C. Maskulinitas 1. Definisi Maskulin
Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria Nauly, 2002. Terranova,
Nurseto, Mahatmaji 2008 memaparkan secara umum maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan,
ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja.
2. Tipologi Maskulin
Beynon dalam Terranova dkk, 2008 membagi bentuk maskulin dengan ide tren perkembangan zaman, sebagai berikut:
a. Maskulin sebelum tahun 1980-an Sosok maskulin yang muncul adalah figur-figur laki-laki kelas
pekerja dengan bentuk tubuh mereka dan perilaku mereka sebagai dominator, terutama atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini
memang kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Mereka terlihat sangat
‘bapak’, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama.
Menurut Levine ensiklopedi Wikipedia, 1998 Terdapat empat aturan yang memperkokoh sifat maskulinitas, yaitu:
No sissy stuff : sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau feminine dilarang, seorang laki-laki sejati harus menghindari
perilaku yang bersosialisasi dengan perempuan. Be a big wheel : maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan,
kekuasaan, dan penggaguman dari orang lain. seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat lelaki.
Be a sturdy oak : kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem
dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya.
Give ‘em hell : lelaki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil resiko walaupun alasan dan
rasa takut menginginkan sebaliknya. Dalam ketradisionalitasan yang dikembangkan oleh kebudayaan
jawa lebih mirip dengan poin kedua bahwa laki-laki must be a big wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memliki
“garwo” istri, “bondo”harta, “turronggo” kendaraan, “kukilo” burung peliharaan, dan “pusoko” senjata atau kesaktian Darwin,
2005. b. Maskulin tahun 1980-an
Beynon 2002 menunjukkan dua buah konsep maskulinitas yaitu anggapan-anggapan bahwa new man as nurture dan new man as
narcissist. New man as nurturer merupakan gelombang awal reaksi
laki-laki terhadap feminism. Laki-laki menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian.
Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya untuk mengurus anak. Keinginan mereka untuk menyokong gerakan
perempuan juga melibatkan peran penuh mereka dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah,
berpendidikan baik, dan intelek.
Anggapan kedua adalah bahwa new man as narcissist. Hal ini
berkaitan dengan
komersialisme terhadap
maskulinitas dan
konsumerisme semenjak akhir perang dunia II. Mereka adalah anak- anak dari generasi zaman hippies tahun 60-an yang tertarik pada
pakaian dan music pop. Banyak produk-produk komersil untuk laki- laki yang bermunculan, bahkan laki-laki sebagai objek seksual menjadi
bisnis yang amat luar biasa. Di sini, laki-laki menunjukkan maskulinitas mereka dengan gaya
hidup “yuppies” yang flamboyan dan perlente. Laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial yang membuat
mereka “tampak sukses”. Properti, mobil, pakaian, atau artefak personal merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum
maskulin yuppies ini dapat dilihat dari penampilannya berpakaian, juga Porsche mereka. Kaum yuppies mengganggap laki-laki pekerja
industri yang loyal dan berdedikasi sebagai sosok yang ketinggalan zaman dalam pengoperasian modal.
c. Maskulin tahun 1990-an Laki-laki kembali bersifat tidak perduli lagi terhadap yang
dilakukan kaum maskulin yuppies di tahun 80-an. The new land ini berasal musik pop dan football yang mengarah kepada sifat-kelaki-
lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. Mereka kemudian menyatakan dirinya dalam label konsumerisme dalam bentuk yang
lebih ‘macho’, seperti membangun kehidupannya di sekitar sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para
perempuan. Pada dekade 1990-an ini kaum laki-laki masih mementingkan leisure time mereka sebagai masa untuk bersenang-
senang, mereka menikmati hidup bebas seperti apa adanya. Kebebasan mereka menjauhkan dari hubungan yang bersifat domestik yang
membutuhkan loyalitas dan dedikasi. Hal tersebut mengindikasikan seiring dengan perkembangan zaman
pengertian maskulin mengalami perubahan di setiap zamannya.
D. Sikap Masyarakat Yogyakarta Terhadap Kaum Metroseksual