23
Pada tatanan kedua, sistem tanda dalam tatanan pertama disisipkan kedalam sistem nilai budaya.
Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos
sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan makna sebagai alami, dan bukan
bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal - usulnya sehingga memiliki dimensi, dan membuat suatu mitos tersebut tidak
bisa diubah, tapi juga cukup adil Fiske, 2006 : 123 . Dalam hal ini ”pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran.
”Pembaca” mempunyai kekuasaan absolut untuk memaknai sebuah hasil karya lirik lagu yang dilihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud
pengarang. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu itu memberikan maknanya. Wilayah kajian ” teks ”
yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat seluruh
produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca secara otonom dari pada penulisnya.
2.1.6.1 Kode Pembacaan
Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes didalam teks biasanya beroperasi lima kode pokok yang ada
didalamnya semua petanda tekstual baca : leksia dapat dikelompokkan.
24
Setiap atau masing - masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima kode ini. Kode - kode ini menciptakan sejenis jaringan. Adapun
kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikasi dapat dipahami, meliputi aspek
sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian - bagiannya berkaitan satu sama lain dan berhubungan dengan dunia luar
teks. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode hermeneutika
kode teka – teki , kode Proaretik, Kode budaya, kode semantik, dan kode simbolik Kurniawan, 2001 : 69 .
1. Kode hermeneutik atau kode teka - teki berkisar pada satuan - satuan
yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya,atau bahkan menyusun semacam teka - teki
enigma dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya Barthes, 1990 : 17 . Pada dasarnya kode ini adalah sebuah koder ’’pencitraan”,
yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan
atau jawaban. 2.
Kode proaretik kode tindakan lakukan dianggapnya sebagai pelengkapan utama teks yang dibaca orang ;artinya, antara lain, semua
teks yang bersifat naratif. 3.
Kode Gnomik atau kode cultural budaya banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda - benda yang sudah diketahui dan
25
dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefisinikan oleh budaya apa yang telah diketahui. Rumusan suatu
budaya adalah hal - hal kecil yang telah dikondifikasikan Sobur, 2004 : 66 .
4. Kode Semik atau konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun satu tema. Ia melihat bahwa konotasi kata atau fase tertentu dalam teks dikelompokkan dengan
konotasi kata atau fase yang mirip. Jika melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema didalam cerita. Perlu
dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi sebagai yang paling kuat dan paling ” akhir ”.
5. Kode Simbolik tema merupakan suatu aspek pengkodean fiksi yang
paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal
dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi
psikoseksual yang melalui proses.
2.2 Kerangka Berfikir