EKSISTENSI PERANGKAT HUKUM DAN PERATURAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA.

Teguh Sulistia menambahkan ”semua ini untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat,memperluas peluang usaha di dalam negeri domestik dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas free trade. Pada waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing de- ngan”sehat”di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi ekonomi sebagai ta ta ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga bertujuan untuk menjamin usaha mi- kro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang sama dengan usaha menengah dan usaha be- sar atau konglomerasi dalam perkembangan ekonomi bangsa. Pengaturan ini melindungi konsu men dengan harga yang bersaing dan produk alnernatif dengan mutu tinggi mengingat pengatu ran tersebut mencakup pada bidang manufaktur, produksi, tranportasi, penawaran, penyimpa- ngan barang dan pemberian jasa- jasa”. Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif atau res- triktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain yang dihadapi. Tindakan diskriminatif dan restriktif ini dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusaha negara berkembang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatkan serbuan produk barangjasa dari negara-negara maju. Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli monopoly dan persaingan usaha tidak sehat unfair competition yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang cukup ketat. Sebaliknya dengan sistem ekonomi kapitaslis dalam masyarakat liberal biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberikan kebebasan seluasnya kepada produsen dan konsumen untuk menentukan harga.

B. EKSISTENSI PERANGKAT HUKUM DAN PERATURAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA.

Pesatnya dinamika bidang ekonomi nasional, tidak dapat dipungkiri telah pula memacu per kembangan bidang hukum yang merupakan perangkat hukum dan peraturan perundang- undangan dari kegiatan ekonomi. Berbagai perangkat hukum di bidang ekonomi sebelum ini yang berbasis kepada KUH Perdata, KUH Dagang dan KUH Pidana yang tidak lain merupakan peninggalan pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang berkiblat kepada mazhab Eropah Konti nental tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan dari dinamika kegiatan ekonomi yang ada. Oleh karenanya kecenderungan penyusunan berbagai produk peraturan perundang-unda- dangan yang khusus lex specialist di bidang ekonomi tidak lagi dapat terbendung. Kekhasan yang sangat menonjol dari produk perundang-undangan yang khusus ini adalah kondisi karakteristik substansialnya dimana telah terlingkupi seluruh aspek dari bidang-bidang hukum yang selama ini dikenal hukum perdata dan hukum publik di dalam sistem hukum na- sional. Sehingga sebagian pakar hukum Indonesia menyatakan bahwa pembidangan hukum yang selama ini dianut hukum perdata dan hukum publik dalam sistem hukum nasional sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada akhirnya, masih sebagaian pakar hukum tadi, kini pembidangan hukum seharusnya didasarkan pembidangan dari kegiatan yang terkait, misalnya untuk kegiatan di bidang ekonomi maka hukumnya adaah hukum ekonomi. Akbar Saiful sebagaimana mengutip pendapat dari Agus Brosusilo berpendapat bahwa pembidangan hukum dalam bidang hukum publik dan hukum perdata seperti sekarang ini tidak dapat dipertahankan lagi, karena dalam kenyataanya kini hampir tidak ada lagi bidang kehidu- pan yang terlepas dari campur tangan negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah. Dengan demikian untuk keperluan pengkajian ilmiah, bidang hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Hukum Tata Negara, 2. Hukum Administrasi Negara, 3. Hukum Perorangan Pribadi, 4. Hukum Harta Kekayaan : a Hukum Benda : i. Hukum Benda Tetap, ii Hukum Benda Lepas, b. Hukum Perikatan : i. Hukum Perjanjian, ii. Hukum Penyelewengan Perdata, iii. Hukum Perikatan lainnya, c Hukum Hal Immaterial, 5. Hukum Keluarga, 6. Hukum Waris, 7. Hukum Pidana Saiful Akbar, 2011 : 4-7. Lebih lanjut Saiful Akbar menjelaskan ; ”masing-masing bidang hukum terdiri dari hukum ajektif formil dan hukum substantif material. Pembedaan tersebut di atas bukan merupakan pengkotak-kotakan, karena seringkali suatu sikap tindak melibatkan lebih dari satu bidang hu- kum. Hal ini terjadi karena semakin banyak aspek-aspek kehidupan bersama yang diatur oleh hukum. Perkembangan tersebut menimbulkan berbagai spesialisasi baru di bidang hukum, mi- salnya saja, dikenal adanya hukum lingkungan, hukum kependudukan, hukum kedokteran, hu- kum kesehatan dan sebagainya. Ciri-ciri bentuk hukum baru ini tampak sangat nyata di bidang ekonomi, yaitu seringkali bidang hukum baru ini tidak secara ketat mengikuti pembidangan. Su atu bidang spesialisasi hukum kadang-kadang mencakup beberapa bidang tatahukum sekaligus Saiful Akbar menambahkan ba hwa : “memang hukum ekonomi memiliki dimensi baik hu- kum publik dan hukum perdata privat. Oleh karena hukum persaingan usaha merupakan bagi- an dari hukum ekonomi, maka dapat dikatakan pula bahwa hukum persaingan usaha juga memi liki dimensi bidang hukum tata negara menyangkut lembaga dan instansi resmi, pusat dan dae rah seperti eksistensi Departemen dan Dinas Perindustrian dan perdagangan dan eksistensi KP PU; hukum administrasi negara menyangkut pelaksanaan peranan kelembagaan tersebut; bi- dang hukum perdata seperti eksistensi perjanjian dan kontrak di dalam kasus-kasus persaingan usaha; dan ada bidang pidananya menyangkut san ksi pidana dalam UULPM PUTS”. Dengan demikian dapatdisimpulkan bahwa dalam kerangka sistem hukum nasional, hukum persangan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi tidak hanya berdimensi hukum perdata sa ja tapi jauh lebih luas lagi yaitu melingkupi juga hukum publik yaitu hukum negara dan hukum pidana. Praktek monopoli ataupun praktek-praktek persaingan curang unfair competition da- lam berusaha praktek dagang atau praktek bisnis di Indonesia tidak dilarang. Larangan-lara- ngan terhadap praktek monopoli ataupun praktek persaingan tidak jujur dalam berusaha terse- but sebenarnya sudah ada meskipun masih tercecer dalam berbagai peraturan hukum perdata privat dan hukum publik tatanegara dan pidana. Beberapa perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan tentang praktek monopoli dan persaingan usaha yang sehat di Indonesia yang tercecer di luar UULPM PUTS, baik yang umum seperti KUH Perdata, KUH Pidana maupun sektoral seperti UU Tentang Persero an Terbatas dll yang memiliki substansi yang secara signifikan menyinggung issue persaingan usaha. Terdapat aturan perundang-undangan yang sifatnya mendukung kebijakan pro persai- saingan maupun yang menghambat atau potensial menghambat persaingan. Menurut Syamsul Maarif dan B. C. Rikrik Rizkiyana mengatakan : “Kebanyakan prak- tek usaha yang menghambat persaingan usaha atau praktek usaha tidak sehat selama ini, sebagi an besar mendapat legitimasi dari peraturan di bawah undang-undang seperti peraturan peme- rintah, peraturan pengganti undang-undang, keputusan presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, instruksi menteri dst. Semakin umum substansi pengaturan dari sebuah undang- undang yang merupakan produk hukum hasil kesepakatan lembaga eksekutif dan legiaslatif, semakin besar potensi penyimpangan akan terjadi di tingkat peraturan pelaksanaannya yang merupakan produk hukum dar i lembaga eksekutif” Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, 2004 : 13-20. Lebih lanjut Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana menjelaskan bahwa : “rata-rata produk hukum setingkat undang-undang selama ini secara normatif sangat baik dan tidak ba- nyak yang mendistorsi secara langsung dunia persaingan usaha Indonesia, karena memang dis- tors i itu terjadi pada produk hukum yang menjadi peraturan pelaksanaannya.” Beberapa perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tersebut antara lain : Pertama, Pasal 382 bis KUH Pidana WvS yang menyebutkan bahwa persaingan tidak ju- jur merupakan perbuatan pidana. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Ba- rangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau peru- sahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu,diancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling la ma satu tahun empat bulan atau pidana dendapaling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bi la perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi kongkuren- kongkuren orang lain itu” Kedua, disamping instrumen hukum pidana persaingan curang itu juga dapat digugat seba- gai perbuatan melawan hukum melalui ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata BWdengan berbunyi “bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut karena salahnya untuk mengganti kerugian itu” Ketiga, dari substansi Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan - ke tentuan Pokok Pertambangan Umummenyatakan bahwa “usaha pertambangan dapat dilaksana kan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri; perusahaan negara; perusahaan dae- rah; perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah; koperasi; badan atau perseo- rangan swasta yang memenuhi suarat-syarat; perusahaan dengan modal bersama antara negara, danatau daerah dengan koperasi danatau badanperseorangan swasta yang memenuhi syarat; dan pertambangan rakyat; yang nota bene seluruh pelaku usaha, maka dapat dikatakan bahwa secara umum, undang-undang ini pro-kompetisi. Adapun beberapa persyaratan dan kualifikasi bidang pertambangan sejauh ini dapat ditolelir. Keempat, pada hakekatnya bidang pertambangan adalah bidang yang terbuka akan kompe tisi para pelaku usaha, namun dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Peru sahaan Pertambangan Minyak dan gas bumi migas bidang pertambangan ini minyak dan gas bumi migas menjadi tertutup.Selanjutnya menurut pasal 11 UU No8 Tahun 1971 menyatakan bahwa “kepada Pertamina Badan Usaha Milik Negara disediakan seluruh wilayah hukum per tambangan Indonesia s epanjang mengenai pertambangan migas”. Artinya bahwa Pertamina memiliki hak monopoli mutlak terhadap seluruh lahan termasuk pula usaha pertambangan mi gas”.Lebih lanjut UUini mengatur mengenai eksistensi ”Production Sharing Contract PSC se suai dengan Pasal 12 yang menyatakan diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina apakah akan membuatnya atau tidak.Dan kepada pihak mana Pertamina akan membuat PSC juga diserahkan keputusannya kepada Pertamina. Namun begitu PSC tersebut baru berlaku apabila telah mendapat perset ujuan dari Presiden”. Kelima, di dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perindus trian menyatakan bahwa “Pemerintah melakukan pengaturan industri, untuk me wujudkan perkembangan industri yang lebih baik secara sehat dan berhasil guna; mengembang kan persaingan yang baik dan sehat,mencegah persaingan tidak jujur; dan mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang me rugikan masyarakat” lebih lanjut UU ini dalam Pasal 12 menyatakan bahwa “untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Peme- rintah dapat memberikan kemudahan danatau perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah un tuk mendorong pengembangan cabang industri dan jenis industri adalah antara lain dalam bi- dang perpajakan,permodalan dan perbankan,bea masuk dan cukai, sertifikasi ekspor dan lain se bagainya”. Namun Pasal 12 ini menjadi “biang keladi” legitimasi bagi praktek-praktek persai- ngan usaha yang negatip di bidang industri dari pemerintah. Otoritas pemerintah untuk melaku- kan tindak perlindungan tersebut tidak memiliki batasan d an dapat diinterprestasikan “seenak” oleh pemerintah. Untuk beberapa kasus, tindakan perlindungan memang diperlukan, seperti untuk infant industry, namun selama ini dilakukan secara objektif dalam kriterianya, transparan dan tidak diskriminatif ser ta jelas batas waktunya” Keenam,pada hakekatnya Undang-Undang No.15 Tahun1985 TentangKetenagalistrikan se bagaimana diatur dalam Pasal 7 menganut prinsip pemberian monopoli usaha kelistrikan kepada Badan Usaha Milik Negara yaitu PT.PLN sebagi representasi negara melalui pemberian rian kuasa usaha ketenagalistrikan. Namun jikalau untuk daerah-daerah tertentu BUMN ini ti- dak bisabelum sanggup untuk menyediakan listrik, maka barulah diberi kesempatan kepada pi- hak koperasi atau swasta untuk menyediakan listrik melalui mekanisme pemberian izin Usaha Ketenaga listrikan oleh Pemerintah”. Ketujuh, substansi aturan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal yang menyinggung permasalahan persaingan usaha,khususnya persaingandalam kegiatan pasar modal.Dalam substansi beberapa aturan ditegaskan adanaya kebutuhan akan kegiatan pasar mo dal yang wajar fair dan menjunjung persaingan yang sehat seperti yang diatur dalam Pasal 4, Pasal 7 1, Pasal 10, Pasal 14 1 dan 2. Selain itu ada 8 Pasal Pasal 35-Pasal 42 yang me- ngatur pedoman perilaku di pasar modal seperti perusahaan efek dan penasehat investasi dila- rang untuk mengadakan tekanan kepada nasabah,mengungkapkan informasi mengenai nasabah , memberikan informasi salah kepada nasabah, berkolusi dengan pihak yang terafiliasi yang me rugikan pihak yang tidak terafiliasi dll. Pasal 84 menyatakan bahwa “emitten” atau perusahaan publik yang melakukan penggabungan,peleburan dan pengambilalihan,keterbukaan, kewajaran dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Sedangkan pada Bab XI undang-undang ini diatur tentang masalah penipuan, manipulasi pasar dan perdagangan orang dalam insider trading ” Kedelapan, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil pun dalam pengatu- rannya menyinggung masalah persaingan usaha antara lain dalam Bab VI tentang Iklim Usaha pada Pasal 6 dan Pasal 8.Pasal 8 menyatakan bahwa “Pemerintah menumbuhkan iklim usaha de ngan menetapkan peraturan perundang-undangan dana kebijaksanaan antara lain untuk mence- gah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli dan monopsoni yang merugikan Usaha Kecil dan mencegah terjadi nya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Keci l” Kesembilan, dalam beberapa aturan menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi ini diungkapkan adanya kebutuhan kegiatanperdagangan ber jangka yang wajar fair seperti yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 16 dan pasal 57.Sedangkan pe raturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Perdagangan Berjangka Komoditi juga dinyatakan adanya larangan “conflict of interest” dari pihak-pihak yang terafiliasi seperti pada Pasal 10” Kesepuluh, melihat Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 jo Undang- Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, ketentuan dalam peraturan ini dalam kaitan de- ngan issue persaingan usaha, menyatakan larangan akan adanya “conflict of interest” yang me- nyebabkan kegiatan perbankan menjadi tidak wajar unfair. Selanjutnya dalam Pasal 16 dinya takan bahwa ada kebutuhan akan persaingan yang sehat fair di dalam kegiatan perbankan. Se lain dari itu Pasal 28 diatur mengenai mekanisme merger, konsolidasi, dan akuisisi di dalam ke giatan usaha perbankan. Kesebelas, issue mengenai persaingan usaha dan perlindungan konsumen disatukan dalam satu produk peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena memang ke- dua issue itu sangatlah dekat yaitu terkait dengan perlindungan kepentingan ekonomi konsu men. Karena salah satu tujuan dari kebijakan persaingan usaha adalah untuk memberi keuntu- ngan kepada konsumen misalnya berupa harga dan pelayanan yang kompetitif. Biasanya peng- adopsian issue perlindungan konsumen di dalam produk hukum persaingan usaha ialah melalui seg men ”unfair business practices” atau dengan terjemahan bebasnya “praktek usaha tidak ju- jursehat”.Kalaupun di beberapanegara kebijakan persaingan usaha dan kebijakan perlindungan konsumen terpisah ke dalam dua produk perundang-undangan, namun banyak negara yang me- nganut pemisahan tersebut menyerahkan penanganan pengawasan dan pembinaan ke satu ba- dan yang sama seperti di Perancis, Rusia dan Amerika Serikat. Berkaitan dengan eksistensi UULPM PUTS, issue ”unfair business practices” ternyata pe nekanannya hanya pada hubungan antar pelaku usaha tidak melingkupi hubungan dengan kon- sumen. Namun begitu, kenyataannya adalah bahwa terkadang pelaku usahapun berperan seba- gai ”konsumen” pada saat memerankan diri sebagai ”pembeli” meskipun masuk ke dalam kate gori ”konsumen antara”. Sedangkan di dalam UU No.8 Tahun 1999 lingkup konsumen yang di atur adalah konsumen dalam kategori ”konsumen akhir”. Keduabelas, Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun1999 Tentang Jasa Konstruk- si menyatakan bahwa “ Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasar- kan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas”.Selanjutnya dalam Pasal 17ayat 3 dinyatakan bahwa “dalam keadaan ter tentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunju- jukan langsung” lebih lanjut UU ini dalam Pasal 20 menyatakan bahwa “pengguna jasa kons truksi dilarang memberikan pekerjaaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerja- jakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelalangan umum ataupun pelelangan terbatas ”. Ketigabelas, Pasal 10 dariUndang-Undang No.36 Tahun 1999Tentang Telekomunikasi me nya takan bahwa “dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang da pat mengakibatkan terjadinya prakrek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara pe- nyelenggara tele komunikasi”.Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 10dimaksud agar terjadi kom petisi yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan kegiatan nya”. Keempatbelas, Pada hakekatnya Undang-Undang No40 Tahun2007 TentangPerseroan Ter batas disinggung masalah persaingan usaha antara lain pada BabVIITentang Penggabungan , Peleburan dan Pengambilalihan, tepatnya pada Pasal 104 yang menyatakan bahwa perbuatan hukum penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan kepen- tingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan dan kepentingan masya- rakat dan persainga n sehat dalam melakukan usaha”Dan penggabungan, peleburan dan pengam bilalihan perseroan tidak boleh mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sa- hamnya dengan harga yan g wajar”.Ketentuan dalam UU ini kemudian dipertegas dan dielabora si di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.27 Tahun1998 Tentang Penggabungan, Peleburan ran dan Pengambilalihan Perseoan Te rbatas”. Selanjutnya Pasal 5 PP ini pun menyatakan bah- wa “Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan juga memperhatikan kepentingan kreditur” Kelimabelas, Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 Tentang Bank Umum. Dalam PP ini khusus yang berkaitan dengan tatacara dan syarat-syarat untuk mengadakan merger pengga bungan, konsolidasi peleburan dan akusisi pengambilalihan di sektor perbankan. Selanjut- nya dalam Pasal 15 PP ini dikatakan bahwa merger, konsolidasi dan akuisisi hanya dapat dila- kukan setelah terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri Keuangan yang sebelumnya telah mendengar pertimbangan dari Bank Indonesia BI Keenambelas, Pasal 36 Peraturan Pemerintah No73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengatur mengenai tidakan merger,dan konsolidasi di antara perusahaan- perusahan yang bergerak di bidang asuransi dan reasuransi.DalamPasal ini dilakukan pembata- san bahwa kegiatan rstrukturisasi usaha hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi kerugi an dengan perusahaan asuransi kerugian atau dengan perusahaan reasuransi, untuk membentuk perusahaan asuransi kerugian;perusahaan reasuransi dengan perusahaan reasuransi atau dengan perusahaan asuransi kerugian, untuk membentuk perusahaan reasuransi; atau perusahaan asu- ransi jiwa dengan perusahaan asuransi jiwa untuk membentuk perusahaan asuransi jiwa”. Ketujuhbelas, Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan memiliki substansi yang mengatur mengenai tindakan dumping dan subsidi dalam kerangka persaingan usaha trans-nasional.Dinyatakan dalam peraturan ini bahwa impor barang yang dilakukan dengan cara dumping atau mengandung subsidi dari negara peng- ekspor dapat dikenakan bea masuk antidumping dana bea masuk imbalan untuk impor bersub- sidi jika menyebabkan kerugian.Kerugian tersebut didefinisikan dalam Pasal 1 11 “dengan ke rugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis; atau ancaman terjadinya kerugi an industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis; atau terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri, meskipun aturan ini dinilai pro persaingan, namun te- tap dianggapmemiliki potensi anti persaingan seperti bila pengenaan bea tambahan tersebut jus tru ditujukan untuk p roteksi bagi kepentingan kelompok usaha di bidang industri tertentu”. Kedelapanbelas, Pasal4 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 mengatur tentang Peng- gabungan, Peleburan dan Pengambilaalihan Perseroan Terbatas yang pada intinya mengatur me ngenai syarat-syarat, tata cara untuk melakukan ketiga jenis kegiatan tersebut diatas. Selanjut- nya dalam Paal 5 PP ini p un menyatakan bahwa “Penggabungan, peleburan dan pengambilali- han juga memperhatikan kreditor” Kesembilanbelas, Pasal17Kepmenkeu No.222KMK.0171993 Tentang Persyaratan dan ta tacaraMerger,Konsolidasi dan A kuisisi Bankmenyatakan bahwa”akusisi bank yang wajib mem peroleh izin dari Menkeu ialah : 1 Akuisisi Bank Umum yang mengakibatkan penguasan kepe milikan saham Bank Umum lebih dari 50 dari seluruh saham Bank Umum yang diambilalih; 2 Akusisi Bank Perkreditan Rakyat yang melebihi 50 dari seluruh saham Bank Perkreditan Rakyat yang diambilalih . Izin Akuisis bank tersebut dari Menkeu tersebut diberikan setelah ter lebih dahulu mendengar pertimbangan dari BI”. Pemahaman terhadap eksistensi dan persepsi kepentingan dan kepastian hukum yang sama baik bagi penegak keadilan maupun masyarakat adalah penting dalam menentukan kebijaksana an ataupun keputusan yang menyangkut perdagangan, perekonomian, industri, sosial dan poli- tik. UULPMPUTS menjadi parameter penegakan hukum ekonomi tersendiri dalam dunia usa ha di Indonesia. UU ini mengamanatkan pembentukan suatu komisi yang berkompoten melaku kan pengawasan terhadapa pelaksanaan UU ini yaitu KPPU. Sebagaimana komisi independen lain yang dihadapkan dengan perbagai reaksi dan ekspektasi, kinerja KPPU patut dicermati ka- rena merupakan elemen penting dalam proses penegakan hukum. Seluruh peraturan yang ada diatas masih berlaku dan tidak dengan otomatis digantikan oleh UULPM PUTS, karena pada pada dasarnya UU ini mengatur tentang persaingan usaha dalam lam pasar dengan konteks yang lebih terperinci dan bahkan kompleks karena melibatkan teori ekonomi dan perhitungan yang rumit dan bukan hanya dibatasi pada persaingan curang saj, teta pi bahkan sampai masuk pada konteks pasar yang menjadi terdistorsi akibat tidak berjalannya suatu proses persaingan dengan baik. Ketidakpastian kebijakan ekonomi dan peraturan, ketidakstabilan ekonomi makro yang ma- sih menonjol,serta korupsi di Indonesia merupakan permasalahan pokok yang menimbulkan ke raguan pada banyak pihak baik pelaku usaha maupun masyarakat akan sistem hukum. Ada tiga alasan kenapa hal ini terjadi yaitu : 1 hakim masih kerap terlibat dan melakukan korupsi, 2 ha kim tidak memahami dengan baik isi peraturan perundang-undangan,dan3 pelaksanaan hukum yang tidak konsisten.

C. TATACARA PENANGANAN DAN PENERAPAN SANKSI BAGI PELANGGARAN LARANGAN