1. Obat Tanpa Indikasi
Diuretik banyak digunakan sebagai terapi pertama hipertensi yang memiliki komplikasi stroke. Efek samping dari diuretik ini dapat
menyebabkan gangguan elektrolit dan juga terjadinya retensi urin bila terjadi kesalahan dalam pemilihan dosis ataupun pemilihan obat diuretik yang tidak
sesuai dengan kondisi pasien. Jenis DRPs dengan kategori obat tanpa indikasi terjadi pada kasus nomor 12b terdapat di lampiran. Pada penelitian ini
terjadi penggunaan bersamaan antara furosemid dengan hidroklorothiazid. Golongan diuretik yang direkomendasikan untuk penanganan stroke berulang
dan sudah terbukti berhasil yaitu diuretik golongan thiazid yang dapat dikombinasikan dengan ACEI seperti kaptopril 12,5 mg. Penggunaan
furosemid tidak dibutuhkan pada kasus ini karena dikhawatirkan terjadi efek hipotensi jika obat antihipertensi yang digunakan terlalu banyak
PROGRESS, 2008. Jenis DRPs yang terjadi pada kasus ini merupakan DRPs aktual.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu dokter penulis resep di RS Panti Rini, Tekanan darah yang diharapkan tidak boleh terlalu rendah,
biasanya 25 dari tekanan darah pasien, karena setiap pasien memiliki tekanan darah normal yang berbeda-beda.
2. Obat Salah
Pemilihan obat yang kurang tepat atau salah pemilihan obat pada umumnya ditemui disebabkan karena terapi yang diterima oleh pasien
ternyata kontraindikasi dengan kondisi pasien atau terapi yang diberikan kepada pasien bukan merupakan terapi yang paling efektif untuk mengatasi
kondisi pasien saat diterapi. Pada kasus 1, 3, 4, 5, 7a, 7b, 8, 10, 11, 12b, 13a, 13b, 14, dan 18
pasien mengalami stroke berulang atau TIA. Lini pertama untuk mencegah stroke berulang atau TIA yaitu dengan penggunaan diuretik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat antihipertensi golongan ACEI seperti kaptopril. Penggunaan kombinasi obat tersebut terbukti lebih efektif dibanding
penggunaan obat antihipertensi lain seperti Angiotensin Receptor Blocker dan Calcium Channel Blocker
Fagan and Hess, 2008. Pada kasus di atas yang diberikan pada pasien bukan merupakan kombinasi obat yang disarankan
sehingga perlu dilakukan penggantian obat. Perlu diketahui antihipertensi golongan diuretik kecuali hidroklorothiazid dan ACEI juga disarankan
untuk hipertensi disertai dengan penurunan fungsi ginjal sehingga untuk pasien dengan nilai kreatinin pasien di atas normal dan nilai LFG pasien 60
mLmin1.73 m
2
obat ini cukup aman. Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter penulis resep yang dapat dilihat pada lampiran 3, pemilihan obat
antihipertensi tergantung dokter yang menangani. Pada umumnya digunakan calcium channel blocker
seperti diltiazem atau diuretik seperti furosemid. Tekanan darah yang diharapkan yaitu 140100 mmHg dikarenakan jika terlalu
rendah dapat menyebabkan terjadi hipotensi pada pasien. Jenis DRPs yang terjadi pada kasus ini merupakan DRPs aktual.
Pada kasus 16, pasien mengalami penurunan fungsi ginjal dengan nilai 51,06 mLmin1.73 m
2
dan diberi hidroklorothiazid HCT. Penggunaan HCT tidak efektif pada pasien dengan pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal dan hanya efektif jika dikombinasikan dengan loop diuretik DIH 2011. Pada kasus 9, 15, dan 17 pasien mengalami stroke hemorrhagic
atau stroke pendarahan. Lini pertama yaitu menggunakan nimodipin untuk mengurangi keparahan penurunan neurologi efek dari stroke dan diketahui
nimodipin tidak kontraindikasi dengan pasien CKD. Penggunaan nimodipin dapat digunakan 60 mg setiap 6 jam sekali, jika hipotensi terjadi dikurangi
hingga 30 mg setiap 4 jam Fagan and Hess, 2008. DRPs yang terjadi pada kasus ini merupakan DRPs aktual.
Pada kasus 12a, pasien mengalami stroke akut dengan tekanan sistolik 160 mmHg yang dapat dikategorikan bahwa pasien mengalami hipertensi
emergency dan membutuhkan penanganan cepat. Tujuan terapi jika terjadi
stroke akut adalah penurunan tekanan darah dengan obat antihipertensi yang memiliki cara kerja cepat. Menurut CHHIPS Controlling Hypertension and
Hypertension Immediately Post-Stroke 2009 menyarankan penggunaan lisinopril atau atenolol pada pasien stroke akut dengan tekanan sistolik 160
mmHg. Pada kasus 12a, dokter meresepkan furosemid, valsartan, amlodipin, dan nimodipin sebagai obat antihipertensi untuk pasien tersebut. Menurut
guideline menyatakan seharusnya obat yang digunakan adalah lisinopril.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter penulis resep, obat ini tidak digunakan karena tidak beredar di Indonesia. Tetapi sebenarnya lisinopril
beredar di Indonesia. DRPs yang terjadi pada kasus ini merupakan DRPs
aktual. Jenis DRPs dengan kategori obat salah ditemukan pada kasus 1, 3, 4, 5, 7a, 7b, 8, 9, 10, 11, 12a, 12b, 13a, 13b, 14, 15, 16, 17, dan 18 yang dapat
dilihat di lampiran.
3. Dosis Kurang