1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perkembangan bisnis dan perdagangan telah berkembang semakin pesat. Semakin pesatnya persaingan memaksa setiap perusahaan
untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya
going concern
. Untuk dapat mempertahankan persaingan, perusahaan harus mampu menarik minat
konsumen dengan strategi yang dimilikinya, sehingga konsumen tidak berpindah haluan. Konsumen selalu menginginkan produk yang memiliki
kualitas unggul, namun dengan harga yang masih terjangkau. Hal ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi pihak manajemen perusahaan untuk dapat
menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh konsumen. Penetapan harga jual yang terjangkau oleh konsumen tentunya
berkaitan dengan perencanaan biaya produksi. Biaya produksi yang tinggi akan berakibat meningkatnya harga pokok produk. Meningkatnya harga pokok
produk pada akhirnya akan diikuti dengan meningkatnya harga jual. Harga jual yang lebih tinggi dari harga jual pesa ing tentunya akan sangat tidak
menguntungkan bagi perusahaan. Di lain sisi, jika harga pokok produk ditetapkan terlalu rendah, perusahaan tidak akan mendapatkan laba yang
optimal. Penghitungan biaya produksi dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem akuntansi biaya. Sistem akuntansi biaya dapat digunakan untuk
mengalokasikan biaya-biaya yang timbul selama proses produksi. Semua biaya yang ada tadi nantinya akan dibebankan ke produk yang telah
dihasilkan. Dalam lingkungan pemanufakturan yang sudah maju dan penuh
persaingan seperti sekarang ini, diperlukan suatu sistem akuntans i biaya yang dapat dengan tepat mengalokasikan biaya-biaya produksi. Hingga saat ini
masih terdapat perusahaan
manufaktur berteknologi canggih yang
memproduksi berbagai macam jenis produk dengan volume dan tingkat kerumitan yang berbeda antar jenis produk, namun masih mempertahankan
sistem akuntansi biaya tradisional dalam menghitung biaya produksinya. Dengan kondisi tersebut, sistem akuntansi biaya tradisional tidak lagi dapat
diandalkan dalam menunjang keputusan penentuan harga jual. Bertolak dari sejarahnya, sistem akuntansi biaya tradisional diterapkan
oleh banyak perusahaan karena pada saat itu kegiatan produksi sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia, sehingga besarnya biaya
overhead
pabrik tidak begitu signifikan. Namun, seiring berkembangnya teknologi, kegiatan produksi mulai banyak menggunakan teknologi mesin dalam
menjalankan proses produksinya. Hal ini mengakibatkan semakin besarnya konsumsi biaya
overhead
dalam suatu proses produksi, seperti biaya penyetelan mesin, depresiasi mesin, biaya pemindahan bahan baku dan
sebagainya. Sistem akuntansi biaya tradisional hanya mampu membebankan secara tepat biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, sementara
biaya
overhead
dibebankan ke setiap produk secara proporsional. Hal ini
tentunya dapat menimbulkan distorsi biaya, mengingat bahwa tidak semua produk mengonsumsi biaya
overhead
yang sama. Sebuah perusahaan yang telah menerapkan teknologi produksi yang
canggih sebenarnya masih cocok menerapkan sistem akuntansi b iaya tradisional dalam menghitung biaya produksinya dengan syarat bahwa
perusahaan tersebut hanya memproduksi satu jenis produk atau memproduksi beberapa macam jenis produk, namun dengan volume dan tingkat kerumitan
yang tidak jauh berbeda antar jenis prod uk. Yang menjadi permasalahan adalah apabila perusahaan tersebut memproduksi lebih dari satu jenis produk
dengan volume dan tingkat kerumitan yang sangat berbeda antar setiap jenis produk. Produk yang volume produksinya sedikit namun harus melalui proses
yang sangat rumit dan memerlukan banyak aktivitas selayaknya dibebani biaya
overhead
yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang volume produksinya banyak namun tingkat kerumitannya sangat rendah dan tidak
memerlukan banyak aktivitas. Sistem akuntansi biaya tradisional tidak mampu untuk mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, akibatnya pembebanan biaya
overhead
untuk setiap jenis produk menjadi tidak tepat. Pembebanan biaya
overhead
yang tidak tepat ini akan dapat mengakibatkan pembebanan yang terlalu rendah
undercosting
atau justru terlalu tinggi
overcosting
. Pembebanan biaya
overhead
yang terlalu rendah akan mengakibatkan harga pokok produk ditetapkan terlalu rendah, sehingga harga jual akan menjadi
terlalu murah, demikian juga sebaliknya. Untuk mengatasi hal tersebut,
diperlukan suatu bentuk sistem pembebanan biaya yang dapat mengalokasikan biaya
overhead
secara lebih akurat.
Activity Based Costing System
ABCS merupakan sistem akuntansi biaya yang dapat menjawab permasalahan di atas. ABCS membebankan biaya
overhead
tidak secara proporsional ke setiap produk. Dalam ABCS diasumsikan bahwa biaya
overhead
muncul akibat dari aktivitas yang timbul selama proses produksi. Dengan demikian, ABCS dapat menyajikan
penghitungan yang lebih akurat bagi pihak manajemen dalam menentukan harga pokok produk.
PT. Budi Makmur Jayamurni merupakan perusahaan pengolah kulit yang terletak di wilayah Kotegede, Yogyakarta. Perusahaan ini menghasilkan dua
jenis produk yaitu Goat Finnished Leather Kulit Kambing Tersamak dan Sheep Finnished Leather Kulit Domba Tersamak. Dalam menjalankan
proses produksinya, perusahaan telah menggunakan tekno logi mesin pabrik yang canggih dan proporsi komponen biaya
overhead
perusahaan dalam total biaya produksi adalah sebesar 18,67. Selama ini perusahaan menggunakan
tarif per departemen dalam membebankan biaya
overhead
tersebut. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan pembebanan biaya
overhead
yang kurang tepat, mengingat perusahaan memproduksi lebih dari satu jenis produk yang
memiliki kompleksitas yang berbeda, di mana produk Kulit Kambing Tersamak memiliki tingkat kerumitan yang lebih besar dibandingkan produk
Kulit Domba Tersamak. Dengan tingkat kerumitan yang berbeda tersebut, tentunya masing- masing jenis produk tersebut mengonsumsi aktivitas
overhead
yang tidak sama. Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapan
Activity Based Costing System
di perusahaan tersebut.
B. Rumusan Masalah