Dalam kutipan dialog atau percakapan Ratna dan Rara di atas yang mau ditekankan oleh sutradara adalah ketimpangan nasib yang dialami oleh kaum
perempuan, karena perlakukan laki-laki yang sewenang-wenang. Disini yang ditonjolkan adalah dampak dari budaya patriarki sendiri, artinya budaya patriarki
tersebut jelas sangat merugikan kaum perempuan. Dengan budaya patriarki tersebut, laki-laki menjadi lupa terhadap tangggung jawabnya sebagai seorang suami.
Hal ini terjadi karena masyarakat mendukung budaya tersebut, sehingga perlakuan laki-laki menikah secara diam-diam dengan perempuan lain, dan
membohongi istri seperti kutipan di atas terhadap perempuan atau terhadap istrinya dianggap wajar. Asalkan laki-laki tersebut mampu membagi kasih sayangnya secara
rata. Padahal ideologi semacam ini sangat tidak mungkin terjadi, karena secara nalar kasih sayang tidak akan terbagi dengan rata, antara satu suami dengan dua atau tiga
istri sekaligus. Sebab setiap orang mempunyai karakter yang berbeda. Budaya atau kesepakatan masyarakat semacam ini akan sangat merugikan
kaum perempuan dalam perkawinan dan rumah tangga mereka, karena peran perempuan akan tetap sebagai objek laki-laki. Dalam dialog di atas, sutaradara
menekankan dan memberikan pelabelan kepada laki-laki semacam itu melalui dialog Rara dengan Ratna dengan sebutan bangsat, gak tahu diri, kurang ajar.
5.2.4. Perangkat pembingkai juga dipakai sebagai visual image
Tujuan dari visual image memperkuat citra dan untuk menonjolkan posisi perempuan. Posisi perempuan dalam tahap ini diungkapkan oleh sutradara melalui
kalimat yang dielustrasikan dengan menggunakan puisi, supaya lebih mudah dipahami oleh khalayak, dan bisa diterima secara umum. Hal ini bisa dilihat dalam gambar dan
kutipan dialog berikut ini :
Menit: 01 : 32 : 05 Narasi: Dokter Kartini termenung di ruang kerjanya, setelah melihat berbagai
peristiwa dan berbagai permasalahan yang dialami oleh pasien-pasienya. Dia mulai menyadari, bahwa menjadi seorang perempuan adalah sesuatu hal yang sangat
penting, walaupun sekarang berhadapan dengan budaya patriarki perempuan harus tetap berjuang demi mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Perjuangan tersebut akan memberikan suatu kebanggaan tersendiri. Namun sebelum memperjuangkan nasib mereka, yang terpenting dari perempuan adalah keberanianya
untuk mengakui dirinya sebagai seorang perempuan yang selalu menentang ketidakadilan. Dalam kesadarannya sebagai seorang perempuan, dokter Kartini
menguraikan puisi seperti berikut:
“Ketika waktu kembali berputar, tanpa berbalik tidak ada rute yang harus aku lalui, ini hidupku dengan semua warna yang kumiliki. Hal pertama yang harus aku katakan
adalah aku seorang perempuan”.
Dalam gambar dan kutipan dialog di atas diselipkan puisi yang intinya, seorang perempuan harus berani menerima kodrat dirinya sebagai seorang perempuan.
Hidup sebagai seorang perempuan akan tetap berjalan dan perempuan dituntut untuk selalu kuat walaupun hidup dalam lingkungan dan kekangan budaya patriarki.
Robby Ertanto selaku sutradara menggunakan nama dokter Kartini, yang artinya mau menekankan tentang ilustrasi pahlawan perempuan yaitu Ibu Kartini,
yang selalu memperjuangkan nasib kaum perempuan, sekaligus sebagai orang pertama yang merintis dan bangga menerima kodratnya sebagai seorang perempuan. Nama
ibu Kartini diilustrasikan dengan dokter Kartini dalam film ini, dengan menggunakan nama Kartini khalayak akan lebih mudah mengingatnya karena langsung berkaitan
dengan sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Dalam hal ini sosok perempuan, ditekankan atau ditonjolkan sosok yang harus
berani, dan bangga sebagai perempuan seperti yang sudah dirintis oleh pendahulu para perempuan yaitu ibu Kartini. Selain itu, untuk meningkatkan pencitraan dan kekuatan
perempuan dalam menghadapi berbagai permasalahan, sutradara mencoba membingkai citra perempuan tersebut lewat gambar dan dialog berikut ini:
Menit: 00 : 11 : 50 Narasi : Dokter Kartini tersenyum ketika Yanti dan Bambang memasuki ruang
kantornya, sebab kedua orang tersebut terlihat sangat gembira. Yanti menceritakan tentang pekerjaannya sebagai PSK secara terang-terangan kepada dokter Kartini.
Menurut keterangan dari Yanti, dalam semalam dia bisa melayani dua laki-laki dan juga melayani perempuan. Dokter Kartini kembali tercengang mendengar cerita dari
Yanti tersebut. Walaupun Yanti seorang penjaja seks, namun Yanti adalah tipe orang yang ceria dan lucu. Sehingga dokter Kartini menganggap Yanti sebagai seorang
perempuan yang unik. Lihat kalimat di bawa ini:
“Aku sering bertemu berbagai macam kasus yang diderita kaumku karena perlakuan para laki-laki, tapi tidak untuk perempuan unik dihadapanku”.
Kutipan dialog ini mau menggambarkan tentang sebuah realitas mengenai perempuan, yang selalu kuat dalam menempuh berbagai penderitaan yang disebabkan
oleh perlakuan tidak adil dari laki-laki. Kebanyakkan dari perempuan akan tertekan bila mengahadapi berbagai masalah, karena perempuan selalu dianggap sebagai
makhluk yang lemah. Namun dalam dialog ini, sutradara mau menekankan kepada khalayak bahwa, sebenarnya perempuan itu kuat, perempuan itu unik, perempuan itu
mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dianggap lemah karena ideologi dan cara pandang masyarakat
yang selalu memojokkan posisi perempuan, sehingga lama kelamaan anggapan tersebut mulai menjadi sebuah budaya yang diakui dan dianut oleh masyarakat secara
umum. Melalui visual image ini, sutradara mencoba menunjukkan bahwa perempuan itu pada dasarnya sama dengan laki-laki walaupun berbeda fisik.
5.2.5. Perangkat pembingkai juga digunakan sebagai catchphrases