PENERAPAN PENDEKATAN ‘PER SE ILLEGAL DAN RULE OF REASON DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA.

sekurang-kurangnya 2 dua tahun dan selama-lamanya 5 lima tahun, setelah jangka waktu tersebut dilewati, barulah bisa menduduki lagi jabatan-jabatan tersebut., ii Tindakan penghenti an terhadap kegiatan-kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian ke pada pihak lain. Sanksi pidana dalam KUH Pidana ada diatur dalam Pasal 382 bis KHUPidana. Menurut Irna Irmalina dalamThesisnyaberjudul Tinjauan Terhadap Fungsi dan Kedu dukan KPPU Dalam Penegakan Peraturan Persaingan Usaha menjelaskan bahwa ”sejauh ini terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar penanganan perkara pelanggaran terhadap UU No.5 Tahun 1999 diantaranya adalah : 1. Keppres No. 75 Tahun 1999 Tentang Komisi pengawas Persaingan UsahaKPPU, Keputusan Pedoman, maupun Petunjuk Teknis mengenai KPPU, 2. Keputusan KPPU Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Adanya Pelanggaran terhadap UUAntimonopoli,3.HIR atau Rbg atau Hukum Acara Perdata yaitu untuk ketentuan hukum acara perdata jikapelaku usaha menyatakan kebera tan atas putusan komisi sesuai dengan Pasal 44 ayat 2 UU No.5 Tahun 1999 atau apabila terda- pat gugatan perdata yang didasarkan pada adanya perbuatan melanggar hukum, 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yaitu untuk ketentuan hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan ke pihak penyidik sesuai dengan Pasal 44 ayat 4 UU Antimonpoli Irna Irmalina, 2006 : 77-79 Lebih lanjut Irna Irmalina menguraikan bahwa ”di dalam UU. No. 5 Tahun 1999 diatur mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap persai- ngan usaha beserta dengan sanksinya. Sanksi bagi pelanggaran terhadap perbuatan yang berten tangan dengan ketentuan Undang-Undang tersebut dapat berupa sanksi administratif, sanksi pi dana pokok sebagaimana terdapat dalam pasal 48 serta dapat juga diberikan sanksi pidana tam bahan seperti diatur dalam pasal 49” Selanjutnya Irna Irmalina menambahkan bahwa ”apabila diteliti lebih jauh ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, ternyata KPPU sebagai lembaga yang paling bertang gungjawab melaksanakan Undang-Undang ini tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sanksi pidana menurut undang-undang ini merupakan yuridis peradilan. Komisi hanya mempunyai wewenang sanksi administ ratif saja”.

D. PENERAPAN PENDEKATAN ‘PER SE ILLEGAL DAN RULE OF REASON DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA.

Kegiatan penguasaan pasar sangat erat kaitannya dengan pemilikan posisi dominan dan ke kuatan pasar yang signifikan di pasar bersangkutan.Penguasaan pasar akan sulit dicapai apabila pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersama-sama, tidak memiliki kedudukan yang kuat di pasar bersangkutan. Penguasaan pasar juga akan sulit direalisasikan apabila pelaku usaha, ba ik secara sendiri maupun bersama-sama, tidak memiliki kekuatan pasar market power yang signifikan di pasar bersangkutan.Hal ini berarti di dalam struktur pasar persaingan sempurna pe laku usaha secara individual tidak mempunyai kemampuan menguasai pasar bersangkutan, se- dangkan di dalam struktur pasar monopoli, pelaku usaha punya kemampuan yang besar untuk menguasai pasar bersangkutan. Ditinjau dari kedudukan Hukum persaingan usaha dalam sistem Hukum Indonesia, bahwa ruang lingkup hukum persaingan usaha merupakan bagian dari pada Hukum Ekonomi. Bahkan dari sudut pandang materinya diperlukan kajian secara interdispliner dan transnasional, selain mempelajari ilmu pengetahuan hukum juga penting mempelajari ilmu pengetahuan ekonomi khususnya ekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum persaingan usaha. Dalam menjalankan tugas dan funginya, KPPU menegakkan payung hukum melalui penga- turan persaingan usaha yang sehat. Pengaturan persaingan usaha jelas sarat dengan pertimba- ngan ekonomis disamping aspek yuridis, sehingga untuk membangun citra keadilan dalam seti- ap putusan tentang persaingan usaha diperlukan outlook wawasan ekonomi terutama dari seti ap pengambil keputusan seperti pertimbangan dan putusan hakim, pengacara dan pihak-pihak terkait lainnya. Khusus menyangkut penegakan hukum, KPPU dapat bersifat aktif maupun pasif. Aktif arti nya KPPU dapat membuat laporan inisiatif sendiri berdasarkan kajian dan analisa yang dilaku- kan sendiri oleh KPPU ataupun berdasarkan laporan dari masyarakat. Kedua jenis laporan terse but memiliki kedudukan yang sama dalam penanganannya. Laporan dari masyarakat dapat bera sal masyarakat luas selaku konsumen ataupun dari para pelaku usaha sendiri yang merasa ada persaingan yang tidak sehat diantara mereka, bisa juga berdasarkan info dari media massa baik cetak maupun elektronika. Investigasi atau penyidikan yang dilakukan oleh KPPU awalnya ber sifat tertutup dalam rangka melindungi berbagai pihak yang terkait, baik si penyidik maupun si terlapor.Apabila ditemui pelanggaran maka KPPU dapat memberikan saksi, setelah mendengar paparan dari para penyidik dan pemeriksaan dari terlapor. Penegakan hukum antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan KPPU. Namun demikian,tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang berwenang menangani perka rasengketa praktek monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan Negeri PN dan Mahkamah Agung MA juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut.PN diberi wewe- nang untuk menangani keberatan yang diajukan pelaku usaha yang diduga atau telah terbukti bersalah dan telah dijatuhi hukuman dalam putusan oleh KPPU dan menangani pelanggaran hu kum persaingan yang menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah inkracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum per saingan apabila terjadi permohonan kasasi melalui permohonan memori kasasi terhadap keputusan PN tersebut. Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pengawas sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pe radilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, menga- dili dan memutuskan perkarasengketa. Dalam pengaturan persaingan usaha ditetapkan norma larangan memiliki dua sifat atau pen dekatan yang harus digunakan dalam melihat perjanjian atau kegiatan pelaku usaha, yaitu lara- ngan yang bersifat pers se illegal dan yang bersifat rule of reason. Berbagai hukum tentang hu kum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of reason dan per se illegal tersebut. Dalam hukum persaingan usaha tersebut rule of reason dan per se illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha competition law yang berlaku di Amerika Serikat USA.Dikemukakan dalam hukum persaingan usaha tersebut bahwa kedua prinsiptersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbu atan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act,Clayton Act, Federal Trade Commision Act-An ti trust Law. Mustafa Kamal Rokan dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha Teori dan Prakteknya di Indonesia mengatakan “dalam pengaturan hukum persaingan usaha ditetap- kan norma-norma larangan yang memiliki dua sifat atau pendekatan yang digunakan dalam me lihat perjanjian atau kegiatan pelaku usaha, yakni larangan yang bersifat Per Se Per Se Illegal dan pendekatan larangan yang bersifat Rule of Reason ” Mustafa Kamal Rokan 2010 : 59- 72. Lebih lanjut Mustafa Kamal Rokan menjelaskan “dasar pemikiran kedua pendekatan ini, haruskah seseorang dihukum karena melakukan perjanjian atau perbuatan yang “dianggap” membahayakan persaingan ? Di sisi lain, perlukah pembuktian dengan asumsi mahal, lama dan sulit dilakukan akan adanya pengurangan atau perusakan persaingan terhadap suatu perjanjian atau perbuatan yang hukum pasti telah merugikan atau merusak persaingan ? Dua pertanyaan inilah yang mendasari adanya pendekatan inidengan ketentuan dalam hukum persaingan usaha yang mempunyaidaya jangkau yangsangat luas sehingga memberikan kebebasan kepada hakim untuk menafsirkan apakah seseorang dinyatakan telah melanggar atau tidak melanggar hukum karena menghambat perdagangan. Selanjutnya Mustafa Kamal Rokan menambahkan “namun, kedua pendekatan ini bertuju- an akhir sama yakni bagaimana tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan sehingga inefisiensi dan merugikan konsumen dapat dihindarkan”. Dalam kepustakaan hukum , kata “per se” berasal dari bahasa Latin yang dalam bahasa Ing- gris disebut sebagai by itself; in self; taken alone; by means of it; through itself; inherently; in isolation; unconnected with other matters; simply as such; atau in its own nature without reference to its relation.Berkaitan dengan penerapannya dalamhukum makadikenal beberapa is tilah, yakni per se doctrine, per se illegal, per se rule, dan per se violation. Larangan-larangan yang bersifat Per Se adalah larangan yang bersifat jelas, tegas dan mut lak dalam rangka hukum kepastian bagi para pelaku usaha. Larangan ini bersifat jelas, tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per se ini melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan okum dan peraturan yang berlaku. Per se Illegal adalah pendekatan dimana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang kare na dampak dari perjanjian tersebut telah dianggap jelas dan pasti mengurangi atau menghilang- kan persaingan. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini pelaku usaha pelapor tidak perlu mem- buktikan adanya dampak suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha pesaingnya. Bukti yang diperlukan adalah bahwa perjanjian yang dimaksud telah benar adanya atau bahwa kegia- tan bisnis dimaksud telah benar-benar dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya. Pendekatan Per Se Illegal harus memenuhi dua syarat yakni pertama harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai dengan pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan hal-hal meling- kupinya. Hal ini adalah adil jika perbuatan illegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh pe rusahaan yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari perilaku baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan de ngan mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-ba tas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah. Sebab penerapan per se illegal yang berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan. Mengenai jenis perjanjian atau tindakan yang diketegorikan sebagai per se tidaklah selalu sama di setiap tempat atau hukum. Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam menimbang taka ran kepatutan dan keadilan serta kepastian dalam hukum. Selain itu, perbedaan penetapan ini ju ga melihat tingkat efisiensi dan manfaat bagi masyarakat. Pendekatan per se illegal ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara la in adalah pertama terjadinya kepastian hukum terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul. Ketika terjadi penetapan harga price fixing, boycott, horizontal market division dan tying arrangement dilakukan pelaku usaha, maka hakim dapat menggunakan pendekatan ini secara langsung. Kedua, jika suatu perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir pasti merusak dan merugikan persaingan, maka untuk apa lagi bersusah payah melakukan pem buktian, tidak hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga, pendekatan per se illegal lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha. Mengapa hukum persaingan mempunyai daya jangkau yang sangat luas yang memberi kebebasan bagi hakim un tuk menafsirkan secara ”bebas” apakah seorang dinyatakan telah melanggar atau menghambat persaingan.Karenanya, menggunakan pendekatan ini hakim lebih mudah sekaligus cepat memu tuskan perkara persaingan usaha. Namun disisi lain melakukan penerapan pendekatan per se illegal ini secara berlebihan da- pat menjangkau perbuatan yang mungkin tidak merugikan atau bahkan mendorong persaingan menjadi salah secara hukum. Sebab, terkadang pendekatan ini tidak selalu akurat menghasilkan pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar-benar tidak efisien dan merugikan konsu men.Ternyata hal ini menyebabkan penerapan hukum persaingan usaha menjadi kontra-produk tif. Dalam UULPM PUTS, pendekatan per se illegal ini biasanya digunakan pada pasal yang menyatakan dengan kalimat ”dilarang” tanpa kalimat tambahan”..... yang dapat mengaki- batkan .....” atau dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang disyaratkan dalam pendekatan Rule of Reason. Apabila para pelaku usaha melakukan perjanjian dan atau kegiatan yang dilarang secara per se illegal,maka negara yang dalam hal ini diwakili oleh lembagaKPPUcukup membuktikan bah wa telah terjadi pelanggaran sesuai dengan jenis perjanjian atau perbuatannya. Pelaku usaha di anggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat akibat atau efek yang ditimbul- kan dari perbuatan tersebut. Menurut Johnny Ibrahim dalam bukunya berjudul Hukum Persaingan Usaha. Filosofi, Teori dan ImplikasiPenerapannya di Indonesia mengatakan bahwa ”Larangan yang bersifat per se illegal adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha.Dengan pemaha man norma-norma larangan yang diatur jelas dan tegas tersebut, para pelaku usaha memasuki koridor hukum yang transparan sehingga dapat memberikan arahan bagi mereka guna merenca nakan dan melakukan usahanya tanpa khawatir adanya tuntutan hukum dari instansi terkait dan berhubungan dengan pelangaran terhadap norma-norma larangan tersebut Johnny Ibrahim, 2007 : 222-228. Lebih lanjut Johnny Ibrahim menjelaskan ”dalam praktek pengaturan ini berguna agar pe laku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang di- larang dan harus dijauhkan dalam praktek usahanya guna menghindari munculnya potensi resi- ko bisnis yang besar di kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma lara- ngan tersebut ”. Selanjutnya Johnny Ibrahim lebih jauh menambahkan ”Perbuatan-perbuatan sebagai mani festasi perilaku para pelaku usaha yang secara tegas dilarang Per Se Illegal antara lain mene- tapkan berbagai bentuk perjanjian yang dilarang Bab III dan kegiatan yang dilarang Bab IV, tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat 1, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 24, Pa- sal 25 danPasal 26 UULPMPUTS.Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengendalikan di rinya dan telah melanggar ketentuan hukum yang mengaturnya Per Se Illegal, maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang ber sangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat efek yang di timbulkannya.Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman pidana pokok lebih rendah daripada pelangaran terhadap larangan yang bersifat rule of reason vide Pasal 48. Hal ini dapat dipahami karena proses pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat rule of reason. Doktrin rule of reason berasal dari tradisi common law case law yaitu lahir dalam kasus MitchelVs Reynolds.Kasus ini memberikan gambaran bagaimana suatu perjanjian yang bersifat anti persaingan dinyatakan tetap berlaku oleh hakim yang menangani perkara. Perjanjian terse- but dianggap layak dan patut meskipun berifat anti kompetitif karena menjauhkan masyarakat dari manfaat adanya persaingan. Dasar pertimbangan hakim adalah bahwa manfaat jangka pan jang untuk memberikan insentif bagi pengembangan perusahaan sejenis di kemudian hari akan melebihi kerugian yang bersifat terbatas dan sementara terhadap persaingan. Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang oleh seorang pela- ku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya hu- kum yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri pembeda terhadap lara- ngan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya per syaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi ter- jadinya praktek monopoli dan atau praktek persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang da- pat ditemukan dalam Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11-13, Pasal 17-18, Pasal 19-20, Pasal 26 dan Pa- sal 28 UULPM PUTS. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti ini dapat ditemukan dalam Paal 4 angka 2, Pa sal 13 angka 2, Pasal 17 angka 2 dan PasaL 18 angka 2. Perbuatan-perbuatan yang dimaksud jika terbukti merupakan perbuatan yang menghalangi persaingan antikompetitif selain menghadapi sanksi hukum perdata vide Pasal 47 juga dian- cam sanksi pidana, baik pidana pokok vide Pasal 48 ayat 1 maupun pidana tambahan vide Pasal 49 . Pendekatan secara rule of reason adalah kebalikan dari pendekatan yang bersifat per se illegal. Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan usaha harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasusnya.Karenanya, perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti terlebih dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan usaha secara tidak patut. Untuk itu disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjuk- kan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang telah mengham bat persaingan usahaatau menyebabkan kerugian. Dengan kata lain, teori pendekatan rule of reason ini mengharuskan pembuktian, mengeva- luasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apa- kah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan. Dalam melaku- kan pembuktian harus melihat seberapa jauh tindakan yang merupakan antipersaingan tersebut berakibat kepada pengekangan persaingan usaha di pasar. Dalam teori pendekatan rule of rea- son ini sebuah tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan demikian, pendekatan rule of reason ini memungkinkanpengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang termasuk segala bentuk aturan dan peraturan yang berlaku dan terkait dan juga interpretasi pasar. Dengan asas rule of reason ini dapat diketahui akibat yang tercipta karena tindakan atau per janjian yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan praktek monopoli sehingga meru gikan pihak lain. Dalam substansi UULPM PUTS umumnya mayoritas menggunakan pende- katan rule of reason.Penggunaan rule of reason ini tergambardalam konteks kalimat yang mem buka interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang apakah telah mengaki- batkan terjadinya praktek monopoli dan atau praktek persaingan usaha tidak sehat. Untuk meli- hat atau membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum dan atau persengkongkolan yang menghambat perdagangaan atau persaingan dapat dilihat dari kondisi yang ada. Alfa Aprias sebagaimana mengutip dari pendapatAsril Sitompul mendefinisikan rule of re ason adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Rule of Reason adalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduh- kan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang menghambat persaingan atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi tersebut da pat ditarik kesimpulan bahwa Rule of Reason merupakan a suatu pertimbangan hukum oleh ha kim untuk menentukan apakah suatu perbuatantertentu melanggar hukum persaingan atau tidak b prinsip yang akandigunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak dida sarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu telah menghambat persaingan atau melahi rkan kerugian pada pelaku usaha lain” Alfa Aprias, 2010 : 6-10 Lebih lanjut Asril Sitompul menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Alfa Aprias bah- wa “Per se illegal adalah suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelangaran dan dapatdihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibat kan kerugian atau menghambat persaingan. Per se illegal sebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan ”. Rule of Reason adalah suatu larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan yang bersifat Per se Illegal adalah larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan de- ngan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan kan persaingan usaha tidak sehat. Larangan yang bersifat Per se Illegal adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktek, pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal menge- tahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan da- lam praktek usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudi an hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut. Dalam lingkup doktrin Rule of Reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh se orang pelaku usaha dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat Rule of Reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan ada- nya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktek monopoli dan atau praktek persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang terdapat dalam Pasal 4, Pasal 9,Pasal 11,Pasal 12,Pasal 13, Psal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pa sal 20, Pasal 26 dan Pasal 28 UULPMPUTS. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat ”patut diduga atau dianggap”. Pengaturan seperti ini dapat ditemukan da lam Pasal 4 angka 2, Pasal 13 angka 2, Pasal 17 angka 2 dan Pasal 18 angka 2 Menurut Rizki Afriadi Wibowo sebagaimana mengutip dari pendapatpandangan Andi Fahmi Lubis 2009 : 55, mengatakan bahwa ”dalam hukum persaingan usaha secara juridis dikenal dua macam dasar pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis, apakah suatu perbuatan baik berupa perjanjian maupun kegiatanperbuatan telah melanggar undang-undang dang atau tidak yaitu dengan pendekatan rule of reason dan per se illegal. Pendekakatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatantersebutbersifat menghambat atau mendukung persaingan Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut” Rizki Afriadi Wibowo, : 55-59 Dalam pendekatan hukum persaingan usaha ini, peran serta hakim sangat menentukan un- tuk memutuskan apakah sebuah perkara termasuk dalam per se illegal atau rule of reason. Me- ngapa ? Hal ini disebabkan praktek bisnis yang mengarah kepada monopoli kerap kali mengala mi perubahan dan modifikasi bentuknya yang merupakan implikasi dari perkembangan dalam bidang ekonomi, hukum dan politik. Oleh karena itu, dalam menetapkan putusan sebuah kasus persaingan usaha peran hakim sa ngatlah vital. Secara umum, pandangan dasar putusan hakim berdasarkan pada tiga hal yakni le bih menekankan pada efisiensi ekonomi, perlindungan kepada pengusaha kecil atau perlindu- ngan terhadap konsumen. Pendekatan rule of reason dalam UULPM PUTS mempunyai “kekhasan”, sebab standar rule of reason yang digunakan UU ini tercakup dalam unsur “praktek monopoli” dan ”persaingan usaha tidak sehat”. Terdapat dua aspek di dalamnya yakni aspek ”dampak atau hasil” satu perjanjian atau kegiatan usaha dan aspek ”cara” dijalankannya kegiatan. Pada aspek dampak dapat terjadi dua hal yakni terjadinya penghambatan terhadap persai- ngan dan merugikan kepentingan umum. Menghambat persaingan merupakan salah satu unsur praktek monopoli maupun praktek persaingan usaha tidak sehat. Ini berarti untuk menentukan suatu perjanjian atau aktivitas ekonomi yang dilarang ditentukan telah terjadi penghambatan persaingan. Dalam UULPM PUTS tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan hambatan persaingan. Hambatan persaingan usaha dalam artian sempit berarti hambatan untuk masuk ke pasar atau hilangnya atau berkurangnya suatupersaingan.Pengertian ini merupakan perwujudan dan dari tujuan hukum persaingan usaha yang menitik beratkan pada persaingan atau tercipta- nya persaingan.Namun,dalam hambatanpersaingan usaha jugadapat mencakup berbagai macam dampak negatif dari penyalahgunaan kekuatan monopoli termasuk di dalamnya adalah terham- batnya effisiensi. Diterapkan dalam pengertian ini mengingat tujuan UULPM PUTS bukan hanya menjamin adanya persaingan yang sehat akan tetapi juga effisiensi. Terdapat kelebihan dan kekuarangan dalam penerapan pendekatan rule of reason. Adapun kelebihan melakukan pendekatan ini adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai ef fisensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Sehingga dengan akurat menetapkan suatu tindakan pelaku usaha efisien atau tidak. Namun disisi lain, pendekatan ini membutuhkan waktu yang panjang dalam rangka membuktikan perjanjian, kegiatan dan posisi dominan yang tidak sehat dan menghambat persai ngan usaha. Pendekatan ini menjadikan kepastian hukum lama didapatkan. Lebih dari itu, terka dang metode ini tidak sama hasil penelitian untuk suatu tindakan yang sama disebabkan tidak samanya akibat yang timbul dari tindakan pelaku usaha tersebut. Beberapa ahli yang tetap concern terhadap hukum persaingan usaha di Indonesia yang mengatakan bahwa dalam UULPM PUTS terdapat prinsip dan pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal. Namun pendapat tersebut tidak mempunyai landasan normative dalam UU LPM PUTS. Karena memang UULPM PUTS secara eksplisit menyinggung prinsip dan pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal. Berbagai literature tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai Rule of Reason dan Per Se Illegal terebut. Dalam literature tersebut Rule of Reason dan Per Se Illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persai- ngan usaha competition Law yang berlaku di Amerika Serikat USA. Dikemukan dalam li terature tersebut bahwa kedua prinsip dan pendekatan ini merupakan pendekatan untuk mela- kukan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act-Antitrust Law. Rule of Reason dan Per Se Illegal merupakan prinsip dan pendekatan yang digunakan ha- kim sebagai sarana pertimbangan untuk mengadili perbuatan yang diduga telah mengakibat- kan praktek monopoli dan persaingan usaha. Pendefinisian secara terbatas terhadap kedua prinsip dan pendekatan tersebut merupakan implikasi dari substansi yang sebenarnya. Kecen- derungan dalammengemukakanrule of reason dan per se illegal adalah dengan menggunakan metode perbandingan hukum, dengan melakukan perbandingan kasus-kasus yang ada di Ame rika Serikat USA dan kemudian menganalisisnya bagaimana ketentuan yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha atau berdasarkan prinsip rule of reason dan per se illegal mengklasifi- kasikan suatu ketentuan termasuk dalam klasifikasi tertentu.

D. PENEGAKAN HUKUM PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA