Uji Efek Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Berat Badan Dan Penurunan Kadar Gula Darah (KGD) Tikus Putih Diabetes yang Diinduksi Sterptozotocin (STZ)
UJI EFEK
VIRGIN COCONUT OIL
(VCO)
TERHADAP BERAT BADAN DAN PENURUNAN
KADAR GULA DARAH (KGD) TIKUS PUTIH
DIABETES YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN
(STZ)
TESIS
Oleh
AFRIADI
057014001
PROGRAM MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
UJI EFEK VIRGIN COCONUT OIL (VCO)
TERHADAP BERAT BADAN DAN PENURUNAN KADAR GULA DARAH (KGD)
TIKUS PUTIH DIABETES YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN (STZ)
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Sains
dalam Program Studi Magister Farmasi
pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Oleh
AFRIADI
057014001
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul : Uji Efek Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Berat Badan Dan Penurunan Kadar Gula Darah (KGD) Tikus Putih Diabetes yang Diinduksi Sterptozotocin (STZ)
Pemrasaran : Afriadi
NIM : 057014001
Program Studi : Ilmu Farmasi
Menyetujui, Komisi Pembimbing :
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Ketua
dr. Dharma Lindarto, SpPD KEMD. Anggota
Ketua Progarm Studi,
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.
Dekan,
(4)
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Magister pada Program Magister Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibunda Rosna Taher dan istri tercinta Ernoviya, juga Kakak dan Abang yang telah memberikan semangat, motivasi dan bantuan baik materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini untuk mendapatkan gelas magister.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis memberikan masukkan dalam tesis juga urusan administrasi di Program Magister Ilmu Farmasi.
2. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Ketua Program Doktor dan Magister
Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan dan sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak dr. Dharma Lindarto, SpPD., KEMD, sebagai dosen pembimbing yang
telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini.
4. Teman-teman yang telah memberikan semangat, motivasi sehingga penulis
(5)
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam tesis namun dengan rendah hati kami berharap tesis ini dapat jadi pedoman bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian tentang vco maupun diabetes.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran agar tesis ini menjadi lebih baik.
Medan, Juli 2010 Penulis
(6)
Abstrak
Indonesia memiliki sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan, terutama tumbuhan-tumbuhan karena bebarapa diantaranya berkhasiat sebagai obat untuk penyakit degenaratif seperti halnya diabetes
melitus. Virgin Coconut Oil (VCO) yang berasal dari kelapa hijau diduga dapat
menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus.
Telah dilakukan pengujian efek VCO dengan dosis bervariasi terhadap kadar gula darah (KGD) dan berat badan pada tikus putih diabetes melitus yang diinduksi streptozotosin (STZ). Metode yang digunakan adalah metode eksperimental di laboratorium dengan desain rancangan acak lengkap (RAL). Data dianalisis secara Anava (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata duncan menggunakan program Statistical and Product Service Solution (SPSS).
Berdasarkan hasil penelitian VCO dosis 2,0 ml/kg bb menurunkan kadar gula darah (KGD) lebih kecil dibandingkan dengan VCO dosis 4,0 ml/kg bb sedang VCO dosis 801 ml/kg bb menunjukkan penurunan KGD yang tidak berbeda nyata dengan glibenklamid 1 mg/kg bb. Pengaruh pada berat badan tikus yang diberi VCO menunjukkan peningkatan sesuai dengan dosis VCO.Ini mengisyaratkan bahwa VCO yang diuji berkemampuan menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan berat badan pada tikus putih diabetes yang diinduksi STZ.
(7)
Abstract
Indonesia is endowed with rich natural potensial for development, especially the plants some or them have the medical efficacy for degenerative disease treatment such as diabetes mellitus. Virgin coconut oil (VCO) derivated from coconut has been assumed to decrease the concentration of glucose in blood with diabetes mellitus.
The study of VCO effect in various dosage on conentration of blood glucose and body weight of rat with streptozotocin (STZ) induced diabetes mellitus has been conducted. The method used was experimental method in laboratory by randomized complete design. The data was analyzed by Anava (Analysis of Varians) and continued with mean variance test of Dancan by using the Statistical and Product Service Solution(SPSS)program.
The result of this research showed,2.0 ml/kg bw of VCO decrease the concentration of blood glucose less than 4.0 ml/kg bw of VCO, where 8.0 ml/kg bw of VCO the insignificant decrease in concentration of blood glucose with 1 mg/kg bw of glibenklamid.The observation of body weight of rat was also conducted high dosage of VCO administered to rat showed the increasing of body weight of mice.That result indicated that VCO was effective for decreasing blood glucose concentration and increasing body weight in STZ induced diabetes mellitus to rat.
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iv
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian 3
1.3 Perumusan Masalah 4
1.4 Hipotesis 4
1.5 Tujuan Penelitian 4
1.6 Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Uraian Tumbuhan 6
2.1.1 Morfologi Tumbuhan 6
2.1.2 Sistematika Tumbuhan 7
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman
Kepala 7
2.1.3.1 Keadaan Iklim 7
2.1.3.1 Keadaan Tanah 8
(9)
2.3 Kandungan Kimia Minyak Kelapa 13
2.4 Manfaat Minyak Kelapa 14
2.5 Insulin 15
2.6 Diabetes Melitus 16
2.6.1 Defenisi 16
2.6.2 Klasifikasi 16
2.6.3 Diagnosis Diabetes Melitus 22
2.6.4 Diabetes Melitus pada Hewan 23
2.6.5 Efek Akut Diabetes Melitus 27
2.6.6 Komplikasi Diabetes Melitus 28
2.6.7 Obat Antidiabetes Oral 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31
3.1 Alat-alat 32
3.2 Bahan-bahan 32
3.2.1 Bahan Uji 32
3.2.2 Bahan Kimia 32
3.2.3 Hewan Percobaan 32
3.3 Penyediaan Bahan Uji 32
3.4 Pembuatan VCO 32
3.5 Penyiapan Penginduksi, Bahan Uji dan Obat Pembanding untuk
Pengujian Farmakologi 33
3.6 Prosedur Kerja Untuk Pengujian Farmakologi 34
3.7 Pembedahan Hewan Uji 35
3.8 Pembuatan Preparat Pankreas pada Tikus Putih 35
(10)
3.10 Analisis Data 39
3.11 Definisi Operasional 39
BAB IV HASIL PEMBAHASAN 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 48
5.1 Kesimpulan 48
5.2 Saran 48
DAFTAR PUSTAKA 49
LAMPIRAN 51
(11)
Tabel 2.2 Komposisi asam lemak minyak kelapa 14
Tabel 3.1 Matriks rancangan percobaan 31
Tabel 4.1 Perubahan KGD tikus diabetes yang diinduksi STZ (purata ±
SEM) 40
Tabel 4.2 Uji beda rata-rata lanjutan Duncan pada hari ke 3 42
Tabel 4.3 Uji beda rata-rata lanjutan Duncan pada hari ke 6 43
Tabel 4.4 Perubahan berat badan sebelum dan setelah pemberian STZ 46
(12)
Gambar 1.1 Skema yang mengambarkan kerangka pikir penelitian 4
Gambar 2.1 Mediasi insulin dalam proses uptake glukosa 21
Gambar 2.2 Sturuktur Kimia Aloksan 23
Gambar 2.3 Struktur Kimia Streptozotocin 26
Gambar 3.1 Alat glukotes 36
Gambar 3.2 Petunjuk penggunaan alat 38
Gambar 4.1 Diagram yang menunjukkan keadaan KGD selama 6 hari 41
Gambar 4.2 Hubungan antara berat badan dan kadar gula darah 47
(13)
Lampiran 1 Gambar buah kelapa hijau (Cocos nucifera) 51 Lampiran 2 Data Pengukuran Berat Badan dan KGD pada diabetes
dengan
perlakuan yang berbeda 52
Lampiran 3 Data Perubahan KGD 54
Lampiran 4 Analisa statistik nilai KGD pada tikus diabetes yang diberi
masing-masing perlakuan 55
Lampiran 5 Berat tikus putih sehat sebagai kontrol normal 64
Lampiran 6 Tabel komversi dosis 65
(14)
Abstrak
Indonesia memiliki sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan, terutama tumbuhan-tumbuhan karena bebarapa diantaranya berkhasiat sebagai obat untuk penyakit degenaratif seperti halnya diabetes
melitus. Virgin Coconut Oil (VCO) yang berasal dari kelapa hijau diduga dapat
menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus.
Telah dilakukan pengujian efek VCO dengan dosis bervariasi terhadap kadar gula darah (KGD) dan berat badan pada tikus putih diabetes melitus yang diinduksi streptozotosin (STZ). Metode yang digunakan adalah metode eksperimental di laboratorium dengan desain rancangan acak lengkap (RAL). Data dianalisis secara Anava (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata duncan menggunakan program Statistical and Product Service Solution (SPSS).
Berdasarkan hasil penelitian VCO dosis 2,0 ml/kg bb menurunkan kadar gula darah (KGD) lebih kecil dibandingkan dengan VCO dosis 4,0 ml/kg bb sedang VCO dosis 801 ml/kg bb menunjukkan penurunan KGD yang tidak berbeda nyata dengan glibenklamid 1 mg/kg bb. Pengaruh pada berat badan tikus yang diberi VCO menunjukkan peningkatan sesuai dengan dosis VCO.Ini mengisyaratkan bahwa VCO yang diuji berkemampuan menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan berat badan pada tikus putih diabetes yang diinduksi STZ.
(15)
Abstract
Indonesia is endowed with rich natural potensial for development, especially the plants some or them have the medical efficacy for degenerative disease treatment such as diabetes mellitus. Virgin coconut oil (VCO) derivated from coconut has been assumed to decrease the concentration of glucose in blood with diabetes mellitus.
The study of VCO effect in various dosage on conentration of blood glucose and body weight of rat with streptozotocin (STZ) induced diabetes mellitus has been conducted. The method used was experimental method in laboratory by randomized complete design. The data was analyzed by Anava (Analysis of Varians) and continued with mean variance test of Dancan by using the Statistical and Product Service Solution(SPSS)program.
The result of this research showed,2.0 ml/kg bw of VCO decrease the concentration of blood glucose less than 4.0 ml/kg bw of VCO, where 8.0 ml/kg bw of VCO the insignificant decrease in concentration of blood glucose with 1 mg/kg bw of glibenklamid.The observation of body weight of rat was also conducted high dosage of VCO administered to rat showed the increasing of body weight of mice.That result indicated that VCO was effective for decreasing blood glucose concentration and increasing body weight in STZ induced diabetes mellitus to rat.
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Pada hutan tropika di Indonesia, tumbuh subur sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies di antarannya merupakan tumbuhan obat. Dari sejumlah tanaman obat tersebut menurut Dirjen POM baru sebanyak 283 spesies tumbuhan obat yang sudah digunakan dalam industri obat tradisional (Djauhariya dan Hernani, 2004). Ini menunjukkan bahwa masih banyak tumbuhan obat yang berpotensi untuk dikembangkan.
Sebagian besar tumbuhan telah banyak menarik perhatian ilmuan untuk diteliti lebih lanjut terutama tumbuhan yang bermanfaat untuk pengobatan berbagai penyakit, terutama penyakit degenaratif seperti halnya diabetes mellitus (Djauhariya dan Hernani, 2004).
Diabetes adalah suatu penyakit akibat gangguan produksi atau penggunaan insulin. Insulin adalah hormon yang diperlukan untuk mengubah gula, karbohidrat dan zat makanan lain menjadi energi yang digunakan untuk proses hidup. Sampai saat ini penyebab diabetes masih merupakan misteri, walaupun faktor genetik, kegemukan dan kurangnya olah raga memiliki peranan penting (ADA, 2008).
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat, termasuk dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan geriatrik (Ribawan dkk., 2004).
(17)
Kasus penyakit diabetes mellitus sekarang ini banyak terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Menurut penelitian diabetes di Surabaya dan hasil analis data dari poliklinik diabetes di seluruh Indonesia, diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 adalah 2,5 juta jiwa. Pada tahun 2000 penderita meningkat menjadi 4 juta jiwa. Pada tahun yang sama paling sedikit 240 juta penduduk dunia menderita diabetes (Ribawan dan Hernani, 2004). Di negara lain seperti Amerika Serikat sekitar 5-10% dari penderita diabetes penduduk tipe 1 selebihnya adalah tipe 2 (ADA, 2008). Sekarang sudah banyak obat-obatan untuk diabetes melitus terlebih obat hipoglikemik, tetapi karena penggunaannya terus menerus untuk menjaga kadar gula darah agar terkontrol, tentu banyak biaya yang dikeluarkan dan ini menjadi beban bagi penderita, sehingga perlu dicari obat alternatif lain bagi penderita diabetes, yaitu obat yang berasal dari tumbuhan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian tumbuhan yang memiliki khasiat hipoglikemik. Salah satu jenis tanaman obat yang berpotensi dan sudah dikembangkan adalah kelapa. Kelapa sangat populer di masyarakat karena memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Beragam manfaat tersebut diperoleh dari daging buah, air, sabut, tempurung, daun dan batangnya. Bagian terpenting dari kelapa adalah buahnya karena bagian tersebut
dapat diolah menjadi berbagai produk seperti kopra, dessicated coconut, santan
kelapa dan minyak kelapa (Alamsyah, 2005).
Minyak kelapa pada umumnya dibagi menjadi 2 (dua) kategori utama
yaitu RBD (Refined, Bleached and Deodorized) dan Virgin. Perbedaannya adalah
pada proses pembuatan dan pemilihan buahnya yang mempengaruhi kualitas,
(18)
coconut oil (VCO) merupakan salah satu hasil olahan dari buah kelapa (Cocos nucifera) yang diperoleh melalui pendinginan tanpa penambahan bahan kimia.
Pada masyarakat, umumnya minyak kelapa sering digunakan untuk menggoreng, melembutkan rambut dan menyembuhkan berbagai penyakit misalnya diabetes mellitus, kolesterol, penyakit jantung, influensa, luka bakar, antikerut, dan penuaan dini (Sutarmi, dkk., 2005).
Berdasarkan hal di atas maka peneliti merasa perlu dan tertarik melakukan penelitian sesuai dengan bidang kefarmasian, yaitu untuk mengetahui pengaruh VCO terhadap besarnya penurunan kadar gula darah akibat pemberian Streptozotocin (STZ). Hasil tersebut diharapkan akan memberi informasi ilmiah untuk menjadikan VCO sebagai salah satu alternatif pengobatan diabetes melitus yang banyak dialami masyarakat.
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variabel bebas Variabel Terikat Parameter
STZ/kontrol VCO Glibenklamid dan CMC Tikus Diabetes ↑KGD
↓Berat badan
↓ KGD
↑ Berat badan
y1 y2 y3 y4 y5 Tikus Putih
CMC tanpa VCO /Glibenklamid
X
1(g)
b.Berat badan
a.KGD
(mg/dl)
X
2X
3X
4(19)
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka rumusan permasalahan penelitian adalah:
a. apakah VCO menurunkan kadar gula darah tikus putih yang diinduksi
STZ.?
b. apakah VCO meningkatkan berat badan tikus diabetes yang diinduksi
STZ.?
c. apakah ada perbedaan efek pemberian VCO dengan glibenklamid?
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah:
a. VCO dapat menurunkan kadar gula darah tikus putih yang diinduksi STZ.
b. VCO dapat meningkatkan berat badan tikus diabetes yang diinduksi STZ.
c. tidak ada perbedaan efek diabetes yang VCO dengan glibenklamid.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. mengetahui efek penurunan kadar gula darah tikus putih yang diinduksi
STZ oleh VCO
b. mengetahui efek VCO terhadap peningkatan berat badan tikus diabetes
yang diinduksi STZ.
c. mengetahui perbedaan efek penurunan kadar gula darah antara VCO
dengan glibenklamid.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan:
a. sebagai bahan pertimbangan bahwa VCO dapat digunakan sebagai obat
(20)
b. menunjang program pemerintah dalam pengembangan obat tradisional sehingga dapat diikutsertakan dalam pelayanan kesehatan masyarakat
c. menambah inventaris obat antidiabetes yang mudah didapat dengan harga
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan terdiri dari morfologi tumbuhan, sistematika, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kelapa.
2.2 Morfologi Tumbuhan
a. Batang
Batang tumbuhan tegak lurus ke atas sesuai dengan arah sinar matahari, tidak bercabang dan tidak berkambium. Di ujung batang terdapat titik tumbuh yang berfungsi membentuk daun, batang dan bunga. Tinggi pohon kelapa bergantung pada faktor iklim, kesuburan tanah serta lingkungan lahan.
b. Akar
Tanaman kelapa berakar serabut dan membutuhkan banyak unsur hara makro C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg maupun unsur mikro seperti Cl.
c. Daun
Daun kelapa berbentuk memanjang dan bertulang sejajar dan tumbuh lebih cepat pada musim hujan.
d. Bunga
Bunga kelapa merupakan bunga berkarang dikenal dengan sebutan mayang. Bunga jantan dan betina terdapat dalam satu pohon, bunga betina terletak di pangkal cabang dan bunga jantan di ujung cabang.
e. Buah
(22)
dibuahi, bunga betina mulai tumbuh menjadi buah kira-kira 3-4 minggu setelah mayang terbuka. Buah mencapai ukuran maksimum pada usia 9-10 bulan (Wahyuni, 2000).
2.1.2 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan kelapa (Suhardiman, 1999)
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Palmales
Suku : Palmae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos nucifera
Tanaman kelapa merupakan tanaman asli daerah tropis dan dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Kelapa dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bila ditanam di tempat yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman kelapa. Faktor iklim dan tanah merupakan faktor paling dominan dalam pertumbuhan kelapa.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman Kelapa 2.1.3.1 Keadaan Iklim
a. Suhu
Tanaman kelapa tumbuh dengan baik pada suhu antara 27-280C. Pada
suhu di bawah 200C dan di atas 300C pertumbuhan tanaman kelapa tidak baik dan
(23)
b. Curah hujan
Tanaman kelapa dengan baik pada curah hujan 1.000-2.250 mm per tahun. Untuk mendapatkan hasil yang baik curah hujan yang dikehendaki adalah 1.500-2.000 mm per tahun yang tersebar merata sepanjang tahun. Tanaman kelapa tidak akan tumbuh dan berkembang bila ditanam di daerah dengan curah hujan tidak merata. Apabila curah hujan lebih dari 50 mm per tahun maka produksi kelapa akan rendah.
c. Sinar matahari
Tanaman kelapa akan tumbuh baik dan produktif bila intensitas penyinaran matahari tinggi. Jumlah penyinaran yang dibutuhkan tidak kurang dari 2000 jam/tahun
d. Kelembaban
Kelembaban yang dibutuhkan kelapa agar tumbuh baik dan produktif adalah 70-80% dengan kelembaban minimum 65%.
e. Ketinggian tempat
Ketinggian tanah yang cocok untuk tanaman kelapa adalah 0-600 M di atas permukaan laut dan yang terbaik adalah kurang dari 400 M di atas permukaan laut.
2.1.3.2 Keadaan Tanah
Kelapa dapat tumbuh subur pada pH 5-8, dan tumbuh optimum pada pH 5,5-6,5. Tanah yang mengandung fosfor dan kalium sangat baik bagi pertumbuhan kelapa. Di pesisir pantai, pohon kelapa dapat tumbuh dengan baik dan produktif meski pun kandungan NaCl tinggi karena ada infiltrasi dari air laut. Hal ini disebabkan air yang bergerak banyak mengandung oksigen yang penting untuk pernafasan akar (Warisno, 1998).
(24)
2.2 VCO
VCO merupakan minyak yang berasal dari buah kelapa (Cocos nucifera)
tua segar yang diolah pada suhu rendah (<600C), dimasak dan dijaga warnanya
tidak boleh sampai coklat tua. Selain itu dilakukan juga proses pemutihan dan hidrogenasi sehingga menghasilkan minyak murni. Proses tersebut dikenal dengan
sebutan minyak perawan (Virgin Coconut Oil) atau ada juga yang menamainya
minyak dara (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Banyak cara yang dilakukan untuk menghasilkan minyak VCO. Umumnya
terdiri dari proses vakum pada suhu 600C, fermentasi, enzimatis dan pendinginan.
a. Proses vakum pada suhu 600C
i. Daging buah kelapa tua segar dicungkil
ii. Daging buah kelapa dicuci sampai bersih
iii. Daging buah kelapa diparut
iv. Hasil parutan dimasukkan kedalam mesin pemeras tanpa air
(menghasilkan santan)
v. Santan dimasukkan kedalam alat vakum pada suhu 600C
vi. Biarkan beberapa jam sampai terbentuk minyak
vii. Minyak disaring
viii. Minyak siap dikemas dan digunakan
b. Proses fermentasi
i. Daging buah kelapa tua segar dicungkil
ii. Daging buah kelapa dicuci sampai bersih
iii. Daging buah kelapa diparut
iv. Hasil parutan dimasukkan kedalam mesin pemeras tanpa air
(25)
v. Santan dimasukkan kedalam tabung fermentasi, biarkan selama 12 jam
pada suhu 300-350C. Setelah 12 jam akan terbentuk 4 lapisan yaitu
endapan tepung, air, blondo dan minyak.
vi. Kran tabung fermentasi dibuka untuk memisahkan lapisan-lapisan
tersebut.
vii. Lapisan minyak yang diperoleh dimasukkan kedalam galon air mineral
(posisi galon terbalik dan ujungnya diberi kran). Diamkan beberapa jam akan terbentuk 2 lapisan yaitu blondo dan minyak. Pada tahap ini minyak yang dihasilkan adalah VCO, tetapi kadar airnya masih tinggi.
viii. VCO dimasukkan kedalam mesin vakum selama 4 jam pada suhu 600C,
tujuannya mengurangi kadar air dalam VCO kemudian disaring.
ix. VCO sudah dapat dikemas dan digunakan.
c. Proses enzimatis
i. Daging buah kelapa tua segar dicungkil
ii. Daging buah kelapa dicuci sampai bersih
iii. Daging buah kelapa diparut
iv. Hasil parutan dimasukkan kedalam mesin pemeras tanpa air
(menghasilkan santan)
v. Hasil perasan (santan) dicampur dengan enzim. Pada proses ini dapat
menggunakan enzim yang barasal dari nenas (anannase) atau pepaya
(papain). Biarkan beberapa jam, lalu timbul 3 lapisan yaitu minyak, blondo dan air
vi. Minyak disaring menggunakan penyaring ukuran 400 mes dan saringan
1 mikron.
(26)
d. Proses pendinginan terdiri atas 2 cara pembuatan yaitu :
Cara mixer
i. Daging buah kelapa tua segar dicungkil
ii. Daging buah kelapa dicuci sampai bersih
iii. Daging buah kelapa diparut
iv. Hasil parutan dimasukkan ke dalam mesin pemeras tanpa air
(menghasilkan santan)
v. Santan didinginkan pada suhu 1-100C
vi. Mixer sampai terbentuk gumpalan
vii. Gumpalan dipanaskan pada suhu 450C (selama 60 menit) sapai
gumpalan mencair. Setelah mencair akan terbentuk 3 lapisan yaitu minyak, blondo dan air, lalu lapisan minyak diambil
viii. Minyak di vakum pada suhu 600C untuk mengurangi kadar air dalam
minyak
ix. Minyak disaring menggunakan penyaring ukuran 400 mes dan 1
mikron
x. Minyak siap dikemas dan digunakan
Cara sentrifugal
i. Daging buah kelapa tua segar dicungkil
ii. Daging buah kelapa dicuci sampai bersih
iii. Daging buah kelapa diparut
iv. Hasil parutan dimasukkan ke dalam mesin pemeras tanpa air
(menghasilkan santan)
v. Santan didinginkan pada suhu 1-100C
(27)
vii. Wadah yang berisi santan dimasukkan kedalam alat setrifugal terbentuk 4 lapisan yaitu tepung, air, blondo dan minyak, lalu lapisan minyak diambil
viii. Minyak divakum pada suhu 600C untuk mengurangi kadar air dalam
minyak
ix. Minyak disaring menggunakan penyaring ukuran 400 mes dan 1 mikron
x. Minyak siap dikemas dan digunakan
Masing- masing proses tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan :
a. Proses vakum pada suhu 600C
Kelebihan proses ini, adalah kadar air yang dikandung minyak sedikit dan rasanya segar dan jernih.
Kekurangan proses ini, adalah warnanya sedikit kuning dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan minyak lama yaitu 24-48 jam.
b. Proses fermentasi
Kelebihan proses ini, adalah minyak yang dihasilkan lebih banyak. Menurut berbagai penelitian kadar asam laurat paling tinggi diperoleh dengan proses ini (46-55%). Selain menghasilkan lemak berantai sedang, keberadaan vitamin E dan enzim-enzim yang terkandung dalam daging buah kelapa dapat tetap dipertahankan. Cara ini paling mudah diterapkan ditingkat rumah tangga.
Kekurangan proses ini, adalah terbawanya banyak enzim kedalam minyak, prose dari kelapa sampai diolah menjadi minyak membutuhkan waktu yang lama (12 jam).
(28)
c. Proses enzimatis
Kelebihan proses ini, adalah prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan proses fermentasi.
Kekurangan proses ini, adalah cara ini dapat mengeluarkan enzim-enzim yang terkandung dalam minyak kelapa.
d. Proses pendinginan
Kelebihan proses ini, adalah waktu yang singkat untuk membuat minyak, rasa manis dan aroma segar seperti air kelapa muda.
Kekurangan proses ini, adalah diperlukan investasi yang cukup besar karena harga alat pendukung masih mahal (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
2.3 Kandungan Kimia Minyak Kelapa
Secara kimiawi minyak kelapa terbentuk dari rantai karbon, hidrogen dan oksigen yang disebut asam lemak. Asam lemak digabung oleh satu molekul gliserol membentuk gliserida. Gliserida yang terdapat pada minyak dan lemak adalah trigliserida (lipida). Diperlukan tiga molekul asam lemak yang dikombinasi dengan satu molekul trigliserida (Kuncoro dan Maloedyn, 2005).
Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%) dan asam
lemak tak jenuh (10%). Dalam minyak kelapa murni terdapat MCFA (medium
chain fatty acid). MCFA merupakan komponen asam lemak berantai sedang yang memiliki banyak fungsi, antara lain mampu merangsang produksi insulin sehingga proses metabolisme glukosa dapat berjalan normal. Selain itu MCFA juga bermanfaat dalam mengubah protein menjadi sumber energi. Minyak kelapa murni juga mengandung asam laurat dan asam lemak jenuh berantai pendek, seperti asam kaproat dan kaprilat yang berperan positif dalam proses pembakaran
(29)
nutrisi makanan menjadi energi. Fungsi lain dari zat ini antara lain sebagai
antivirus antiprotozoa (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Tabel 2.2. Komposisi asam lemak minyak kelapa
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Keadaan: 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna
Air dan senyawa yang menguap Bilangan iod
Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam laurat)
Bilangan peroksida Asam lemak :
6.1 Asam kaproat (C6 : 0) 6.2 Asam kaprilat (C8 : 0) 6.3 Asam kaprat (C10 : 0) 6.4 Asam laurat (C12 : 0) 6.5 Asam miristat (C14 : 0) 6.6 Asam palmitat (C16 : 0) 6.7 Asam stearat (C18) 6.8 Asam oleat (C18 : 1) 6.9 Asam linoleat (C18 : 2) 6.10 Asam linolenat (C18:3) Cemaran mikroba
7.1 Angka lempeng total Cemaran Logam :
8.1 Timbal (Pb) 8.2 Tembaga (Cu) 8.3 Besi (Fe) 8.4 Cadmium (Cd) Cemaran Arsen (As)
%
g iod/100 g % mg ek/kg % % % % % % % % % % koloni/ml mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Khas kelapa segar,tidak tengik Normal, khas minyak kelapa Tidak berwarna hingga kuning pucat
Maks 0,2 4,1 – 11,0 Maks 0,2 Maks 2,0 ND – 0,7 4,6 – 10,0 5,0 – 8,0 45,1 – 53,2 16,8 - 21 7,5 – 10,2 2,0 – 4,0 5,0 – 10,0 1,0 – 2,5 ND – 0,2 Maks 10 Maks 0,1 Maks 0,4 Maks 5,0 Maks 0,1 Maks 0,1
Catatan:ND = No detection (tidak terdeteksi)
Dikutip dari Badan Standardisasi Nasional (2008), Minyak kelapavirgin (VCO)
2.4 Manfaat Minyak Kelapa
VCO mampu mengatasi penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, jantung, kegemukan dan kolesterol. Diabetes mellitus di Indonesia dikenal dengan nama kencing manis. Kencing manis adalah glikosuria (glukosa dalam urin) karena menumpuknya glukosa dalam darah sehingga dikelurakan bersama urin.
(30)
Dalam kondisi ini produksi insulin atau enzim menurun sehingga metabolisme terganggu. Hal ini menyebabkan glukosa tidak bisa masuk kedalam sel-sel sehingga konsentrasi glukosa darah meningkat. Timbunan glukosa tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan akhirnya dibuang bersama urin.
Insulin berfungsi mengubah glukosa menjadi energi sel dengan cara mentransfer glukosa ke darah dalam sel-sel yang membutuhkan. Selain itu insulin juga mengubah glukosa menjadi energi cadangan (glikogen dan lemak).
Kandungan MCFA (medium chain fatty acid) dalam VCO mampu
merangsang produksi insulin yaitu hormon pengangkut zat gula ke dalam sel-sel tubuh. Selain itu VCO juga dapat menembus dinding usus tanpa bantuan enzim sehingga sel mampu menghasilkan energi lebih cepat (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
2.5 Insulin
Insulin merupakan salah satu hormon dalam tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel ß pulau langerhans yang terdapat dalam kelenjar pankreas. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino dalam darah (Sheerwood, 1996).
Peranan insulin dalam pengaturan kadar glukosa darah tidak lepas dari pengaruh faktor lainnya juga, seperti (a) hati berperan sebagai glukostat, (b) kelenjar pankreas sebagai penghasil hormon lain selain insulin yaitu glukagon, (c) kelenjar adenohipofisis mensekresi hormon-hormon yang bersifat diabetogenik seperti ACTH, GH, TSH; (d) kelenjar adrenal yang mensekresi hormon epinefrin dari bagian medula dan glukokortikoid dari bagian kortek-nya, (e) kelenjar tiroid mensekresi hormon T3 dan T4 yang berperan terhadap metabolisme energi, serta
(31)
(f) kerja fisik atau exercise yang bersifat memperkuat efek insulin terhadap metabolisme karbohidrat.
2.6 Diabetes Mellitus 2.6.1 Definisi
Diabetes adalah suatu penyakit yang ditandai bahwa tubuh tidak dapat menghasilkan atau terjadi gangguan dalam penggunaan insulin (ADA, 2008).
2.6.2 Klasifikasi
Tipe utama penyakit diabetes adalah sebagai berikut:
a. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes tipe 1 atau insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) adalah
diabetes mellitus yang selalu membutuhkan terapi insulin dari luar untuk pengaturan aktivitas. Diabetes tipe 1 adalah kondisi yang ditandai oleh tingginya level glukosa darah yang disebabkan oleh ketidakcukupan atau ketiadaan hormon insulin, sehingga gula darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk digunakan sebagai energi. Kondisi ini hanya bisa diobati dengan pemberian insulin. Pada saat
didiagnosa hanya sedikit sel β sehat yang memproduksi insulin. Kerusakan sel β
secara agresif menyebabkan penyakit nampak dalam beberapa bulan pada anak
yang masih muda, meskipun ada juga proses yang akan berlanjut dalam beberapa
tahun, bahkan pada beberapa kasus ada yang berlanjut lebih dari 10 tahun.. Diabetes tipe 1 diperkirakan 5-10% diderita oleh penduduk Amerika. Diabetes mellitus jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Pemberian insulin sangat penting untuk merubah glukosa, karbohidrat dan zat makanan lainnya untuk dijadikan energi. Pemberian insulin eksogen terutama tidak hanya untuk menurunkan kadar glukosa plasma melainkan juga untuk menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan mempertahankan kehidupan.
(32)
Komplikasi penyakit yang dapat terjadi pada diabetes tipe 1 adalah:
i. Penyakit jantung, orang yang menderita diabetes harus berhati – hati
kemungkinan akan mengalami penyakit jantung dan pembuluh darah. Diabetes dapat meningkatkan resiko serangan jantung, strok, dan komplikasi yang erat hubungannya dengan sistem sirkulasi.
ii. Nefropati, diabetes dapat menyebabkan kerusakan ginjal, tidak hanya
menyebabkan gagal fungsi ginjal namun juga akan kehilangan kemampuan untuk menyaring produk – produk sampah dalam darah, hal ini yang disebut dengan nefropati.
iii. Komplikasi pada mata, diabetes dapat menyebabkan permasalahan
pada mata dan bahkan dapat terjadi kebutaan. Penderita diabetes memiliki resiko kebutaan yang lebih besar dari orang normal tanpa diabetes. Pengetahuan dan pengobatan secara dini dapat menyelamatkan mata dari kebutaan.
iv. Diabetes neuropati dan kerusakan sel saraf, salah satu komplikasi yang
paling umum diderita pasien diabetes adalah neuropati. Neuropati merupakan kerusakan sel saraf yang berkelanjutan dan menyebar ke
seluruh tubuh, yaitu yang menghubungkan spinal cord dengan otot,
kulit, pembuluh darah dan organ-organ lainnya.
v. Komplikasi pada kaki, penderita diabetes dapat mengalami
permasalahan pada kaki. Permasalahan pada kaki sering terjadi ketika terjadi kerusakan saraf kaki atau sedikitnya aliran darah yang masuk.
vi. Komplikasi pada kulit, sekitar satu dari tiga penderita diabetes akan
pernah mengalami kelainan kulit akibat dari diabetes selama hidup mereka. Faktanya, terkadang gejala awal diabetes ditunjukkan dengan
(33)
adanya kelainan pada kulit dan hal ini dapat segera dicegah jika penanganannya sedini mengkin.
vii. Depresi, semangat hidup turun, sedih dan hidup seperti tidak punya
harapan. Perasaan ini akan dialami selama 2 sampai 3 minggu bahkan lebih pada tingkat depresi yang lebih serius (ADA, 2008).
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes tipe 2 sering juga disebut noninsulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM), sebab tidak membutuhkan penambahan hormon insulin untuk mempertahankan keseimbangan glukosa darah. Diabetes tipe 2 merupakan akibat lemahnya kemampuan pankreas mensekresikan insulin, selain itu juga lemahnya aksi insulin, menjadi penyebab menurunnya sensitivitas insulin. Penurunan sensitivitas insulin terjadi pada pintu masuk di permukaan sel tubuh yang
dinamakan reseptor insulin. Reseptor insulin akan memberikan signal pada
transporter glukosa untuk memungkinkan lewatnya glukosa yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke dalam sel. Di dalam mitokondria, gula kemudian akan digunakan untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk melangsungkan fungsi setiap sel tubuh.
Penyebab terjadinya penurunan sensitivitas insulin adalah karena peningkatan kebutuhan sekresi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa
darah. Meningkatnya sekresi insulin akan menginduksi kegagalan sel β pankreas
menghasilkan insulin. Orang obesitas dan kurang olah raga mempunyai resiko terhadap penyakit diabetes tipe 2, dengan gejala penurunan sensitivitas insulin yang ditandai dengan : (a) jumlah insulin di dalam darahnya meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, (b) penyuntikan insulin tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah dalam keadaan rusaknya sensitivitas insulin.
(34)
Menurut Media Informasi Peresepan Rasional bagi Tenaga Kesehatan Indonesia (2001) pada penderita diabetes tipe 2, terdapat tiga kemungkinan kondisi abnormal. Pertama, mutlak kekurangan insulin dalam arti sekresi hormon
insulin berkurang karena kerusakan sel-sel β pankreas. Kedua, relatif kekurangan
insulin karena sekresi insulin tidak mencukupi dengan adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat (misalnya pada pasien yang kelebihan berat badan). Ketiga, resisten terhadap insulin dan hiperinsulinemia karena penggunaan insulin yang kurang sempurna. Gejala-gejala yang sering muncul pada diabetes tipe 2 adalah cepat lelah; sering kencing; sering lapar dan sering haus; penglihatan menjadi kabur; lambatnya penyembuhan penyakit kulit, gusi dan infeksi saluran kencing; terasa gatal pada bagian kelamin; mati rasa pada kaki atau tungkai; dan penyakit jantung. Obesitas atau kelebihan simpanan lemak sering mengiringi atau mendahului terjadinya penyakit diabetes tipe 2.
Pada penderita diabetes mellitus tipe sering 2 ditemukan penurunan sensitivitas insulin. Penurunan sensitivitas insulin adalah kelainan metabolik yang dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin. Menurut NDIC (2006) penurunan sensitivitas insulin adalah kondisi diam yang meningkatkan rantai perkembangan penyakit diabetes mellitus dan penyakit jantung. Penurunan sensitivitas insulin terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. Diabetes tipe 2 sering disertai oleh penurunan sensitivitas insulin pada organ sasaran yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin endogenus maupun eksogenus (Rimbawan dan Siagian 2004). Penurunan sensitivitas insulin mungkin terjadi pada banyak tahapan dalam aksi biologi insulin, dari awal telah terjadi pengikatan permukaan sel reseptor pada proses
(35)
Penurunan sensitivitas insulin biasanya paling banyak ditemukan pada kegemukan
dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) pada wanita (65%), tetapi dapat juga
ditemukan pada 20 persen dari lean PCOS pada wanita (Dale et al., 1998). Orang dengan diabetes tipe 2 mempunyai banyak insulin dalam tubuhnya, tetapi respon tubuhnya terhadap insulin dalam keadaan yang tidak normal dan mengalami penurunan sensitivitas insulin, artinya tubuh resisten terhadap insulin dalam keadaan normal.
Proses uptake glukosa yang dimediasi oleh insulin ditunjukkan pada
Gambar 2.1. Insulin yang diproduksi sel β pankreas akan menempati reseptornya,
yang kemudian akan menghasilkan signal transduction pada transporter glucose
untuk dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang tersebar dalam darah akan masuk ke dalam sel.
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) penurunan sensitivitas insulin
pada penderita diabetes tipe 2 dapat disebabkan oleh kerusakan signal
transduction. Kerusakan ini dapat dimulai dari insulin abnormal sampai kerusakan penerima insulin pada pengangkut glukosa.
Hubungan langsung antara penurunan sensitivitas insulin dan kegemukan telah diketahui dengan baik, dan kegemukan adalah salah satu faktor penting untuk memprediksi diabetes tipe 2.
Kegemukan berhubungan dengan lemahnya signal insulin, dan pola
tertentu dari penyimpanan lemak (misalnya penyimpanan lemak dalam perut) lebih berhubungan dengan penurunan sensitivitas insulin. Meskipun otot rangka biasanya dianggap sebagai jaringan utama yang menggunakan glukosa, pengambilan glukosa juga berhubungan dengan jaringan adipose.
(36)
Gambar 2.1 Mediasi insulin dalam proses uptake glukosa dikutip dari Cartailler(2004)
Diabetes dapat terjadi pada semua orang tanpa melihat umur dan ras, namun ada beberapa kelompok memiliki resiko menderita diabetes tipe 2 yang lebih besar dari pada yang lain yaitu Afrika, Amerika, dan Asia Amerika/Pasifik (ADA, 2008).
Diabetes tipe 2 sering kali dijumpai pada pria maupun wanita berusia di atas 40 tahun yang memiliki kelebihan berat badan. Sampai saat ini, diabetes tipe 2 dikenal sebagai serangan diabetes bagi orang dewasa, karena kasus tersebut tidak dijumpai pada anak-anak. Diabetes tipe 2 dapat menjadi pintu gerbang bagi berbagai penyakit yang dapat mengancam kehidupan, resiko terbesarnya adalah meningkatnya resiko kemungkinan berkembangnya penyakit jantung koroner (PJK) (D’Adamo and Whitney, 2007).
c. Diabetes pada masa kehamilan
Diabetes pada masa kehamilan di alami sekitar 4% pada semua wanita hamil, sekitar 135.000 kasus di Amerika setiap tahunnya. Pada pasien-pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal setelah persalinan (ADA, 2008).
(37)
d. Pra-diabetes
Pra-diabetes merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari normalnya, tetapi tidak sampai didiagnosis sebagai diabetes tipe 2. Ada sekitar 54 juta orang Amerika menderita pra-diabetes, dan sekitar 20,8 juta orang menjadi menderita diabetes (ADA, 2008).
2.6.3 Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan dengan cara mengaitkan simptom-simptom klasik dengan hiperglikemia yang jelas, atau dengan kriteria diagnostik yang spesifik pada pasien asimptomatik. Penapisan (skrining) harus dilakukan pada pasien dengan riwayat keluarga yang jelas menderita diabetes mellitus, dengan obesitas yang bermakna, dengan infeksi kulit, genital atau
tractus urinarus yang kumat-kumatan; atau dengan riwayat kehamilan yang menunjukkan diabetes mellitus pada kehamilan, prematuritas, atau berat badan bayi lebih dari 4,5 kg. Pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih dari 160 mg/dl atau kadar gula darah puasa di atas 115 mg/dl adalah indikasi untuk melakukan pemeriksaan diagnostik dan tindakan lanjut yang ketat.
a. Pasien-Pasien Simptomatik
Apabila seorang pasien ditemukan gejala-gejala berupa poliuria (sering berkemih) bersama-sama dengan polidipsia (rasa haus yang berlebihan) dan penurunan berat badan serta kadar glukosa plasma yang lebih dari 200 mg/dl maka pasien itu sudah dapat dianggap menderita diabetes tanpa perlu dilakukakan pemeriksaan lain.
(38)
b. Pasien-Pasien Asimptomatik
Pemeriksaan diagnostik hendaknya dilakukan apabila hasil pemeriksaan penapisan rutin abnormal atau bila terdapat kecurigaan yang kuat bahwa pasien menderita diabetes mellitus.
i. Kadar glukosa plasma puasa
Penderita dikatakan diabetes mellitus bila kadar glukosa plasma puasanya lebih dari 140 mg/dl, yang dapat ditunjukkan pada sedikitnya dua kali pemeriksaan.
ii. Uji toleransi glukosa oral
Pasien diberi glukosa 75 g pada pagi hari setelah puasa semalaman. Hasil uji yang normal menunjukkan:
a. Kadar glukosa plasma kurang dari 115 mg/dl
b. Kadar glukosa plasma 2 jam
sesudah minum glukosa tidak lebih dari 140 gg/dl dan tidak ada kadar glukosa yang melebihi 200 mg/dl. Nilai di antara normal dan diabetes mellitus menunjukkan toleransi glukosa yang terganggu (Woodley dan Whelan, 1995).
2.6.4 Diabetes Mellitus pada Hewan
Keadaan diabetes dapat diinduksi pada hewan dengan cara pankreatektomi, uji toleransi glukosa dan secara kimia menggunakan diabetagon seperti streptozotocin dan aloksan (Marzoeki, 1993). Kadar gula darah normal pada tikus adalah 50-135 mg/dl (Carvalho, 2003).
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 2.2). Waktu paro pada suhu 37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah. Sebagai
(39)
diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya (Agung, 2006).
Aloksan secara cepat dapat mencapai pankreas, aksinya diawali oleh
pengambilan yang cepat oleh sel β Langerhans. Pembentukan oksigen reaktif
merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan oksigen
reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel β Langerhans. Aloksan
mempunyai aktivitas tinggi terhadap senyawa seluler yang mengandung gugus SH, glutation tereduksi (GSH), sistein dan senyawa sulfhidril terikat protein
(misalnya SH-containing enzyme). Hasil dari proses reduksi aloksan adalah asam
dialurat, yang kemudian mengalami reoksidasi menjadi aloksan, menentukan siklus redoks untuk membangkitkan radikal superoksida. Reaksi antara aloksan dengan asam dialurat merupakan proses yang diperantarai oleh radikal aloksan
intermediet (HA˙). Radikal superoksida dapat membebaskan ion ferri dari
ferinitin, dan mereduksi menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga dapat direduksi oleh radikal aloksan. Radikal superoksida mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida, berjalan spontan dan kemungkinan dikatalisis oleh superoksida dismutase. Salah satu target dari oksigen reaktif adalah DNA pulau
Langerhans pankreas. Kerusakan DNA tersebut menstimulasi poly
ADP-ribosylation, proses yang terlibat pada DNA repair. Adanya ion ferro dan hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif melalui reaksi fenton.
(40)
Gambar 2.2 Struktur kimia aloksan (Agung, 2006)
Faktor lain selain pembentukan oksigen reaktif adalah gangguan pada homeostatis kalsium intraseluler. Aloksan dapat meningkatkan konsentrasi ion
kalsium bebas sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Efek tersebut diikuti oleh
beberapa kejadian : influks kalsium dari cairan ekstraseluler, mobilisasi kalsium dari simpanannya secara berlebihan, dan eliminasinya yang terbatas dari sitoplasma. Influks kalsium akibat aloksan tersebut mengkaibatkan depolarisasi
sel β Langerhans, lebih lanjut membuka kanal kalsium tergantung voltase dan
semakin menambah masuknya ion kalsium ke sel. Pada kondisi tersebut, konsentrasi insulin meningkat sangat cepat, dan secara signifikan mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin perifer dalam waktu singkat. Selain kedua faktor tersebut di atas, aloksan juga diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses metabolisme energi (Agung, 2006).
Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-gluko
piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat digunakan untuk
menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji. Struktur kimia streptozotosin ditunjukkan pada Gambar 2.3. Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 untuk intravena adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis
(41)
intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg BB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan
sensitivitas sel β terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak dipengaruhi
secara signifikan oleh pemberian streptozotosin pada neonatal tersebut sehingga tidak membawa dampak pada perubahan glukagon dan somatostatin. Patofisiologis tersebut identik pada DM tipe II (Agung, 2006).
STZ menembus sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2.
Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas. Alkilasi DNA
oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel β
pankreas. STZ merupakan donor NO yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui peningkatan aktivitas guanil siklase dan pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai
peran tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida
karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas selanjutnya mengakibatkan
(42)
Gambar 2.3 Struktur kimia streptozotosin (Agung, 2006)
2.6.5 Efek Akut Diabetes Mellitus
Ketika kadar glukosa darah meninggi ke tingkat ketika jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorbsi, glukosa akan terdapat dalam urin (glukosuria). Glukosa dalam urin menimbulkan efek
osmotik yang menarik H2O bersamanya, menimbulkan diuresis osmotik yang
ditandai oleh poliuria (sering berkemih). Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya akan menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah turun secara signifikan. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki, dapat menyebabkan kematian karena aliran darah ke otak turun atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka terhadap penciutan, sehingga timbul gangguan fungsi sistem saraf. Gejala khas lain pada diabetes mellitus adalah polidipsia (rasa haus berlebihan), yang sebenarnya merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi (Sheerwood, 1996). Oleh karena terjadi defisiensi glukosa intrasel,
nafsu makan (appetite) meningkat, sehingga timbul polifagia (pemasukan
makanan berlebihan). Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein. Sintesis trigliserida menurun saat lipolisis meningkat, sehingga terjadi mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak dalam darah digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif. Peningkatan penggunaan lemak oleh hati menyebabkan
(43)
pengeluaran berlebihan badan keton mencakup beberapa asam seperti asam asetoasetat yang berasal dari penguraian tidak sempurna lemak oleh hati, ketosis ini menyebabkan asidosis metabolik progresif. Asidosis menekan fungsi otak dan, apabila cukup parah, dapat menyebabkan koma diabetes dan kematian (Sheerwood, 1996).
Tindakan kompensasi untuk asidosis metabolik adalah peningkatan
ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam. Ekshalasi salah
satu badan keton, yaitu aseton menyebabkan nafas berbau buah. kadang-kadang karena bau ini seorang pasien kolaps akibat koma diabetes secara salah disangka orang yang lewat sebagai peminum anggur yang pingsan karena kebanyakan minum. Orang dengan diabetes tipe 1 jauh lebih rentan mengalami ketosis daripada pengidap diabetes tipe 2 (Sheerwood, 1996).
Efek tidak adanya insulin pada metabolisme protein, menyebabkan pergeseran ke arah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka lisut dan melemah dan pada diabetes anak, penurunan pertumbuhan keseluruhan. Penurunan asupan asam amino disertai peningkatan penguraian protein meyebabkan peningkatan asam amino dalam darah. Peningkatan asam amino dalam sirkulasi darah dapat digunakan untuk glukoneogenesis, yang semakin memperparah hiperglikemia (Sheerwood, 1996).
2.6.6 Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi-komplikasi diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua kategori:
a. Komplikasi Metabolik Akut, misal Seperti ketoasidosis diabetik dan hipoglikemia.
(44)
b. Komplikasi-komplikasi Vaskular Jangka Panjang, melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh-pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), otot-otot dan kulit. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologik berupa arteriosklerosis (Price dan Wilson, 1995).
2.6.7 Obat Antidiabetes Oral
a. Sulfonilurea: tolbutamida, klorpropamida, tolazamida (Tolinase), glibenklamida, glikazida, glipizida, dan glikidon. Empat obat terakhir dinamakan obat-obat generasi kedua, yang daya kerjanya atas dasar 10-100 kali lebih kuat daripada obat pertama yang termasuk obat-obat generasi ke-1. Sulfonilurea menstimulasi sel ß dari pulau Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu kepekaan sel-sel ß bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transpor glukosa. Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak begitu
berat, yang sel-sel β-nya masih bekerja cukup baik. Ada indikasi bahwa
obat-obat ini juga memperbaiki organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati.
b. Biguanida : metformin. Berbeda dengan sulfonilurea, obat-obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan (efek anorexia) hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight. Penderita ini biasanya mengalami resistensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif.
(45)
c. Glukosidase-inhibitors: akarbose dan mignitol. Obat-obat ini termasuk
kelompok obat-obat baru, yang berdasarkan persaingan inhibisi enzim ά
-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian di/polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorbsinya dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar gula darah dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat gizi.
d. Thiazolidindion : troglitazon adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996 dipasarkan di AS dan Inggris. Kegiatan farmakologisnya luas dan berupa penurunan kadar glukosa dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Begitu juga menurunkan kadar trigliserida/asam lemak bebas dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea.
e. Miglitinida : repaglinida (novonorm)
Kelompok obat terbaru ini (ditemukan pada tahun 1999) bekerja menurut suatu mekanisme khusus, yakni mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera setelah makan. Miglitinida harus diminum tepat sebelum makan dan karena reabsorbsinya cepat, maka mencapai kadar puncak dalam 1 jam. Insulin yang dilepaskan kadar glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat sekali, dalam waktu 1 jam sudah dikeluarkan dari tubuh (Tjay dan Rahardja, 2002).
(46)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
VCO yang diperoleh dimaksudkan untuk mengetahui efek hipoglikemik dan mengamati langsung praparat histologi pankreas tikus diabetes yang diinduksi STZ.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental di laboratorium dengan kondisi lingkungan yang homogen pada percobaan, meliputi tikus putih galur wistar, kelamin jantan, kondisi kandang dan makanan. desain rancangan digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Data dianalisis dengan Anava (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji beda
rata-rata Duncan menggunakan program Statistical and Product Service Solution
(SPSS). Model rancangan acak lengkap (RAL) dan matriks percobaan ditunjukkan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Matriks rancangan percobaan
Pengulangan Perlakuan
1 2 3 4 5 6 Total
K K1 K2 K3 K4 K5 K6 6
V1 V11 V12 V13 V14 V15 V16 6
V2 V21 V22 V23 V24 V25 V26 6
V3 V31 V32 V33 V34 V35 V36 6
G G1 G2 G3 G4 G5 G6 6
Keterangan :K= Kontrol Negatif (CMC 0,5%); V1 = VCO dosis 2 ml/kg bb; V2 =VCO dosis 4 ml/kg bb;V3=VCO dosis 8 ml/kg bb;G=Glibenklamid
(47)
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu penyediaan sampel, penyediaan sedian uji, pengujian efek hipoglikemik dan uji preparat histologi pankreas.
3.1 Alat - alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, neraca listrik (Chyo JP2-600), neraca hewan (Presica Geniweigher, GW–1500), aluminium foil, mortir dan stamfer, kandang tikus, oral sonde, spuit 1 ml (Terumo), spuit 3 ml (Terumo), glukometer (Accutrend-Roche), kertas saring, alat bedah. Mikrotum, mikroskop, dan kamera digital.
3.2 Bahan - bahan 3.2.1 Bahan Uji
Buah kelapa (Cocos nucifera).
3.2.2 Bahan Kimia
Etanol 96% (E-Merck), aqua pro injeksi, asam sitrat (E-Merck), natrium sitrat (E-Merck), Streptozotocin, Glibenklamid, glucocard test Accutrend II.
3.2.3 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan adalah tikus putih jantan dengan berat badan 150 – 200 gram sebanyak 30 ekor. Sebelum percobaan dimulai terlebih dahulu tikus dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan lingkungannya (Ditjen POM, 1979).
(48)
Sampel yang digunakan adalah daging kelapa tua segar. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan sampel buah kelapa yang lain. Sampel diambil dari Teluk Kijing, propinsi Jambi.
3.4 Pembuatan VCO
Kulit kelapa tua segar dikupas, kemudian dibelah dua dan di cuci sampai bersih. Selanjutnya diparut, parutan yang diperoleh segera (tidak lebih dari 20 menit) dicampurkan dengan air bersih dengan perbandingan 3 (tiga) biji kelapa : 1 (satu) liter air bersih, lalu diperas dengan kain kasa. Hasilnya disebut santan, di tempatkan dalam wadah transparan kemudian di mikser dengan waktu ± 10 menit untuk 1 (satu) liter santan. Hasil mikser didiamkan selama 8 jam.
Hasil pendiaman santan yang dimikser akan terbentuk 3 (tiga) lapisan, yaitu lapisan atas: blondo, Lapisan tengah: VCO, dan lapisan bawah: air. Lapisan VCO diambil dan disaring 2 (dua) kali dengan kertas saring, sehingga diperoleh VCO murni dan disimpan dalam wadah tertutup.
3.5Penyiapan Penginduksi, Bahan Uji dan Obat Pembanding untuk Pengujian Farmakologi
3.5.1 Pembuatan Larutan Asam Sitrat 0,1 M
Ditimbang 2,1 g asam sitrat dilarutkan dalam akuades hingga 100 ml
3.5.2 Pembautan Larutan Natrium Sitrat 0,1 M
Ditimbang 2,9 g natrium sitrat dilarutkan dalam akuades 100 ml.
3.5.3 Pembuatan Larutan Dapar Sitrat pH 4,5
Diambil 26,75 ml larutan asam sitrat dan 34,25 ml larutan natrium sitrat, lalu dicukupkan dengan akuades hingga 100 ml.
(49)
Ditimbang 335,7 mg serbuk streptozotocin, dilarutkan seperlunya dalam larutan dapar sitrat pH 4,5.
3.5.5 Pembuatan Suspensi CMC 0,5%
Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 25 ml akuades panas. Didiamkan 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, setelah dikembangkan, digerus lalu diencerkan dengan sedikit air. Kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer yang telah dikalibrasi 100 ml. Volumenya dicukupkan dengan akuades hingga 100 ml.
3.5.6 Pembuatan Suspensi Glibenklamid 0,02% dalam Larutan CMC 0,5%
Sebanyak 20 mg glibenklamid digerus, dan ditambahkan larutan CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus terus lalu diencerkan dengan sedikit air. Kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang telah dikalibrasi 100 ml, dicukupkan dengan akuades hingga 100 ml.
3.6 Prosedur Kerja Untuk Pengujian Farmakologi
Tikus dipuasakan (tidak makan tapi tetap minum) selama lebih kurang 18 jam. Kemudian berat badan ditimbang dan diukur kadar gula darah puasa. Diberikan secara intravena (iv) Larutan streptozotocin 40 mg/kg bb. Lalu diukur kadar gula darah tikus pada hari ke-3 dan ke-7. Pada hari ke-7, hewan yang memiliki kadar gula darah (KGD) lebih tinggi dari 250 mg/dl dipisahkan dan dijadikan sebagai hewan uji. Hewan yang KGD lebih rendah dari 250 mg/dl diinduksi kembali.
Kemudian masing – masing tikus diberi:
Kelompok 1 : Tanpa pemberian glibenklamid dan bahan uji
Kelompok 2 : Sediaan VCO dosis 2 ml/kg bb (per oral).
(50)
Kelompok 4 : Sediaan VCO dosis 8 ml/kg bb (per oral).
Kelompok 5 : Larutan glibenklamid dosis 1 mg/kg bb (per oral).
lalu diukur kadar gula darah tikus pada hari ke-3 dan ke-6. Pada hari ke-6, hewan uji dilakukan pembedahan dan bagian organ pankreas dilakukan uji preparat histologi di Fakultas Kedokteran USU. Diamati luas pankreas pada masing-masing perlakuan
.
3.7 Pembedahan Hewan Uji
Hewan uji dimatikan dengan cara dislokasi leher. Hewan yang telah mati dipasung di atas papan fiksasi dengan perut mengarah ke atas. Pemotongan dilakukan pada bagian kulit perut secara menyilang sampai terlihat bagian organ bagian dalam perut tikus. Selanjutnya diambil organ pankreas tikus, lalu disimpan dalam wadah khusus yang berisi larutan fisiologis.
3.8 Pembuatan Preparat Pankreas pada Tikus Putih
Setelah pankreas dikeluarkan dari tubuh tikus putih maka dilakukan pembuatan preparat pankreas dengan langkah sebagai berikut:
a. sampel pankreas yang telah diambil lalu di fiksasi dengan larutan formalin
10% selama 3-4 jam
b. setelah itu dilakukan dehidrasi dengan aseton sebanyak 3 kali,
masing-masing selama 2 jam
c. dilakukan cleaning (pembersihan) dengan menggunakan toluen sebanyak
3 kali, masing-masing selama 1-2 jam
d. dilakukan proses embedding yaitu perendaman sampel di paraffin cair
(51)
e. lalu dilakukan proses pencetakan blok paraffin
f. tahap cutting (pemotongan) blok paraffin yaitu:
i. menggunakan alat mikrotom sehingga menghasilkan lembaran yang
ketebalannya 2 µm
ii. lembaran tersebut diletakkan di penangas air yang suhunya 30 0C
iii. lembaran yang telah direndam dalam penangas dilengketkan pada
objek glas
iv. lalu sampel tersebut dipanaskan di oven selama 2-3 menit
g. pewarnaan (staining)
Sebelum pewarnaan, sampel yang telah dipanaskan di oven lalu direndam dalam xylol sebanyak 3 kali masing-masing selama 5-10 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian/pembilasan dengan menggunakan, alkohol 90% selama 5-10 menit, lalu alkohol 80% selama 5-10 menit, lalu alkohol 70% selama 5-10 menit. Setelah itu dilakukan proses pewarnaan dengan menggunakan larutan haemotoxylin selama 2-3 menit dilanjutkan dengan larutan Eosin selama 2-3 menit. Kemudian sampel tersebut dicuci/dibilas menggunakan alkohol 70% selama 5-10 menit, lalu alkohol 80% selama 5-10 menit, dan kemudian alkohol 90% selama 5-10 menit.
h. sampel dikeringkan pada suhu kamar selama 3-5 menit
i. lalu ditutup dengan objek glass.
j. lalu diamati di bawah mikroskop
(52)
Alat glukotes ini terdiri dari beberapa perangkat. Perangkat alat glukotest ini ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan cara penggunaan ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Keterangan : 1. Glukotes
2. Strip
3. Kalibrasi
4. Alat Penusuk
Gambar 3.1 :Alat Glukotes
4 3
2
1
Gambar 3.1 : Alat Glukotes
3.9.1 Prosedur Penggunaan
a. Dimasukkan strip kalibrasi ke dalam
tempat masuknya strip. Pada layar akan tampak nomor seri strip.
b. Dibuka bungkus strip sampai garis
tanda.
c. Dimasukkan strip kedalam alat.
(53)
d. Pada layar akan muncul nomor seri dan kadar gula darah pada pengukuran terakhir secara bergantian.
e. Darah disentuhkan ke ujung strip sampai
penuh.
f. Kadar gula darah akan tampak pada
layar setelah 30 detik.
(54)
(Anonim, 2001).
3.9.2 Prinsip Pengukuran
Sampel darah akan masuk kedalam tes strip melalui aksi kapiler. Glukosa yang ada pada darah akan bereaksi dengan glukosa oksidase dan kalium ferisianida yang ada dalam strip dan dihasilkan kalium ferosianida. Kalium ferosianida yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi glukosa yang ada pada
sampel darah. Oksidasi kalium ferosianida akan menghasilkan muatan listrik yang akan diubah oleh alat glukotes untuk ditampilkan sebagai konsentrasi glukosa pada layar.
Glukosa oksidase
β–D–glukosa + kalium ferisianida asam glukonat + kalium ferosianida
oksidasi
Kalium ferosianida kalium ferisianida + e-
(Anonim, 2001).
3.10 Analisis Data
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap, menggunakan perhitungan statistik ANAVA dengan uji rata – rata lanjutan Duncan dengan taraf kepercayaan 95%.
3.11 Definisi Operasional
a. Bahan uji adalah suspensi Glibenklamid 1 mg/kg berat badan; VCO dosis 2;
4 dan 8 ml/kg berat badan yang diberikan kepada tikus diabetes secara peroral sesuai dengan kelompok perlakuan masing-masing.
(55)
b. Pengukuran kadar gula darah (KGD) adalah ± 4 jam setelah pemberian bahan uji pada hari yang telah ditentukan.
c. H1 adalah menunjukkan hari pada saat pemberian bahan uji pertama kali
pada tikus diabetes.
d. H3 adalah menunjukkan hari ke-3 pada saat pemberian bahan uji pada tikus
diabetes.
e. H6 adalah menunjukkan hari ke-6 pada saat pemberian bahan uji pada tikus
diabetes
f. Pengukuran berat badan tikus setelah H6 sebelum dilakukan pembedahan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dosis VCO ditentukan berdasarkan pada penggunaannya secara empiris di masyarakat yaitu 45 ml (3 x 1 sendok makan) per hari, selanjutnya dikonversikan ke dosis tikus yaitu 0,81 ml/200 gram berat badan setara dengan 4 ml/kg berat badan (Laurence & Bacharach, 1864). Variasi dosis yang dibuat adalah 2; 4 dan 8 ml/kg bb. Pengamatan perubahan kadar gula darah (KGD) selama 6 hari dengan pemberian VCO setiap hari sesuai dosis masing-masing.
Hasil penelitian kenaikan KGD pada tikus diabetes yang diamati selama 6 hari ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.1.
Tabel 4.1 Perubahan KGD tikus diabetes yang diinduksi STZ (Rerata ± SEM)
Pengamatan Nama perlakuan
Normal H1 H3 H6
Kontrol negatif 162.9 ± 24.7 405 ± 122 567 ± 61 547 ± 63
VCO 2 ml/kgbb 174.0 ± 22.0 382 ± 69 543 ± 64 433 ± 30
VCO 4 ml/kgbb 192.2 ± 18.8 431 ± 137 434,5 ± 131 288 ± 77
(56)
Glibenklamid 1 mg/kgbb 164.6 ± 20.4 387 ± 103 352 ± 104 187 ± 101
Keterangan :setiap kelompok perlakuan menggunakan 6 ekor tikus
40
Gambar 4.1:Diagram yang menunjukkan keadaan KGD selama 6 hari dengan pemberian VCO, glibenklamid dan kontrol negatif (CMC 0,5%) P<0,05
Diagram di atas menunjukkan KGD tikus diabetes yang diinduksi STZ dengan setiap kelompok yang terdiri dari 6 ekor. Berdasarkan grafik di atas nampak bahwa pada hari pertama (H1) masing-masing kelompok pemberian VCO dosis 2; 4; dan 8 ml/kg bb; glibenklamid 1 mg/kg bb dan kontrol memiliki KGD
(57)
di atas 250 mg/dl, ini menunjukkan bahwa hewan yang digunakan telah memenuhi persyaratan sebagai hewan uji. KGD tikus diabetes nampak tidak berbeda, hal ini didukung dari analisis statistik Anava bahwa pada hari pertama terjadi peningkatan KGD semua kelompok perlakuan tidak berbeda nyata. Respon KGD terhadap dosis STZ 40 mg/kg bb yang diberikan, nampak adanya respon yang seragam pada hewan percobaan.
Pada hari ketiga (H3) nampak bahwa kelompok kontrol negatif tikus diabetes tanpa pemberian VCO dan glibenklamid dan kelompok tikus diabetes dengan pemberian VCO dosis 2 ml/kg bb menunjukkan peningkatan KGD, ini
mengisyaratkan bahwa pada hari ketiga masih terjadi kerusakan sel β sehingga
KGD terus mengalami peningkatan, sedangkan pemberian VCO dosis 2 ml/kg bb terjadi penurunan dibanding kontrol negatif (Gambar 4.1 dan Tabel 4.2) namun tidak menunjukkan perbesaran yang signifikan. Artinya ketersediaan hayati VCO yang terabsorpsi dalam darah belum dapat memberikan efek penurunan KGD yang signifikan.
Kelompok tikus diabetes dengan pemberian VCO dosis 4; 8 ml/kg bb dan glibenklamid 1 mg/kg bb mengalami penurunan KGD yang berbeda nyata (Gambar 4.1 dan Tabel 4.2). Ketersediaan hayati VCO pada dosis 4 dan 8 ml/kg bb yang terabsorpsi telah dapat menurunkan KGD pada tikus diabetes (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Uji beda rata-rata lanjutan Duncan pada hari ke-3
α = 0,05
Perlakuan N
1 2
Glibenklamid 1 mg/kg bb 6 352,33
VCO 8 ml/kg bb 6 401,67
VCO 4 ml/kg bb 6 434,50
VCO 2 ml/kg bb 6 543,17
(58)
Sig. 0,151 0,658 Keterangan :rata-rata kelompok yang sama ditunjukkan dalam satu kolom
Berdasarkan Tabel 4.2 nampak bahwa kelompok kontrol dan VCO dosis 2 ml/kg bb terdapat dalam satu kolom, ini menunjukkan telah terjadi peningkatan KGD pada kelompok kontrol dan VCO dosis 2 ml/kg bb meskipun tidak berbeda nyata secara statistik.
Pada kelompok tikus diabetes yang diberi glibenklamid, VCO dosis 4 dan 8 ml/kg bb ditampilkan dalam satu kolom, menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata KGD antar perlakuan satu sama lain. Hal ini VCO mungkin dapat dijadikan alasan penurunan KGD kedua dosis tersebut secara statistik tidak berbeda signifikan.
Pada H6 nampak semua kelompok perlakuan mengalami penurunan KGD dan lebih rendah dibanding H3 (Gambar 4.1), hal tersebut sejalan dengan pemberian VCO sampai hari keenam, disini kemungkinkan terjadi penetralanan
oksigen reaksif yang diinduksi STZ yang berperan merusak sel β pankreas
(Agung, 2006), sehinga pada hari keenam perbaikan semakin meningkat yang ditandai dengan penurunan KGD. Hasil analisis anava menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan. Untuk melihat perbedaan antar kelompok ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Uji beda rata-rata lanjutan Duncan pada hari ke-6
α = 0,05
Perlakuan N
1 2 3 4
Glibenklamid 1 mg/kg bb 6 187,33
VCO 8 ml/kg bb 6 249,83 249,83
VCO 4 ml/kg bb 6 287,83
VCO 2 ml/kg bb 6 432,83
Kontrol negatif 6 547,33
Sig. 0,177 0,406 1,00 1,00
(59)
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas nampak bahwa kelompok kontrol negatif menunjukkan nilai KGD yang paling besar (547,33 mg/dl) dan menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok perlakuan yang lain (Glibenklamid; VCO 2, VCO 4,5 dan VCO 8 mg/dl). Kelompok VCO 8 ml/kg bb memiliki besar KGD yang tidak berbeda nyata dengan glibenklamid 1 mg/kg bb, hal ini menunjukkan efek hipoglikemik VCO 8 ml/kg bb memiliki kemampuan yang sama dengan
glibenklamid. Pada hari keenam, telah terjadi perbaikan sel β pankreas akibat
induksi STZ, medium chain fatty acids (MCFs) yang terkandung dalam VCO
diduga berperan penting dalam perbaikan sel β dan asam laurat dapat merangsang
pelepasan insulin (Garfinkel et al., 2009).
Pulau Langerhans yang terdapat dalam kelenjar pankreas merupakan kumpulan sel ovoid yang tersebar diseluruh pankreas. Di dalam pulau tersebut terdapat beberapa jenis sel berdasarkan sifat pewarnaan dan morfologinya. Ada 4 jenis sel yaitu: sel α, β, δ, dan sel λ. Jumlah sel β terbanyak terdapat di dalam kelenjar pankreas hampir 60-75% merupakan sumber insulin. Insulin bekerja jika kadar glukosa tinggi dan sifatnya akan menurunkan kadar glukosa sampai normal(Winarno dkk., 2003).
STZ sebagai antibiotik berspektrum luas yang bersifat onkolitik, onkogenik
dan diabetogenik menyebabkan kerusakan sel β pankreas dan ini terjadi setelah
hari ketiga (Aldo et al., 1977).
sa
Pl
MCFA adalah asam laurat yang terkandung dalam VCO (Rozaline, 2005)dapat menstimulasi pelepasan insulin dan antioksidan serta meningkatkan aktivitas antiokidan dalam tubuh (Garfinkel, 2009; Anonim 2009 dan Ahkam, 2006). VCO berhasil menghambat dan menetralisir STZ karena merupakan donor NO (nitric oxide) yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut
Pl
Pl Pl
sa Pl sa
Pl Pl Pl
(60)
melalui peningkatan aktivitas guanin siklase dan pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang berperan mengakibatkan kerusakan
sel β pankreas (Agung, 2006).
sa Pl
Pl
Mengacu pada nilai KGD nampaknya ada penurunan dengan meningkatnya dosis VCO. MCFA yang terkandung dalam VCO tidak dirubah menjadi lipoprotein tapi langsung dipecah menjadi molekul kecil, diserap tubuh masuk ke dalam hati untuk di rubah menjadi energi sehingga kebutuhan energi tercukupi dalam waktu singkat dan tidak akan menyebabkan penimbunan lemak tubuh, peningkatan kadar kolesterol, dan trigliserida dalam darah. Di samping itu MCFA dapat menetralisir senyawa radikal bebas dan meningkatkan aktivitas antioksidan dalam tubuh (Anonim, 2009 dan Ahkam, 2006), oleh sebab itu terjadinya penurunan KGD dan meningkatnya luas pulau langerhans kemungkinan dapat dihubungkan dengan kemampuan VCO sebagai sumber energi tanpa penimbunan lemak dan sekaligus bertindak sebagai penetralisir radikal bebas akibat STZ.
sa
VCO merupakan salah satu hasil olahan buah kelapa (Cocos nucifera) tua
segar. VCO mengandung MCFA yang merupakan komponen asam lemak berantai sedang yang mampu merangsang produksi insulin, meningkatkan kemampuan sel ß pankreas serta memperbaiki sekresi insulin dan penggunaan glukosa. VCO dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pemberian per oral pada tikus putih jantan diabetes yang diinduksi aloksan, namun efeknya lebih rendah dibanding glibenklamid (Shinta, 2009).
Pemberian Glibenklamid 1 mg/kg bb terhadap anatomi pulau langerhans , tampak lebih luas dibanding dosis VCO dosis 8 ml/kg bb namun secara visual
(61)
bentuk pulau langerhans dengan pemberian glibenklamid tidak beraturan (tidak oval) dibanding dengan pemberian VCO dimana pankreas normal memiliki pulau langerhans yang berbentuk oval (Winarno, 2003). Netralisir radikal bebas yang disebabkan STZ oleh VCO di kelenjar pankreas dapat dijadikan penjelasan, sedangkan glibenklamid tidak menunjukkan ada efek penetralan terhadap radikal bebas.
Pl sa
Pada Tabel 4.4 ditunjukkan perubahan berat badan tikus diabetes dengan pemberian VCO dan glibenklamid.
Tabel 4.4 Perubahan berat badan sebelum dan setelah pemberian STZ (rerata ± SEM)
Pengamatan Nama perlakuan
Normal H1 H3 H6
Kontrol negatif 163 ± 21 159 ± 20 149 ± 19 141 ± 18
VCO 2 ml/kgbb 174 ± 21 171 ± 21 167 ± 20 160 ± 24
VCO 4 ml/kgbb 192 ± 26 188 ± 24 184 ± 23 177 ± 23
VCO 8 ml/kgbb 176 ± 26 174 ± 25 170 ±25 165 ± 26
Glibenklamid 1 mg/kgbb 164 ± 20 160 ± 20 157 ± 19 153 ± 28
Keterangan :setiap kelompok perlakuan menggunakan 6 ekor tikus
Pada Tabel 4.4 di atas nampak bahwa hari pertama sampai hari keenam terus terjadi penurunan berat badan semua kelompok perlakuan. NO yang berasal
dari STZ yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel β tersebut melalui
peningkatan aktivitas guanil siklase dan pembentukan cGMP. Selain itu, STZ juga
mampu membangkitkan oksigen reaktif yang berperan dalam kerusakan sel β
pankreas. Kerusakan ini menyebabkan diabetes melitus yang ditandai dengan kenaikan KGD dengan ciri khas penderita yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Peningkatan volume urin terjadi disebabkan oleh diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotik tersebut akan mengakibatkan kondisi
(62)
dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan lapar merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh menggunakan nutrisi (Agung, 2006). Pada hari keenam berat badan hewan percobaan belum menampakkan peningkatan.
Pengamatan terhadap tikus diabetes pada hari ke enam ditunjukkan pada Ganbar 4.2. Tikus sehat (normal) yang tidak diberi STZ memiliki berat badan rata-rata 174,02 g.
KGD pada masing-masing perlakuan tampak bahwa kelompok perlakuan kontrol negatif memiliki nilai yang paling tinggi. Untuk kelompok VCO penurunan nilai KGD, semakin besar dosis yang diberikan. Dosis VCO 8 ml/kg bb memiliki nilai KGD tidak berbeda nyata dengan kelompok glibenklamid.
Pengamatan terhadap berat badan tikus cendrung menurun, namun penurunan yang terjadi cendrung fluktuatif diantara masing-masing kelompok perlakuan. Hubungan antara berat badan dan kadar gula darah ditunjukkan (Gambar 4.2).
(63)
(64)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan selama penelitian dan pembahasan diperoleh hasil bahwa pemberian VCO dan glibenklamid menghasilkan perbedaan yang signifikan terhadap penurunan kadar gula darah jika dibandingkan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan yang diberikan VCO dosis 2,4 dan 8 ml/kg bb menunjukkan peningkatan berat badan yang signifikan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan, disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan
penganalisaan jumlah sel β, hormon insulin dan radikal bebas pada kelenjar
pankreas diabetes, untuk memperkuat data ilmiah hingga dapat dijadikan obat fitofarmaka.
(65)
DAFTAR PUSTAKA
Akbarzadeh A., Norouzian D., Mehrabi M.R., Jamshidi Sh., Farhangi A., Allah Verdi A., Mofidian1 S.M.A. and B. Lame Rad. (2007). Induction Of Diabetes By Streptozotocin In Rats. Indian Journal Of Clinical Biochemistry. 22 (2).
Agung Endro Nugroho. (2006). Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi
Dan Mekanisme Aksi Diabetogenik, Biodiversitas. 7 (4). Yogyakarta:
Laboratorium Farmakologi Dan Toksikologi, Bagian Farmakologi Dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.
Ahkam Subroto M. (2006). VCO Dosis Tepat Taklukkan Penyakit. Jakarta : Penebar Swadaya,hal: 41
Alamsyah, A. N. (2005). Virgin Coconut Oil Minyak Penakluk Aneka Penyakit.
Agromedia Pustaka: Jakarta, hal: 41-45
Aldo A. Rossini, Arthur A. Liket, William L. Chick, Michael C. Appelt, And George F. Cahill, Jr. (1977). Studies Of Streptozotocin-Induced Insulitis
And Diabetes. 74 (6). USA : Proc. Nati. Acad. Sci, hal :2485-2489.
Anonim. (2001). AccutrendTM Test Strip II. Roche. Jerman. Japan.
Anonim. (2009). Definisi Virgin Coconut Oil. http://vco.baliwae.com.
American Diabetes Association. (2008). All About Diabetes. www.diabetes.com.
Calvalho. (2003). Experimental Model of Induction of Diabetes Mellitus in Rats.
Brazil, hal :2
D Adamo J. Peter and Whitney Catherine. (2007). Diabetes: Penemuan Baru
Memerangi Diabetes Melalui Diet Golongan Darah. Yogyakarta: B-First, hal: 24 -25
DitJen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisis ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, hal : 6
Djauhariya, E. dan Hernani. (2004). Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta , Penebar
Swadaya, hal. 2 – 3
Garfinkel M., Lee S., Opara E C., Akwari O E. (2009). Insulinotropic potency of lauric acid: a metabolic rationale for medium chain fatty acids (MCF) in
TPN formulation. J-Surg-Res. 1992 Apr; 52(4): 328-33.
http://www.apnet.com/www/journal/jr.htm
Gomez, K.A. dan Gomez A.A. (1995). Prosedur Statistik untuk Penelitian
(66)
Kuncoro J., dan Maloedyn. (2005). Gempur Penyakit Dengan VCO. Jakarta: Agromedia Pustaka, hal : 14 – 22
Marzoeki, D. (1993). Ilmu Bedah Luka dan Perawatannya (Luka
Asepsis/Antisepsis, Desinfektan, dan Luka Bakar). Airlangga University Press, hal : 29
Winarno M. Wien dan Dian Sundari. (2003). Gambaran Histologi Kelenjar
Pankreas Akibat Pemberian Infus Daging Buah Pare (Momordica
charantia L.) pada Tikus Putih. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Rimbawan dan Siagian, A. (2004). Indeks Glikemik Pangan. Penebar Swadaya.
Jakarta, hal : 53
Suhardiman, P. (1999). Bertanam kelapa Hibrida. Cetakan Kesepuluh. Penebar
Swadaya: Jakarta, hal :16
Sheerwood, L. (1996). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta, hal : 667, 671 – 672
Shinta Febriana Yustisiari. (2009). Pengaruh Pemberian Virgin Coconut Oil
(VCO) Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada Tikus Putih Jantan. http://digilib.uns.ac.id/abstrakpdf_2882_pengaruh-pemberian-virgin- coconut-oil-(vco)-terhadap-kadar-glukosa-darah-pada-tikus-putih-jantan.pdf
Sutarmi, dan Rozaline, H. (2005). Taklukkan Penyakit Dengan VCO. Penebar
Swadaya: Jakarta, hal :6 - 9
Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, hal :1117-1119
Tjay, T. H. dan Rahardja K. (2002). Obat – Obat Penting. Edisi Kelima. Penerbit
Elex Media Komputindo. Jakarta, hal :702 – 703
Warisno. (1998). Budi Daya Kelapa Kopyor. Cetakan kesatu. Kanisus:
Yogyakarta, hal :29-33
Woodley, M. dan Whelan, A. (1995). Pedoman Pengobatan. Edisi I. Yayasan
(67)
Lampiran 1
(68)
Lampiran 2.
Data pengukuran berat badan dan KGD pada tikus diabetes dengan perlakuan yang berbeda
Pengamatan
NORMAL H1 H3 H6
Nama perlakuan No BB BB KGD BB KGD BB KGD BB KGD
Kontrol negatif 1 157.8 157.8 108 150.7 600 140.5 600 154.8 600
2 156.6 156.6 165 154.6 367 144.1 550 144.1 526
3 204.7 204.7 115 200.3 427 186.7 600 168.0 600
4 155.2 155.2 100 153.2 306 142.8 600 128.5 580
5 152.1 152.1 98 150.1 263 139.9 450 125.9 435
6 151.1 151.1 118 147.1 468 137.1 600 123.4 543
Purata 163 163 117 159 405 149 567 141 547
VCO 2 ml/kgbb 1 187.8 187.8 110 185.4 463 181.5 600 178.3 401
2 183.4 183.4 95 181.0 430 177.2 600 185.4 434
3 204.1 204.1 105 198.4 368 194.2 508 180.4 482
4 152.2 152.2 150 150.2 300 147.1 484 136.6 425
5 159 159 88 153.9 427 150.7 600 139.9 450
6 157.5 157.5 120 152.4 306 149.2 467 138.6 405
Purata 174 174 111 170 382 167 543 160 433
VCO 4 ml/kgbb 1 218.2 218.2 121 210.3 263 205.9 381 197.7 168
2 197.1 197.1 127 194.5 306 190.4 315 188.3 300
3 207.4 207.4 113 201.7 548 197.5 600 188.9 403
4 209.1 209.1 147 204.3 600 200.0 600 191.4 320
5 153.1 153.1 90 151.1 368 147.9 319 141.5 280
6 168.3 168.3 126 166.1 500 162.6 392 155.6 256
(69)
Lampiran 2 (Lanjutan)
2 154.6 154.6 99 152.6 600 149.4 456 135.5 214
3 200.2 200.2 149 197.6 367 193.4 380 189.4 147
4 157.4 157.4 116 155.4 363 152.1 284 148.9 256
5 163.4 163.4 121 161.3 383 157.9 394 154.6 180
6 165.6 165.6 132 163.4 340 160.0 500 156.7 418
Purata 176 176 117 174 414 170 402 165 250
Gliben 1 mg/kgbb 1 157.8 157.8 109 155.7 505 152.5 460 125.5 365
2 151.8 151.8 114 148.8 305 145.7 251 143.9 120
3 161.5 161.5 119 153.4 260 150.2 239 148.4 111
4 155.5 155.5 99 153.5 508 150.3 401 148.5 253
5 151 151 110 149.0 400 145.9 469 144.2 125
6 210.2 210.2 158 200.4 345 196.2 294 206.6 150
(1)
Lampiran 6
Berat tikus putih sehat sebagai kontrol normal
Berat badan (g) No.
H0 H1 H3 H6
1 163.9 163.5 163.1 163.3 2 174.7 174.3 173.7 173.5 3 192.6 192.1 191.4 191.8 4 177.0 176.6 176.5 176.2 5 165.5 165.1 164.1 164.7 6 175.1 174.7 174.3 174.6 purata 174.79 174.38 173.85 174.02
(2)
Lampiran 7
(3)
Lampiran 8
Perhitungan luas pulau langerhans pankreas tikus menggunakan persamaan matematika : ½ π jari-jari minor x i-jari
a. Luas pulau langerhans pankreas tikus normal jar mayor.
Jari-jari mayor = ½ x diameter mayor = ½ x 100 µm
= 50 µm
Jari-jari minor = ½ x diameter minor = ½ x 45 µm
= 22,5 µm
Luas pulau langerhans adalah = ½ π jari-jari mi
½ π x 50 x 22,5 = 1768 µm Luas pulau langerhans pankreas tikus
Glibenklamid dan VCO
nor x jari-jari mayor 2
kontrol negatif (CMC 0,5% tanpa b.
100 µm
45 µm
9 µm 14 µm
(4)
Jari-jari mayor = ½ x diameter mayor = ½ x 14 µm
= 7 µm
= ½ x diameter minor = ½ x 9 µm
= 4,5 µm
Luas pulau langerhans adalah = ½ π jari-jari minor x jari-jari mayor ½ π x 7 x 4,5 = 49,9 µm2
c. Luas pulau langerhans pankreas tikus pemberian VCO dosis 2 ml/kg bb
inor x jari-jari mayor
erian VCO dosis 4 ml/kg bb Jari-jari minor
22 µm 17 µm
Jari-jari mayor = ½ x diameter mayor = ½ x 22 µm
= 11 µm
Jari-jari minor = ½ x diameter minor = ½ x 17 µm
= 8,5 µm
Luas pulau langerhans adalah = ½ π jari-jari m ½ π x 11 x 8,5 = 147 µm2
Luas pulau langerhans pankreas tikus pemb d.
(5)
Jari-jari mayor = ½ x diameter mayor
Jari-jari minor = ½ x diameter minor = ½ x 20 µm
= 10 µm
Luas pulau langerhans adalah = ½ π jari-jari minor x jari-jari mayor ½ π x 13 x 10 = 204 µm2
e. Luas pulau langerhans pankreas tikus pemberian VCO dosis 8 ml/kg bb
inor x jari-jari mayor
Luas pulau id dosis 1 mg/kg bb
= ½ x 26 µm = 13 µm
Jari-jari mayor = ½ x diameter mayor = ½ x 41 µm
41 µm 25 µm
= 20,5 µm
iameter minor = ½ x 25 µm
= 12,5 µm
uas pulau langerhans adalah = ½ π jari-jari m ½ π x 20,5 x 12,5 = 403 µm2
f.
l gerhans pankreas tiku erian Glibenklam Jari-jari minor = ½ x d
L
(6)
Jari-jari mayor er mayor m
= 38 µm
= ½ x 17 µm
Luas pulau langerhans adalah = ½ π jari-jari minor x jari-jari mayor ½ π x 38 x 8,5 = 507 µm2 .
= ½ x diamet = ½ x 76 µ
Jari-jari minor = ½ x diameter minor = 8,5 µm