5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Losion
Losion merupakan sediaan semisolid yang dimaksudkan untuk pemakaian luar pada kulit. Kebanyakan losion mengandung fase terdispersi
yang tidak bercampur dengan medium dispersi tetapi dengan bantuan zat pengemulsi, sediaan dapat terdispersi dengan baik. Losion yang paling banyak
dibuat adalah emulsi tipe MA. Losion yang diaplikasikan pada kulit biasanya mempunyai daya sebar yang luas dengan membentuk lapisan tipis. Losion
memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Setelah diaplikasikan dapat menimbulkan kesan halus, lembut, dan tidak
berminyak. Ansel, 1989.
B. Emulsi
Emulsi merupakan suatu sistem heterogen, yang terdiri dari fase dispers fase internal atau discontinuous phase dan medium dispers fase eksternal
atau continuous phase, di mana kedua fase tersebut tidak saling bercampur. Oleh karena itu, dibutuhkan emulsifying agent emulsifier yang dapat
menurunkan tegangan antarmuka kedua fase tersebut sehingga fase dispers akan terdispersi secara sempurna di dalam medium dispers Allen, 2002.
Emulsi dibagi menjadi dua tipe yakni: 1.
Emulsi air dalam minyak AM yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luarnya minyak.
2. Emulsi minyak dalam air MA yaitu emulsi yang mempunyai fase dalam
minyak dan fase luarnya air Ansel, 1989. Agar terbentuk suatu sistem emulsi yang stabil, maka diperlukan adanya
emulsifying agent. Surfaktan merupakan salah satu emulsifying agent yang dapat mengurangi besarnya tegangan antarmuka antara air dengan minyak,
sehingga besarnya energi permukaan dapat diminimalisir melalui pembentukan droplet. Saat liquid digojok secara bersamaan, droplet dengan bentuk spheris
akan terbentuk. Hal ini dapat terjadi karena liquid akan berusaha mempertahankan luas permukaannya sekecil mungkin, sehingga akan terbentuk
tegangan antarmuka dua fase tersebut, di mana bagian polar akan bergabung dengan fase polar sedangkan bagian non polar akan bergabung dengan fase non
polar. Emulsifying agent akan memperkecil kemungkinan droplet untuk saling bergabung membentuk globul Allen, 2002.
Berdasarkan ionisasinya dalam larutan aqueous, emulsifying agent dibagi menjadi empat kategori, yakni:
1. Surfaktan anionik Komponen ini akan terdisosiasi di dalam larutan aqueous menjadi bentuk
ion negatif dan pada bagian tersebut akan bertanggung jawab terhadap kemampuannya sebagai agen pengemulsi. Surfaktan jenis ini banyak
digunakan karena harganya murah. Namun karena toksisitasnya, pemakaian surfaktan jenis ini hanya untuk pembuatan eksternal. Contoh sodium stearat.
2. Surfaktan kationik Komponen ini akan terdisosiasi di dalam larutan aqueous menjadi bentuk
ion positif. Kebanyakan surfaktan jenis ini digunakan sebagai desinfektan dan pengawet pada emulsi tipe MA. Dari segi toksisitasnya, jenis surfaktan
ini biasa digunakan dalam formulasi krim antiseptik. Contoh: cetrimide. 3. Surfaktan non ionik
Surfaktan non ionik merupakan jenis surfaktan yang tidak memiliki muatan dan penggunaan secara kombinasi akan menghasilkan bentuk
interfacial film yang stabil di antara permukaan droplet. Jenis surfaktan ini banyak digunakan karena toksisitas dan tingkat iritasinya yang rendah serta
dapat dipergunakan untuk sediaan per oral maupun parenteral. Contoh: polysorbate. Sebagian besar surfaktan non ionik ini terdiri dari:
a. Asam lemak atau alkohol biasanya dengan 12-18 atom karbon, rantai hidrokarbon yang sebagian bersifat hidrofobik.
b. Alkohol -OH dan atau gugus etilen oksida -OCH
2
CH
2
yang tersusun dari bagian hidrofilik suatu molekul.
4. Surfaktan amphoterik Surfaktan jenis ini memiliki muatan negatif serta positif, bergantung
pada pH dari sistem. Ketika pH dari sistem rendah, maka surfaktan ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bermuatan positif dan sebaliknya. Surfaktan jenis ini jarang dipergunakan sebagai emulsifying agent. Contoh: polisakarida Billany, 2002.
Gambar 1. Stereokimia surfaktan: A Bentuk emulsifier, B Emulsi MA, C Emulsi AM, D Emulsi dengan emulsifier ganda Leyden dan
Rawling, 2002
Setiap surfaktan memiliki penampakan stereokimia yang berbeda-beda, bergantung dari besarnya nilai HLB yang dimiliki. Emulsifier dengan HLB 12-
15 memiliki afinitas yang tinggi terhadap fase air daripada fase minyak. Stereokimia dari gugus kepala yang bersifat polar memiliki kontribusi terhadap
sifat tersebut. Droplet spheris dari fase minyak yang terbentuk di dalam fase air akan membatasi jumlah emulsifier yang digunakan untuk setiap unit luas
permukaan dari fase minyak. Emulsifier dengan HLB 5-12 memiliki afinitas yang lebih besar terhadap fase minyak daripada terhadap fase airnya dengan
pemakaian jumlah emulsifier yang jauh lebih besar untuk setiap unit luas permukaan fase minyak. Emulsifier dengan HLB 1-5 secara cepat dapat
membentuk sistem emulsi AM. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi lebih PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari satu emulsifier memiliki kemampuan lebih baik untuk membentuk molekul emulsifier per luas permukaan droplet Leyden dan Rawling, 2002.
Gambar 1D menunjukkan efek bilayer yang dihasilkan akan mengelilingi droplet minyak dengan posisi gugus non polar dan gugus polar yang saling
terarah pada posisi alternating fashion. Bagian luar droplet terdiri bagian hidrofilik di mana bagian hidrofilik dari emulsifier primer maupun sekunder
saling tersusun satu sama lain pada bagian antarmuka minyak-air yang disertai dengan adanya peristiwa pemasukan rantai lipofilik dari emulsifier sekunder ke
dalam droplet. Sehingga secara keseluruhan hal ini akan membuat sistem emulsi menjadi stabil Leyden dan Rawling, 2002.
Menurut Mollet dan Grubenmann 2001, hal yang paling penting dalam emulsi untuk sediaan farmasi dan kosmetik adalah kestabilan produk hasil
emulsi. Stabilitas emulsi ini merupakan acuan untuk mengetahui life time dari emulsi tersebut. Metode evaluasi stabilitas emulsi antara lain:
1. Pemisahan fase Stabilitas fisik emulsi dapat diketahui dengan pemeriksaan tingkat
creaming atau coalecense yang terjadi dalam periode waktu tertentu. Caranya dengan membandingkan volume emulsi yang masih stabil terhadap
volume totalnya dengan menggunakan tabung berskala. 2. Analisis ukuran droplet
Jika rata – rata ukuran droplet bertambah, bersamaan dengan
menurunnya jumlah droplet pada waktu tertentu, diasumsikan terjadi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
coalescence. Analisis ukuran droplet dilakukan untuk membandingkan rata – rata laju terjadinya coalescence untuk tiap formula emulsi. Pemeriksaan
mikroskopik secara elektronik dapat dilakukan dengan pengukuran laser difraksi suatu emulsi selama masa penyimpanan.
3. Perubahan viskositas Perbedaan ukuran dan mobilitas dari droplet yang terjadi selama periode
waktu tertentu dapat berpengaruh terhadap perubahan viskositas Aulton, 1988.
Gambar 2. Fenomena ketidakstabilan emulsi Aulton, 1988
Berbagai fenomena ketidakstabilan emulsi yang dapat terjadi diantaranya adalah:
1. Creaming
Creaming terjadi ketika droplet-droplet saling terflokulasi dan mengumpul di satu bagian spesifik pada emulsi. Pada tipe emulsi MA,
creaming dapat diketahui ketika droplet minyak saling berkumpul dan naik sampai pada bagian atas emulsi. Kondisi ini terjadi karena minyak memiliki
kerapatan yang lebih rendah daripada air. Creaming bersifat reversible karena masing-masing droplet masih dikelilingi oleh lapisan film Allen,
2002. Pertimbangan dari aplikasi kualitatif Hukum Stoke menunjukkan
bahwa kecepatan creaming dapat dikurangi dengan cara: a. Menghasilkan emulsi dengan ukuran droplet yang kecil
Suatu emulsifying agent tidak hanya bekerja untuk menstabilkan sistem emulsi saja, tetapi juga bertugas untuk memfasilitasi terjadinya suatu
proses emulsifikasi untuk menghasilkan suatu droplet dengan ukuran optimal.
b. Meningkatkan viskositas dari fase kontinyu Menyimpan produk atau suatu sediaan pada suhu yang rendah di atas
titik beku akan meningkatkan viskositas dari fase kontinyu dan juga dapat menurunkan energi kinetik dari sistem sehingga dapat mengurangi
kecepatan migrasi dari droplet fase dispersinya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Mengurangi perbedaan kerapatan antar dua fase Terjadinya creaming dapat dicegah dengan menyamakan densitas dari
kedua fase tersebut Aulton,2002. 2.
Flokulasi Flokulasi disebabkan karena agregasi dari droplet yang terdispersi
membentuk suatu kelompok. Seharusnya setiap droplet memiliki karateristik tersendiri sebagai satu unit. Namun, pada peristiwa flokulasi, sekumpulan
droplet menunjukkan secara fisik satu unit, dimana peristiwa ini dapat meningkatkan kecepatan dari creaming Aulton, 2002.
3. Coalescence dan ostwald ripening
Coalescence dan ostwald ripening merupakan tipe instabilitas emulsi yang paling serius. Coalescence merupakan peristiwa saling bergabungnya
droplet berukuran kecil yang pada akhirnya menghasilkan suatu droplet dengan ukuran yang lebih besar. Sedangkan ostwald ripening merupakan
peristiwa saling menempel dan bergabungnya droplet yang berukuran kecil dengan droplet yang berukuran besar yang pada akhirnya menyebabkan
terbentuknya droplet baru dengan ukuran yang lebih besar. Peristiwa ini menyebabkan mudahnya terjadi pemisahan fase Eccleston, 2007. Hal ini
dikarenakan lapisan film yang mengelilingi droplet telah rusak atau hilang. Peristiwa ini bersifat irreversible Aulton, 2002.
4. Inversi fase
Inversi fase terjadi ketika emulsi dengan tipe MA berubah menjadi emulsi tipe AM atau sebaliknya. Hal ini merupakan kasus ketidakstabilan
yang khusus pada emulsi yang terjadi karena faktor kondisi yang tidak terkendali seperti terjadinya perubahan kelarutan emulsifier yang digunakan
oleh karena adanya interaksi dengan zat tambahan yang dipergunakan atau disebabkan oleh karena terjadinya perubahan suhu secara drastis Eccleston,
2007.
C. HLB