5.2.1. Penggunaan metafora methapors
untuk menekankan arti yang penting terhadap kedudukan perempuan sebagai seorang istri. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan dialog dan gambar di bawah ini:
Menit: 01 : 07 : 41 Narasi : Terjadi pertengkaran hebat antara Marwan dan Ratna. Berawal ketika istri
simpanan Marwan datang ke rumah mereka, karena anak Marwan dengan selingkuhannya tersebut sedang sakit. Ratna yang saat itu baru pulang kerja, langsung
tercengang, ketika melihat seorang perempuan dengan anak laki-laki, berada dalam rumahnya, sementara pintu dalam keadaan tertutup. Ratna yang sudah mulai curiga
dengan suaminya Marwan sejak beberapa waktu, ketika mencium baju Marwan dengan aroma yang lain dari biasanya, mencoba untuk bersabar dengan alasan
Marwan yang selalu pulang kantor telat karena ada lembur. Melihat semua kejadian itu, Ratna mengajak Marwan becara di kamar untuk membahas masalah tersebut,
dengan dialog seperti berikut ini:
“Aku bersedia menerima posisi yang sudah ditakdirkan untuk aku, tapi aku bukan barang tak bernyawa, aku hidup. Aku manusia, manusia. Bukan anjing yang bisa
ditendang begitu saja waktu majikannya sibuk dengan lonteh-lonteh diluar sana”.
Metafora methapors dalam dialog ini memberikan pemahaman saat seorang istri Ratna mengetahui bahwa suaminya Marwan selingkuh dan sudah menikah
secara diam-diam dengan perempuan lain, sehingga terjadilah dialog seprti di atas. Hal yang mau ditekankan oleh sutradara dalam dialog ini adalah, perampuan itu juga
sama perasaannya dengan laki-laki mereka butuh perhatian, kasih sayang, kejujuran, kesetiaan dari seorang laki-laki sebagai kepala kelurga. Kata posisi dalam dialog di
atas mau menjelaskan bahwa keadaan perempuan yang sampai saat ini masih dinomorduakan karena masih kentalnya budaya patriarki di masyarakat.
Kemudian penggunaan kata anjing juga dipakai sebagai pembanding, karena anjing hanyalah sebagai hewan peliharaan yang tidak punya perasaan dan cinta, dan
hanya bisa diatur dan pasrah dalam mengikuti kemuaan majikannya, karena anjing adalah makhluk yang tidak bisa berpikir seperti layaknya manusia. Jika anjing saja
bisa dipelihara, dan dirawat, apalagi seorang perempuan, sebagai makhluk sosial yang butuh perhatian, kasih sayang, motivasi, perlu dihormati oleh seorang laki-laki atau
suami, karena sosok perempuan adalah makhluk yang bernyawa, mereka bisa marah, emosi, tersinggung, sakit hati, kecewa jika mereka diperlakukan tidak adil dan
sewenang-wenang oleh laki-laki.
Selain hal tersebut, sutaradara juga lewat methapors metafora ini memberikan sebuah pemikiran tentang penderitaan perempuan yang tiada habisnya,
karena perlakuan budaya patriarki yang tidak berpihak pada perempuan dan terus menindas perempuan. Hal ini menjadi keprihatinan semua pihak termasuk sutradara
sendiri. Hal itu bisa dilihat dalam gambar dan kutipan dialog di bawah ini:
Menit : 00 : 32 : 48 Narasi: Dokter Kartini merasa prihatin terhadap nasib yang diderita para pasiennya,
bukan hanya perempuan yang sudah dewasa, termasuk perempuan yang belum berumur belum dewasa seperti Rara anak SMP, yang hamil akibat perbuatan
pacarnya Acin juga sudah menjadi korban dari budaya patriarki. Dalam permasalahan seperti ini, dokter Kartini mencoba memahami dan merasakan penderitaan para
pasien-pasiennya tersebut. Sikap dokter Kartini yang selalu memperhatikan nasib dan penderitaan kaumnya, membuat dokter Kartini sendiri ikut larut kedalam penderitaan
tersebut. Walaupun sebenarnya dia belum pernah mengalami secara langsung berbagai penderitaan dan peristiwa tersebut. Lihat kutipan dialog dan gambar berikut ini:
“Memang aku belum pernah merasakan apa yang mereka alami, tapi baru mendengar saja hatiku sudah menjerit, tanpa kutahu waktu tidak bisa mengalah”.
Dalam kutipan dialog ini, sutradara mau memperjelas bahwa betapa sakit sekali penderitaan yang dialami para perempuan, karena mereka selalu dihadapkan
dengan budaya dominan di masyarakat, seperti budaya patriarki. Penggunaan kalimat hati yang menjerit dalam dialog ini mencerminkan, bahwa seorang perempuan yang
belum pernah mengalami perlakuan tidak adil saja sudah merasakan tersakiti, apalagi yang selalu disakiti. Itu Artinya sutradara mau memberikan gambaran betapa
memilukan nasib kaum perempuan di negeri ini, karena ketidakadilan yang terus mereka terima dari waktu kewaktu. Kaum perempuan selalu diperlakukan sebagai
objek, sehingga kesamaan dan kesetaraan hak dengan kaum laki-laki semakin jauh. Pandangan sutradara tersebut semakin kuat, dengan penyajian gambar dan kutipan
dialog berikut ini:
Menit: 00 : 27: 50 Narasi : Dokter Kartini mengeluhkan berbagai kasus yang sedang dihadapinya
kepada dokter Anton, tentang keputusasaannya kerena harus menangani berbagai kasus mengenai pasien-pasiennya tersebut. Dokter Anton mencoba memberikan
motivasi dan semangat kepada dokter Kartini, dengan tujuan dokter Kartini tetap teguh dan kuat dalam menghadapi permasalahan pasien-pasien perempuannya
tersebut. Kutipan percakapan antara dokter Anton dan dokter Kartini bisa dilihat dibawah ini:
Dokter Anton : Kamu terlampau hanyut dengan pekerjaan kamu, ayo urus diri
kamu dulu, hidup kamu, cinta. Dokter Kartini :
Cinta? Cinta sudah mati Anton. Lagipula buat apa cinta kalau perempuan selalu jadi korban.
Disini sutradara mencoba memberikan pandangan, bahwa cinta menjadi kunci penting yang diyakini banyak pihak terutama perempuan, sebagai penyebab semua
ketidakadilan terhadap kaumnya. Perempuan mulai mempertanyakan cinta yang dianggap banyak orang sebagai penghapusan budaya yang menomorduakan
perempuan. Sebab dengan cinta laki-laki dan perempuan akan hidup sejalan dan sama karena mempunyai pandangan dan tekat yang sama terutama satu sama lain akan
saling menjaga menghormati hak dan perasaan masing-masing sebagai wujud cinta tersebut.
Disini sutradara, justru melihat bahwa pengertian cinta semacam itu sudah berubah makna. Cinta justru menjadi biang keladi dan jurang pemisah antara laki-laki
dengan perempuan, karena cinta hanya digunakan kaum laki-laki sebagai alat untuk menyakiti perempuan dan sebagai alat untuk memperkuat budaya patriarki di
masyarakat. Akhirnya dengan cinta perempuan selamanya akan bertindak sebagai objek semata dan akan terus terpojok dalam posisi kelas dua, sementara laki-laki akan
semakin diuntungkan dengan hal tersebut. Intinya yang mau digambarkan oleh sutradara adalah perempuan mulai terauma dengan pengertian cinta sekarang. Cinta
selalu dipakai oleh laki-laki sebagai senjata menindas perempuan, walaupun tidak semua perempuan korban dari cinta.
5.2.2. Perangakat pembingkai digunakan sebagai exemplaar