Berdasarkan ilustrasi
di atas,
dapat disimpulkan
bahwa teori
ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi 2008 lebih menfokuskan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan penutur yang
membuat mitra tutur merasa mendapat ancaman terhadap kehilangan muka, tetapi penutur tidak menyadari bahwa tuturannya telah memberikan ancaman muka
mitra tuturnya.
2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and
Watts
Locher and Watts 2008 dalam Rahardi 2012, berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif
negatively marked behavior, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan
merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama a means to negotiate meaning. Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan
tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more
generally is as much as this negation as polite versions of b ehavior.’ cf. Lohcer
and Watts, 2008:5. Berikut ini disampaikan contoh tuturan yang mengandung ketidaksantunan
menurut Locher and Watts. Latar belakang situasi: Terdapat anak perempuan bernama Jenni yang
sedang makan di ruang makan. Jenni
: Sedang makan dengan kaki kanan naik ke atas kursi.
Ibu : “Nduk, turunin kakinya Gak sopan cewek kok makan sambil
jegang gitu.”
Jenni : Kaget
“Yahh lupa, Bu. Tapi kan gak ada orang lain, Bu, jadi yaa gak papa dikit-
dikit. Heheheee.”
Ibu : “Gimana sihh kamu tuh, kelakuan jelek kayak gitu kok
dipelihara.” Bahasa tubuh yang dilakukan oleh Jenni merupakan tindakan yang tidak
santun yakni melanggar norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga membuat ibu marah. Dari percakapan di atas, dapat diketahui bahwa Jenni sebenarnya tahu
bahwa apa yang dia lakukan adalah tindakan yang tidak santun dengan melanggar norma-norma sosial yang berada dalam masyarakat, terutama keluarga. Selain itu,
Jenni menanggapi hal tersebut dengan tuturan yang bernada tanpa rasa bersalah. Hal ini terlihat dari tuturan yang dihasilkan oleh Jenni
“Yahh lupa, Bu. Tapi kan gak ada orang lain, Bu, jadi yaa gak papa dikit-dikit. Heheheee
”. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak sopan karena telah mengacuhkan dan
melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan
ilustrasi di
atas, dapat
disimpulkan bahwa
teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts 2008 ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Sebagai rangkuman dari teori yang telah dikemukakan di atas, dapat
ditegaskan bahwa, pertama, dalam pandangan Miriam A. Locher 2008,
ketidaksantunan berbahasa adalah tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka mitra tutur atau bisa dikatakan menyinggung perasaan
mitra tutur. Kedua, ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield 2008 adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono,
hingga mendatangkan konflik. Ketiga, ketidaksantunan menurut pandangan Culpeper 2008 adalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar
kehilangan muka, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.
Keempat, ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Terkourafi 2008 adalah perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap
kehilangan muka, dan penutur tidak mendapat maksud ancaman muka tersebut dari mitra tutur. Kelima, ketidaksantunan menurut pandangan Locher and Watts
2008 adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori
ketidaksantunan tersebut akan digunakan sebagai landasan untuk melihat kenyataan berbahasa yang tidak santun dalam ranah keluarga, khususnya keluarga
nelayan di kampung nelayan Pantai Trisik dan Pantai Congot, Kulonprogo, Yogyakarta.
2.5 Konteks