Subkategori Menyindir Kategori Melecehkan Muka

4.3.3 Kategori Melecehkan Muka

Miriam A Locher 2008 dalam Rahardi 2012 berpendapat bahwa ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka face- aggravate. Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka face-threaten.

4.3.3.1 Subkategori Menyindir

Cuplikan tuturan 35 C22 P : “Iki le ngenei no hp kie tenan po etok-etokan? Nek dibel ra nyaut blas, disms ra ono balesi blas.” MT : “Mburi dewe piro? Enem belas?” P : “Payah tenan koe kie” MT : “lha rak kelep to?” P : “seng keri, lemu ngenei seng keri” MT :” yo ijek yo, aku ra tau ganti-ganti Nek janji siji ra kelep.” Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menyindir dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C22 adalah penutur berbicara dengan kesal dan tuturan tersebut disampaikan kepada tamunya. Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C22 menggunakan intonasi tanya dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menanyakan kebenaran nomor Hp yang diberikan oleh mitra tutur. Penutur menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur tetap menjadi tidak santun karena secara tidak langsung penutur menuduh mitra tutur berohong. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa ra nyaut blas dan ra ono balesi blas. Penutur menekankan pada frasa tersebut karena frasa tersebut merupakan wujud dari kekesalan penutur. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 35 adalah penutur dan mitra tutur merupakan laki-laki. Usia penutur adalah 42 tahun, sedangkan mitra tutur lebih muda 1 tahun dari penutur. Mereka berdua merupakan nelayan, dan penutur adalah ketua nelayan pantai Congot. Mereka memiliki hubungan yang sangat akrab, hal ini tergambar dari ejekan mereka yang selalu ditanggapi dengan santai. Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 35 adalah mitra tutur adalah tamu, sedangkan penutur adalah tuan rumah dan di situ masih terdapat 2 orang tamu lainnya. Dulu mitra tutur telah memberikan nomor Hpnya kepada penutur. Mitra tutur susah dihubungi. Mitra tutur sudah berpamitan akan pulang. Penutur menghambat mitra tutur dengan bertanya. Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C22 adalah penutur bertanya kepada mitra tutur mengenai kebenaran nomor handphone mitra tutur yang diberikan kepada penutur dan penutur mengeluh dengan sikap mitra tutur yang bila disms tidak membalas dan ditelepon tidak diangkat. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 35 terjadi di teras rumah penutur. Waktu terjadinya tuturan pada tanggal 20 April 2012, sekitar pukul 16.30. Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C22 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal representatif adalah tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur langsung menanggapi tuturan penutur dengan pertanyaan. Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menyindir. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C22 memiliki maksud kesal dalam tuturannya. Kekesalan penutur muncul karena mitra tutur yang sulit dihubungi bila penutur ada perlu dengannya. 4.3.3.2 Subkategori Menegaskan Cuplikan tuturan 20 C7 MT : “Arep nendi?” P : “Lungo dijak Bapak.” MT : “Shalat sek, wes sarungan ngono kok.” P : “Wes nyendal motor galho” sambil berjalan keluar ruangan. MT : “Haiyo shalat sek Nanggung.” Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menegaskan dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C7 adalah penutur berbicara dengan orang yang lebih tua. Mitra tutur menyuruh penutur dengan baik, tetapi penutur justru menjawab pertanyaan mitra tutur dengan ketus. Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C7 menggunakan intonasi berita dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memberitahukan bahwa ayahnya telah menghidupkan motor. Penutur menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur tetap menjadi tidak santun karena mitra tutur menjadi kesal dan merasa tidak dihargai. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada keseluruhan kalimat, yakni Wes nyendal motor galho. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Selain penggunaan bahasa nonstandar, penutur juga menggunakan bahasa slang dalam tuturannya, yakni nyendal. Kata nyendal merupakan istilah Jawa untuk mengkick starter motor. Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 20 adalah penutur dan mitra tutur merupakan laki-laki. Usia penutur adalah 12 tahun, sedangkan mitra tutur berusia 23 tahun. Mereka berdua merupakan adik kakak. Penutur masih bersekolah pada tingkat SMP, sedangkan penutur merupakan mahasiswa salah satu universitas di DIY. Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 20 adalah penutur sudah memakai sarung hendak beribadah shalat dzuhur. Mitra tutur sedang tiduran di ruang keluarga sambil menonton televisi. Mitra tutur menegur penutur yang tadinya sudah memakai sarung untuk pergi shalat justru melepaskannya kembali karena diajak pergi oleh ayah. Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C7 adalah penutur memberitahu kepada mitra tutur bahwa motornya sudah hidup. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 20 terjadi di ruang keluarga. Waktu terjadinya tuturan pada tanggal 28 April 2013, sekitar pukul 16.30. Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C7 adalah tindak verbal representatif. Tindak verbal representatif adalah tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan, berupa suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur menanggapi penutur, tetapi karena ia tidak dihiraukan kemudian mitra tutur diam saja karena adiknya susah dinasihati. Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menegaskan. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C7 memiliki maksud membela diri dalam tuturannya. Pembelaan diri penutur muncul karena mitra tutur memojokkannya. 4.3.3.3 Subkategori Memerintah Cuplikan tuturan 15 C2 MT : “Gawekno wedang ro jupukno maem, Bu...” P : “Alaaah... jupuk dewe, Pak” MT : mengambil minuman sendiri dengan raut wajah kesal. Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori memerintah dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C2 adalah penutur menyampaikan tuturannya dengan ketus kepada orang yang lebih tua. Penutur justru berbalik menyuruh mitra tutur, padahal sebelumnya mitra tutur yang menyuruh penutur. Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C2 menggunakan intonasi perintah dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk memerintahkan kedapa mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Penutur menggunakan nada sedang dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada sedang penutur tetap menjadi tidak santun karena penutur bertindak tidak sopan terhadap orang yang lebih tua. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa Alaaah. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 15 adalah penutur merupakan perempuan berusia 32 tahun, sedangkan mitra tutur berusia 34 tahun. Penutur merupakan istri dari mitra tutur. Mitra tutur memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan penutur hanya sebagai ibu rumah tangga. Hubungan keakraban mereka sangat dekat, karena mereka adalah suami istri. Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 15 adalah mitra tutur pulang kerja melaut dengan keadaan capek, tetapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Penutur merasa kesal karena mitra tutur pergi seharian tetapi tidak membawa hasil yang diharapkan. Mitra tutur meminta penutur untuk mengambilkan makan dan minum. Penutur justru menyuruh mitra tutur untuk mengambil sendiri makan dan minumnya. Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C2 adalah penutur kesal terhadap mitra tutur dan menyuruh mitra tutur untuk mengambil makanan dan minuman sendiri. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 15 terjadi di ruang keluarga. Waktu terjadinya tuturan adalah pada siang hari sekitar jam 2 siang. Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C2 adalah tindak verbal direktif. Tuturan penutur dikatakan tindak verbal direktif karena ia memerintah mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur mengambil sendiri makanan dan minuman yang dia inginkan.. Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori memerintah. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C2 memiliki maksud menolak dalam tuturannya. Penolakan penutur dilakukan karena penutur sudah terlanjur kesal dengan mitra tutur. 4.3.3.4 Subkategori Menegur Cuplikan tuturan 30 C17 P : “Mripatmu ki ndokke sikel?” MT : Diam. P : “Anake nangis neng andinge yo mung meneng wae” Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menegur dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C17 adalah penutur berbicara dengan kata-kata kasar kepada istrinya dan penyampaiannya dengan cara keras. Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C17 menggunakan intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menyerukan tuturannya. Penutur dalam keadaan emosi dengan tingkah mitra tutur. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur karena penutur emosi dengan mitra tutur yang tidak peduli apapun. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada frasa Mripatmu. Tekanan keras yang ditekankan pada frasa tersebut memperlihatkan betapa tidak santunnya penutur. Kata mripatmu termasuk dalam kata-kata kasar dalam bahasa Jawa. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 30 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 30 tahun, sedangkan mitra tutur perempuan berusia 26 tahun. Penutur merupakan suami dari mitra tutur. Penutur memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan penutur hanya sebagai ibu rumah tangga. Hubungan keakraban mereka sangat dekat, karena mereka adalah suami istri. Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 30 adalah penutur melihat anaknya yang belum genap berusia 1 tahun rewel atau menangis. Mitra tutur hanya diam saja, padahal ia tahu bahwa anaknya sedang menangis. Penutur marah melihat mitra tutur yang tidak melakukan tindakan terhadap anaknya. Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C17 adalah penutur memarahi mitra tutur karena tidak tanggap dengan keadaan anaknya yang menangis. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 30 terjadi di ruang keluarga tepatnya di depan televisi karena mitra tutur sedang menonton televisi. Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C17 adalah tindak verbal ekspresif. Tuturan penutur dikatakan tindak verbal ekspresif karena ia marah dengan perilaku mitra tutur. Tindak perlokusi mitra tutur adalah mitra tutur diam saja karena mitra tutur merupakan orang yang sabar menghadapi penutur dan mitra tutur langsung berusaha menenangkan anaknya yang masih bayi daripada menambah keributan. Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menegur. Tuturan ini masuk ke dalam kategori melecehkan muka karena tindak perlokusi mitra tutur yang langsung tanggap dengan maksud penutur. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C17 memiliki maksud kesal dalam tuturannya. 4.3.3.5 Subkategori Menolak Cuplikan tuturan 17 C4 MT : “Ayo... belajar.” P : “Emoh” MT : “Kalo gak belajar gak tak kasih uang jajan” Cuplikan tuturan di atas merupakan wujud linguistik dari subkategori menolak dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka. Wujud pragmatik dari tuturan C4 adalah penutur berbicara dengan cara penyampaian tuturan keras kepada mitra tutur yang usianya lebih tua daripada penutur. Pembahasan penanda linguistik berdasar pada aspek intonasi, kata fatis, nada tutur, tekanan, dan pilihan kata atau diksi. Penutur C4 menggunakan intonasi seru dalam tuturannya. Penutur menggunakan intonasi ini untuk menyerukan penolakannya terhadap suruhan mitra tutur. Penutur menggunakan nada tinggi dalam penyampaian tuturannya. Penggunaan nada tinggi penutur karena penutur memang susah untuk disuruh belajar. Penutur menggunakan tekanan keras pada tuturannya. Tekanan keras tersebut terletak pada kata Emoh. Tekanan keras yang ditekankan pada kata tersebut memperlihatkan betapa tidak santunnya penutur kepada orang tua. Diksi yang digunakan penutur adalah bahasa nonstandar, yakni bahasa Jawa. Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang mengandung unsur kedaerahan. Penutur memilih diksi ini karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Pembahasan dari segi penanda pragmatik menggunakan aspek-aspek yang dijelaskan oleh Leech 1983. Aspek-aspek penanda pragmatik tersebut adalah aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek penutur dan lawan tutur dalam cuplikan tuturan 17 adalah penutur merupakan laki-laki berusia 6 tahun, sedangkan mitra tutur laki-laki berusia 32 tahun. Penutur merupakan anak dari mitra tutur. Penutur masih bersekolah pada tingkat SD, sedangkan penutur berkerja sebagai nalayan di pantai Trisik. Hubungan keakraban mereka sangat dekat, karena mereka adalah keluarga. Aspek kedua yang dipaparkan oleh Leech 1983 adalah konteks tuturan. Konteks tuturan pada cuplikan tuturan 17 adalah bahwa penutur sulit untuk disuruh belajar. Mitra tutur menyuruh penutur untuk belajar. Aspek yang ketiga adalah tujuan penutur menyampaikan tuturannya. Tujuan penutur C4 adalah penutur menolak ajakan mitra tutur untuk segera belajar. Aspek yang keempat adalah tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Aspek ini membahas mengenai waktu dan tempat terjadinya tuturan. Cuplikan tuturan 17 terjadi di ruang keluarga tepatnya di depan televisi karena mitra tutur sedang menonton televisi. Waktu terjadinya tuturan pada saat jam belajar tiba, yakni setelah maghrib. Aspek yang terakhir adalah aspek tuturan sebagai produk tindak verbal. Aspek ini membahas tindak verbal penutur dan tindak perlokusi mitra tutur. Tindak verbal penutur C4 adalah tindak verbal komisif. Tuturan penutur dikatakan tindak verbal komisif karena menolak ajakan atau suruhan mitra tutur untuk belajar. Tindak perlokusi mitra tutur adalah langsung mengancam penutur untuk segera belajar, karena dengan begitu penutur akan menurut dengan mitra tutur. Berdasar penanda pragmatik di atas, tuturan tersebut tergolong ke dalam subkategori menolak. Setiap penutur memiliki maksud masing-masing dalam penyampaian tuturannya dan hanya penutur itu sendiri yang tahu. Penutur C4 memiliki maksud malas dalam tuturannya. Penutur menjelaskan alasan mengapa ia menolak suruhan mitra tutur karena penutur malas untuk belajar.

4.3.3.6 Subkategori Memperingatkan