MODEL MATEMATIKA DARI PERISTIWA TERJADINYA PELANGI

(1)

MODEL MATEMATIKA DARI PERISTIWA

TERJADINYA PELANGI

skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sain

Program Studi Matematika

Oleh Aenurofiq 4150406031

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul

Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi disusun oleh

Nama : Aenurofiq NIM : 4150406031

telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi FMIPA Unnes pada tanggal 9 Pebruari 2011

Panitia:

Ketua Sekretaris

Dr. Kasmadi Imam S., M.S. Drs. Edy Soedjoko, M.Pd

195111151979031001 195604191987031001 Ketua Penguji

Dr. St. Budi Waluya, M.Si 196809071993031002

Anggota Penguji/ Anggota Penguji/

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Drs. Moch. Chotim, M.S. Drs. Wuryanto, M.Si. 194905151979031001


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi skripsi tidak pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya yang diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dirujuk dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang, Januari 2011

Aenurofiq 4150406031


(4)

iv

ABSTRAK

Aenurofiq. 2011. “Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi”. Skripsi, Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Moch. Chotim, M.S., Pembimbing II: Drs. Wuryanto, M.Si.

Kata kunci : deviasi minimum, sudut pelangi.

Pelangi merupakan salah satu gejala alam yang terjadi akibat dari sinar matahari yang memasuki tetes air hujan, yang mengalami proses pembiasan, pemantulan dan pendispersian. Dari proses-proses tersebut terbentuk dua buah pelangi yaitu pelangi primer dan pelangi sekunder yang dibedakan dari susunan spektrum warnanya. Spektrum warna yang dihasilkan yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Spektrum warna yang terbentuk tersebut dapat diamati secara optimum jika kondisi dalam mengamatinya juga optimum, yaitu dengan memperhatikan masalah sudut pengamat dalam melihat pelangi atau sering disebut sebagai sudut pelangi.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan model matematika dari peristiwa terjadinya pelangi, menentukan sudut pelangi primer untuk melihat pelangi secara optimum dan menentukan sudut warna-warna pelangi primer melalui kalkulus diferensial.

Metode penelitian ini menggunakan metode studi pustaka. Dari studi pustaka tersebut disusun kerangka teori yang melandasi cara pemecahan masalah yang meliputi turunan, nilai ekstrim, sifat pemantulan dan pembiasan yang dituangkan dalam bentuk definisi dan teorema. Selain itu, penulisan ini didasari sejumlah syarat dalam menentukan model matematikanya, yaitu pemantulan yang terjadi adalah pemantulan sempurna, yaitu pemantulan yang terjadi karena sudut datang lebih besar daripada sudut kritisnya (sudut yang menyebabkan sinar bias berhimpit dengan permukaan batas kedua medium) serta terjadinya pelangi jika telah terjadi hujan di depan pengamat dan matahari berada di belakang pengamat.

Hasil penelitian ini adalah model matematika sudut deviasi pelangi primer

yaitu dengan = sudut deviasi pelangi, =

sudut datang, = indeks bias udara dan = indeks bias air. Berdasarkan model tersebut dapat diketahui sudut optimum dalam mengamati pelangi primer, yaitu . Besar sudut pelangi untuk warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu berturut-turut adalah 42;250; 41,950; 41,620; 41,230; 41,030; 40,660 dan 40,580. Dapat diketahui bahwa besar sudut pelangi untuk tiap warna pelangi adalah berbeda. Hal inilah yang menjelaskan bahwa pelangi tersusun dari tujuh buah warna mulai dari warna merah hingga ungu.


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

™ Manfaatkanlah waktu luang kita sebaik mungkin sebelum datang waktu sempit kita

™ Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Jika mengalami kegagalan, jangan mudah putus asa. Segera bangkit dan raihlah keberhasilan itu

™ Lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. Jangan suka berpangku tangan. Bekerjalah untuk dunia dan akhiratmu

™ Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka (HR. Muslim)

PERSEMBAHAN:

Kupersembahkan kepada Bapak dan Ibuku Tercinta Adikku Dewi Aini Zulfah

Kekasihku, Putri Rusmiyani yang selalu mendampingiku Temanku Wendy, Taufik, Tomy, Mada dan Dadang Teman-teman Matematika Angk. 2006


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang diberi judul “Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi”.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis akan menyampaikan rasa hormat, serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastro Atmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Kasmadi Imam S., M.S., Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

3. Drs. Edy Soedjoko, M.Pd., Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang.

4. Drs. Moch. Chotim, M.S., selaku Dosen Sembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan serta motivasi sehingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.

5. Drs. Wuryanto, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa membantu dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Matematika yang telah mengajar dengan baik dan memberikan bekal ilmu selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Matematika.


(7)

vii

7. Bapak, Ibu, dan Adikku yang telah memberikan doa dan motivasi. 8. Kekasihku yang selalu memberi dukungan dan semangat.

9. Teman-teman dekatku Wendy, Taufik, Tomy, Mada dan Dadang tetap semangat selalu dan terima kasih atas dukungannya selama ini.

10.Teman-teman matematika angkatan 2006, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis senantiasa menerima kritik dan saran atas kekurangan tersebut. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, Amin.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iii

ABSTRAK ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR SIMBOL ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan ... 4

1.5 Manfaat ... 4

1.6 Sistematika Penulisan ... 5

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 7

2.1 Turunan Suatu Fungsi ... 7

2.2 Nilai Maksimum dan Minimum ... 10

2.3 Cahaya ... 15

a. Indeks Bias ... 15

b. Lintasan Optis (Optical Path) ... 16

c. Hukum Pemantulan dan Pembiasan Cahaya ... 17

d. Hukum Pemantulan dan Pembiasan Berdasarkan Prinsip Fermat ... 18

e. Pembiasan oleh Prisma ... 24


(9)

ix BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Identifikasi Masalah ... 27

3.2 Perumusan Masalah ... 27

3.3 Studi Pustaka ... 28

3.4 Analisis dan Pemecahan Masalah ... 28

3.5 Penarikan Simpulan ... 28

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi ... 29

4.2 Besar Sudut Pelangi Primer ... 33

4.3 Besar Sudut Warna Pelangi ... 36

4.3.1 Sinar Warna Merah ... 37

4.3.2 Sinar Warna Jingga ... 38

4.3.3 Sinar Warna Kuning ... 40

4.3.4 Sinar Warna Hijau ... 42

4.3.5 Sinar Warna Biru ... 44

4.3.6 Sinar Warna Nila ... 46

4.3.7 Sinar Warna Ungu ... 47

4.4 Simulasi Pelangi dengan Aplikasi Program Maple ... 50

BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan ... 55

5.2 Saran ... 56


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik dengan f

( )

a = fmindan f

( )

d = fmaks. ... 10

Gambar 2. Grafik dengan . ... 11

Gambar 3. Grafik f : f

( )

−2 = fminrel, f

( )

2 = fminrel dan f

( )

0 = fmaksrel. ... 12

Gambar 4. Lintasan optis yang melewati susunan medium optis... 16

Gambar 5. Pemantulan dan pembiasan pada permukaan batas udara air... ... 17

Gambar 6. Geometri untuk menurunkan hukum pemantulan dari prinsip Fermat ... 19

Gambar 7. Geometri untuk menurunkan hukum pembiasan dari prinsip Fermat ... 22

Gambar 8. Pembiasan pada prisma kaca ... 24

Gambar 9. Geometri cahaya melewati prisma dan membentuk deviasi minimum ... 25

Gambar 10.Peristiwa dispersi cahaya ... 25

Gambar 11.Proses terjadinya pelangi ... 29

Gambar 12.Seberkas sinar matahari yang memasuki sebuah tetes air hujan. .. 30

Gambar 13.Grafik fungsi terhadap ... 34

Gambar 14.Sudut pelangi adalah ... 35

Gambar 15.Sudut warna pelangi ... 50


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Indeks bias dari warna pelangi ... 36


(12)

xii

DAFTAR SIMBOL

n Indeks bias

c Laju cahaya dalam ruang hampa v Laju cahaya dalam medium

d Lintasan cahaya dalam suatu medium Δ Lintasan optis

θ1 Sudut datang θ1’ Sudut pantul θ2 Sudut bias

δ Sudut deviasi prisma kaca

Sudut deviasi minimum prisma kaca β Jari-jari pelangi

Sudut deviasi pelangi Indeks bias udara Indeks bias air

Indeks bias warna merah Indeks bias warna jingga Indeks bias warna kuning Indeks bias warna hijau Indeks bias warna biru Indeks bias warna nila Indeks bias warna ungu


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Matematika bersifat universal sangat erat kaitannya dengan kehidupan nyata. Matematika dapat berperan sebagai ratu ilmu sekaligus sebagai pelayan ilmu-ilmu yang lain. Matematika dikatakan sebagai ratu ilmu karena dapat tumbuh dan berkembang untuk sendirinya sebagai suatu ilmu tanpa adanya bantuan dari ilmu lain. Matematika sebagai pelayan ilmu karena ilmu lain tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya bantuan matematika. Kajian matematika yang berperan sebagai pelayan ilmu-ilmu lain biasa disebut sebagai matematika terapan atau applied mathematic.

Salah satu kajian matematika yang konsep-konsepnya banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah kalkulus diferensial. Kalkulus diferensial merupakan bagian kalkulus yang berhubungan dengan turunan (Purcell, Varberg & Rigdon, 2004:111). Salah satu fenomena alam yang memerlukan kalkulus diferensial untuk menentukan model matematikanya adalah peristiwa terjadinya pelangi.

Pelangi merupakan salah satu gejala alam yang terjadi akibat dari sinar matahari yang memasuki tetes air hujan yang mengalami proses pembiasan, pemantulan dan pendispersian cahaya. Tetesan air hujan dapat membiaskan dan menyebarkan cahaya mirip sebuah prisma kaca. Cahaya yang memasuki prisma kaca akan dibiaskan. Pembiasan ini terjadi ketika cahaya berpindah dari medium satu ke medium yang lain. Prisma kaca juga dapat menguraikan cahaya putih


(14)

2

menjadi komponen warna yang berlainan. Warna cahaya yang berlainan memiliki frekuensi yang berbeda sehingga memiliki kecepatan tempuh yang berbeda ketika memasuki prisma kaca. Cahaya yang kecepatannya rendah akan dibiaskan lebih tajam ketika berpindah dari udara ke prisma kaca. Cahaya yang memasuki prisma kaca akan dibiaskan dua kali yaitu ketika memasuki dan keluar dari prisma kaca sehingga terjadi penyebaran cahaya (dispersi). Oleh sebab itu, cahaya yang memasuki prisma kaca akan diuraikan menjadi beberapa komponen warna karena mengalami pendispersian cahaya.

Proses terjadinya pelangi mirip dengan peristiwa pembiasan dan pendispersian cahaya pada prisma kaca. Cahaya matahari yang menembus tetes air hujan akan mengalami pembiasan dan pendispersian cahaya. Cahaya matahari yang menembus tetes air hujan akan dibiaskan dari satu sisi ke sisi yang lainnya dari tetes air hujan tersebut. Selain itu, cahaya matahari akan diuraikan menjadi beberapa komponen warna. Komponen warna yang dihasilkan adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu dengan warna merah pada lapisan terluar dan warna ungu pada lapisan paling dalam dari pelangi. Jadi, cahaya matahari yang menembus dan meninggalkan tetes air hujan akan dibiaskan dan diuraikan menjadi ketujuh komponen warna yang membentuk pelangi.

Pelangi yang terbentuk dapat diamati secara optimum dengan memperhatikan masalah sudut pengamat dalam melihat pelangi. Sudut inilah yang disebut dengan sudut pelangi. Posisi pengamat harus berada di antara matahari dan tetesan air dengan matahari di belakang pengamat. Matahari, mata pengamat dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu garis lurus. Sudut pelangi dari


(15)

tiap-tiap warna pelangi adalah berbeda. Hal inilah yang membuat pelangi tersusun dari tujuh warna.

Pelangi terdiri atas pelangi primer dan sekunder (Jenkins & White, 1960:456). Pelangi primer terbentuk saat cahaya matahari dipantulkan hanya satu kali ketika menembus tetes air hujan. Cahaya matahari diuraikan pada waktu memasuki dan meninggalkan tetes air hujan tersebut. Pelangi sekunder terbentuk saat cahaya matahari dipantulkan dua kali oleh tetes air hujan dan memancar ke luar dengan sudut yang lebih tajam ke arah tanah (Jenkins & White, 1960:457). Urutan warna-warnanya adalah kebalikan dari pelangi primer. Jadi, warna ungu berada pada bagian luar sedangkan warna merah berada pada lapisan paling dalam dari pelangi sekunder. Hal inilah yang menyebabkan pelangi sekunder tampak seperti pantulan pelangi primer.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui model matematika dari pelangi melalui kalkulus diferensial. Dari model matematika itu dapat dicari besarnya sudut pelangi dan besarnya sudut tiap-tiap warna pelangi tersebut. Sehingga penulis mengambil judul Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan adalah: a. Bagaimana model matematika dari peristiwa terjadinya pelangi? b. Berapa besar sudut pelangi primer?


(16)

4

1.3 Batasan Masalah

Pada penelitian ini masalah yang dikaji adalah pemodelan matematika pada proses terjadinya pelangi. Dari dua buah pelangi yang terbentuk hanya akan dibahas mengenai pelangi primer. Pada pemodelan matematika yang terbentuk nanti dapat dicari besar sudut pelangi primer dan besar sudut pada warna-warna pelangi primer.

1.4 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

a.Mengetahui pemodelan matematika dari peristiwa terjadinya pelangi. b. Mengetahui besar sudut pelangi primer.

c.Mengetahui besar sudut pada warna-warna pelangi primer.

1.5

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi peneliti

Peneliti dapat mengetahui model matematika dari peristiwa terjadinya pelangi dan mengetahui besarnya sudut-sudut yang terkait pada pelangi. b. Bagi pihak lain

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya. Dan diharapkan pula dapat menambah pengetahuan kepada para pembaca mengenai pemodelan matematika pada peristiwa terjadinya pelangi.


(17)

1.6 Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian akhir skripsi, sebagai berikut.

a) Bagian pendahuluan

Pendahuluan skripsi ini berisi halaman judul, pengesahan, motto dan persembahan, abstaksi, kata pengantar, daftar isi, dan daftar gambar.

b) Bagian isi

Bagian isi terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut. Bab I Pendahuluan

Berisi latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Teori

Berisi pengertian-pengertian. Bab III Metode Penelitian

Berisi menentukan masalah, perumusan masalah, studi pustaka, analisa, pemecahan masalah dan penarikan simpulan.

Bab IV Pembahasan

Berisi hasil-hasil penelitian dan pembahasan. Bab V Penutup

Berisi simpulan dan saran. c) Bagian akhir skripsi


(18)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Turunan Suatu Fungsi

Definisi 2.1

Dipunyai fungsi Turunan fungsi f pada selang didefinisikan

sebagai

( )

(

) ( )

h x f h x f x f h − + = →0 lim

' apabila nilai limit ini ada untuk setiap di (Chotim, 2008: 124).

Rumus-rumus turunan Teorema 2.1

Dipunyai fungsi f :IR, IR dan K suatu konstanta di R. Jika f(x)=K untuk setiap xdiI, maka

[

( )

]

=0.

dx x f d Bukti:

( )

[

]

(

) ( )

. 0 0 lim lim lim 0 0 0 = = − = − + = → → → h h h h K K h x f h x f dx x f d Jelas Teorema 2.2

Jika fungsi f,g:IR, IR, mempunyai turunan di xI maka

( ) ( )

[

]

( )

.

[

( )

]

( )

.

[

f

( )

x

]

.

dx d x g x g dx d x f x g x f dx d + =


(19)

Bukti:

( ) ( )

[

]

(

) (

) ( ) ( )

(

) (

) ( ) (

) ( ) (

) ( ) ( )

(

) ( )

(

)

( )

(

) ( )

( )

.

[

( )

]

( )

.

[

( )

]

. lim . lim lim . lim . . . . lim . . lim 0 0 0 0 0 0 x f dx d x g x g dx d x f h x g h x g x f h x g h x f h x f h x g x f h x g x f h x g x f h x g h x f h x g x f h x g h x f x g x f dx d Jelas h h h h h h + = − + + + − + = − + + + − + + = − + + = → → → → → → Teorema 2.3

Jika f :RR, f

( )

x =xn,dan n sebarang bilangan real, maka

( )

= . n−1.

n x n dx x d Bukti:

Tulis

( )

:

( )

= . n−1.

n x n dx x d n P

¾ Jelas

( ) ( )

1 : =1.x1−1.

dx x d P

Jelas

( )

=1=1.x0 =1.x1−1.

dx x d

Jadi P

( )

1 benar.

¾ Dipunyai P

( )

k benar. Jelas

( )

= . k−1.

k x k dx x d


(20)

8

( ) ( )

( )

( )

(

1

)

. ( ) . . . . . . . 1 1 1 1 − + − + + = + = + = + = = k k k k k k k k k x k x x k x x k x dx x d x dx x d x dx x x d dx x d Jadi

Jadi P

(

k+1

)

benar apabila P

( )

k benar. Jadi P

( )

n benar.

Jadi

( )

= . n−1.

n x n dx x d Teorema 2.4

Jika fungsi f,g:IR, IR, g

( )

x ≠0 mempunyai turunan di xI

maka

( )

( )

( )

[

( )

]

( )

[

( )

]

( )

[

]

2 .

x g x g dx d x f x f dx d x g x g x f dx d − = ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ Bukti:

Tulis

( )

( )

( )

x g

x f x

F = .

Jelas

( )

(

)

( )

h x F h x F x F h − + = →0 lim '

(

)

( )

( )

(

) ( ) ( ) (

)

(

) ( )

(

) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (

)

(

x h

) ( )

g x g h h x g x f x g x f x g x f x g h x f x g h x g h h x g x f x g h x f h x g x f h x g h x f h h h . . . . . . lim . . . . lim ) ( lim 0 0 0 + + − + − + = + + − + = − + + = → → →


(21)

( ) (

) ( )

( ) (

) ( )

(

) ( )

( )

(

) ( )

( )

(

) ( )

(

)

( )

( ) ( ) ( ) ( )

( )

[

]

' . ' lim . lim lim . lim lim . lim . lim 2 0 0 0 0 0 0 0 x g x g x f x f x g x g h x g h x g h x g x f h x f h x f x g x g h x g h x g h x g x f h x f h x f x g h h h h h h h − = + − + − − + = + − + − − + = → → → → → → →

2.2 Nilai Maksimum dan Minimum

Definisi 2.2

Fungsi f mempunyai maksimum mutlak (atau maksimum global) di c jika

( )

c f

( )

x

f ≥ untuk semua x di D, dengan D adalah daerah asal f.

Bilangan f

( )

c disebut nilai maksimum f pada .D Secara serupa, f mempunyai minimum mutlak di c jika f

( )

cf

( )

x untuk semua x di D dan bilangan f

( )

c disebut nilai minimum f pada .D Nilai maksimum dan minimum f disebut nilai ekstrim f (Stewart J., 1998:248).


(22)

10

Gambar 1 memperlihatkan grafik fungsi f dengan maksimum mutlak di d dan minimum mutlak di a. Jadi,

(

d, f

( )

d

)

adalah titik tertinggi pada grafik dan

(

a,f

( )

a

)

adalah titik terendah.

Contoh

Dipunyai fungsi f :RR dengan f

( ) (

x =− x−2

)

2 +1. Sket grafik f :

Gambar 2. Grafik dengan . Intuisi: f

( )

2 =1 merupakan nilai maksimum f . Bukti:

Ambil sembarang xR. Jelas x−2∈R.

Jelas

(

x−2

)

2 ≥0 ⇔ −

(

x−2

)

2 ≤0

(

)

( )

( )

2 . 1 1 2 2

f x f

x ≤ ⇔

≤ + − − ⇔

Jadi f

( )

2 ≥ f

( )

xxR.


(23)

Definisi 2.3

Dipunyai fungsi f :RR.

(a) Jika terdapat suatu selang DR yang memuat c sehingga berlaku

( )

c f

( )

x x D

f ≥ ∀ ∈ , maka f

( )

c disebut nilai maksimum relatif f.

(b) Jika terdapat suatu selang DR yang memuat c sehingga berlaku

( )

c f

( )

x x D

f ≤ ∀ ∈ , maka f

( )

c disebut nilai minimum relatif f.

Contoh

Dipunyai fungsi f :RR yang diberikan dengan f

( )

x = 4−x2 . Tentukan nilai-nilai ekstrim relatif f.

Penyelesaian:

Jelas

( )

⎪ ⎩ ⎪ ⎨ ⎧

≥ −

< ≤ − −

− < − =

2 , 4

2 2

, 4

2 ,

4 2

2 2

x x

x x

x x

x f

Grafik fungsi f sebagai berikut.

Gambar 3. Grafik dengan f

( )

−2 = fminrel, f

( )

2 = fminrel dan f

( )

0 = fmaksrel.


(24)

12

Bukti:

(a) Pilih .δ =1

Bangun D=

(

−2−1,−2+1

) (

= −3,−1

)

.. Ambil sembarang xD.

Jelas .−3< x<−1 Kasus :−3< x<−2

Jelas 4< x2 <9 ⇔ 0< x2 −4<5 ⇔ f

( )

−2 < f

( )

x <5. Jadi f

( )

−2 ≤ f

( )

x.

Kasus :−2≤x<−1

Jelas 1< x2 ≤4⇔ −4≤−x2 <−1

( )

2

( )

3.

3 4

0 2

< ≤

− ⇔

< − ≤ ⇔

x f f

x

Jadi f

( )

−2 ≤ f

( )

x.

Jadi terdapat selang DR sehingga f

( )

−2 ≤ f

( )

xxD. Jadi f

( )

−2 =0 merupakan nilai minimum relatif f.

(b) Pilih δ =1.

Bangun D=

(

0−1,0+1

) (

= −1,1

)

. Ambil sembarang xD.

Jelas .−1< x<1 Kasus :−1< x<0


(25)

( )

( )

0. 3 4 4 3 2 f x f x < < ⇔ < − < ⇔

Jadi f

( )

xf

( )

0. Kasus :0≤x<1

Jelas 00≤ x2 <1⇔ −1<−x2 ≤

( )

( )

0. 3 4 4 3 2 f x f x ≤ < ⇔ ≤ − < ⇔

Jadi f

( )

xf

( )

0.

Jadi terdapat selang DR sehingga f

( )

0 ≥ f

( )

xxD. Jadi f

( )

0 =4 merupakan nilai maksimum relatif f.

(c) Pilih δ =1.

Bangun D=

(

2−1,2+1

) ( )

= 1,3. Ambil sembarang xD.

Jelas .1<x<3 Kasus :1<x<2

Jelas 1< x2 <4 ⇔ −4<−x2 <1

( )

2

( )

3. 3 4 0 2 < < ⇔ < − < ⇔ x f f x

Jadi f

( )

2 ≤ f

( )

x. Kasus :2≤ x<3

Jelas 4≤ x2 <9 ⇔ 0≤ x2 −4<5 ⇔ f

( )

2 ≤ f

( )

x <5.


(26)

14

Jadi f

( )

2 ≤ f

( )

x.

Jadi terdapat selang DR sehingga f

( )

2 ≤ f

( )

xxD. Jadi f

( )

2 =0 merupakan nilai minimum relatif f.

2.3 Cahaya

Cahaya berjalan dalam lintasan yang berbentuk garis lurus yang disebut berkas cahaya (Giancoli, 2001:243). Laju cahaya di dalam medium dengan laju cahaya di ruang hampa adalah berbeda. Salah satu sifat cahaya adalah cahaya dapat dipantulkan dan dapat dibiaskan (Jenkins & White, 1960:11). Cahaya yang mengenai logam sebagian besar dipantulkan sedangkan cahaya yang mengenai benda transparan akan dibiaskan. Cahaya dapat diuraikan menjadi beberapa komponen warna apabila memasuki sebuah prisma kaca (Giancoli, 2001:298).

a. Indeks Bias

Laju cahaya di dalam medium seperti kaca, air atau udara ditentukan oleh indeks bias n yang didefinisikan sebagai perbandingan laju cahaya dalam ruang hampa c terhadap laju tersebut dalam medium (Giancoli, 2001:257).

v c

n=


(27)

b. Lintasan Optis (Optical Path)

Salah satu besaran yang sangat penting di dalam optika geometri adalah lintasan optis. Jika lintasan cahaya di dalam suatu medium adalah d, maka dapat dinyatakan

vt d =

dengan v adalah kecepatan cahaya di dalam medium dan t adalah waktu.

Dipunyai v c

n= sehingga n c

v= .

Jelas n ct

d = ⇔ dn=ct.

Perkalian dn inilah yang dinamakan lintasan optis Δ.

Lintasan optis menyatakan jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam hampa dengan waktu yang sama jika cahaya tersebut melewati medium dalam jarak d. Jika cahaya melewati suatu susunan medium optis dengan ketebalan d, d’, d’’,… dan dengan indeks bias n, n’, n’’,…, maka lintasan optis totalnya adalah:

...Δ=nd+n'd'+n''d ''+

Gambar 4. Lintasan optis yang melewati susunan medium optis

n n’ n”


(28)

16

c. Hukum Pemantulan Dan Pembiasan Cahaya

Ketika cahaya menimpa permukaan benda, sebagian cahaya dipantulkan. Sisanya diserap oleh benda dan diubah menjadi energi panas, atau jika benda tersebut transparan seperti kaca atau air, sebagian dibiaskan. Untuk benda-benda yang sangat mengkilat seperti cermin berlapis perak, lebih dari 95 persen cahaya bisa dipantulkan.

Gambar 5. Pemantulan dan pembiasan pada permukaan batas udara air

Pada Gambar 5 seberkas cahaya jatuh pada permukaan batas dua medium 1 dan medium 2, maka sebagian dipantulkan oleh permukaan dan sebagian lagi dibiaskan masuk ke dalam medium 2. Sudut datang (θ1), sudut pantul (θ1’) dan sudut bias (θ2) diukur dari normal bidang batas ke sinar yang bersangkutan.

Hukum-hukum mengenai pemantulan dan pembiasan adalah sebagai berikut.

1. Sinar yang dipantulkan dan dibiaskan terletak pada satu bidang yang dibentuk oleh sinar datang dan normal bidang batas di titik datang.


(29)

2. Untuk pemantulan berlaku sudut datang = sudut pantul, 1

1' θ

θ = .

3. Untuk pembiasan berlaku: perbandingan sinus sudut datang dengan sinus sudut bias berharga konstan,

21 1

2 2 1

sin sin

n n n

= =

θ θ

.

n21 adalah indeks bias dari medium 2 terhadap medium 1.

Pernyataan 1 dan 2 dinamakan hukum pemantulan Snellius, sedangkan pernyataan 1 dan 3 dinamakan hukum pembiasan Snellius. Hukum pembiasan dapat ditulis

2 2 1

1sinθ n sinθ

n =

d. Hukum Pemantulan Dan Pembiasan Berdasarkan Prinsip Fermat Rambatan gelombang dapat dijelaskan dengan prinsip Fermat yang pertama kali dinyatakan oleh matematikawan Perancis Pierre de Fermat pada abad ke 17. Secara umum prinsip Fermat dinyatakan sebagai berikut (Jenkins & White, 1960:15)..

“Lintasan yang dilalui oleh cahaya untuk merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanan itu tidak berubah sehubungan dengan variasi-variasi dalam lintasan tersebut.”

Waktu yang dibutuhkan cahaya untuk melintas dari sumber cahaya menuju ke titik perpotongan antara garis normal dan bidang batas kedua medium hingga cahaya itu dipantulkan lagi, disimbolkan dengan t.


(30)

18

Sedangkan jarak yang ditempuh cahaya dari sumber cahaya menuju ke titik perpotongan antara garis normal dan bidang batas kedua medium disimbolkan dengan . Jika diungkapkan sebagai beberapa parameter x, maka lintasan yang dilalui cahaya akan sedemikian rupa sehingga

, 0 = dx

dt artinya t mungkin minimum, maksimum atau konstan. Ciri-ciri penting dari lintasan yang tidak berubah adalah bahwa waktu yang diperlukan sepanjang lintasan-lintasan terdekat akan kira-kira sama seperti sepanjang lintasan yang sebenarnya. Lebih khusus lagi prinsip Fermat dinyatakan sebagai berikut (Sears & Zemansky, 1987).

“Lintasan yang dilalui oleh cahaya untuk merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu perjalanannya minimum.”

Prinsip Fermat adalah salah satu metode yang digunakan untuk menjelaskan perambatan cahaya dan gelombang-gelombang lainnya yang dikemukakan oleh Pierre de Fermat. Prinsip Fermat ini dapat digunakan untuk menurunkan hukum-hukum pemantulan cahaya.

Gambar 6. Geometri untuk menurunkan hukum pemantulan dari prinsip Fermat

A B

P

a b

2

θ

1

θ

d


(31)

Dalam Gambar 6 asumsikan bahwa cahaya berasal dari titik A, mengenai permukaan datar dan dipantulkan menuju titik B. Untuk mengetahui lintasan yang dilalui oleh cahaya tersebut, permasalahan yang akan dipecahkan dengan prinsip Fermat adalah menentukan posisi titik P pada Gambar 6 sehingga cahaya akan berjalan dari titik A ke titik B.

Apabila lintasan dengan waktu tersingkat adalah AP-PB, maka lintasan optisnya adalah:

PB n AP n1 + 2 =

Δ .

dengan : indeks bias medium 1 dan : indeks bias medium 2.

Indeks bias medium 1 bernilai sama dengan indeks bias medium 2 karena cahaya datang dari udara menuju ke titik perpotongan antara garis normal dan bidang batas kemudian dipantulkan lagi ke udara. Sehingga dengan adalah indeks bias udara. Karena

n n

n1 = 2 = , maka lintasan optisnya dapat ditulis:

(

AP PB

)

n +

=

Δ .

Waktu yang dibutuhkan oleh cahaya melalui lintasan total adalah:

(

)

(

)

c x d b n x a n c PB AP n c t 2 2 2

2 + + + −

= + = Δ = . Jelas

(

)

dx c x d b n x a n d dx dt ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + + + = 2 2 2 2


(32)

20

(

)

(

(

)

)

(

)

(

(

)

)

dx c x d b n d dx c x a n d dx c x d b n x a n d ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − + + ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − + + + = 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2

(

)

(

)

(

)

(

(

(

(

)

)

)

)

(

(

( )

)

)

(

)

( )

[

(

)

]

( )(

)( )

(

)

(

)

. 1 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 x d b x d c n x a c nx x d x d b c n x x a c n x d x d b d x d b d x d b d c n dx x a d x a d x a d c n − + − − + = − − − + + + = − + − + − + + + + + = − −

Menurut prinsip Fermat, lintasan yang benar haruslah memenuhi syarat dt dx=0.

Jelas

(

)

(

)

2 0

1 2 2 2 = − + − −

+ b d x

x d c n x a c nx

(

)

2 . 2 2 2 x d b x d x a x − + − = + ⇔

⇔sinθ1 =sinθ2 ⇔θ12.


(33)

Persamaan θ12 menunjukkan bahwa besarnya sudut datang sama dengan sudut pantul, pernyataan ini pula yang merupakan bunyi hukum pemantulan.

Prinsip Fermat juga dapat digunakan untuk menurunkan hukum-hukum pembiasan cahaya.

Gambar 7. Geometri untuk menurunkan hukum pembiasan dari prinsip Fermat

Dalam Gambar 7 asumsikan bahwa cahaya berasal dari titik A, mengenai permukaan datar dan diteruskan menuju titik B. Untuk mengetahui lintasan yang dilalui oleh cahaya tersebut, permasalahan yang akan dipecahkan dengan prinsip Fermat adalah menentukan posisi titik P pada Gambar 7 sehingga cahaya akan berjalan dari titik A ke titik B.

Apabila lintasan AP-PB adalah lintasan dengan waktu tersingkat, maka lintasan optisnya adalah:

a

b n1

n2

B d-x

x

d P

A

1

θ

2


(34)

22

PB n AP n1 + 2 =

Δ

(

)

2 2

2 2 2

1 a x n b d x

n + + + −

= Δ

.

Waktu yang dibutuhkan oleh cahaya untuk melewati lintasan tersebut adalah:

(

)

c x d b n x a n c t 2 2 2 2 2

1 + + + −

= Δ = . Jelas

(

)

dx c x d b n x a n d dx dt ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + + + = 2 2 2 2 2 1

(

)

(

(

)

)

(

)

(

(

)

)

(

)

(

)

(

)

(

(

(

(

)

)

)

)

(

(

( )

)

)

(

)

( )

[

(

)

]

( )(

2

)( )

1

2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 − − − + + + = − + − + − + + + + + = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − + + ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − + + + = − − x d x d b c n x x a c n x d x d b d x d b d x d b d c n dx x a d x a d x a d c n dx c x d b n d dx c x a n d dx c x d b n x a n d

(

)

(

)

2 . 1 2 2 2 2 1 x d b x d c n x a c x n − + − − + =

Menurut prinsip Fermat, lintasan yang benar haruslah memenuhi syarat dt dx=0.


(35)

Jelas

(

)

(

)

2 0

1 2 2 2 2 1 = − + − −

+ b d x

x d c n x a c x n

(

)

2

2 2 2 2 1 x d b x d n x a x n − + − = + ⇔

n1sinθ1 =n2sinθ2.

Persamaan n1sinθ1 =n2sinθ2 merupakan bunyi hukum pembiasan.

e. Pembiasan oleh Prisma

Peristiwa pembiasan cahaya pada prisma kaca menghasilkan sudut deviasi

( )

δ , yaitu besarnya sudut antara sinar datang ( dengan sinar bias ( .

Gambar 8. Pembiasan pada prisma kaca

Besarnya sudut deviasi yang terjadi ternyata bervariasi. Jika sudut datang diperbesar, maka besarnya sudut deviasi akan berkurang, akhirnya akan mencapai minimum, kemudian membesar lagi. Sudut deviasi mencapai minimum ( , jika cahaya memotong prisma secara simetri seperti dilukiskan pada Gambar 9 sebagai berikut.

δ

Sinar datang


(36)

24

Gambar 9. Geometri cahaya yang melewati prisma kaca dan membentuk deviasi minimum.

f. Dispersi Warna

Cahaya putih terdiri dari beberapa komponen warna. Di ruang hampa, semua warna mempunyai cepat rambat yang sama, yaitu sama dengan c. Ketika berkas cahaya masuk kedalam medium lain, maka cepat rambat untuk masing-masing warna berbeda. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perbedaan indeks bias masing-masing warna, sehingga sinar putih yang datang dengan sudut datang θ1 akan dibiaskan menjadi berbagai warna dengan sudut bias θ2 yang besarnya kontinu. Peristiwa dispersi cahaya dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 10. Peristiwa dipersi cahaya.

Jingga Hijau Nila Ungu Merah

Biru Kuning Sinar putih


(37)

Terurainya sinar putih menjadi beberapa warna cahaya disebabkan karena indeks bias, sudut deviasi dan panjang gelombang masing-masing warna cahaya berbeda. Dalam hal ini:

- Warna cahaya merah memiliki indeks bias terkecil daripada warna cahaya yang lain sedangkan sinar ungu memiliki indeks bias terbesar.

- Warna cahaya merah memiliki sudut deviasi terkecil daripada warna cahaya yang lain sedangkan warna sinar ungu memiliki sudut deviasi terbesar.

- Warna cahaya merah memiliki panjang gelombang terpanjang sedangkan sinar ungu memiliki panjang gelombang terpendek.


(38)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini metode yang penulis gunakan adalah studi pustaka. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.

3.1 Identifikasi Masalah

Dalam tahap ini dilakukan pencarian sumber pustaka dan memilih bagian dalam sumber pustaka tersebut yang dapat dijadikan sebagai permasalahan yang akan dikaji.

3.2 Perumusan Masalah

Masalah yang ditemukan kemudian dirumuskan kedalam pertanyaan yang harus diselesaikan yaitu:

d. Bagaimana model matematika dari proses terjadinya pelangi? e. Berapa besar sudut pelangi primer?

f. Berapa besar sudut pada warna-warna pelangi primer?

Perumusan masalah di atas mengacu pada beberapa pustaka yang ada. Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan teoritik maka dapat ditemukan jawaban permasalahan sehingga tercapai tujuan penulisan skripsi.


(39)

3.3 Studi Pustaka

Dalam langkah ini dilakukan kajian sumber-sumber pustaka dengan cara mengumpulkan data atau informasi yang berkaitan dengan masalah, mengumpulkan konsep pendukung yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah, sehingga didapatkan suatu ide mengenai bahan dasar pengembangan upaya pemecahan masalah.

3.4 Analisis dan Pemecahan Masalah

Dari berbagai sumber pustaka yang sudah menjadi bahan kajian, diperoleh suatu pemecahan masalah di atas. Selanjutnya dilakukan langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut.

a. Menentukan model matematika dari proses terjadinya pelangi. b. Mencari besar sudut pelangi primer.

c. Mencari besar sudut warna-warna pelangi primer.

3.5 Penarikan Simpulan

Langkah terakhir dalam metode penelitian adalah penarikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil langkah pemecahan masalah.


(40)

28

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Model Matematika Dari Peristiwa Terjadinya Pelangi

Pembentukan pelangi adalah sebuah contoh pendispersian cahaya matahari melalui pembiasan dalam tetes-tetes air. Syarat terjadinya pelangi adalah jika telah terjadi hujan bersamaan dengan matahari bersinar dan dari sisi yang berlawanan dari pengamat. Posisi pengamat harus berada di antara matahari dan tetesan air hujan dengan matahari di belakang pengamat. Matahari, mata pengamat dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu garis lurus. Yang dimaksud dengan model matematika dari proses terjadinya pelangi adalah bagaimana menemukan persamaan untuk rumus sudut deviasi dari pelangi tersebut. Sebagai simulasi untuk menggambarkan terjadinya pelangi dapat dilihat pada gambar 11 berikut ini.


(41)

Keterangan:

Angka 1 untuk warna merah. Angka 2 untuk warna jingga. Angka 3 untuk warna kuning. Angka 4 untuk warna hijau. Angka 5 untuk warna biru. Angka 6 untuk warna nila. Angka 7 untuk warna ungu.

Sinar matahari menembus butiran air hujan melalui titik A. Butiran air hujan berperilaku seperti prisma kecil. Cahaya sampai pada butiran di A, dibiaskan menuju B, kemudian dipantulkan di B dan meninggalkan butiran di C. Pada proses tersebut, sinar matahari dipecah menjadi spektrum warna seperti pada prisma.

Untuk mengetahui bagaimana jalannya sinar matahari ketika menembus butiran air hujan di titik A hingga meninggalkan butiran air hujan di titik C, dapat dilihat pada gambar 12 sebagai berikut.

Gambar 12. Seberkas sinar matahari yang memasuki sebuah tetes air hujan.


(42)

30

Gambar 12 memperlihatkan bagaimana seberkas sinar matahari memasuki sebuah tetes air hujan pada titik A. Sebagian sinar dipantulkan dan sebagian lainnya menembus tetes air hujan.

Sudut bias dihubungkan dengan sudut datang oleh hukum Snellius.

Tulis : indeks bias udara, : indeks bias air, : sudut datang, dan : sudut bias.

Menurut hukum Snellius, berlaku

.

Sinar yang dibiaskan mengenai bagian belakang tetes air pada titik B. Garis AB adalah jejak sinar yang menembus tetes air hujan tersebut. Garis AO adalah garis normal, yaitu garis yang terbentuk dari perpanjangan sinar pantul di titik A dengan pusat lingkaran (tetes air hujan) di titik O. Garis radial OB merupakan garis yang terbentuk antara pusat lingkaran di titik O dengan titik bias yang mengenai sisi lingkaran di titik B. Hal itu membuat sudut dengan garis radial OB dipantulkan dengan sudut yang sama. Sinar tersebut dibiaskan kembali pada titik C. Titik P adalah perpotongan garis


(43)

antara sinar datang dan sinar keluar. Sudut disebut sudut deviasi sinar. Hubungan antara dan β disajikan sebagai

Sudut 2β adalah sudut pelangi tersebut. Dalam berlaku

.

Dalam berlaku

.

Tulis ke dalam persamaan .

Jadi

.

Jelas

)

.

Dari hukum Snellius diperoleh persamaan .

Substitusikan persamaan ke dalam persamaan

, diperoleh:

dengan .

Persamaan inilah yang disebut dengan


(44)

32

: sudut deviasi pelangi, : sudut datang,

: indeks bias udara =1 dan : indeks bias air = .

4.2 Besar Sudut Pelangi Primer

Setelah menemukan rumus untuk mencari sudut deviasi pelangi, maka untuk mencari berapa besar sudut pelangi, terlebih dahulu harus mencari besarnya sudut deviasi minimumnya.

.

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas


(45)

.

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan , diperoleh:

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi ketika . Grafik fungsi terhadap ditunjukkan sebagai berikut.


(46)

34

Gambar 13. Grafik fungsi terhadap

Pentingnya sudut deviasi minimum adalah bahwa ketika

dipunyai sehingga . Ini berarti bahwa sinar dengan sudut datang yang sedikit lebih besar atau sedikit lebih kecil dari akan terbias dengan sudut deviasi yang hampir sama. Jadi, cahaya yang dipantulkan oleh tetesan air akan dikonsentrasikan di dekat sudut deviasi minimum. Konsentrasi sinar yang datang dari dekat arah sudut deviasi minimum inilah yang membuat pelangi terlihat cemerlang.

Gambar 13 memperlihatkan bahwa sudut elevasi dari pengamat ke titik tertinggi pada pelangi adalah sekitar . Sudut inilah yang disebut dengan sudut pelangi primer.


(47)

Gambar 14. Sudut pelangi adalah

Jadi untuk mengamati pelangi, seorang pengamat harus melihat tetesan-tetesan air pada sudut relatif terhadap garis membelakangi matahari seperti diperlihatkan pada gambar 14 di atas. Jadi jari-jari sudut pelangi adalah .

4.3 Besar Sudut Warna Pelangi

Sinar matahari terdiri dari beberapa panjang gelombang, yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Indeks bias tiap warna adalah berbeda. Warna sinar merah memiliki indeks bias terkecil daripada warna sinar yang lain, sedangkan sinar ungu memiliki indeks bias terbesar. Indeks bias untuk sinar merah adalah nm=1,3318, sedangkan indeks bias untuk sinar ungu adalah nun=1,3435.


(48)

36

Indeks bias untuk warna-warna pelangi dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut (Jenkins & White, 1960:476).

No Warna Indeks bias

1 Merah 1.3318

2 Jingga 1.3339

3 Kuning 1.3362

4 Hijau 1.3389

5 Biru 1.3403

6 Nila 1.3429

7 Ungu 1.3435

Tabel 1. Indeks bias dari warna pelangi.

Untuk mengetahui besarnya sudut warna-warna pelangi, dapat dicari dengan memasukkan masing-masing nilai indeks bias dari ketujuh warna pelangi tersebut ke dalam model matematika yang telah dicari persamaannya.

4.3.1 Sinar Warna Merah

Sinar warna merah memiliki indeks bias 1,3318. Untuk mencari besar sudut sinar warna merah, terlebih dahulu akan dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan

dan adalah indeks bias warna merah.

Substitusikan ke dalam persamaan

, diperoleh: .


(49)

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas

.

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:


(50)

38

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi

ketika .

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna merah adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat melihat sinar warna merah pada pelangi dengan sudut

relatif terhadap garis membelakangi matahari.

4.3.2 Sinar Warna Jingga

Sinar warna jingga memiliki indeks bias 1,3339. Untuk mencari besar sudut sinar warna jingga, terlebih dahulu akan dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan

dan adalah indeks bias warna jingga.

Substitusikan ke dalam persamaan

, diperoleh: .

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .


(51)

.

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:


(52)

40

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi

ketika .

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna jingga adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat melihat sinar warna jingga pada pelangi dengan sudut

relatif terhadap garis membelakangi matahari.

4.3.3 Sinar Warna Kuning

Sinar warna kuning memiliki indeks bias 1,3362. Untuk mencari besar sudut sinar warna kuning, terlebih dahulu akan dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan

dan adalah indeks bias warna kuning.

Substitusikan ke dalam persamaan

, diperoleh: .

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas


(53)

.

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi


(54)

42

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna kuning adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat melihat sinar warna kuning pada pelangi dengan sudut

relatif terhadap garis membelakangi matahari.

4.3.4 Sinar Warna Hijau

Sinar warna hijau memiliki indeks bias 1,3389. Untuk mencari besarnya sudut sinar warna hijau, terlebih dahulu akan dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan dan adalah indeks bias warna hijau. Substitusikan

ke dalam persamaan , diperoleh:

.

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas


(55)

.

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi

ketika .

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna hijau adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat


(56)

44

melihat sinar warna hijau pada pelangi dengan sudut relatif terhadap garis membelakangi matahari.

4.3.5 Sinar Warna Biru

Sinar warna biru memiliki indeks bias 1,3403. Untuk mencari besarnya sudut sinar warna biru, terlebih dahulu akan dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan dan adalah indeks bias warna biru. Substitusikan

ke dalam persamaan , diperoleh:

.

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas


(57)

.

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi

ketika .

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna biru adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat melihat sinar warna biru pada pelangi dengan sudut relatif terhadap garis membelakangi matahari.


(58)

46

4.3.6 Sinar Warna Nila

Sinar warna nila memiliki indeks bias 1,3429. Untuk mencari besarnya sudut sinar warna nila, terlebih dahulu akan dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan

dan adalah indeks bias warna nila. Substitusikan

ke dalam persamaan , diperoleh:

.

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas


(59)

Jadi

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi

ketika .

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna nila adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat melihat sinar warna nila pada pelangi dengan sudut relatif terhadap garis membelakangi matahari.

4.3.7 Sinar Warna Ungu

Sinar warna ungu memiliki indeks bias 1,3435. Untuk mencari besarnya sudut sinar warna ungu, terlebih dahulu akan


(60)

48

dicari besarnya sudut deviasi minimumnya. Rumus untuk mencari

sudut deviasi adalah dengan

dan adalah indeks bias warna ungu. Substitusikan

ke dalam persamaan , diperoleh:

.

Sudut deviasi minimum terjadi apabila sehingga .

Jelas

.

Jadi


(61)

.

Jadi diperoleh nilai sudut datang .

Kemudian substitusikan nilai ke dalam persamaan

, diperoleh:

.

Jadi sudut deviasi minimumnya adalah dan terjadi

ketika .

Jadi sudut pelangi untuk sinar warna ungu adalah . Ini berarti seorang pengamat dapat melihat sinar warna ungu pada pelangi dengan sudut

relatif terhadap garis membelakangi matahari.

Perbedaan sudut yang kecil inilah yang menjelaskan bahwa pelangi terdiri atas tujuh busur warna, yaitu mulai dari warna merah hingga warna ungu. Semakin besar indeks bias warna dari pelangi, maka semakin kecil sudut deviasi minimumnya. Sehingga, sudut pelanginya semakin besar. Setelah dilakukan perhitungan dengan memasukkan masing-masing nilai indeks bias dari ketujuh warna pelangi, maka diperoleh sudut


(62)

50

pelangi untuk warna merah adalah sudut pelangi yang paling besar, sedangkan untuk warna ungu yang paling kecil.

Gambar 15. Sudut warna pelangi.

4.4 Simulasi Pelangi Dengan Aplikasi Program

Maple

Proses terjadinya pelangi dapat digambarkan pada program Maple, yaitu dengan memasukkan model matematika pelangi pada Maple. Aplikasi Maple untuk menggambarkan pelangi dapat dilihat sebagai berikut.

> >


(63)

>


(64)

52

>

>

>

>

>

>

>

>

>


(65)

>

>

>

>


(66)

(67)

55

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

a. Model matematika dari terjadinya pelangi

adalah , dengan:

: sudut deviasi pelangi, : sudut datang,

: indeks bias udara =1, dan : indeks bias air = .

b. Untuk mengamati pelangi, maka sudut elevasi dari pengamat ke titik tertinggi pada pelangi adalah sekitar . Sudut inilah yang disebut dengan sudut pelangi.

c. Pelangi tersusun atas tujuh warna yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu yang tiap warna memiliki indeks bias yang berbeda. Karena indeks bias yang berbeda-beda inilah, sudut pelangi untuk tiap warna pun juga berbeda. Besarnya sudut pelangi tiap warna dapat disajikan dalam tabel berikut.


(68)

56

Tabel 2. Daftar sudut pelangi untuk tiap warna pelangi

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sudut pelangi untuk tiap warna pelangi adalah berbeda. Hal inilah yang menjelaskan bahwa pelangi tersusun dari tujuh buah warna mulai dari warna merah hingga ungu.

5.2 Saran

Pada penelitian ini penulis hanya mengkaji tentang pelangi primer. Penelitian mengenai pelangi masih dapat dikembangkan lagi pada pelangi sekunder untuk mencari model matematika dan besarnya sudut pelangi sekunder itu sendiri.


(69)

57

DAFTAR PUSTAKA

Alonso, M. dan Finn E. J. 1990. Dasar-Dasar Fisika Universitas (Edisi kedua Jilid 1 Mekanika dan Termodinamika). Terjemahan oleh: Dra. Lea Prasetyo M.Sc., Ir. Kusnul Hadi, Ir. Viktor Siagian. Jakarta: Erlangga. Ashby, N and S. C. Miller. 1970. Principles of Modern Physics. http://www.

esnips.com/doc/1eba72a9-0f6e-40a1-8e21-c420f69c4600/Principles-of-Modern-Physics. Tgl: 13/12/2010.

Ayres, F. JR. 1985. Kalkulus (Teori dan Soal-Soal Diferensial dan Integral). Terjemahan oleh: Dra. Lea Prasetyo M.Sc. Jakarta: Erlangga.

Chotim, M. 2008. Kalkulus 1. Semarang: UNNES.

Giancoli, D. C. 2001. Fisika Edisi Kelima. Terjemahan oleh : Dra. Yuhilza Hanum, M.Eng dan Ir. Irwan Arifin, M.Eng. Jakarta: Erlangga.

Jenkins, F. A. and H. E. White. 1960. Fundamental of Optics Fourth Edition. California: Mcgraw-Hill International Editions.

Martono, K. 1992. Kalkulus 2,3,4 (Seri Matematika Teori, Soal Jawab dan Pembahasan Edisi Ketiga). Bandung: ITB.

Pommier, S. And M. Risbet. 2005. Time-derivative equations for fatigue crack growth in metals. International Journal of Fracture, 131/1: 179-106.

Purcell, E. J., D. Varberg dan S. E. Rigdon. 2004. Kalkulus Jilid 1 Edisi Kedelapan. Terjemahan oleh: I Nyoman Susila. Jakarta: Erlangga.

Sears, F. W. dan Zemansky, M. W. 1987. Fisika Untuk Universitas 3 (Optika, Fisika Modern). Terjemahan oleh: Ir. Nabris Katib dan Drs. Amir Achmad M.Sc. Jakarta: Bina Cipta.

Stewart, J. 1998. Kalkulus Edisi Keempat (Jilid1). Terjemahan oleh: Drs. I Nyoman Susila, M.Sc. dan Hendra Gunawan, Ph.D. Jakarta: Erlangga. Tipler, P. A. 1998. Fisika (Untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga Jilid 2).


(1)

52

>

>

>

>

>

>

>

>

>


(2)

>


(3)

(4)

55

adalah , dengan:

: sudut deviasi pelangi, : sudut datang,

: indeks bias udara =1, dan : indeks bias air = .

b. Untuk mengamati pelangi, maka sudut elevasi dari pengamat ke titik tertinggi pada pelangi adalah sekitar . Sudut inilah yang disebut dengan sudut pelangi.

c. Pelangi tersusun atas tujuh warna yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu yang tiap warna memiliki indeks bias yang berbeda. Karena indeks bias yang berbeda-beda inilah, sudut pelangi untuk tiap warna pun juga berbeda. Besarnya sudut pelangi tiap warna dapat disajikan dalam tabel berikut.


(5)

56

Tabel 2. Daftar sudut pelangi untuk tiap warna pelangi

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sudut pelangi untuk tiap warna pelangi adalah berbeda. Hal inilah yang menjelaskan bahwa pelangi tersusun dari tujuh buah warna mulai dari warna merah hingga ungu.

5.2 Saran

Pada penelitian ini penulis hanya mengkaji tentang pelangi primer. Penelitian mengenai pelangi masih dapat dikembangkan lagi pada pelangi sekunder untuk mencari model matematika dan besarnya sudut pelangi sekunder itu sendiri.


(6)

57

Ayres, F. JR. 1985. Kalkulus (Teori dan Soal-Soal Diferensial dan Integral). Terjemahan oleh: Dra. Lea Prasetyo M.Sc. Jakarta: Erlangga.

Chotim, M. 2008. Kalkulus 1. Semarang: UNNES.

Giancoli, D. C. 2001. Fisika Edisi Kelima. Terjemahan oleh : Dra. Yuhilza Hanum, M.Eng dan Ir. Irwan Arifin, M.Eng. Jakarta: Erlangga.

Jenkins, F. A. and H. E. White. 1960. Fundamental of Optics Fourth Edition. California: Mcgraw-Hill International Editions.

Martono, K. 1992. Kalkulus 2,3,4 (Seri Matematika Teori, Soal Jawab dan Pembahasan Edisi Ketiga). Bandung: ITB.

Pommier, S. And M. Risbet. 2005. Time-derivative equations for fatigue crack growth in metals. International Journal of Fracture, 131/1: 179-106.

Purcell, E. J., D. Varberg dan S. E. Rigdon. 2004. Kalkulus Jilid 1 Edisi Kedelapan. Terjemahan oleh: I Nyoman Susila. Jakarta: Erlangga.

Sears, F. W. dan Zemansky, M. W. 1987. Fisika Untuk Universitas 3 (Optika, Fisika Modern). Terjemahan oleh: Ir. Nabris Katib dan Drs. Amir Achmad M.Sc. Jakarta: Bina Cipta.

Stewart, J. 1998. Kalkulus Edisi Keempat (Jilid1). Terjemahan oleh: Drs. I Nyoman Susila, M.Sc. dan Hendra Gunawan, Ph.D. Jakarta: Erlangga. Tipler, P. A. 1998. Fisika (Untuk Sains dan Teknik Edisi Ketiga Jilid 2).