kemampuan untuk membersihkan organisme yang berbahaya dan mengembalikan keseimbangan flora normal intestinal. Ini dapat menghasilkan pertumbuhan jamur yang berlebihan dan bakteri yang persisten di saluran cerna mereka. Organisme tersebut dapat mengganggu proses pencernaan yang normal dan menghasilkan metabolit yang berbahaya yang berbahaya yang pada akhirnya berpengaruh pada kelakuan autisme Jepson, 2003. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Manifestasi Klinik

Secara umum karakteristik klinik yang ditemukan pada anak autisme menurut Yatim 2007, meliputi: 1. Sangat lambat dalam perkembangan bahasa, kurang menggunakan bahasa, pola berbicara yang khas atau penggunaan kata-kata tidak disertai arti yang normal. 2. Sangat lambat dalam mengerti hubungan sosial, sering menghindari kontak mata, sering menyendiri, dan kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. 3. Ditandai dengan pembatasan aktivitas dan minat, anak autisme sering memperlihatkan gerakan tubuh berulang, seperti bertepuk-tepuk tangan, berputar-putar, memelintir atau memandang suatu objek secara terus menerus. 4. Pola yang tidak seimbang pada fungsi mental dan intelektual, anak autisme sangat peka terhadap perubahan lingkungan, dan bereaksi secara emosional. Kemampuan intelektual sebagian besar mengalami kemunduran atau inteligensia yang rendah dan sekitar 20 persen mempunyai inteligensia di atas rata-rata. 5. Sebagian kecil anak autisme menunjukan masalah perilaku yang sangat menyimpang seperti melukai diri sendiri atau menyerang orang lain. Ada 3 kelompok gejala yang harus diperhatikan untuk dapat mendiagnosis autisme, yaitu dalam interaksi sosial, dalam komunikasi verbal, dan nonverbal serta bermain dan dalam berbagai aktivitas serta minat. Namun demikian, anak-anak autisme kemungkinan sangat berbeda satu dengan yang lain, tergantung pada derajat kemampuan intelektual serta bahasanya. Baik anak yang mutisme membisu dan suka menyendiri maupun anak yang mampu bertanya dengan tata bahasa yang benar tapi tidak sesuai dengan situasi yang ada, keduanya mempunyai diagnosis yang sama, yaitu autisme. Dapat pula terjadi salah diagnosis pada keadaan fungsi intelektual yang ekstrem sangat tinggi atau sangat rendah. Hilangnya tingkah laku yang khas autisme bersamaan dengan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara meningkatnya usia, membuat diagnosis autisme yang dibuat setelah masa kanak- kanak lewat, menjadi kurang dapat dipercaya Masra, 2002. Sedangkan untuk diagnostik anak autisme yaitu berdasarkan kriteria diagnostik menurut ICD – 10 1993 International Classification of Disease dari WHO maupun DSM-IV Diagnostic and Statistical Manual 1994, dari grup Psikiatri Amerika dalam Kaplan dan Sadock, 2010, keduanya menetapkan kriteria yang sama untuk anak autisme. Kriteria DSM-IV untuk Autisme: A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari 1, 2 dan 3, dengan minimal 2 gejala dari 1 dan masing-masing 1 gejala 2 dan 3. 1 Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbul balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala ini: a. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang setuju. b. Tidak bisa main dengan teman sebaya. c. Tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik. 2 Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti, minimal 1 dari gejala-gejala di bawah ini: a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang dan tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara. b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi. c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru. 3 Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan, sedikitnya harus ada satu gejala dibawah ini: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan. b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik dan rutinitas yang tidak ada gunanya. c. Ada gerakan-gerakan yang aneh, khas dan diulang-ulang. d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda. B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang: a. Interaksi sosial. b. Bicara dan berbahasa. c. Cara bermain yang kurang variatif. C. Bukan disebabkan oleh Sindrom Rett atau Gangguan Disintegratif masa kanak.

2.1.3. Penatalaksanaan Terapi

Tujuan terapi pada anak dengan gangguan autisme menurut Kaplan dan Sadock 2010, adalah mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam keterampilan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang komprehensif dan bersifat individual, dimana pendidikan khusus dan terapi wicara merupakan komponen yang paling utama. Adapun program terapi meliputi: 1 pendekatan edukatif berupa pendidikan khusus dan latihan terstruktur; 2 Terapi perilaku dengan menggunakan prosedur modifikasi perilaku yang spesifik; 3 Psikoterapi secara individual, baik dengan atau tanpa obat; 4 Terapi dengan obat- obatan, khususnya bagi anak autisme dengan gejala-gejala seperti: tempertantrum, agresif, melukai diri sendiri, hiperaktifitas, dan stereotip. Menurut Danuatmaja 2003, penatalaksanaan terapi anak autisme ada 5 jenis, diantaranya: 2.1.3.1. Terapi medikamentosa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Terapi dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki komunikasi, respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh serta diulang-ulang. 2.1.3.2. Terapi biomedis Terapi ini bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini didasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam berat. 2.1.3.3. Terapi wicara Terapi ini umumnya menjadi keharusan bagi anak autisme karena mereka mengalami gangguan bicara dan kesulitan berbahasa. 2.1.3.4. Terapi perilaku Terapi ini bertujuan agar anak autisme dapat mengurangi perilaku tidak wajar dan menggantinya dengan perilaku yang diterima oleh masyarakat. 2.1.3.5. Terapi okupasi Terapi ini diberikan pada anak yang memiliki gangguan perkembangan motorik kurang baik. Bertujuan untuk menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan keterampilan motorik halus. Suatu tim kerja terpadu yang terdiri dari tenaga pendidik, tenaga medis psikiater, dokter anak, psikolog, ahli terapi wicara, pekerja sosial, dan perawat sangat diperlukan agar dapat mendeteksi dini serta memberi penanganan yang sesuai dan tepat waktu. Semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat, akan dapat tercapai hasil yang optimal Masra, 2002.

2.2 Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Saku Bahasa Indonesia 2010, pola adalah model, cara, sistem, kerja atau ragam sedangkan kata asuh adalah menjaga, merawat, dan mendidik anak. Pola asuh adalah interaksi sosial awal yang berguna untuk mengenalkan anak pada aturan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dan norma tata nilai yang berlaku pada masyarakat Hurlock, 2008. Pengasuhan anak adalah bagian dari proses sosialisasi tata pergaulan keluarga yang mengarah pada terciptanya kondisi kedewasaan dan kemandirian anggota keluarga atau masyarakat Godam, 2008. Menurut Petranto 2006, pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Pola asuh anak akan mempengaruhi harga dirinya dikemudian hari. Harga diri seseorang bisa dikatakan baik bila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu, dan merasa berharga. Hal-hal ini adalah yang diinginkan oleh setiap orang tua pada anaknya. Setiap orang tua yang merasa memiliki anak-anak dengan perasaan tersebut di atas tentu bangga dan merasa tidak sia-sia membesarkannya dan merasa apa yang telah diperbuatnya kepada anak memang adalah hal yang benar. Jadi pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif. Kreativitas anak tidak terlepas dari pengasuhan orang tuapendidik dalam arti bahwa kreativitas anak erat hubungannya dengan pola asuh yang diberikan oleh orangtuapendidik juga orang tua berperan membenahi mental hygiene anak, karena itu merupakan prasyarat utama bagi terbentuknya kepribadian yang mantap. Pada tahap selanjutnya kepribadian ini merupakan modal bagi penyesuaian diri anak dengan lingkungannya yang memberikan dampak bagi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Melalui pendidikan yang diberikan oleh orang tua, anak akan memenuhi sifat kemanusiaannya dan berkembang dari insting-insting biogenetik yang primitif untuk belajar terhadap respon-respon yang diterimanya Aisyah, 2010. Aspek-aspek asuhan dikemukakan oleh Bradley et al 2003, dengan pengukuran HOME Inventory Home Observation Measurement Environment. HOME disusun untuk dapat mengkaji kualitas, kuantitas dukungan, dan stimulasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara secara fisik mainan dan pembelajaran materi dan sosial dukungan emosi dan respon yang diberikan kepada anak oleh pengasuhnya di lingkungan rumah dan orang yang memberi pengasuhan. Skala HOME meliputi 6 aspek, yaitu tanggap rasa dan kata, penerimaan terhadap perilaku anak, pengorganisasian lingkungan anak, penyediaan mainan untuk anak, keterlibatan orangtua terhadap anak, dan kesempatan variasi asuhan anak. Instrumen HOME dapat digunakan untuk mengukur kualitas dan kuantitas dari perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak Bradley et al, 2003. HOME Inventory memberikan informasi yang objektif, gambaran aktifitas yang dilakukan oleh anak, dan menawarkan aspek lingkungan positif dan negatif yang sesuai dengan kebutuhan anak Mayes et al, 2012.

2.3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh