Perangkat pembingkai juga digunakan sebagai depictions

5.2.3. Perangkat pembingkai juga digunakan sebagai depictions

Penggunaan depictions yaitu sebagai penguat bingkai dengan menggunakan label atau kalimat tertentu dalam dialog yang dipertentangkan, dengan tujuan menonjolkan dan menguatkan citra atau pandangan terhadap kaum laki-laki. Label tersebut seperti kalimat: enggak berkarakter, tidak punya ambisi, culun, dan pemalu. Penggunaan label semacam ini sutradara mau menunjukan atau menekankan bahwa ada ideologi yang sudah tertanam dalam pikiran masyarakat terutama kaum perempuan, susah untuk dirubah. Bahwa sosok laki-laki itu dipandang selalu kuat, punya ambisi yang tinggi, dan mempunyai karakter yang jelas sebagai kepala kelurga, serta yang terpenting bisa mengambil keputusan. Dalam perangkat pembingkai, depictions yang dipertentangkan adalah mengenai bayi perempuan dan bayi laki-laki dalam kandungan Ningsih. Berikut ini potongan dialog Ningsih dengan dokter Kartini. Menit : 00 : 35 : 11 Narasi : Ningsih dengan karakternya yang terlihat tegar memeriksakan kandunganya kepada dokter Kartini, karena Ningsih merasa sosok laki-laki adalah yang paling penting dalam kehidupannya, dia mau mengetahui dengan cepat jenis kelamin bayi yang ada dalam kandunganya. Hal itu dikarenakan Ningsih merasa suaminya adalah tipe laki-laki yang sangat lemah, dan tidak punya ambisi, karena semua kehidupan rumah tangga mereka Ningsih yang mengatur padahal dia berharap suaminya yang menjalankan tugas tersebut. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka Ningsih memutuskan harus mempunyai anak laki-laki sebagai pengganti karakter suaminya yang dia anggap lemah. Dokter Kartini merasa heran ketika mendengar perkataan Ningsih mau menggugurkan bayi dalam kandunganya, jika bayi tersebut bukan berjenis kelamin laki-laki. Terjadi dialog antara dokter Kartini dengan Ningsih berikut ini : Ningsih : Kapan saya bisa tahu kalau anak saya laki-laki dok? Dokter Kartini : Sekitar 6 bulan. Ningsih : Apa saya bisa gugurin di bulan itu? Dokter Kartini : Kenapa? Ningsih : Kalau bukan laki-laki saya tidak mau,saya mau ada pengganti suami saya. Dokter Kartini : Memang suami ibu ada dimana? Ningsih : Ada tapi suami saya itu enggak berkarakter dok, gak jelas sama sekali, tidak punya ambisi, culun, pemalu.Saya mau didik anak saya ini tidak seperti dia. Dokter Kartini : Tapi itu bukan alasan untuk menggugurkan kandungan ibu, bagi ibu juga bisa berbahaya. Ningsih : Saya tidak perduli yang penting laki-laki. Dalam kutipan dialog tersebut, yang dipertentangkan adalah anak laki-laki dan anak perempuan yang sedang dikandung oleh Ningsih. Hal yang mau ditonjolkan oleh sutradara dalam dialog di atas adalah pentingnya sosok laki-laki karena perempuan butuh pelindung untuk menjaga mereka. Label ini juga digunakan sebagai frame untuk menekankan betapa pentinganya seorang laki-laki dalam budaya yang sudah dikonstruksi oleh ideologi di masyarakat. Penilaian ini bukan hanya datang dari laki-laki semata, tetapi juga lewat para perempuan, karena budaya patriarki yang mengkonstruksi mereka untuk berpikir demikian. Sosok laki-laki dianggap sangat dominan peranannya dalam kehidupan terutama dalam kehidupan rumah tangga karena laki-laki adalah sosok seorang pemimpin, sementara perempuan adalah objek dari pemimpin tersebut. Pandangan semacam ini bisa terus berlajut dan terus dipertahankan dari generasi kegenerasi berikutnya, karena budaya di masyarakat mengkonstruksi laki-laki sedemikian tinggi dan berkuasa terhadap apa saja. Maka disini sutradara menyajikan sebuah pandangan atau argumen terkait dengan peranan budaya di masyarakat tersebut, dengan menampilkan sebuah dialog sebagai sebuah gambaran dan keritik terhadap budaya patriarki tersebut. Lihat gambara dan kutipan dialog berikut ini: Menit : 01 : 15 : 22 Narasi : Setelah pertengkaran hebat antara Ratna dan suaminya Marwan, karena Marwan ketahuan secara diam-diam sudah menikah dengan perempuan lain dan sudah mempunyai satu orang anak laki-laki berusia tiga tahun. Ratna kemudian memutuskan untuk pergi dari rumah karena Ratna tidak mau dimadu. Melihat kejadian tersebut, Rara sebagai adik dari Ratna juga berusaha mengikuti Ratna. Karena masih merasa sangat kecewa Ratna mencoba mencurahkan kekecewaanya tersebut, kepada Rara. Dalam sebuah angkotan umum, Ratna terlihat sangat sedih walaupun Ratna adalah seorang perempuan yang sangat tegar. Namun dia merasa kesetiaan dan cintanya sudah dipermaikan dan dihianati oleh suaminya, yang selama ini dia anggap sebagai kepala kelurga dan laki-laki yang baik. Ratna selalu menyempatkan diri untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, walaupun dia juga sibuk sebagai tukang jahit. Lihat gambar dan diolog di bawah ini : “Kamu lihat mbak, sekarang udah hamil segede gini tapi malah mau dimadu. Laki-laki memang bangsat. Kamu memang keterlaluan Marwan, kamu memang gak tahu diri, kamu kurang ajar”. Dalam kutipan dialog atau percakapan Ratna dan Rara di atas yang mau ditekankan oleh sutradara adalah ketimpangan nasib yang dialami oleh kaum perempuan, karena perlakukan laki-laki yang sewenang-wenang. Disini yang ditonjolkan adalah dampak dari budaya patriarki sendiri, artinya budaya patriarki tersebut jelas sangat merugikan kaum perempuan. Dengan budaya patriarki tersebut, laki-laki menjadi lupa terhadap tangggung jawabnya sebagai seorang suami. Hal ini terjadi karena masyarakat mendukung budaya tersebut, sehingga perlakuan laki-laki menikah secara diam-diam dengan perempuan lain, dan membohongi istri seperti kutipan di atas terhadap perempuan atau terhadap istrinya dianggap wajar. Asalkan laki-laki tersebut mampu membagi kasih sayangnya secara rata. Padahal ideologi semacam ini sangat tidak mungkin terjadi, karena secara nalar kasih sayang tidak akan terbagi dengan rata, antara satu suami dengan dua atau tiga istri sekaligus. Sebab setiap orang mempunyai karakter yang berbeda. Budaya atau kesepakatan masyarakat semacam ini akan sangat merugikan kaum perempuan dalam perkawinan dan rumah tangga mereka, karena peran perempuan akan tetap sebagai objek laki-laki. Dalam dialog di atas, sutaradara menekankan dan memberikan pelabelan kepada laki-laki semacam itu melalui dialog Rara dengan Ratna dengan sebutan bangsat, gak tahu diri, kurang ajar.

5.2.4. Perangkat pembingkai juga dipakai sebagai visual image

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB II

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB IV

0 2 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Patriarki dari Sudut Pandang Teori Struktural-Fungsionalisme Tokoh-Tokoh Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362008064 BAB V

0 0 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB II

0 1 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB IV

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Framing Tentang Isu Gender dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita T1 362007022 BAB VI

0 0 3

MULTIKULTURALISME GENDER PADA FILM 7 HATI 7 CINTA 7 WANITA KARYA ROBBY ERTANTO

0 4 14