Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus Sectio Caesarea (SC) di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014.

(1)

INTISARI

Peningkatan kejadian operasi sesar (sectio caesarea) diikuti pula dengan tingginya risiko infeksi pasca operasi. Ketepatan penggunaan antibiotika profilaksis menjadi salah satu kunci penting untuk meminimalkan infeksi tersebut. Tingginya penggunaan antibiotika sebagai profilaksis bedah khususnya pada operasi sesar memungkinkan timbulnya berbagai permasalahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi drug related problems (DRPs) pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus operasi sesar.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan case series yang bersifat retrospektif dengan menggunakan lembar rekam medik. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu pasien bukan rujukan yang menjalani operasi sesar di RS Panti Rini Yogyakarta pada bulan Januari hingga Juni 2014 dan mendapat terapi antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap, tidak terbaca, dan tidak dapat dikonfirmasi. Adanya drug related problems diidentifikasi menggunakan metode SOAP (Subyek, Obyek, Assessement, Plan/ recommendation). Faktor-faktor pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan melakukan wawancara.

Terdapat 27 pasien yang memenuhi kriteria penelitian sebagai subjek penelitian. Evaluasi DRPs penggunaan antibiotika profilaksis menunjukkan adanya 1 kasus obat tidak diperlukan, 7 kasus obat tidak efektif, 27 kasus dosis kurang, 27 dosis berlebih, 14 kasus butuh tambahan obat, dan 13 kasus efek samping obat.

Kata kunci: antibiotika profilaksis, operasi sesar, sectio caesarea, drug related problems


(2)

ABSTRACT

An increasing of caesarean section (sectio caesarea) is followed by a high risk of infection that came after surgery. Accuracy of the use of prophylaxis antibiotic becomes one important key to minimize the infection. The high use of antibiotic as surgical prophylaxis especially in caesarean section may leads to some problems. This research aimed to identify drug related problems (DRPs) of the use prophylaxis antibiotics in caesarean section cases.

This research was an observational research with case series design, retrospectively using medical record sheets. Inclusion criteria of this research were patients who had caesarean section at RS Panti Rini Yogyakarta in January to June 2014 and received prophylaxis antibiotics. Exclusion criteria were incomplete and difficult to read medical records. Analyze of DRPs was identified using SOAP (Subject, Object, Assessment, and Plan/ recommendation) method. Factors of prophylaxis antibiotic selection were obtained by interviews.

There were 27 patients to be subjects which according to the criteria. Evaluation DRPs of the use of prophylaxis antibiotic showed one case of unnecessary drug, 7 cases of ineffective drug, 27 cases of dose to low, 27 cases of dose to high, 14 cases of need additional therapy, and 13 cases of potential adverse drug reaction.

Keywords: prophylaxis antibiotic, caesarean section, sectio caesarea, drug related problems.


(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

UNTUK KASUS SECTIO CAESAREA (SC)

DI RS PANTI RINI YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Jessica Christy Sitio NIM: 118114140

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

UNTUK KASUS SECTIO CAESAREA (SC)

DI RS PANTI RINI YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Jessica Christy Sitio NIM: 118114140

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

ii


(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebab Aku ini mengetahui rancangan

-rancangan apa yang

ada pada-Ku mengenai kamu, demikian firman TUHAN,

yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan

kecelakaan, untuk memberikan kepadamu

hari depan yang

penuh harapan.

Yeremia 29:11

“I tried to do my best To do the best I could I had to give my all It's what I had to do And I'd do it all again And that's the honest truth I did it for you” (I Did It For You –Westlife)

Kupersembahkan untuk: Tuhanku Yesus Kristus Babe, Mama, dan kakak terkasihku Almamaterku dan semua yang telah mendukungku


(8)

(9)

(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Penggunaan Antibiotika

Profilaksis untuk Kasus Sectio Caesarea (SC) di RS Panti Rini Yogyakarta Periode Januari-Juni 2014” sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari banyak pihak. Karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Direktur RS Panti Rini Yogyakarta atas ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian di RS Panti Rini Yogyakarta

2. Kepala Apoteker, Kepala Personalia, dan Kepala Rekam Medik berserta seluruh masing-masing staf bagian di RS Panti Rini Yogyakarta atas arahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses pengambilan data.

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma sekaligus dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.


(11)

viii

4. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK, dan Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., Apt., M.Sc. sebagai dosen penguji atas kritik dan saran yang membangun yang diberikan selama penyelesaian skripsi.

5. Kedua orangtua, Sudirman Sitio, S.H. dan Osna Simatupang serta kakak tercinta, Eva Yulia Janice atas kasih sayang, doa, dukungan, arahan, dan pengertian serta berbagai bantuan hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan DeRealPrincesses, Adel, Anes, dan Lulik atas kerjasama, bantuan, dan informasi yang selalu dibagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

7. Dodi Setiawan atas doa, dukungan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama penyusunan skripsi ini.

8. Rika Nofitasari, AMd.Keb. dan Almas Azifa Dina, AMd.Keb. atas informasi, semangat, dan bantuan yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-teman FSM D, FKK B, dan angkatan 2011, serta teman-teman lainnya yang menemani penulis dalam berbagai kegiatan selama menempuh perkuliahan jenjang S1 yang telah berbagi cerita, semangat, dan berbagai ilmu yang mendukung dalam penyelesaikan skripsi ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang secara langsung maupun tidak langsung turut serta membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(12)

(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5


(14)

xi

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Sectio Caesarea ... 7

B. Infeksi Pasca SC ... 8

1. Faktor Risiko ... 14

2. Pencegahan ... 15

C. Antibiotika Profilaksis ... 16

1. Prinsip Penggunaan ... 17

2. Klasifikasi Antibiotika Profilaksis ... 21

3. Rekomendasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Untuk Sectio Cesarea ... 22

D. Drug Related Problems (DRPs) ... 26

E. Keterangan Empiris ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 29

B. Variabel ... 29

C. Definisi Operasional ... 29

D. Subjek Penelitian ... 30

E. Bahan Penelitian ... 31

F. Instrumen Penelitian ... 31

G. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 31

H. Tata Cara Penelitian ... 32

1. Tahap Persiapan ... 32


(15)

xii

3. Tahap Pengumpulan ... 33

4. Tahap Analisis Data ... 33

I. Tata Cara Analisis Hasil ... 34

1. Karakteristik Pasien ... 34

2. Profil Penggunaan Antibiotika Profilaksis ... 34

3. Drug Related Problems (DRPs) ... 36

J. Keterbatasan Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Karakteristik Pasien ... 38

B. Pola Penggunaan Antibiotika Profilaksis ... 40

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 47

1. Obat tidak diperlukan ... 48

2. Obat tidak efektif ... 48

3. Dosis kurang ... 50

4. Dosis berlebih ... 52

5. Perlu tambahan obat ... 53

6. Efek samping obat ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 64


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis ... 4 Tabel II. Karakteristik pasien dan operasi yang dapat meningkatkan

risiko infeksi ... 14 Tabel III. Rekomendasi dosis dan dosis berulang beberapa antibiotika

profilaksis ... 25 Tabel IV. Karakteristik pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode

Januari-Juni 2014 ... 38 Tabel V. Antibiotika profilaksis yang diterima pasien SC di RS Panti Rini

Yogyakarta periode Januari-Juni 2014 ... 42 Tabel VI. Pola cara pemberian antibiotika profilaksis pada pasien SC di

Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014 ... 44 Tabel VII. Pola dosis antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien SC

di Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014 ... 45 Tabel VIII. Jenis DRPs penggunaan antibitika profilaksis pada kasus SC di


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Surgical Site Infection berdasarkan tempat terjadinya infeksi ... 12 Gambar 2. Pola waktu pemberian antibiotika profilaksis pada pasien pasien

SC di Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014 ... 46 Gambar 3. Pola durasi pemberian antibiotika profilaksis pada pasien pasien


(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analasis Drug Related Problems (DRPs) pada Penggunaan Antibiotika Profilaksis untuk Kasus Sectio Caesarea (SC) di RS Panti Rini Yogyakarta Periode Januari-Juni 2014 ... 65 Lampiran 2. Hasil Wawancara Peneliti dengan Apoteker Di Rumah Sakit

Panti Rini Mengenai Peresepan Antibiotika Profilaksis untuk SC ... 92 Lampiran 3. Hasil Wawancara Peneliti dengan Salah Satu Dokter Bedah SC

Di Rumah Sakit Panti Rini Mengenai Peresepan Antibiotika Profilaksis untuk SC ... 93


(19)

xvi

INTISARI

Peningkatan kejadian operasi sesar (sectio caesarea) diikuti pula dengan tingginya risiko infeksi pasca operasi. Ketepatan penggunaan antibiotika profilaksis menjadi salah satu kunci penting untuk meminimalkan infeksi tersebut. Tingginya penggunaan antibiotika sebagai profilaksis bedah khususnya pada operasi sesar memungkinkan timbulnya berbagai permasalahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi drug related problems (DRPs) pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus operasi sesar.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan case series yang bersifat retrospektif dengan menggunakan lembar rekam medik. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu pasien bukan rujukan yang menjalani operasi sesar di RS Panti Rini Yogyakarta pada bulan Januari hingga Juni 2014 dan mendapat terapi antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap, tidak terbaca, dan tidak dapat dikonfirmasi. Adanya drug related problems diidentifikasi menggunakan metode SOAP (Subyek, Obyek, Assessement, Plan/ recommendation). Faktor-faktor pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan melakukan wawancara.

Terdapat 27 pasien yang memenuhi kriteria penelitian sebagai subjek penelitian. Evaluasi DRPs penggunaan antibiotika profilaksis menunjukkan adanya 1 kasus obat tidak diperlukan, 7 kasus obat tidak efektif, 27 kasus dosis kurang, 27 dosis berlebih, 14 kasus butuh tambahan obat, dan 13 kasus efek samping obat.

Kata kunci: antibiotika profilaksis, operasi sesar, sectio caesarea, drug related problems


(20)

xvii

ABSTRACT

An increasing of caesarean section (sectio caesarea) is followed by a high risk of infection that came after surgery. Accuracy of the use of prophylaxis antibiotic becomes one important key to minimize the infection. The high use of antibiotic as surgical prophylaxis especially in caesarean section may leads to some problems. This research aimed to identify drug-related problems (DRPs) of the use prophylaxis antibiotics in caesarean section cases.

This research was an observasional research with case series design, retrospectively using medical record sheets. Inclusion criteria of this research were patients who had caesarean section at RS Panti Rini Yogyakarta in January to June 2014 and received prophylaxis antibiotics. Exclusion criteria were incomplete and difficult to read medical records. Analyze of DRPs was identified using SOAP (Subject, Object, Assessement, and Plan/ recommendation) method. Factors of prophylaxis antibiotic selection were obtained by interviews.

There were 27 patients to be subjects which according to the criteria. Evaluation DRPs of the use of prophylaxis antibiotic showed one case of unnecessary drug, 7 cases of ineffective drug, 27 cases of dose to low, 27 cases of dose to high, 14 cases of need additional therapy, and 13 cases of potential adverse drug reaction.

Keywords: prophylaxis antibiotic, caesarean section, sectio caesarea, drug related problems.


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka kejadian sectio caesarea (SC) di seluruh dunia tinggi dan terus mengalami peningkatan terutama pada negara-negara berkembang. Di Indonesia, secara umum proporsi kelahiran dengan SC yaitu sebesar 9,8%. Untuk daerah provinsi DI Yogyakarta sendiri proporsi kelahiran melalui SC mencapai 15%-20%. Angka ini menempati urutan keempat tertinggi setelah provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Bali (Kemenkes RI, 2013; Lauer, et al., 2010).

Sectio caesarea atau yang lebih dikenal dengan operasi sesar merupakan operasi yang memiliki potensi yang besar dalam proses kelahiran khususnya untuk kasus kelahiran yang tidak memungkinkan melalui jalur vaginam. Akan tetapi, jalur ini juga tidak lepas dari risiko mortalitas dan morbiditas yang besar bagi ibu dan bayi. Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien pasca SC adalah infeksi (Khan, 2006). Persalinan dengan SC memiliki risiko infeksi hingga 80 kali lebih tinggi dari persalinan per vaginam. Pencegahan infeksi pada luka operasi tersebut dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika profilaksis (Pernoll, 2001).

Penggunaan antibiotika sebanyak 33%-50% di rumah sakit ditujukan sebagai profilaksis bedah. Sebanyak 30%-90% penggunaan tersebut tidak tepat, terutama pada waktu pemberian dan durasi. Intensitas penggunaan antibiotika sebagai profilaksis yang relatif tinggi dapat menimbulkan berbagai permasalahan.


(22)

Selain risiko morbiditas dan mortalitas, permasalahan resistensi bakteri terhadap antibiotika juga menjadi ancaman. Tingginya insiden resistensi antibiotika di seluruh dunia memiliki dampak yang signifikan terhadap masalah kesehatan masyarakat, terutama pada masalah dalam terapi (Radji, Aini, and Fauziyah, 2014; Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Masalah yang tidak diharapkan yang dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi dikenal dengan drug related problems (DRPs). Masalah tersebut dapat terjadi secara aktual maupun potensial. DRPs aktual merupakan masalah yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial merupakan masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada pasien. Kategori DRPs meliputi obat tidak diperlukan, perlu obat tambahan, obat tidak efektif, dosis rendah, efek samping obat, dosis berlebih, dan kepatuhan pasien (Cipolle, Strand, Morley, Ramsey, and Lamsam 2004).

Rumah Sakit Panti Rini merupakan rumah sakit swasta tipe D yang terletak di kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rumah sakit ini melayani persalinan dengan operasi sesar dan menjadi salah satu rumah sakit rujukan untuk operasi sesar. Setidaknya pada bulan Januari hingga Juni 2014 tercatat ada 78 kejadian operasi sesar termasuk pasien rujukan (Surveilans RS Panti Rini, 2014).

Evaluasi DRPs merupakan bagian dari tugas kefarmasian sebagai penerapan pharmaceutical care. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan evaluasi DRPs pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus (SC) di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014. Hasil penelitian ini diharapkan


(23)

dapat membantu memaparkan sekaligus memecahkan masalah terkait antibiotika profilaksis khususnya pada kasus persalinan dengan cara operasi sesar.

1. Perumusan masalah

a. Seperti apakah karakteristik pasien sectio caesarea (SC) yang meliputi usia ibu, usia kehamilan, riwayat SC, dan jenis SC?

b. Seperti apakah pola penggunaan antibiotika profilaksis untuk pasien SC yang meliputi jenis antibiotika, waktu pemberian, cara pemberian, dosis, dan durasi pemberiannya?

c. Apakah terdapat drug related problems (DRPs) meliputi butuh tambahan obat, obat tidak diperlukan, obat tidak efektif, dosis kurang, dosis berlebih, dan efek samping obat?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, penelitian mengenai evaluasi drug related problem pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus sectio caesarea di Rumah Sakit Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014 belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian sejenis dan berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis yang pernah dilakukan sebelumnya dapat dilihat pada Tabel I.


(24)

Tabel I.Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis

Judul dan penulis Hasil penelitian

Evaluasi penggunaan antibiotika

profilaksis pada pasien yang menjalani operasi sesar pada bulan Agustus dan September 2007 di RS Panti Rapih oleh (Arisandy, 2008).

Dari 49 subyek uji, ditemukan 8 kasus obat tidak diperlukan, 5 kasus obat salah, 12 kasus dosis terlalu rendah, dan 41 kasus efek samping obat

Kajian penggunaan antibiotika

profilaksis dan evaluasi drug related problem-nya pada bedah orthopedi kasus fraktur di unit bedah RS Panti Rapih Yogyakarta periode Agustus-September 2007 (Utami, 2008).

Dari 101 subyek uji, ditemukan 1 kasus obat tanpa indikasi, 44 kasus dosis terlalu rendah, 24 kasus efek samping obat, dan 54 kasus dosis terlalu tinggi.

Evaluasi drug related problems pada pasien operasi sesar (caesarean section) di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2008 (Alifa, 2011).

Dari 38 subyek uji, ditemukan 12 kasus dosis terlalu rendah, 4 kasus dosis terlalu tinggi, 5 kasus efek samping

obat, dan 2 kasus obat tidak

dibutuhkan.

Evaluasi penggunaan antibiotika

profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 (Dewi, 2012).

Dari 82 subyek uji, menunjukkan

sebanyak 49% subyek diberikan

antibiotika profilaksis lebih dari 1 jam sebelum operasi, 54% subjek diberikan antibiotika profilaksis pada dosis 2 gram, dan 56% subyek diberikan antibiotika profilaksis dengan lama pemberian 1 hari.

Analysis of Perioperative Use of Prophylactic Antibiotics for Patients Undergoing Cesarean Section in Xiamen Lianhua Hospital (Liu, Li, Lin, Zhan, and Hong, 2013).

Dari 200 kasus, menunjukkan 98.5% kasus menerima antibiotika tunggal, seluruh antibotika profilaksis diberikan saat operasi setelah pemutusan tali pusar, dan 64% antibiotika diberikan selama 24 jam.

Evaluasi kualitas penggunaan

antibiotika profilaksis pada pasien bedah caesar di Rumah Sakit Ibu dan

Anak Sakina Idaman Yogyakarta

periode Januari-Desember 2012

(Saraswati, 2013).

Dari 164 subyek uji, menunjukkan ketepatan jenis antibiotika sebesar 25,61%, ketepatan rute pemberian

sebesar 100%, ketepatan dosis,

frekuensi dan durasi sebesar 5,49%, serta ketepatan waktu pemberian sebesar 68,29%.

Efektivitas penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien bedah sesar (sectio caesarea) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi tahun 2013 (Purnamaningrum, 2014)

Pemberian ceftriaxone iv dengan dosis 1 gram efektif (tidak muncul infeksi pasca bedah sesar) pada 17% pasien.


(25)

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Perbedaan terletak pada tempat penelitian, periode data yang diteliti, hal yang diteliti, dan metode penelitian. Penelitian ini dilakukan di RS Panti Rini dengan menggunakan data rekam medik periode Januari-Juni 2014. Hal yang diteliti pada penelitian ini adalah evaluasi DRPs penggunaan antibiotika profilaksis pada SC. Perbedaan metode penelitian pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas yaitu pada metode penelitian ini rancangan penelitian yang digunakan adalah case series dan terdapat tahap uji coba instrumen.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber informasi mengenai penggunaan antibiotika profilaksis khususnya pada prosedur SC.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi farmasis dan tenaga kesehatan lainnya terkait penggunaan antibiotika profilaksis untuk SC sehingga dapat meningkatkan kualitas terapi.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi drug related problems (DRPs) pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus sectio caesarea (SC) di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni tahun 2014.


(26)

2. Tujuan Khusus

a. Memberi gambaran karakteristik pasien SC yang meliputi usia ibu, usia kehamilan, riwayat SC, dan jenis SC.

b. Mengidentifikasi pola peresepan antibiotika pada pasien meliputi jenis, waktu pemberian, cara pemberian, dosis, dan durasi pemberian.

c. Mengevaluasi DRPs meliputi butuh tambahan obat, obat tidak diperlukan, obat tidak efektif, dosis kurang, dosis berlebih, dan efek samping obat.


(27)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Sectio Caesarea

Operasi sesar atau sectio caesarea (SC) adalah prosedur pembedahan di mana sayatan dibuat melalui perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. Sayatan dibuat baik secara horisontal maupun vertikal di dalam rahim. Pada beberapa kondisi, kecil kemungkinannya untuk mencoba melahirkan melalui vagina di kehamilan berikutnya (Thapa, et al., 2012).

Operasi sesar dapat dilakukan atas permintaan pasien dengan pertimbangan tenaga medis. Pada umumnya operasi sesar dilakukan bila persalinan tidak dapat dilakukan melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik, sudah pernah melakukan operasi sesar sebelumnya, gawat janin, dan prolaps tali adalah beberapa indikasi umum dari kelahiran sesar (Shamna, Kalaichelvan, Marickar, and Deepu, 2014).

Keputusan untuk melakukan SC didasarkan pada pertimbangan keamanan. Pada kondisi tertentu, operasi sesar lebih aman untuk ibu dan bayi daripada persalinan normal. Beberapa pertimbangan sehingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi sesar menurut Mayo Clinic Staff (2012), yaitu:

1. Persalinan normal tidak berjalan dengan lancar. 2. Bayi tidak mendapatkan cukup oksigen.


(28)

4. Bayi kembar; kembar tiga atau lebih. 5. Ada masalah dengan plasenta pasien 6. Ada masalah dengan tali pusar.

7. Ibu memiliki masalah kesehatan, seperti penyakit jantung yang tidak stabil atau tekanan darah tinggi, dan infeksi yang dapat ditularkan kepada bayi selama persalinan pervaginam seperti herpes genital atau HIV.

8. Bayi memiliki masalah kesehatan, misalnya hidrosefalus. 9. Riwayat sesar sebelumnya.

Risiko yang mungkin terjadi setelah persalinan dengan operasi sesar adalah infeksi. Infeksi pada atau di sekitar lokasi sayatan umum terjadi pasca operasi, termasuk operasi sesar. Infeksi pasca operasi sesar dapat berupa infeksi endometritis yang merupakan peradangan dan infeksi pada selaput yang melapisi rahim (Mayo Clinic Staff, 2012).

B. Infeksi Pasca SC

Infeksi adalah masuknya mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan jamur yang mampu menyebabkan trauma atau kerusakan pada tubuh atau jaringan. Mikroorganisme penginfeksi dapat muncul pada kulit atau jaringan lunak. Bakteri dapat menimbulkan beberapa efek patogennya dengan melepaskan beberapa senyawa, antara lain enzim (misalnya hemolisin, streptokinase, hialuronidase), eksotoksin yang dilepaskan terutama Gram positif (misalnya tetanus, difteri), atau endotoksin berupa lipopolisakaridase (LPS) dilepaskan dari dinding sel saat kematian bakteri (Grace dan Borley, 2007).


(29)

Infeksi pasca persalinan umum terjadi setelah operasi sesar. Infeksi dapat terjadi pada luka bekas sayatan operasi yang disebut dengan surgical site infection (SSI) yang ditandai dengan gejala inflamasi seperti, demam, kemerahan, nyeri, dan bengkak khususnya pada daerah bekas sayatan. Adanya nanah atau pus, purulen dari luka, ditemukannya bakteri yang diisolasi dari cairan tersebut, dan

kenaikan nilai leukosit dalam darah, khususnya netrofil juga menjadi tandab adanya infeksi (Singhal, 2014).

Sumber infeksi utama pada sebagian besar kejadian infeksi luka operasi adalah mikroorganisme endogen yang ada pada pasien itu sendiri. Semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan virus sampai dengan 3 juta kuman per sentimeter persegi kulit, namun tidak semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan virus dalam jumlah berimbang. Setiap luka operasi akan terkontaminasi oleh mikroorganisme selama operasi, tetapi hanya sebagian kecil yang akan mengalami infeksi. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasien memiliki pertahanan dalam mengendalikan dan mengeleminasi mikroorganisme penyebab infeksi (Guyton, 2007).

Dengan adanya sayatan bedah melalui kulit dan masuk ke jaringan subkutan, prekursor inflamasi manusia diaktifkan. Protein koagulasi dan trombosit pada awalnya diaktifkan sebagai bagian dari mekanisme hemostatik manusia, selanjutnya keduanya menjadi penanda timbulnya peradangan. Sel mast beserta protein pelengkap, bradikinin, prostaglandin, dan prekursor inflamasi lainnya diaktifkan. Efek dari faktor-faktor ini adalah vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal di lokasi sayatan bedah sehingga menyebabkan munculnya kemerahan


(30)

dan gejala hangat lokal. Prostaglandin sendiri menciptakan gejala nyeri pada daerah sayatan. Terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi lokal menyebabkan terbentuknya edema dan peningkatan ruang antara sel-sel endotel. Peningkatan permeabilitas vaskuler memfasilitasi akses fagosit pada jaringan lunak yang terluka, sementara edema menyediakan saluran cairan untuk navigasi fagosit melalui jaringan ekstraseluler. Produk aktivasi dari 5 peristiwa inisiasi (kemerahan, hangat, nyeri, bengkak, dan kehilangan fungsi) adalah hasil produksi sinyal chemoattractant spesifik, sementara sel-sel mast menghasilkan sinyal kemokin tertentu yang menarik neutrofil tertentu, monosit, dan leukosit ke daerah sayatan. Jadi, cedera jaringan dari sayatan telah memobilisasi fagosit ke dalam luka sebelum kontaminasi bakteri dari operasi terjadi. Proses ini merupakan pertahanan host bawaan sebelum kontaminasi intraoperatif terjadi, dan memberikan pasien keuntungan terhadap pertahanan infeksi (Fry, 2003).

Dalam beberapa jam setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang berasal dari jaringan yang meradang dan memicu beberapa reaksi. Pertama, produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut marginasi. Produk tersebut juga menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel kapiler dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari darah ke dalam ruang jaringan. Produk peradangan


(31)

lainnya juga menyebabkan kemotaksis netrofil menuju jaringan yang cedera. Dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat tersebut akan diisi oleh netrofil yang siap untuk membunuh mikroorganisme dan menyingkirkan bahan-bahan asing. Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akut yang berat, jumlah netrofil di dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi 15.000-25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia (Guyton, 2007).

Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang meradang dan membesar menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang meradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk berkembang ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang sangat banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh sebagai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Setelah beberapa hari hingga minggu, makrofag datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang meradang (Guyton, 2007).

Perjalanan infeksi baru dimulai jika ada jalur masuk (port d’entry). Lalu setelah melewati masa inkubasi yaitu waktu dimana agen infeksi masuk ke dalam tubuh sampai munculnya gejala awal infeksi maka penderita akan mengalami fase inflamasi akut. Makrofag dan netrofil yang merupakan hasil dari inflamasi serta antibodi yang hadir setelah bakteri menginfeksi mampu melisiskan bakteri dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibatkan fagositosis (Fry, 2003).

Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik, maka semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati.


(32)

Sesudah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran itu disebut pus (Guyton, 2007).

Berdasarkan tempat terjadinya, SSI diklasifikasikan menjadi tiga yaitu superficial incisional, deep incisional, dan organ/space. Superficial incisional SSI yaitu infeksi yang terjadi pada daerah sayatan namun hanya pada bagian kulit dan jaringan subkutan. Deep incisional SSI yaitu infeksi yang terjadi pada daerah sayatan hingga bagian jaringan dalam, seperti fasia dan lapisan otot. Organ/space SSI yaitu infeksi yang terjadi setiap bagian dari anatomi organ dan daerah selain sayatan yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi (Singhal, 2014).

Gambar 1. Surgical site infection berdasarkan tempat terjadinya infeksi (Singhal, 2014)


(33)

Risiko infeksi pasca operasi sesar selain SSI adalah endometritis. Endometritis merupakan infeksi pada lapisan rahim yang biasanya diidentifikasi dengan demam, malaise, takikardi, nyeri perut, nyeri pada uterus, terkadang lokia yang abnormal atau berbau busuk. Demam juga bisa menjadi satu-satunya gejala endometritis. Endometritis telah dilaporkan terjadi pada 24% pasien SC elektif dan 60% pada pasien SC non-elektif atau emergensi (ASHP, 2013).

Cairan vagina dengan flora bakteri ditarik ke dalam rahim ketika rileks antara kontraksi selama proses persalinan. Yang termasuk flora normal vagina tersebut yaitu streptokokus, enterokokus, laktobasil, diphtheroid, E.coli, spesies Bacteroides (misalnya, Bacteroides Vibius, B. fragilis), dan spesies Fusobacterium. Endometritis sering disebabkan oleh polimikroba biasanya streptokokus aerobik (terutama kelompok basil streptokokus dan enterokokus), aerob Gram negatif (terutama E.coli), basil anaerob Gram negatif (terutama B. bivius), dan kokus anaerob (spesies Peptococcus dan Peptostreptococcus) (ASHP, 2013).

Infeksi pada endometrium biasanya merupakan hasil dari infeksi yang berasal dari saluran kelamin yang posisinya lebih rendah dari endometrium. Endometritis lebih sering terjadi sebagai infeksi akut. Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil dalam kelenjar endometrium. Endometritis kronis ditandai dengan adanya sel-sel plasma dan limfosit dalam stroma endometrium (Rivlin,2015).

Gejala dan tanda infeksi endometrium pada obstetrik diantaranya demam yang biasanya terjadi dalam waktu 36 jam setelah melahirkan. Selain itu, rasa


(34)

nyeri perut bagian bawah, takikardia, nyeri rahim, suhu oral 38°C dalam 10 hari pertama postpartum atau 38,7°C dalam 24 jam pertama postpartum. Dalam kasus yang parah, pasien mungkin akan septik (Singhal, 2014).

1. Faktor risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi pasca bedah yaitu dari segi pasien (endogen) dan prosedur operasi (eksogen) (Kanji and Devlin, 2008). Tabel II. merupakan karakteristik pasien dan prosedur operasi yang dapat meningkatkan risiko infeksi pasca bedah.

Tabel II.Karakteristik pasien dan operasi yang dapat meningkatkan risiko infeksi pasca bedah (Kanji and Devlin, 2008)

Pasien Proses bedah

Usia Nutrisi

Penyakit Diabetes Perokok

Obesitas

Sudah terjadi infeksi terlebih dahulu Respon imun

Lama tinggal saat preoperasi Kolonisasi dengan mikroba resisten

Durasi pembersihan bedah Persiapan preoperatif Pencukuran daerah operasi Lama bedah

Antibiotika profilaksis Ventilasi ruangan operasi Sterilisasi alat-alat bedah Pemasangan implan prostetik Drainase bedah

Teknik bedah

Sistem klasifikasi luka operasi yang meningkatkan kemungkinan dan tingkat kontaminasi bakteri selama prosedur pembedahan dibagi menjadi empat kelas operasi, yaitu operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi, operasi terkontaminasi, dan operasi kotor. Operasi bersih yaitu operasi pada keadaan prabedah tanpa adanya luka atau operasi yang melibatkan luka steril dan dilakukan dengan memerhatikan prosedur aseptik dan antiseptik. Pada operasi ini, saluran pencernaan, saluran pernapasan, atau saluran kemih tidak dibuka.


(35)

Kemungkinan terjadi infeksi pasca bedah ini yaitu 2-4%. Operasi bersih terkontaminasi mirip dengan operasi bersih namun daerah saluran napas dan kemih terlibat dalam pembedahan. Operasi terkontaminasi yaitu operasi yang dikerjakan pada daerah dengan luka yang telah terjadi 6-10 jam dengan atau tanpa benda asing. Telah jelas terdapat kontaminasi karena saluran napas, cerna, atau kemih dibuka. Tindakan darurat yang mengabaikan prosedur aseptik-antiseptik termasuk dalam klasifikasi operasi ini. Kemungkinan terjadinya infeksi pada prosedur seperti ini 16-25%. Operasi kotor merupakan operasi yang melibatkan daerah dengan luka terbuka yang telah terjadi lebih dari 10 jam dan biasanya merupakan tindakan darurat (Darmadi, 2008).

Faktor risiko lain penyebab SSI setelah bedah sesar adalah penyakit sistemik, kebersihan yang buruk, obesitas, dan anemia. Faktor risiko endometritis diantaranya termasuk kelahiran sesar itu sendiri, pecahnya selaput pelindung rahim yang berkepanjangan, persalinan yang lama dengan berbagai pemeriksaan vagina, demam intrapartum, dan status sosial yang rendah. Membrane chorioamniotic berfungsi sebagai pelindung rahim dari infeksi bakteri. Pecahnya membran ini juga menjadi penyebab permukaan rahim mudah terinfeksi (ASHP, 2013).

2. Pencegahan

Perencanaan pra operasi dan teknik intraoperatif menjadi penting dalam pencegahan SSI. Meningkatkan nutrisi, penghentian merokok, penggunaan antibiotika yang tepat, dan teknik intraoperatif dapat ditingkatkan untuk


(36)

meminimalkan infeksi. Pencegahan yang dapat dilakukan sebelum terjadi infeksi pasca operasi antara lain operasi dilakukan sesingkat mungkin, prosedur operasi dilakukan dengan teknik aseptik-antiseptik, filtrasi terhadap udara pada kamar operasi, dan pemberian antibiotika profilaksis (Grace dan Borley, 2007; Pear, 2013).

C. Antibiotika Profilaksis

Antibiotika profilaksis merupakan antibiotika yang diberikan sebelum terjadi kontaminasi pada jaringan atau cairan pada tubuh. Indikasi penggunaan antibiotika profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada kasus pembedahan menurut Kanji and Devlin (2008) dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011), yaitu:

a. Penurunan dan pencegahan kejadian SSI.

b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi. c. Penghambatan muncul flora normal resisten. d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.

Penggunaan antibiotika profilaksis terbukti mampu menurunkan risiko infeksi pasca bedah secara signifikan. Hasil tersebut bergantung pada pemilihan jenis antibiotika, cara pemberian, waktu dan durasi pemberian yang tepat dan sesuai dengan kontaminasi bakteri pada prosedur bedah yang terkait. Penggunaan antibiotika profilaksis yang tidak tepat tidak hanya meningkatkan risiko infeksi,


(37)

namun juga meningkatkan risiko resistensi bakteri, biaya yang dikeluarkan, lama tinggal dan jumlah kunjungan rumah sakit (Ongom and Kijjambu, 2013).

1. Prinsip penggunaan

Agar hasil terapi antibiotika profilaksis bedah dapat maksimal, maka penggunaannya sebaiknya mengikuti prinsip-prinsip penggunaan antibiotika sebagai profilaksis berdasarkan pedoman dan penelitian-penelitian terdahulu. Secara umum, prinsip penggunaan antibiotika profilaksis menurut Anderson, et al. (2014) dan Doherty and Way (2006) adalah sebagai berikut:

a. Antibiotika yang dipilih efektif mampu mengatasi tipe kontaminasi yang terkait.

b. Penggunaan antibiotika hanya digunakan pada prosedur dengan risiko infeksi. c. Pemberian antibiotika harus sesuai dosis dan waktu pemberian. Antibiotika

diberikan dalam waktu 1 jam sebelum pembedahan (2 jam diperbolehkan untuk vankomisin dan fluoroquinolon).

d. Dosis dihentikan dalam waktu 24 jam setelah operasi, sebelum terjadi risiko munculnya efek samping yang lebih besar dibanding keuntungannya. Pemberian dosis lebih dari 24 jam setelah operasi berkontribusi terhadap terjadinya resistensi bakteri.

e. Dosis dapat diulang bila prosedur operasi terlalu panjang atau adanya kehilangan darah yang berlebihan selama operasi. Dosis diulang jika sudah mencapai 2 kali waktu paruh antibiotika.


(38)

Antibiotika yang digunakan untuk profilaksis dipilih yang paling aman dan efektif sesuai prosedur bedah. Dasar pemilihan jenis antibiotika untuk tujuan profilaksis menurut Kanji and Devlin (2008) dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011), yaitu:

a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada prosedur operasi. Bakteri ini dapat berasal dari endogen (dari flora normal pasien sendiri) atau eksogen (dari kontaminasi selama prosedur bedah).

b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri. c. Toksisitas rendah.

d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi. e. Bersifat bakterisidal.

f. Harga terjangkau.

Pada beberapa kondisi, pasien diberikan antibiotika lebih dari satu jenis jenis yang disebut antibiotika kombinasi. Tujuan dari pemberian antibiotika kombinasi yaitu memberi efek sinergis dengan meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik, dan memperlambat serta mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten. Antibiotika kombinasi dapat memperluas spektrum aktifitas sehingga dapat mengatasi infeksi yang disebabkan oleh polibakteri. Antibiotika kombinasi juga diberikan dengan indikasi abses intraabdominal, hepatik, infeksi campuran aerob dan anaerob, dan sebagai terapi empiris pada infeksi berat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Kombinasi antibiotika yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotika. Penggunaan


(39)

antibiotika bersamaan dengan antibiotika lainnya dapat menimbulkan atau meningkatkan toksisitas yang bersifat aditif atau superaditif. Untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif, diperlukan pengetahuan jenis infeksi serta data mikrobiologi terkait antibiotika (Cunha, 2010).

Agar terapi profilaksis optimal, maka antibiotika profilaksis harus diberikan dalam dosis yang adekuat. Dosis yang digunakan adalah dosis maksimum. Dosis minimum tidak efektif karena tidak mampu mencapai konsentrasi dalam darah yang dibutuhkan saat pembedahan dimulai. Administrasi harus diulang intraoperatif jika operasi masih berlangsung 2 kali waktu paruh antibiotika profilaksis yang digunakan setelah dosis pertama untuk memastikan antibiotika masih cukup adekuat untuk mencegah infeksi sampai pada proses penutupan luka. Pemberian ulang antibiotika juga diindikasikan bila saat operasi terjadi kehilangan darah yang berlebihan yaitu berkisar antara >1000-1500 mL (ASHP, 2013; Ongom and Kijjambu, 2013).

Diperlukan penyesuaian dosis berdasarkan berat badan pasien, atau indeks massa tubuh (BMI) khususnya untuk pasien obesitas. Dengan pemberian antibiotika dengan dosis yang sama, konsentrasi antibiotika pada serum pasien dengan BMI yang tinggi lebih rendah dibanding pada pasien dengan BMI yang lebih rendah. Untuk pasien dengan BMI yang tinggi perlu mendapat dosis ganda. Penyesuaian ini diperlukan pada pasien dengan BMI >35 (ASHP, 2013; SOGC, 2010).

Pemilihan jenis, serta waktu dan durasi pemberian antibiotika profilaksis untuk kasus SC perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut tidak hanya


(40)

mempertimbangkan risiko keamanan ibu melainkan juga keamanan janin/bayi. Faktor lain yang menjadi perhatian adalah terkait dosis, rute pemberian, dan adanya resistensi dan/ atau alergi terhadap antibiotika yang digunakan. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan farmakodinamik dan farmakokinetik dari tiap antibiotika (Ongom and Kijjambu, 2014; Doherty and Way, 2006).

Profilaksis yang efektif harus bisa mengantarkan antibiotika pada daerah sayatan sesaat sebelum terjadi kontaminasi. Kadar antibiotika profilaksis dalam darah dan jaringan harus mencapai kadar hambat minimum (KHM) untuk mencegah terjadinya infeksi saat dan selama pembedahan. Ada dua rekomendasi waktu pemberian antibiotika profilaksis yang berbeda pada kasus SC. Beberapa penelitian menunjukkan sebaiknya waktu pemberian antibiotika profilaksis ditunda, bukan sebelum operasi dimulai seperti pada prosedur operasi lainnya, tetapi baru diberikan segera setelah tali pusar dipotong. Alasan utama penundaan administrasi adalah menghindari penekanan flora normal pada bayi yang baru lahir yang bisa mendorong terjadinya resistensi bakteri. Timbul pula kekhawatiran bahwa antibiotika tersebut berpotensi menutupi infeksi neonatal, sehingga evaluasi sepsis pada neonatal menjadi sulit. Data yang lebih modern mendukung administrasi antibiotika profilaksis sebelum sayatan bedah untuk melindungi pasien terhadap risiko infeksi. Hasil penilaian terapi cefazolin 2 g dosis tunggal sebagai profilaksis yang diberikan sebelum prosedur SC dan yang diberikan setelah tali pusar dipotong memberikan perbedaan yang tidak signifikan (ASHP, 2013, Ongom and Kijjambu, 2013).


(41)

Antibiotika profilaksis pada SC sebaiknya diberikan 30-60 menit sebelum operasi dimulai. Pemberian antibiotika profilaksis yang terlalu awal dapat menyebabkan konsentrasi antibiotika tidak memadai dalam jaringan saat dan selama operasi berlangsung. Efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari bakteri penyebab infeksi pun menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi postpartum akan meningkat. Begitu pula pada pasien yang baru menerima antibiotika profilaksis setelah operasi. Tidak ada antibiotika profilaksis yang dapat melindungi pasien dari infeksi bakteri selama operasi berlangsung hingga selesai (ASHP, 2013; Sullivan, et al., 2007).

Rekomendasi durasi pemberian antibiotika profilaksis yaitu maksimal 24 jam setelah pembedahan. Hal ini dikarenakan belum ditemukan bukti mendukung bahwa perpanjangan durasi antibiotika profilaksis memberikan manfaat yang baik. Kekhawatiran justru muncul karena durasi yang panjang terkait dengan munculnya resistensi (ASHP, 2013).

2. Klasifikasi antibiotika

Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar. Pertama, antibiotika dengan target dinding sel, yaitu golongan betalaktam, glikopeptida, daptomisin, dan kolistin. Kedua, antibiotika yang memblok produksi protein. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, aminoglikosida, makrolida dan ketolida, tetrasiklin dan glisisiklin, kloramfenikol, klindamisin, streptogramin, linezolid, dan nitrofurantoin. Ketiga, antibiotika dengan target DNA atau replikasi DNA. Golongan sulfa, kuinolon, dan metronidazol termasuk dalam kelompok ini (Hauser, 2013).


(42)

3. Rekomendasi penggunaan antibiotika profilaksis untuk sectio caesarea

Rekomendasi antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis bedah adalah antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan generasi II. Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat dikombinasikan dengan metronidazol. Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Sefalosporin adalah golongan antibiotika yang paling sering diresepkan untuk profilaksis bedah karena memiliki spektrum luas, profil farmakokinetik yang menguntungkan, efek samping jarang terjadi, dan murah. Cefazolin merupakan sefalosporin generasi pertama dan antibiotika profilaksis pilihan untuk SC. Rekomendasi penggunaan cefazolin sebagai profilaksis yaitu 2 g dosis tunggal dan diberikan 30-60 menit sebelum pembedahan. Kombinasi klindamisin dan aminoglikosida menjadi pilihan terapi untuk pasien yang alergi dengan betalaktam (ASHP, 2013; Kanji and Devlin, 2008).

Cefuroxime merupakan sefalosporin generasi II yang lebih poten melawan E. coli, K. pneumoniae, dan P. mirabilis dibanding dengan sefalosporin generasi I. Generasi II ini juga mampu melawan Neisseria spp., dan H. influenzae (Hauser, 2013). Cefuroxime memiliki keamanan dan efektifitas yang sama dengan ampicillin yang dikombinasikan dengan sulbaktam sebagai antibiotika profilaksis pada prosedur SC (Ziogos, et al., 2010).

Cefotaxime, ceftriaxon, dan cefditoren merupakan sefalosporin generasi III. Modifikasi yang ada pada generasi ini yaitu penambahan aminotiazol yang


(43)

dapat meningkatkan penetrasi agen antibiotika untuk menembus membran luar bakteri, meningkatkan afinitas dan meningkatkan stabilitas saat melawan bakteri. Generasi ini dapat melawan E. coli, Klebsiella spp., Proteus spp., Neisseria spp., and H. influenzae. Selain itu dapat pula melawan Enterobacteriaceae, termasuk Enterobacter spp., Citrobacter freundii, Providencia spp., Morganella morganii, dan Serratia spp.. Karena kemampuannya yang tidak sesuai untuk mencegah dan mengatasi bakteri yang biasa mengkontaminasi pada prosedur bedah, maka sefalosporin generasi III, IV, dan V tidak digunakan sebagai profilaksis bedah (Hauser, 2013).

Tidak ada bukti bahwa sefalosporin generasi III lebih efektif dibanding sefalosporin generasi I dan II sebagai profilaksis pada bedah. Sefalosporin generasi III dan IV sebaiknya tidak digunakan untuk profilaksis karena beberapa alasan diantaranya yaitu harganya yang lebih mahal, kurang aktif dibanding cefazolin dalam mengatasi staphylococci, memiliki spektrum yang tidak spesifik untuk mikroorganisme pada bedah elektif, dan penggunaannya sebagai profilaksis dapat meningkatkan risiko resistensi (McEvoy, 2005).

Ampicillin atau aminopenicillin diketahui memiliki efikasi yang sama dengan antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan II. Golongan antibiotika tersebut merupakan antibiotika spektrum luas yang memiliki aktifitas baik terhadap bakteri Gram negatif maupun Gram positif. Waktu paruh ampicillin pendek dan spektrumnya yang lebih sempit dibanding sefalosporin generasi I. Ampicillin dapat mengatasi bakteri Gram positif (Streptococcus pyogenes, Viridans streptococci, Streptococcus pneumonia, enterokokus, Listeria


(44)

monocytogenes), Gram negatif (Neisseria meningitides, Haemophilus influenzae, Enterobacteriaceae), dan bakteri anaerob (Clostridia spp. kecuali C. difficile dan Actinomyces israelii). Ampicillin tidak dapat mengatasi bakteri yang memproduksi enzim betalaktamase yang dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika golongan ini. Oleh karena itu, ampicillin perlu dikombinasikan dengan antibiotika golongan inhibitor beta-laktamase, seperti klavulanat dan sulbaktam. Kombinasi ini memperlebar spektrum antibiotika. Bakteri yang dapat diatasi dengan kombinasi ini adalah bakteri-bakteri yang dapat diatasi oleh ampicillin tunggal dan diperluas sehingga juga dapat mengatasi bakteri lain seperti Streptococcus pyogenes dan Bacteroides spp (Gyte, Dou1, and Vazquez, 2014; Hauser, 2013).

Tidak seperti ampicillin, antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan II lebih poten untuk mengatasi bakteri yang memiliki enzim beta laktamase. Sefalosporin generasi I dan II dapat melindungi struktur betalaktamnya sehingga tidak mudah dirusak oleh bakteri. Ketiganya memiliki kelemahan yang sama yaitu lemah melawan bakteri anaerob (Hauser, 2013).

Untuk meningkatkan hasil terapi khususnya pada kasus yang melibatkan bakteri anaerob, maka penggunaan sefalosporin dan ampicillin dapat dikombinasikan dengan agen antibiotika lain seperti metronidazol, klindamisin atau doxycycline, atau azitromisin (ASHP, 2013; Hopkins and Smaill, 2000). Metronidazol efektif melawan hampir semua bakteri Gram negatif anaerob, termasuk Bacteroides fragilis, dan bakteri gram positif yang paling anaerob, termasuk Clostridium spp. Metronidazol merupakan salah satu dari beberapa


(45)

antibiotik yang memiliki aktivitas terhadap C. difficile dan merupakan pilihan perawatan untuk infeksi yang disebabkan oleh organisme ini (Hauser, 2013).

Antibiotika yang memperluas spektrum antibiotik untuk terapi profilaksis pada SC lainnya adalah azitromisin. Azitromisin lebih baik digunankan sebagai antibiotika profilaksis untuk memperluas spektrum dibanding antibiotika lainnya. Azitromisin memiliki half-life 68 jam, konsentrasi di jaringan yang lebih tinggi dan pada bagian transplasenta lebih rendah dari beberapa antibiotik lain yang umum digunakan untuk indikasi ini. Selain itu, azitromisin aktif terhadap kuman aerob dan anaerob, serta Ureaplasmas, sehingga secara signifikan mengurangi risiko endometritis dan SSI Hanya saja harganya lebih mahal dibanding pilihan antibiotika lain (Lamont, et al, 2011, Tita, et al, 2009).

Terapi antibiotika profilaksis dosis tunggal lebih efektif dibanding terapi multidosis. Terapi dengan dosis tunggal juga mengurangi biaya, potensi toksisitas, dan risiko kolonisasi organisme resisten (Murtha and Silverman, 2011). Rekomendasi dosis dan dosis berulang antibiotika profilaksis dapat dilihat pada

Tabel III.

Tabel III. Rekomendasi dosis dan dosis berulang beberapa antibiotika profilaksis (ASHP, 2013).

Antibiotika Rekomendasi dosis Half-life dengan fungsi ginjal normal (jam)

Rekomendasi dosis berulang (jam) Ampicillin-sulbactam Ampicillin Cefazolin Cefuroxime Cefotaxime Ceftriaxone Clindamycin Gentamicin Metronidazol

3 g (ampicillin 2 g/ sulbactam 1 g) 2 g 2 g 1,5 g 1 2 g 900 mg 5 mg/kgBB 500 mg 0,8-1,3 1-1,9 1,2-2,2 1-2 0,9-1,7 5,4-10,9 2-4 2-3 6-8 2 2 4 4 3 6 - - -


(46)

D. Drug related problems (DRPs)

Permasalahan dalam farmasi klinis terutama muncul karena pemakaian obat yang disebut dengan drug related problems (DRPs) adalah kejadian atau efek yang tidak diinginkan yang dialami pasien dalam proses terapi dengan obat dan secara aktual atau potensial bersamaan dengan outcome yang diharapkan pada saat mendapat perawatan akibat dari suatu penyakit. Masalah–masalah dalam kajian DRP menurut Cipolle, Strand, Morley, Ramsey, and Lamsam (2004) antara lain:

a. Memerlukan obat tambahan, yaitu jika kondisi baru yang membutuhkan obat, kondisi kronis yang membutuhkan kelanjutan terapi obat, kondisi yang membutuhkan kombinasi obat, dan kondisi yang mempunyai risiko kejadian efek samping dan membutuhkan obat untuk pencegahannya.

b. Obat tidak diperlukan, yaitu jika obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi pada saat itu, pemakaian obat kombinasi yang seharusnya tidak diperlukan, kondisi yang lebih cocok mendapat terapi non farmakologi, meminum obat dengan tujuan untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindari, dan penyalahgunaan obat.

c. Obat tidak efektif, yaitu jika obat yang diberikan kepada pasien kurang sesuai dengan indikasinya, pasien mempunyai alergi terhadap obat tersebut, obat yang diberikan mempunyai kontraindikasi dengan obat lain, dan antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien.


(47)

d. Dosis kurang, jika dosis obat terlalu rendah, interval dosis tidak cukup, durasi terapi obat terlalu pendek untuk dapat menghasilkan respon, serta interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif. e. Dosis berlebih, yaitu jika dosis obat terlalu tinggi untuk memberikan efek,

dosis obat dinaikkan terlalu cepat, frekuensi pemberian obat terlalu pendek, dan durasi terapi pengobatan terlalu panjang.

f. Efek samping obat, yaitu jika obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diharapkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis, ada obat lain yang lebih aman ditinjau dari faktor resikonya, regimen dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, dan hasil laboraturium berubah akibat penggunaan obat.

g. Ketidaktaatan pasien, yaitu jika pasien tidak memahami aturan pemakaian, pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, pasien lupa untuk menggunakan obat, pasien tidak membeli obat yang disarankan karena mahal, pasien tidak menggunakan obat karena ketidaktahuan cara memakai obat, pasien tidak menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan produk obat yang dianjurkan.

Farmasis diharapkan dapat mengidentifikasi DRPs. Tidak berhenti sampai di situ, farmasis juga harus mampu membuat solusi terhadap DRPs tersebut, sehingga tercapainya obat yang diharapkan yaitu: tepat indikasi, efektif, aman, dan ditaati pasien (Cipolle, Strand, Morley, Ramsey, and Lamsam, 2004).


(48)

E. Keterangan Empiris

Penggunaan antibiotika profilaksis pada operasi sesar penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Penelitian ini diharapkan dapat mengevalusasi DRP pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus sectio caesarea di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014.


(49)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional karena peneliti hanya mengamati sejumlah dari variabel subjek penelitian tanpa adanya intervensi peneliti (Imron dan Munif, 2010). Rancangan penelitian yang digunakan yaitu case series karena penelitian ini menggambarkan sekelompok kasus dengan diagnosa yang sama dalam periode tertentu. Masing-masing kasus tersebut tidak berhubungan dan dievaluasi terpisah (Bhandarin and Joensson, 2009). Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data dilakukan dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu berupa lembar rekam medik pasien (Chandra, 2006).

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah pola peresepan dan DRP pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk pasien SC.

C. Definisi Operasional

1. Sectio caesarea (SC) yaitu operasi sesar yang berlangsung pada periode Januari-Juni 2014

2. Antibiotika profilaksis yaitu antibiotika yang diberikan sebelum pasien menjalani operasi dengan tujuan untuk mencegah infeksi.


(50)

3. Karakteristik pasien SC yang dideskripsikan pada penelitian ini meliputi usia ibu, usia kehamilan, adanya riwayat SC atau tidak, dan jenis SC.

4. Pola penggunaan antibiotika profilaksis yang dideskripsikan pada penelitian ini meliputi golongan dan jenis antibiotika, rute pemberian, dosis, serta waktu dan durasi pemberian.

5. Drug Related Problems (DRPs) yang dievaluasi pada penelitian ini meliputi: butuh tambahan obat, obat tidak efektif, dosis kurang, dosis berlebih, efek samping obat, dan obat tidak diperlukan.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang termasuk dalam kriteria inklusi yaitu pasien bukan rujukan yang menjalani operasi sesar di RS Panti Rini Yogyakarta pada periode Januari-Juni 2014 dan mendapat terapi antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap, tidak terbaca, dan tidak dapat dikonfirmasi.

Gambar 4. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Panti Rini Yogyakarta Periode Januari – Juni 2014

78 pasien menjalani operasi sesar

52 pasien bukan rujukan dan menerima

antibiotika profilaksis

Inklusi 27 pasien

Eksklusi 25 pasien

12 rekam medik tidak lengkap

5 rekam medik tidak terbaca

8 rekam medik tidak dapat ditemukan


(51)

Penelitian ini juga melibatkan apoteker yang merupakan kepala Instalasi Farmasi RS Panti Rini Yogyakarta dan salah satu dari dua dokter penulis resep antibiotika profilaksis untuk pasien SC yang bersedia diwawancarai sebagai subjek penelitian. Wawancara tersebut bermaksud untuk melengkapi pembahasan pada hasil evaluasi DRPs.

E. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah berupa lembar rekam medik pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan berupa formulir pengumpulan data. Ada dua macam formulir pengumpulan data pada penelitian ini, yaitu formulir data rekam medis dan formulir wawancara. Formulir data rekam medis mencakup karakteristik pasien, profil penggunaan antibiotika profilaksis, dan masalah yang terjadi selama proses terapi. Formulir data wawancara mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan latar belakang peresepan antibiotika profilaksis pada SC.

G. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 29 September-3 November 2014. Pengambilan data dilakukan di bagian rekam medis Rumah Sakit Panti Rini, Jalan Solo Km. 12,5, Tirtomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta.


(52)

H. Tata Cara Penelitian 1. Tahap persiapan

Tahap ini dilakukan dengan melakukan pengurusan izin di bagian personalia RS Panti Rini. Kemudian dilakukan pencarian informasi jumlah pasien SC yang ada di RS Panti Rini periode Januari-Juni 2014.

2. Tahap uji coba instrumen penelitian

Instrumen yang diuji coba dalam penelitian ini adalah formulir data rekam medik. Tujuan dari uji coba instrumen formulir data rekam medik adalah agar formulir pengumpulan data yang digunakan mudah diisi, mudah diolah untuk analisis, dan data yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap ini diawali dengan menyusun variabel-variabel yang dianalisis ke dalam bentuk formulir. Kemudian dilakukan pengumpulan data dengan formulir tersebut dan dianalisis. Langkah selanjutnya ditentukan hal-hal apa saja yang diperlukan untuk analisis namun belum diperoleh, dan menambahkannya pada formulir. Ditentukan pula data apa saja yang tidak terpakai, lalu menghilangkannya dari formulir. Pengumpulan data dan analisis diulang hingga data-data yang diperoleh sudah sesuai untuk dianalisis.

Langkah terakhir pada uji coba instrumen formulir data rekam medik yaitu pengembangan formulir agar lebih mudah diisi. Formulir disusun kembali dengan memperhatikan ukuran formulir, urutan data, dan waktu yang dibutuhkan dalam pengisian formulir. Formulir data rekam medik yang digunakan sebagai instrumen penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.


(53)

3. Tahap pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan di bagian penyimpanan rekam medik pasien RS Panti Rini Yogyakarta. Dalam proses ini data diperoleh dengan menelusuri data dari lembar rekam medik yang didasarkan pada nomor rekam medik pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta. Dari penelusuran data, ditentukan pasien yang masuk dalam kriteria inklusi maupun eksklusi. Data pada rekam medik pasien yang masuk dalam kriteria inklusi disalin ke dalam formulir pengumpulan data rekam medik. Data yang disalin meliputi nomor rekam medik, usia ibu, usia kehamilan, riwayat SC, jenis SC, data laboratorium, keluhan yang tertulis pada catatan keperawatan, tanggal operasi sesar, jam operasi sesar, diagnosis sebelum operasi, dan lama rawat inap. Selain itu, disalin pula data terkait dengan antibiotika profilaksis yang digunakan meliputi jenis, rute pemberian, dosis, serta waktu dan lama pemberian. Dilakukan pula wawancara dengan kepala Instalasi Farmasi dan salah satu dokter penulis resep antibiotika profilaksis pada pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta. Wawancara ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor pemilihan antibiotika profilaksis.

4. Tahap analisis data

Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan karakteristik pasien dan pola penggunaan antibiotika profilaksis. Tahap terakhir yang dilakukan mengevaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien kasus sectio caesarea di RS Panti Rini pada periode Januari-Juni 2014. Hasil evaluasi disajikan dalam bentuk narasi, diagram, dan tabel.


(54)

H. Tata Cara Analisis Hasil 1. Karakteristik pasien

Analisis data jumlah pasien operasi sesar dilakukan dengan menganalisis data karakteristik pasien berdasarkan usia ibu, usia kehamilan, riwayat SC, dan jenis SC. Analisis karakteristik pasien dilakukan dengan menghitung jumlah pasien pada setiap kelompok dibagi jumlah pasien yang dianalisis dikali 100%.

2. Profil penggunaan antibiotika profilaksis

Profil penggunaan antibiotika profilaksis dibagi menjadi jenis antibiotika, waktu pemberian, rute pemberian, dosis, dan durasi pemberian. Profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan jenis antibiotika dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu tunggal, kombinasi 2 antibiotika, dan kombinasi 3 antibiotika. Profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan waktu pemberian dikelompokkan menjadi sebelum operasi (>240, 240-121, 120-61, <60 menit), saat operasi, dan setelah operasi (<60, 61-120, 121-240 menit dan 8-12 jam ). Profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan rute pemberian dikelompokan menjadi oral dan intravena. Profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan durasi pemberian dikelompokkan menjadi 12-24, 24-48, 48-72, dan >72 jam.

Persentase profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan jenis antibiotika, waktu pemberian, rute pemberian, dan durasi pemberian dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus yang termasuk pada setiap kelompok kemudian dibagi dengan jumlah kasus keseluruhan (n=27) dikali 100%. Profil penggunaan antibiotika profilakasis berdasarkan dosis dianalisis dengan


(55)

mengidentifikasi masing-masing dosis dari setiap jenis antibiotika profilaksis yang diberikan.

Sejumlah pasien mendapatkan lebih dari satu jenis antibiotika profilaksis. Walaupun tujuan terapinya sama, waktu pemberian, rute pemberian, dan durasi pemberian setiap antibiotika yang diberikan pada satu pasien bisa berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan satu kasus dapat dikategorikan ke dalam lebih dari satu kelompok waktu pemberian, rute pemberian, dan durasi pemberian.

Contoh pada kasus 7, pasien mendapat 3 jenis antibiotika profilaksis yaitu Celocid® 250 mg 2x/hari, Trogyl® 500 mg 3x/hari, dan Meiact® 2x/hari. Ketiganya diberikan 12 jam setelah operasi. Celocid® dihentikan 36 jam setelah operasi, sedangkan Trogyl® dan Meiact® baru dihentikan 48 jam setelah operasi. Pada kasus ini, waktu pemberian ketiga antibiotika sama, namun jenis, rute, dan durasi pemberiannya berbeda. Perhitungan presentasi profil penggunaan antibiotika profilaksis pada kasus seperti ini yaitu dengan mengkategorikan kasus ke dalam lebih dari satu kelompok, namun tetap dihitung sebagai satu kasus, yaitu kasus 7.

Untuk kasus 7, pada profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan rute pemberian, kasus ini masuk ke dalam kelompok intravena karena pasien menerima Meiact® secara iv, dan juga masuk ke dalam kelompok oral karena pasien menerima Celocid® dan Trogyl® secara oral. Begitu pula pada profil penggunaan antibiotika profilaksis berdasarkan durasi pemberian, kasus ini masuk ke dalam kelompok 24-48 dan 48-72 jam. Karena satu kasus dapat masuk ke dalam lebih dari satu kelompok, maka bila presentase setiap kelompok pada


(56)

masing-masing bagian profil penggunaan antibiotika profilaksis dijumlahkan hasilnya bisa lebih dari 100%.

3. Drug Related Problems (DRPs)

Identifikasi DRPs dilakukan dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assesment, Plan). Pada bagian subjective (S) berisi informasi yang terdiri dari usia, tinggi dan berat badan pasien, diagnosis, riwayat SC, tanggal rawat, tanggal dan waktu operasi, jenis operasi. Pada bagian objective (O) dipaparkan informasi mengenai pemeriksaan laboratorium dan tanda vital, serta terapi antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien. Pada bagian assessment (A) berisi evaluasi DRPs antibiotika profilaksis. Pada bagian plan (P) berisi rencana atau rekomendasi terapi. Kategori DRPs yang dianalisis yaitu obat tidak diperlukan, memerlukan obat tambahan, obat tidak efektif, dosis kurang, dosis berlebih, dan efek samping obat. Persentase (%) DRPs dihitung dengan cara menghitung jumlah tiap kasus kemudian dibagi dengan jumlah kasus keseluruhan dikalikan 100%.

I. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah evaluasi DRPs hanya dilakukan untuk antibiotika profilaksis saja, maka beberapa beberapa poin DRPs terkait interaksi obat tidak dapat dianalisis lebih lanjut. Keterbatasan lainnya yaitu sifat penelitian yang retrospektif menyebabkan peneliti tidak dapat mengamati perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya. Oleh karena itu, beberapa poin DRPs tidak dapat


(57)

diobservasi lebih lanjut, misalnya adanya efek samping yang tidak tercantum pada lembar rekam medik maupun efek samping yang baru timbul saat pasien pulang. Waktu bertemu dokter penulis resep maupun apoteker untuk keperluan wawancara pun sangat terbatas karena jadwal pelayanan yang padat sehingga informasi yang didapat juga terbatas.


(58)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian mengenai evaluasi drug related problems (DRPs) pada penggunaan antibiotika profilaksis untuk kasus sectio caesarea (SC) di RS Panti Rini Yogyakarta Periode Januari-Juni 2014, terdapat 78 pasien yang menjalani SC, termasuk 26 pasien rujukan. Dari total tersebut sebanyak 27 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Hasil dan pembahasan penelitian ini akan dibahas menjadi beberapa bagian, yaitu karakteristik pasien, pola penggunaan antibiotika profilaksis, dan evaluasiDRP.

A. Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien yang menjalani operasi sesar di Rumah Sakit Panti Rini periode Januari-Juni 2014 dideskripsikan berdasarkan usia ibu, usia kehamilan, adanya riwayat SC atau tidak, dan jenis SC.

Tabel IV. Karakteristik pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014

Karakteristik Jumlah Pasien (n=27) Persentase (%)

Usia (tahun) 20-24

25-29 30-34 35-40 4 10 5 8 14,8 37,1 18,5 29,6 Usia kehamilan (minggu) < 37

 37

1 26

3,7 96,3

Riwayat SC Ada

Tidak ada

9 18

33,3 66,7

Jenis SC Elektif

Emergensi

15 12

55.6 44,4


(59)

Karakteristik pasien berdasarkan usia ibu dikelompokkan menjadi 20-24 tahun, 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 35-40 tahun. Persentase pasien operasi sesar berdasarkan usianya dapat dilihat pada Tabel IV. Dapat dilihat bahwa pasien dengan kelompok usia 25-29 tahun memiliki persentase tertinggi, yaitu sebesar 37,1%. Kelompok usia 35-40 tahun memiliki persentasi tertinggi kedua, yaitu sebesar 29,6%.

Usia ibu menjadi salah satu penentu kesehatan maternal dan berhubungan dengan kondisi kehamilan, persalinan dan nifas, serta bayinya. Usia ibu hamil yang terlalu muda (20 tahun) atau terlalu tua (35 tahun) merupakan faktor penyulit kehamilan. Ibu yang hamil terlalu muda, keadaan tubuh dan psikologinya cenderung belum siap menghadapi hemailan, persalinan dan nifas, serta merawat bayinya. Ibu yang usianya 35 tahun atau lebih akan menghadapi risiko kesulitan pada waktu persalinan yang disebabkan karena jaringan otot rahim kurang baik untuk menerima kehamilan maupun persalinan (Prawirohardjo, 2010).

Karakteristik pasien berdasarkan jenis SC dikelompokkan menjadi SC elektif dan SC emergensi. Elektif yaitu bila operasi sesar yang sudah direncanakan jauh hari sebelum persalinan. Emergensi yaitu operasi yang segera dilakukan saat tindakan persalinan sedang berjalan (Basavanthappa, 2003). Pada Tabel IV dapat diketahui bahwa sebanyak 55,56% pasien menjalani SC elektif.

Karakteristik pasien berdasarkan usia kehamilan dikelompokkan menjadi kelompok <37 minggu dan  37 minggu. Persalinan pada usia kehamilan <37 minggu disebut premature, sedangkan pada usia kehamilan 37 minggu disebut matur (Beckmann, 2010). Dapat dilihat pada Tabel IV bahwa persentase


(1)

89

Kasus No: 25

Subjektif

Usia 24 Tahun TB=160 cm BB=76 kg BMI=29,7 Riwayat SC Tidak ada Waktu operasi 4/3/2014 (13.00-14.10) Diagnosis G1P1Ao 38+6 air ketuban pecah jam 6.00 Tindakan SC emergensi Lama tinggal 4/3/2014-7//3/2014

Objektif

Hasil laboratorium

Nilai Rujukan Satuan 4/3/2014 5/3/2014 6/3/2014 7/3/2014

6.45 09.30 7.00 13.00 14.00 23.59 06.00 07.00 14.00 18.00 21.00 7.00

Eritrosit 3,80 - 5,80 106/mm3 11,6 4,53 3,67 3,41

Hematokrit 37,0 - 47,0 % 37,2 31,0 28,5

Leukosit 4,0 - 11,0 % 8,1 17,6 17,6

Neutrofil 35,0 - 88,7 % 70,4 - -

Limfosit 12,0 - 44,0 % 20,9 12,3 14,8

Monosit 0,0 - 11,2 % 7,3 - -

Eusinofil 0,0 - 9,5 % 1,3 1,1 2,9

Basofil 0,0 - 2,5 % 0,1 0,2 0,1

Tanda vital

Tekanan Darah 120/80 mmHg 130/90 110/70 130/80

Suhu 36,6-37,5 °C 37 38,5 37,2 38 39 37,4 37 37 37,3 38,3 37,3

Nadi 60-100 x/menit 84 84 80 96 84 84 88 100 80

Keluhan Test tahan OK Kedinginan Pasien mendapat sanmol

Penatalaksanaan antibiotika profilaksis Vicillin® 1,5g 3x/hari, diberikan saat operasi, dan dihentikan 48 jam setelah operasi

Assesment:

Antibiotika profilaksis yang paling efektif pada SC adalah cefazolin yang merupakan sefalosporin generasi I (ASHP, 2013). Rekomendasi lainnya yaitu sefalosporin generasi II (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Vicillin® memiliki efikasi yang sama dengan sefalosporin generasi I dan II (Hauser, 2013), sehingga dapat digunakan sebagai profilaksis pada SC.

Vicillin® (Penicilin) tidak dapat mengatasi bakteri yang memproduksi enzim betalaktamase dan menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotika ini. Karena itu, penggunaannya perlu dikombinasi dengan antibiotika golongan inhibitor beta lactamase  Butuh tambahan obat.

Selain itu, penggunaan ampicillin sebagai antibiotika profilaksis untuk SC perlu dikombinasi dengan antibiotika lain untuk memperluas spektrum untuk mengatasi bakteri anaerob, seperti metronidazol, doxycycline, atau azitromisin (ASHP, 2014)  Butuh tambahan obat

Dosis Vicillin® sebagai profilaksis adalah dosis tunggal 2 g (ASHP, 2013), sedangkan pasca SC pasien mendapat dosis berulang 1,5g 3x/hari. Waktu pemberian terlalu lama, seharusnya 30-60 menit sebelum operasi (ASHP, 2013)  Dosis kurang

Durasi pemberian terlalu lama, durasi maksimal pemberian antibiotika profilaksis adalah 24 jam pasca operasi (ASHP, 2013)  Dosis berlebih Rekomendasi

- Dosis Vicillin® dijadikan dosis tunggal 2-4 g, dikombinasikan dengan sulbaktam 1 g dan azitromisin dengan dosis tunggal 500 mg secara iv (ASHP, 2013; Doss, et al., 2012). - Antibiotika profilaksis diberikan 30-60 menit sebelum operasi dimulai, dan dihentikan setelah 24 jam.


(2)

90

Kasus No: 26 Subjektif

Usia 28 tahun TB=155 cm BB=60 kg BMI=25,0 Riwayat SC Tidak ada Waktu operasi 26/5/2014 (18.10-19.55)

Diagnosis Oligo primigravida H 38 minggu Tindakan SC elektif Lama tinggal 26/5/2014-29/5/2014

Objektif Hasil laboratorium

Nilai Rujukan

Satuan 26/5/2014 27/5/2014 28/5/2014 29/5/2014

11.00 14.00 07.00 15.00 18.00 21.00 05.00 07.10 14.00 18.00 07.00 Eritrosit 3,80 - 5,80 106/mm3 4,2

Hematokrit 37,0 - 47,0 % 36,4 35

Leukosit 4,0 - 11,0 % 7,0

Neutrofil 35,0 - 88,7 % 70,3

Limfosit 12,0 - 44,0 % 23,2

Monosit 0,0 - 11,2 % 5,4

Eusinofil 0,0 - 9,5 % 0,9

Basofil 0,0 - 2,5 % 0,2

Tanda vital

Tekanan Darah 120/80 mmHg 90/60 120/70 110/70 110/70 100/80

Suhu 36,6-37,5 °C 36,4 36,4 36,8 38 37,3 36,1 37 37,1 35,8 35,7 36,3

Nadi 60-100 x/menit 80 80 83 92 80 80 80 84 80 68 84

Keluhan Panas, nyeri

Penatalaksanaan antibiotika profilaksis Celocid® iv 1g 2x/hari. Diberikan 30 menit sebelum operasi, dosis dihentikan 48 jam setelah operasi. Assesment:

Antibiotika profilaksis yang paling efektif pada SC adalah cefazolin yang merupakan sefalosporin generasi I (ASHP, 2013). Rekomendasi lainnya yaitu sefalosporin generasi II, salah satunya cefuroxime (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Penggunaan cefuroxime sebagai antibiotika profilaksis sudah tepat. Waktu pemberian sudah tepat sesuai rekomendasi yaitu 30-60 menit sebelum operasi (ASHP, 2013; Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Dosis Celocid® (Cefuroxim) sebagai antibiotika profilaksis adalah dosis tunggal 1,5 g. Pasien mendapat dosis berulang 1 g 2x/hari Dosis kurang Durasi pemberian terlalu lama, durasi maksimal pemberian antibiotika profilaksis adalah 24 jam setelah operasi (ASHP, 2013) Dosis berlebih

Penggunaan sefalosporin generasi I dan II sebagai antibiotika profilaksis untuk SC perlu dikombinasi dengan antibiotika lain untuk memperluas spektrum untuk mengatasi bakteri anaerob, seperti metronidazol, doxycycline, atau azitromisin (ASHP, 2014)  Butuh tambahan obat

Rekomendasi

- Dosis celocid dijadikan dosis tunggal 1,5 gram, dikombinasikan dengan azitromisin dengan dosis tunggal 500 mg secara iv (ASHP, 2013; Doss, et al., 2012). - Pemberian antibiotika profilaksis dihentikan setelah 24 jam.


(3)

91

Kasus No: 27

Subjektif

Usia 31 tahun TB= 168 cm BB= 78 kg BMI=27,6 Riwayat SC Tidak ada Waktu operasi 22/6/2014 (02.45-03.05) Diagnosis G3P2Ao H 40+6 dengan ketuban pecah Tindakan SC emergensi Lama tinggal 22/6/2014-24/6/2014

Objektif

Hasil laboratorium

Nilai Rujukan

Satuan 22/6/2014 23/6/2014 24/6/2014

01.00 07.00 14.00 21.00 07.00 05.00 07.00

Eritrosit 3,80 - 5,80 106/mm3 4,39 Hematokrit 37,0 - 47,0 % 40,4

Leukosit 4,0 - 11,0 % 11,6

Neutrofil 35,0 - 88,7 % 73,0

Limfosit 12,0 - 44,0 % 19,3

Monosit 0,0 - 11,2 % 5,6

Eusinofil 0,0 - 9,5 % 1,9

Basofil 0,0 - 2,5 % 0,2

Tanda vital

Tekanan Darah 120/80 mmHg 120/80 90/70 110/60 110/70 110/70

Suhu 36,6-37,5 °C 36,1 36,2 36,6 36,4 36,5 36,3 36,5

Nadi 60-100 x/menit 80 80 84 88 80 80 83

Keluhan

Penatalaksanaan antibiotika profilaksis Ceftriaxon 2x1 g, diberikan 45 menit sebelum operasi, dosis diulang hingga 48 jam seteleh operasi. Metronidazol infus 1 plb (500 mg) /8 jam, diberikan 5 jam pasca operasi, dihentikan 48 jam pasca operasi.

Assesment:

Untuk profilaksis bedah, tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III seperti ceftriaxon (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Lini pertama sebagai antibiotika profilaksis untuk bedah sesar adalah cefazolin (ASHP, 2013)  Obat tidak efektif

Metronidazol dapat diberikan bila ada risiko infeksi dari bakteri anaerob (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Pemilihan metronidazole sudah sesuai indikasi Rekomendasi dosis metronidazole adalah dosis tunggal 500 mg iv (Lyimo, et al., 2013). Pasien mendapat metronidazole dosis berulang 500 mg 3x/hari  Dosis berlebih

Durasi pemberian terlalu lama, durasi maksimal pemberian antibiotika profilaksis adalah 24 jam setelah operasi (ASHP, 2013) Dosis berlebih

Waktu pemberian metronidazol terlalu lama, seharusnya 30-60 menit sebelum operasi (ASHP, 2013)  Dosis kurang

Penggunaan sefalosporin generasi III dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri (McEvoy, 2005)  Efek samping obat (potensial)

Metronidazol dapat menimbulkan mutagenitas dan karsinogenisitas pada bayi melalui ASI (Permenkes, 2011) Efek samping obat (potensial) Rekomendasi

- Ceftriaxon diganti dengan cefazolin dosis tunggal 2 g, dikombinasikan dengan metronidazole dosis tunggal 500 mg iv. - Metronidazole diganti dengan azitromisin dosis tunggal 500 mg iv yang lebih efektif dan aman (Doss, et al.., 2012). - Antibiotika profilaksis diberikan 30-60 menit sebelum operasi dimulai, dan dihentikan setelah 24 jam.


(4)

92

Lampiran 2. Hasil Wawancara Peneliti dengan Apoteker Di Rumah Sakit

Panti Rini Mengenai Peresepan Antibiotika Profilaksis untuk SC

1.

Apakah terdapat standar prosedur medis untuk SC di RS Panti Rini?

Jawaban: Sepertinya ada. Nanti silahkan dipastikan ke ketua komite dokter.

2.

Apakah pilihan antibiotika profilaksis yang digunakan pada standar prosedur

medis untuk SC di RS Panti Rini?

Jawaban: Saya kurang tahu. Dokter yang lebih tahu tentang itu.

3.

Bagaimana biasanya dokter menentukan peresepan antibiotika profilaksis

untuk SC? Apakah ada diskusi dengan apoteker?

Jawaban: Mungkin ada acuan yang dokter gunakan, saya juga kurang tahu.

Tidak ada diskusi dengan farmasi.

4.

Apakah sudah pernah dilakukan evaluasi terapi antibiotika profilaksis untuk

SC?


(5)

93

Lampiran 3. Hasil Wawancara Peneliti dengan Salah Satu Dokter Bedah SC

Di Rumah Sakit Panti Rini Mengenai Peresepan Antibiotika Profilaksis

untuk SC

1.

Pada standar prosedur medis RS Panti Rini untuk SC tidak menyebutkan

antibiotika profilaksis apa yang digunakan. Bagaimana dokter memilih

antibiotika yang diresepkan? Adakah acuan khusus yang dipakai?

Jawaban: Tidak ada. Jika hasil

skin test

menunjukkan pasien tidak alergi,

maka antibiotika itu bisa dipakai.

2.

Apakah pilihan antibiotika profilaksis yang biasa dokter resepkan?

Jawaban: Celocid® (Cefuroxime).

3.

Bagaimana biasanya dokter menentukan peresepan antibiotika profilaksis

untuk SC tersebut? Apakah ada diskusi dengan apoteker?

Jawaban: Tidak ada diskusi dengan apoteker.

4.

Apakah yang menjadi alasan pemilihan cefuroxime sebagai antibiotika

profilaksis untuk SC?

Jawaban: Sudah biasa pakai itu. Spektrumnya luas dan bisa dipakai sebagai

profilaksis. Jadi, pakai cefuroxime.

5.

Berdasarkan referensi yang saya baca, beberapa organisasi kesehatan

merekomendasikan cefazolin sebagai antibiotika profilaksis untuk SC. Apakah

pertimbangan dokter sehingga cefazolin tidak diresepkan sebagai antibiotika

profilaksis untuk SC?

Jawaban: Saya tidak tahu cefazolin. Karena biasanya cefuroxime bisa

digunakan, jadi saya pilih cefuroxime. (Kemudian dokter menanyakan harga

cefazolin ke instalasi farmasi). Harga cefazolin termasuk mahal. Mungkin

karena mahal sehingga jarang ada yang menggunakan.

6.

Cefuroxime dan antibiotika lainnya yang diresepkan sebagai profilaksis

diberikan 3 atau 4 hari. Apakah pemberiannya tetap sebagai antibiotika

profilaksis bedah atau sebagai antibiotika terapi?

Jawaban: Tetap profilaksis. Biasanya kita lihat selama maksimal 3 hari, kalau

tanda-tanda vital meningkat, netrofil meningkat, jahitan bedah basah,

kemerahan, atau bernanah langsung diganti dengan antibiotika terapi. Tapi

kalau tidak ada masalah (infeksi), biasanya profilaksis kita berikan maksimal

3 hari. Walau operasi sudah selesai, masih ada risiko infeksi selama pasien

berada di ruang perawatan, luka dan jahitan bedahnya itu gampang terinfeksi.

7.

Apakah sebelumnya sudah pernah dilakukan evaluasi hasil terapi antibiotika

profilaksis untuk pasien SC?

Jawaban: Belum pernah.


(6)

94

BIOGRAFI PENULIS

Jessica Christy Sitio lahir di Tenggarong pada tanggal 8

Januari 2014 dan merupakan putri kedua dari pasangan

Sudirman Sitio, SH dan Osna Simatupang. Penulis

menempuh pendidikan formal pertamanya di TK Mawar

Tenggarong

(1998-1999).

Kemudian

penulis

melanjutkan pendidikannya di SD Negeri 009

Tenggarong (1999-2004) dan SD Negeri 008 Sangatta

Utara (2004-2005), SMP Negeri 1 Sangatta Utara

(2005-2008), dan SMA Negeri 1 Sangatta Utara (2008-2011).

Selanjutnya,

penulis

melanjutkan

pendidikan

ke

perguruan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan S1

di perguruan tinggi, penulis mengikuti beberapa

kegiatan kemahasiswaan dan terlibat dalam kepanitiaan pelepasan wisuda pada

tahun 2013 serta kepanitiaan Sadar Sehat yang diselenggarakan oleh Jaringan

Mahasiswa Kesehatan Indonesia (JMKI) wilayah Yogyakarta pada tahun 2013.

Penulis juga mengikuti kegiatan keorganisasian dengan menjadi redaksi majalah

Pharmaholic

pada tahun 2013-2014. Prestasi yang pernah diraih penulis yaitu

menjadi penerima dana hibah dari DIKTI pada tahun 2014 dalam Program

Kreativitas Mahasiswa bidang pengabdian masyarakat (PKM-M) dan berhasil

lolos sampai tahap Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke 27 di

Universitas Diponegoro Semarang.


Dokumen yang terkait

Korelasi Drug Related Problems (DRP) Penggunaan Antibiotika Terhadap Outcomes Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Oktober-Desember 2010 dan Januari-Maret 2011

2 74 111

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015

8 22 167

Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Diare Akut Infeksi Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS “X” Kota Tangerang Selatan Periode Januari- Desember 2015.

0 2 167

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien HIV dengan kandidiasis di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2010-Juni 2014.

3 13 142

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 - Juni 2013.

0 3 123

Evaluasi drug related problems pada pasien geriatri dengan hipertensi disertai vertigo di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 - Juni 2013.

1 3 9

Evaluasi drug related problems pada pasien geriatri dengan hipertensi disertai vertigo di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 Juni 2013

0 0 7

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan diuretik pada pasien geriatri dengan hipertensi komplikasi stroke di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2012 Juni 201

0 14 121

Persetuj uan Pembimbing EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI DAN ANTIDIABETES PADA PASIEN GERIATRI DENGAN HIPERTENSI DISERTAI DM TIPE2 DI RUMAH SAKIT PANTI RINI YOGYAKARTA PERIODE JANUARI

0 0 145