Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Modernisasi yang ditandai oleh adanya kemajuan yang cukup pesat dalam bidang ilmu pengatahuan dan teknologi, disatu sisi menguntungkan kehidupan manusia dengan mengambil banyak kemudahan. Akan tetapi disisi lain modernisasi melahirkan kebudayaan modern yang liberal, rasional dan efisien yang selanjutnya hal itu menyebabkan terjadinya kekeringan nilai rohaniah sehingga mengakibatkan kebingungan masyarakat untuk menemukan pegangan hidup. Kenyataan yang muncul ke permukaan sebagai akibat dari semakin tergerusnya nilai budaya setempat atau lokal adalah posisinya yang semakin termarjinalkan terutama di mata generasi muda, menganggap nilai budaya tradisional adalah sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman serta sudah tidak mampu untuk bersaing di tengah-tengah persaingan global. Karena mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah baik dan harus diikuti bahkan dijadikan pegangan hidup sehari-hari. Tidak semua nilai yang masuk dari luar adalah positif bahkan banyak yang negatif dan bertentangan dengan norma dan nilai budaya lokal. Dengan kata lain proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan sekularisasi kesadaran yang memperlemah fungsi kanopi suci agama dan domain kehidupan para pemeluknya dan menciptakan ketidakberartian hidup pada diri manusia modern Haedar, 1997:11. Akibatnya banyak diantara mereka terjerumus dalam perilaku-perilaku amoral. Dengan adanya pandangan hidup masyarakat yang 2 mengagungkan kebebasan personal, masyarakat pada umumnya khususnya generasi muda lebih memilih kebudayaan luar daripada kebudayaan sendiri. Indonesia kaya akan kebudayaan dari mulai seni tari, musik, pakaian adat dan lain-lain, budaya luar lebih modern daripda budaya sendiri. Contohnya seperti fashion dan musik lebih modern. Dalam mengikuti gaya mereka juga harus tahu yang positif dan negatif. Generasi muda saat ini malu untuk mengakui daerah dimana berasal. Seperti berbicara bahasa daerah, menyanyi lagu daerah. Mulai dari pemerintah hingga semua kalangan masyarakat khususnya generasi muda harus melestarikan, menjaga dan merawat agar kebudayaan yang ada tidak di akui atau di ambil oleh negara tetangga. Karena kebudayaan berasal dari nenek moyang dan aset untuk negara yang harus di rawat dengan baik. Kenyataan tersebut seolah menyadarkan akan pentingnya mentransformasikan nilai-nilai tradisional kepada generasi berikutnya agar nilai-nilai tersebut tidak menguap ditiup oleh perkembangan jaman. Sebagai konsekuensi dari kota pendidikan, yakni kecepatan perkembangan teknologi terutama teknologi informasi dan derasnya informasi yang mengalir masuk merupakan suatu hal yang tidak bisa dielakkan. Informasi dengan teknologinya telah membawa budaya lain merambah ke semua lapisan masyarakat tanpa bisa dicegah. Adanya berbagai pengaruh budaya asing sebagai dampak dari arus globalisasi menjadi tidak terelakkan. Permasalahan terutama timbul ketika berbagai pengaruh tersebut diterima oleh generasi muda yang belum mempunyai pegangan budaya. Generasi ini ada kesenjangan dengan generasi sebelumnya yang diakibatkan oleh terhentinya pola pewarisan budaya. Pola pewarisan budaya ini terhenti antara lain 3 disebabkan oleh adanya kesenjangan penguasaan informasi dengan teknologinya. Golongan tua yang masih memegang teguh tradisi budaya lama kurang dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan contentnya. Dilain pihak generasi sekarang demikian cepat menangkap segala sesuatu yang baru tanpa dibarengi adanya filter yang memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Kondisi ini menimbulkan tidak adanya komunikasi yang baik antara generasi tersebut. Generasi baru ini kemudian melahirkan generasi yang asing dengan budayanya sendiri. Sebagai misal bahasa jawa halus kini semakin asing. Pada akhirnya nilai- nilai budaya yang kemudian dianggap lama tersebut hanya menjadi bagian dari masa lalu. Hal lain yang menjadi penyebab tersendatnya pola pewarisan budaya adalah rendahnya budaya tulis dan lebih terbiasa dengan budaya lisan tutur . Budaya lisan yang tidak terdokumentasi ini lambat laun akan mengalami degradasi secara kualitas dan kuantitas. Hal itu antara lain terlihat dari berbagai upacara ritual, simbol, ungkapan yang kehilangan makna ketika dijabarkan ditengah-tengah masyarakat. Dalam upacara garebeg misalnya, ribuan manusia berebut makanan kraton berbekal pengetahuan latah ”untuk mendapatkan berkah.” Ditengah-tengah masyarakat, berbagai bentuk upacara selamatan dilaksanakan tanpa makna. Sangat jarang dapat ditemui warga masyarakat yang mengetahui makna dan maksud rasulan, selikuran, apem, kolak,ketan, sego golong dan sebagainya. Berbagai kata bijak yang menunjukkan kearifan nilai-nilai budaya jawa pun mengalami nasib yang tidak terlalu berbeda. Beberapa contoh kata bijak itu misalnya: ajining diri ana ing lathi ajininng raga ana busana, cegah dahar lawan 4 guling, dikenaa iwake aja nganti buthek banyune, lembah manah lan andhap asor, ngono ya ngono ning aja ngono, wong jawa ngone semu dan lain-lain. Pardi Suratno dan Hanniy Astiyanto, 2004. Budaya-budaya yang bermakna dalam tersebut merupakan hasil budaya adiluhung yang sayangnya kini telah memudar di masyarakat. Sebaliknya yang berkembang dimasyarakat adalah budaya massa atau mass culture. Budaya massa timbul sebagai akibat dari massifikasi yakni bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas. Hal ini disebabkan karena dalam sektor budaya terjadi industrialisasi dan komersialisasi. Budaya massa mempunyai ciri-ciri yang berkebalikan dengan budaya elite. Pelaku akan kehilangan jati dirinya sehingga ini sebenarnya merupakan bentuk pembodohan. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Kuntowijoyo, 1997: 55. Kerisauan akan perkembangan budaya massa antara lain disebabkan alasan sebagai berikut. Pertama, budaya massa diproduksi secara massal berdasarkan perhitungan dagang belaka. Kedua, kebudayaan massa merusak kebudayaan elite dengan berbagai cara bahkan dengan menyedot potensi yang ada pada kebudayaan elite. Ketiga, kebudayaan massa menanamkan pengaruh buruk pada masyarakat seperti masalah seksualitas, kekerasan dan kriminal yang merupakan ciri kuat dari kebudayaan massa. Keempat, penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya mengurangi nilai budaya elite akan tetapi juga menciptakan khalayak yang pasif. Sapardi Djoko Damono, 1997: hal 49-50. Memperhatikan makin merebaknya isu-isu moral dan beberapa faktor penyebab tergerusnya nilai-nilai luhur dari budaya lokal yang ada dan sekarang 5 menjadi masalah yang besar maka perlu adanya upaya – upaya penanggulangan dan penyikapan terhadap persoalan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan guna melestarikan nilai-nilai tradisional, salah satunya adalah melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan wujud nyata dalam upaya pentransformasian nilai kepada generasi berikut. Dengan melakukan penanaman dan pembinaan nilai moral kepada masyarakat melalui pendidikan formal, non formal maupun informal. Sehingga nilai-nilai budaya lokal dapat ditanamkan sedini mungkin pada diri seseorang. Pendidikan anak usia dini PAUD adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik koordinasi motorik halus dan kasar, kecerdasan daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, sosio emosional sikap dan perilaku serta agama bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. PAUD Pendidikan Anak Usia Dini menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingnya masa ini sehingga usia dini sering disebut the golden 6 age usia emas. Namun demikian, memahami bahwa PAUD selama ini kurang mendapat perhatian yang serius baik dari masyarakat maupun pemerintah. Eksistensi PAUD selama ini hanya dipandang sebagai ‟tempat penitipan anak‟ yang akibatnya tidah banyak yang diharapkan oleh masyarakat selain menitipkan anaknya . saja. Apapun dalihnya, pendidikan anak usia dini atau pendidikan prasekolah harus tetap diperhatikan. Oleh karena itu, kiranya yang perlu dipahamkan adalah bagaimana PAUD ini bisa berjalan terstruktur, terprogram ataupun terencana secara sistematis. Dengan kata lain PAUD saat ini kurang berjalan sesuai dengan kurikulum TKRA yang sudah ada, sehingga tidak bisa disalahkan jika mun cul asumsi bahwa sekolah TK itu sama dengan ‟tempat penitipan . anak‟. Untuk menghilangkan asumsi tersebut maka upaya peningkatan kualitas pendidik perlu ditingkatkan. Pendidikan anak usia dini dengan misi utama meletakan dasar-dasar pengembangan fisik moral, nilai-nilai budaya, intelektual dan spiritual anak memberi peluang yang besar sebagai pemecahan persoalan tersebut. Pemberian rangsangan yang tepat akan mampu membentuk sosok pribadi yang baik secara intelaktual dan moral. Untuk itu pendidik harus mampu menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan, budi pekerti, pengembangan karakter. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur budaya, pengembangan intelegensi, karakter, kreativitas, moral dan kasih sayang perlu diberikan pada anak – anak sejak usia dini. Namun, yang ada saat ini pendidikan anak usia dini belum dianggap penting oleh masyarakat sebagai upaya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas secara akademik dan moral. Di sisi lain pendidikan usia dini yang ada 7 secara formal teraplikasi dalam bentuk TK RA dan secara nonformal dalam bentuk KB, TPA, satuan PAUD sejenis belum secara optimal melakukan pendidikan dalam rangka pembentukan kebiasaan berpikir dan bertindak anak, yang mensinergiskan aspek-aspek tumbuh kembang anak yang mencakup perkembangan moral dan nilai-nilai agama, budaya, fisik, bahasa, kognitif, sosio- emosional, dan seni. Padahal, anak mempunyai hak tumbuh dan berkembang, bermain, beristirahat, berekreasi, dan belajar dalam suatu pendidikan Maimunah Hasan, 2009:15-16. BENISO sebagai salah satu lembaga pendidikan luar sekolah merupakan lembaga pendidikan yang menyediakan, menyelenggarakan, dan mewujudkan pendidikan yang berkualitas untuk anak – anak usia dini sesuai dengan kompetensi masing-masing anak. Serta dengan misi mengoptimalkan kemampuan anak usia dini sesuai dengan potensi yang dimiliki. Menyelenggarakan pendidikan secara professional yang terjangkau dengan suasana bermain yang aman, ramah dan kekeluargaan. Membantu tumbuh kembang anak usia dini secara alami memiliki berbagai kegiatan ekstra kulikuler yang sesuai untuk mengenalkan berbagai jenis budaya yang ada, khususnya budaya lokal atau daerah diantaranya adalah kegiatan tari, membatik dan karawitan. Sehingga anak dapat mengenal budaya mereka sendiri tidak hanya budaya asing yang selama ini terkesan lebih mendominasi. Melihat pada latar belakang tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pola Pengenalan Nilai-Nilai Budaya Lokal Pada Anak Usia Dini Di Kelompok Bermain BENISO Randubelang, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta ”. 8

B. Identifikasi Masalah