2.2.2 Tipe Perusahaan Perusahaan High-Profile dan Low-Profile
Para peneliti akuntansi sosial tertarik untuk menguji pengungkapan sosial pada berbagai perusahaan yang memiliki perbedaan karakteristik. Salah satu perbedaan
karakteristik yang menjadi perhatian adalah tipe perusahaan, yaitu perusahaan yang high-profile dan perusahaan yang low-profile. Utomo 2000 dalam
Anggraini 2011 mendefinisikan perusahaan high profile sebagai perusahaan yang memiliki consumer visibility, resiko politik yang tinggi, atau kompensasi
yang tinggi. Sementara itu, Preston 1977 dalam Hackston Milne 1996 mengatakan
bahwa perusahaan yang memiliki aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri ekstraktif, lebih mungkin mengungkapkan informasi
mengenai dampak lingkungan dibandingkan industri yang lain. Pada penelitian ini industri yang dikategorikan sebagai high profile adalah
industri di bidang migas, pertambangan, kertas, agrobisnis, dan telekomunikasi. Alasan pemilihan industri tersebut adalah perusahaan-perusahaan tersebut
merupakan regulated company Anggraini, 2011. Adapun regulasi yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut antara lain Undang-Undang Minyak dan
Gas Bumi No. 22 Tahun 2001, Undang-Undang Pertambangan Umum No. 11 Tahun 1967, Undang-Undang No.23 Tahun 1997 mengenai Kinerja Pengelolaan
Lingkungan Perusahaan, Undang-Undang Telekomunikasi No.36 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi salah satunya
mengikutsertakan peran masyarakat. Serta Peraturan yang berhubungan dengan Hak Pengelolaan Hutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H2: Tipe perusahaan berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan CSR. 2.2.3 Ukuran perusahaan
Corporate Size
Beberapa penelitian empiris telah banyak menyediakan bukti mengenai hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan Belkaoui,
1989; Hackston dan Milne, 1996. Perusahaan besar merupakan emiten yang banyak disoroti, pengungkapan yang lebih besar merupakan pengurangan biaya
politis sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut Cowen et al. 1987 dalam Sembiring 2005, secara teoritis perusahaan
besar tidak akan lepas dari tekanan, dan perusahaan yang lebih besar dengan aktivitas operasi dan pengaruh yang lebih besar terhadap masyarakat mungkin
akan memiliki pemegang saham yang memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan sehingga pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan akan
semakin luas. Dari sisi tenaga kerja, dengan semakin banyaknya jumlah tenaga kerja dalam suatu perusahaan, maka tekanan pada pihak manajemen untuk
memperhatikan kepentingan tenaga kerja akan semakin besar. Hal ini berarti program tanggung jawab sosial perusahaan juga semakin banyak
dan akan diungkapkan dalam laporan tahunan. Oleh karena itu perusahaan yang lebih besar lebih dituntut untuk memperlihatkanmengungkapkan tanggung jawab
sosialnya.