ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNDERPRICING SAHAM PADA PENAWARAN UMUM PERDANA ( IPO ) DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)

(1)

PENAWARAN UMUM PERDANA ( IPO )

DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Eka Retnowati

7250406508

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013


(2)

ii skripsipada :

Hari : Senin

Tanggal : 8 April 2013

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Fachrurrozie, M.Si. Nanik Sri Utaminingsih, SE, M.Si.Akt

NIP.196206231989011001 NIP.197112052006042001

Mengetahui Ketua Jurusan Akuntansi

Drs. Fachrurrozie, M.Si. NIP.196206231989011001


(3)

iii

Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia sidang ujian skripsi Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 30 April 2013

Penguji

Bestari Handayani, SE.MSi NIP. 197905022006042001

Anggota I Anggota II

Drs. Fachrurrozie, M.Si Nanik Sri Utaminingsih, SE, M.Si.Akt

NIP.196206231989011001 NIP.197112052006042001

Mengetahui Dekan Fakultas Ekonomi

Dr. S. Martono, M.Si NIP. 196603081989011001


(4)

iv

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakkan dari karya tulis orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila di kemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Semarang, April 2013

Eka Retnowati NIM. 7250406508


(5)

v MOTTO

Jangan katakan bagaimana kerasnya Anda bekerja, tetapi katakanlah berapa banyak hal yang sudah anda kerjakan

Biarkan bumi begitu luas dan langit begitu tinngi tapi tangan ini takkan lelah untuk menari menggapai ilmu yang tak ada habisnya demi keindahan hidup di dunia dan akhirat (Gusmin)

PERSEMBAHAN

Ayah, ibu, dan adikku tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa, dan dukungan.

Semua teman – teman yang sudah memberikan dukungan dan doa


(6)

vi

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Faktor – faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada penawaran Umum

Perdana ( IPO ) di Bursa Efek Indonesia ( BEI )”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Jurusan Akuntansi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan, motivasi dan bantuan dari b erbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Agus Wahyudin M.Si , Pelaksana Tugas Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. S. Martono, M.Si, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

3. Drs. Fachrurrozie, M.Si, Ketua Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Semarang dan Dosen Pembimbing I yang penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan.

4. Nanik Sri Utaminingsih, SE, M.Si.Akt, Dosen pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan.

5. Dosen wali Akuntansi Paralel A 2006 Drs. Subkhan yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan motivasi selama penulis menimba ilmu di Universitas Negeri Semarang.


(7)

vii

7. Teman-teman yang penuh semangat dalam memberikan motivasi.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis yang telah memberikan dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun yang dapat dijadikan sebagai bahan masukkan bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Semarang, April 2013


(8)

viii

Negeri Semarang. Pembimbing I. Drs. Fachrurrozie, M.Si. II. Nanik Sri Utaminingsih, SE, M.Si.Akt

Kata kunci : Underpricing, Debt to Equity Rasio, Return On Assets, Earning

per Share, Umur perusahaan, Ukuran Perusahaan, dan Prosentase

Penawaran Saham

Initial Public Offering (IPO) merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan perdana. Saham-saham yang tercatat di pasar perdana pada umumnya diminati investor karena memberikan initial return. Return ini mengindikasikan terjadinya underpricing saham dipasar perdana ketika masuk pasar sekunder. Underpricing adalah kondisi dimana harga saham pada waktu penawaran perdana relatif terlalu rendah dibandingkan harga dipasar sekunder.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis variable-variabel yang mempengaruhi terjadinya underpricing pada sektor saham keuangan di BEI untuk periode 2008-2011. Faktor-faktor tersebut adalah DER, ROA , EPS, Umur perusahaan, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu pemilihan sampel dengan kriteria tertentu, sehingga didapat sampel dalam penelitian ini sebanyak 55 perusahaan. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda dengan pengujian hipotesis menggunakan program SPSS 16 for Windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa EPS, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawarn Saham, berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Sedangkan secara simultan diperoleh hasil variabel DER, ROA, EPS, Umur perusahaan, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham berpengaruh secara signifikan tehadap underpricing.

Simpulan penelitian ini, bahwa EPS, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawarn Saham, berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Sedangkan secara simultan diperoleh hasil variabel DER, ROA, EPS, Umur perusahaan, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham berpengaruh secara signifikan tehadap underpricing. Saran bagi perusahaan supaya memperhatikan EPS, Ukuran, dan Prosentase saham yang ditawarkan agar tingkat underpricing yang terjadi tidak terlalu tinggi. Bagi investor hendaknya mempertimbangkan informasi yang terdapat dalam prospectus terutama mengenai informasi EPS, Ukuran perusahaan, prosentase penawaran saham.


(9)

ix

Advisor Drs. Fachrurrozie, M.Si. Co Advisor. Nanik Sri Utaminingsih, SE, M.Si.Akt

Keyword : Underpricing, Debt to Equity Rato, Return On Assets, Earning per Share, Company Age, Company Size, Percentage of Public offering.

Initial Public Offering (IPO) is an activity of the company in the context of a public offering IPO. Listed shares in the primary market investors generally preferred because it gives the initial return. Return indicates the underpricing of shares when entering the primary market to secondary market. Underpricing is a condition in which the share price at the time of the IPO are relatively low compared to the price in the secondary market.

The purpose of this study was to analyze the variables that influence the occurrence-Variable underpricing in the sector of financial stocks on the Stock Exchange for the period 2008-2011. These factors are DER, ROA, EPSm company age, company size, the percentage of the stock offering. Sampling using purposive sampling is the selection of the sample with certain criteria, so that the sample obtained in this study were 55 companies. This study used multiple linear regression analysis with the filing of the hypothesis using SPSS 16 for Windows.

The results showed that EPS, company size, percentage of share offerings, significantly affect underpricing. Meanwhile, the results obtained simultaneously DER variable, ROA, EPS, company age, company size, percentage offering significantly affect underpricing.

Conclusions from this research that the EPS, company size, percentage of share offerings, significantly affect underpricing. Meanwhile, the results obtained simultaneously DER variable, ROA, PES, company age, company size, percentage offering significantly affect underpricing. Advice for companies to pay attention to EPS, size, and percentage of shares offered to the level of underpricing is happening is not very high. For investors should consider the information contained in the prospectus, especially the EPS information, company size, and the percentage of the stock offering.


(10)

x

PENGESAHAN KELULUSAN... iii

PERNYATAAN... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

SARI... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang... 1

1.2Rumusan Masalah... 12

1.3Tujuan Penelitian... 13

1.4Manfaat Penelitian... 14

BAB II LANDASAN TEORI... 15

2.1 Asimetri Informasi... 15

2.2 Teori Signaling... 18

2.3 Pasar Modal... 19

2.4 Saham... 24

2.5 Initial Public Offering ( IPO )... 25

2.6 Underpricing... 31

2.7 Faktor-faktor Yang mempengaruhi Underpricing... 33

2.7.1 Debt to Equity Ratio ( DER )... 33

2.7.2 Return On Asset ( ROA )... 34

2.7.3 Earning Per Share ( EPS )... 36


(11)

xi

2.8.2 Pengembangan Hipotesis... 47

BAB III METODE PENELITIAN... 48

3.1 Jenis dan Dasar Penelitian... 48

3.2 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 48

3.3 Variabel Penelitian... 50

3.3.1 Underpricing... 50

3.3.2 Debt to Equity Ratio... 50

3.3.3 Return On Asset ... 51

3.3.4 Earning Per Share ... 51

3.3.5 Umur Perusahaan... 52

3.3.6 Ukuran Perusahaan... 52

3.3.7 Prosentase Penawaran Saham Yang Ditawarkan Kepada masyarakat... 52

3.4 Metode Pengumpulan Data... 53

3.5 Metode Analisis Data... 53

3.5.1 Uji Normalitas... 53

3.5.2 Analisis Regresi Berganda... 54

3.5.3 Uji Asumsi Klasik... 56

3.5.3.1. Uji Autokolerasi... 56

3.5.3.2. Uji Multikolonieritas... 56

3.5.3.1. Uji Heteroskedastisitas... 57

3.5.4 Uji Hipotesis... 58

3.5.4.1 Pengujian Secara parsial ( Uji t )... 58

3.5.4.2 Uji Simultan ( Uji F )... 59

3.5.4.3 Koefisien Determinasi... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 61


(12)

xii

4.1.5 Uji Asumsi Klasik... 68

4.1.5.1 Uji Autokolerasi... 69

4.1.5.2 Uji Multikolonieritas... 69

4.1.4.3 Uji Heteroskedastisitas... 70

4.1.6 Analisis Uji Hipotesis... 71

4.1.6.1 Uji Pengaruh Parsial ( t-Test )... 71

4.1.6.2 Uji Pengaruh Simultan ( F- Test )... 73

4.1.6.3 Uji Koefisien Determinasi... 74

4.2 Pembahasan... 75

4.2.1 Pengaruh DER Terhadap Besarnya Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO.... 75

4.2.2 Pengaruh ROA Terhadap Besarnya Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO.... 76

4.2.3 Pengaruh EPS Terhadap Besarnya Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO.... 77

4.2.4 Pengaruh Umur Perusahaan Terhadap Besarnya Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO... 78

4.2.5 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Besarnya Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO... 79

4.2.6 Pengaruh Prosentase Penawaran Saham Kepada Masyarakat Terhadap Besarnya Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO... 80 4.2.7 Pengaruh DER, ROA, EPS, Umur Perusahaan, Ukuran


(13)

xiii

5.2 Saran... 84 DAFTAR PUSTAKA... 86


(14)

xiv

Tabel 1.3 Perusahaan Yang IPO Tahun 2010... 6

Tabel 1.4 Perusahaan Yang IPO Tahun 2011... 7

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu... 41

Tabel 4.1 Penentuan sampel... 61

Tabel 4.2 Hasil Pengujian Statostik Deskriptif... 62

Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas... 66

Tabel 4.4 Pengujian Secara Parsial... 67

Tabel 4.6 Hasil Pengujian Autokolerasi... 69

Tabel 4.6 Pengujian Multikolonieritas... 70

Tabel 4.7 Hasil Uji Parsial ( Uji t )... 72

Tabel 4.8 Hasil Pengujian Secara Simultan... 74


(15)

xv


(16)

xvi

Lampiran 3 Daftar ROA Perusahaan... 93

Lampiran 4 Daftar EPS Perusahaan... 95

Lampiran 5 Daftar Umur Perusahaan... 97

Lampiran 6 Daftar Ukuran Perusahaan... 99

Lampiran 7 Daftar Prosentase Penawaran Saham Perusahaan... 101


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Adanya perkembangan dalam lingkungan bisnis pada saat ini tentunya akan menciptakan suatu kodisi persaingan yang ketat. Hal ini akan mengakibatkan perusahaan akan melakukan berbagai cara agar bisa bertahan bahkan tumbuh berkembang dalam iklim persaingan yang dihadapi. Demi mencapai pertumbuhan serta perkembangan yang diharapkan, perusahaan akan membutuhkan dana yang besar.

Kebutuhan akan penambahan modal semakin besar seiring dengan perkembangan perusahaan. Hal ini akan mendorong manajemen untuk memilih salah satu dari alternatif – alternatif pembiayaan yang dapat digunakan. Perusahaan memiliki berbagai alternatif sumber pendanaan, yang berasal dari dalam yaitu laba ditahan dan akumulasi penyusutan aktiva tetap, maupun dari luar perusahaan melalui penambahan jumlah kepemilikan saham dengan penerbitan saham baru. Salah satu alternatif pendanaan dari luar perusahaan adalah melalui mekanisme penyertaan yang umumnya dilakukan dengan menjual saham perusahaan kepada publik atau sering dikenal dengan go public. Terdapat berbagai macam alasan mengapa perusahaan ingin go public dan menjual sahamnya kepada masyarakat umum, antara lain untuk meningkatkan modal perusahaan, untuk perluasan usaha, mempermudah usaha pembelian


(18)

perusahaan lain dan memungkinkan manajemen maupun masyarakat mengetahui nilai perusahaan.

Dalam proses go public, sebelum diperdagangkan di pasar sekunder, saham terlebih dahulu dijual di pasar primer atau sering disebut pasar perdana. Penawaran saham secara perdana ke publik atau masyarakat melalui pasar perdana ini dikenal dengan istilah Initial Public Offering (IPO) (Trianingsih, 2005). Pada saat IPO (go public), perusahaan harus menyediakan suatu prospektus yang berisi laporan keuangan, maupun non keuangan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan BAPEPAM. Laporan keuangan dalam prospektus terdiri dari Neraca, Laporan Laba / Rugi, Laporan Arus Kas, dan penjelasan laporan non keuangan seperti auditor independen, penjamin emisi (underwriter), konsultan hukum, umur perusahaan, bidang usaha perusahaan, proporsi kepemilikan saham, dan informasi – informasi lain yang relevan. Informasi yang diungkapkan dalam prospektus akan membantu investor dalam membuat keputusan yang rasional mengenai risiko dan nilai saham sesungguhnya yang ditawarkan emiten (Kim, 1999 dalam Hapsari 2012).

Dana yang diperoleh dalam go public biasanya selain digunakan untuk keperluan ekspansi juga untuk pelunasan hutang yang diharapkan akan semakin menigkatkan posisi keuangan perusahaan selain untuk memperkuat struktur permodalan. Agar saham yang ditawarkan dapat diserap para investor, pemilik perusahaan dituntut untuk bisa menunjukkan bahwa perusahaan merupakan perusahaan yang prospektif yakni ditandai dengan baiknya aliran kas perusahaan juga oleh tingkat pertumbuhan perusahaan. Selain itu, tingkat


(19)

keuntungan yang diperoleh juga memegang peranan penting dalam keberhasilan penawaran perdana suatu perusahaan.

Permasalahan penting yang dihadapi perusahaan ketika melakukan penawaran saham perdana di pasar modal adalah penentuan besarnya harga penawaran saham perdana. Di satu pihak, pemegang saham lama tidak ingin menawarkan saham baru dengan harga terlalu murah kepada pemodal baru. Karena pihak pemegang saham lama tentu menerapkan harga jual yang tinggi sehingga memperoleh penerimaan dari hasil penawaran yang tinggi pula sehingga kebutuhan modal dapat terpenuhi secara optimal. Tetapi di sisi lain, pemodal baru menginginkan untuk memperoleh capital gain dari pembelian saham di pasar perdana tersebut. Harga yang tinggi akan mempengaruhi respon atau minat (calon) investor untuk membeli atau memesan saham yang ditawarkan.

Menurut Gumanti (2002) dalam Hapsari 2012, penetapan harga saham perdana suatu perusahaan adalah hal yang tidak mudah. Salah satu penyebab sulitnya menetapkan harga penawaran perdana adalah karena tidak adanya informasi harga yang relevan. Hal ini terjadi karena sebelum pelaksanaan penawaran perdana, saham perusahaan belum pernah diperdagangkan sehingga kesulitan untuk menilai dan menentukan harga yang wajar. Di samping itu, keterbatasan informasi mengenai apa dan siapa perusahaan yang akan go public membuat underwriter maupun calon investor harus melakukan analisa yang baik sebelum memutuskan untuk membeli (memesan) saham. Harga saham yang akan dijual perusahaan pada pasar perdana ditentukan oleh


(20)

kesepakatan antara emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter (penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran.

Penentuan harga saham yang akan ditawarkan pada saat IPO merupakan faktor penting, baik bagi emiten maupun underwriter karena berkaitan dengan jumlah dana yang akan diperoleh emiten dan risiko yang akan ditanggung oleh underwriter. Jumlah dana yang diterima emiten adalah perkalian antara jumlah saham yang ditawarkan dengan harga per saham, sehingga semakin tinggi harga per saham maka dana yang diterima akan semakin besar. Hal ini mengakibatkan emiten seringkali menentukan harga saham yang dijual pada pasar perdana dengan membuka penawaran harga yang tinggi, karena menginginkan pemasukan dana semaksimal mungkin. Sedangkan underwriter sebagai penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko agar tidak mengalami kerugian akibat tidak terjualnya saham-saham yang ditawarkan, terutama dalam tipe penjaminan full commitment karena dalam tipe penjaminan ini pihak underwriter akan membeli saham yang tidak laku terjual (Ang, 1997). Upaya yang dilakukan underwriter untuk mencegah tidak terjualnya saham-saham emiten adalah dengan melakukan negosiasi dengan emiten agar harga saham tersebut tidak terlalu tinggi.

Apabila harga saham pada pasar perdana (IPO) lebih rendah dibandingkan dengan harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama, maka akan terjadi fenomena harga rendah di penawaran perdana, yang disebut underpricing. Sebaliknya, apabila harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan dengan harga


(21)

saham pada pasar sekunder pada hari pertama, maka fenomena ini disebut overpricing (Darmadji, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Aggrawal, et al. (1994) menyimpulkan bahwa fenomena underpricing sering terjadi pada saat IPO.

Masalah yang seringkali timbul dari kegiatan IPO adalah terjadinya underpricing yang menunjukkan bahwa sebenarnya harga saham pada waktu penawaran perdana relatif lebih rendah dibanding pada saat diperdagangkan di pasar sekunder. Pada saat perusahaan melakukan IPO, harga saham yang dijual pasar perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten dan penjamin emisi (underwriter), sedangkan harga yang terjadi di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar yang telah ada melalui kekuatan permintaan dan penawaran saham tersebut di pasar modal. Apabila penentuan harga saham pada saat IPO secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder di hari pertama, maka terjadi underpricing ( Kim, Krinsky dan Lee, 1995).

Kondisi ini dapat terjadi karena perusahaan calon emiten dan penjamin emisi efek secara bersama-sama mengadakan kesepakatan dalam menentukan harga perdana saham namun mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga perdana yang tinggi karena dengan harga perdana yang tinggi maka emiten dapat memperoleh dana sebesar yang diharapkan, namun tidak demikian halnya dengan penjamin emisi efek. Penjamin emisi efek berusaha meminimalkan resiko penjaminan yang menjadi tanggung jawabnya dengan menentukan harga


(22)

yang dapat diterima oleh para investor. Dengan menentukan harga yang relatif dapat diterima investor maka penjamin emisi efek berharap akan dapat menjual semua saham yang dijaminnya.

Kondisi underpricing merugikan untuk perusahaan yang melakukan go public, karena dana yang diperoleh dari publik tidak maksimum. Sebaliknya jika terjadi overpricing, maka investor akan merugi, karena mereka tidak menerima initial return (return awal). Initial return adalah keuntungan yang didapat pemegang saham karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana dengan harga jual saham yang bersangkutan di pasar sekunder. Para pemilik perusahaan menginginkan agar meminimalisasikan situasi underpricing, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada para investor (Beatty, 1989).

Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham, yang terjadi adalah manajer perusahaan sering mempunyai tujuan yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama tersebut. Hal ini menyebabkan timbul konflik kepentingan antara para manajer dan para pemegang saham perusahaan (agency problem) karena manajemen mempunyai informasi mengenai perusahaan yang tidak dimiliki oleh pemegang saham (asimetri informasi) dan mempergunakannya untuk meningkatkan utilitasnya, padahal setiap pemakai bukan hanya manajemen membutuhkan informasi untuk pengambilan keputusan ekonomi.


(23)

Informasi mengenai perusahaan yang akan melakukan IPO sangat penting dimiliki oleh para pihak yang akan menentukan harga saham pada saat IPO yaitu pihak emiten dan pihak underwriter. Ketidaksamaan informasi yang dimiliki oleh para pihak inilah yang dapat mengakibatkan perbedaan harga sehingga memungkinkan terjadinya underpricing. Baik pada pasar perdana maupun pasar sekunder, asimetri informasi ini selalu terjadi.

Fenomena underpricing terjadi di berbagai pasar modal di seluruh dunia karena adanya asimetri informasi. Asimetri informasi bisa terjadi antara emiten dan penjamin emisi, maupun antar investor. Untuk mengurangi adanya asimetri informasi maka dilakukanlah penerbitan prospektus oleh perusahaan, yang berisi informasi dari perusahaan yang bersangkutan. Informasi yang tercantum dalam prospektus terdiri dari informasi yang sifatnya keuangan dan non keuangan. Informasi yang dimuat dalam prospektus akan membantu investor dalam membuat keputusan yang rasional mengenai resiko nilai saham sesungguhnya yang ditawarkan emiten (Kim, Krinsky dan Lee, 1995).

Penelitian tentang tingkat underpricing dan harga saham dihubungkan dengan informasi pada prospektus merupakan hal yang menarik bagi peneliti keuangan untuk mengevaluasi secara empiris perilaku investor dalam pembuatan keputusan investasi di pasar modal. Riset-riset sebelumnya mengenai pengaruh informasi keuangan dan informai non keuangan terhadap initial return atau underpricng telah banyak dilakukan baik di bursa saham luar negeri maupun Indonesia (Trisnawati,1999, Ardiansyah, 2004).


(24)

Permasalahan menarik dapat ditemui dalam industri keuangan yang digunakan dalam penelitian. Karena perusahan-perusahaan keuangan merupakan perusahaan yang banyak menghadapi berbagai regulasi yang diterbitkan oleh berbagai lembaga yang mengatur sektor keuangan, tentu hal ini akan mengakibatkan minimnya tingkat resiko atas underpricing. Di indonesia lembaga yang mengatur adalah Departemen Keuangan dan Bank indonesia. Monitoring tersebut diharapkan memperkecil ketidakpastian perusahaan keuangan dibandingkan dengan perusahaan non-keuangan (Ernyan dan Husnan, 2002) sehingga diharapkan tingkat underpricing pada industri keuangan akan lebih kecil dibandingkan sektor yang lain. Namun selama periode amatan, hasil di lapangan menemukan masih tingginya tingkat underpricing dalam sektor perusahaan keuangan

Underpricing merupakan fenomena yang menarik karena telah diteliti oleh banyak peneliti di dunia dan sebagian besar peneliti mengatakan bahwa sering terjadi underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO. Salah satunya menurut Husnan (1996), dalam penelitiannya, disimpulkan bahwa IPO pada perusahaan-perusahaan privat maupun perusahaan milik negara (BUMN) biasanya mengalami underpriced.

Meskipun studi tentang underpricing telah banyak dilakukan, namun penelitian di bidang ini masih dianggap masalah yang menarik untuk diteliti karena adanya inkonsistensi hasil penelitian, serta kebanyakan penelitian lebih memfokuskan pada informasi non keuangan. Banyak rasio-rasio keuangan yang mungkin mempengaruhi underpricing. Hal inilah yang mendorong


(25)

penelitian dilakukan di bidang ini. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini menggunakan variabel rasio keuangan dan non keuangan guna mengukur tingkat underpricing. Variabel rasio keuangan yang digunakan disini adalah Debt to Equty Rasio, Return On Asset, Earning Per Share, sedangkan untuk variabel non keuangan digunakan Ukuran Perusahaan, Umur Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham.

Ada beberapa hasil penelitian yang berbeda terhadap underpricing, diantaranya adalah

1. Penelitian yang dilakukan oleh Daljono (2000) dalam Handayani (2008), yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara DER dengan underpricing, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh durukan (2002) dalam Handayani (2008) yang menyatakan bahwa DER tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Ghozali (2002) dalam Tifani (2011), yang menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara ROA dengan underpricing, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh trisnawati (1999) dalam Tifani (2011) yang menyatakan bahwa ROA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistio (2005) dalam Hapsari (2012) yang menyatakan bahwa EPS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2005), yang menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara EPS dengan underpricing.


(26)

4. Penelitian yang dilakukan oleh Rosayati dan Sabeni (2002), yang menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara Umur Perusahaan dengan underpricing, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasirwan (2008) dalam Handayani (2008) yang menyatakan bahwa Umur Perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing.

5. Penelitian yang dilakukan oleh daljono (2008) dalam Handayani (2008) yang menyatakan bahwa Ukuran Perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Durukan (2002) dalam Handayani (2008), yang menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara Ukuran Perusahaan dengan underpricing.

6. Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (1999) yang menyatakan bahwa Prosentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasirwan (2008), yang menyatakan adanya hubungan negatif dan signifikan antara Prosentase penawaran saham dengan underpricing.

Dari berbagai penelitian terdahulu ada ketidakkonsistenan hasil penelitian sehingga masih perlu dilakukan penelitian kembali terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing. Berdasarkan ketidakkonsistenan, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi underpricing saham, khususnya pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).


(27)

Periode waktu penelitian yang digunakan adalah tahun 2008-2011. Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis mengambil judul Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Umum Perdana ( IPO ) Di BEI

1.2 Permasalahan

Berbagai penelitian terdahulu juga telah dilakukan untuk mengkaji fenomena underpricing, namun terdapat perbedaan terhadap hasil penelitian-penelitian tersebut mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing saham. Ketidak konsistenan tersebut menimbulkan permasalahan. Untuk menjawab faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat underpricing¸ maka diajukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?

2. Apakah Return On Asset (ROA) berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?

3. Apakah Earning Per Share ( EPS ) berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?

4. Apakah umur perusahaan berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?

5. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?


(28)

6. Apakah prosentase penawaran saham yang ditawarkan kepada masyarakat berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?

7. Apakah Debt to Equity Ratio (DER), Return On Asset (ROA), Earning per Share (EPS), umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan prosentase saham berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO secara simultan?

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis dari hasil analisis tersebut, dapat diketahui bahwa tujuandari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO.

2. Menganalisis pengaruh Return On Asset ( ROA ) terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO.

3. Menganalisis Earning Per Share ( EPS ) berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO?

4. Menganalisis pengaruh umur perusahaan terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO.

5. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO.

6. Menganalisis pengaruh prosentase penawaran saham yang ditawarkan kepada masyarakat terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO.


(29)

7. Menganalisis pengaruh Debt to Equity Ratio (DER), Return On Asset (ROA), Earning per Share (EPS), umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan prosentase saham terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO secara simultan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing ini diharapkan dapat memperoleh manfaat, antara lain:

1. Manfaat Teoristis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi yang dapat memberikan informasi bagi kemungkinan adanya penelitian lebih lanjut. Bagi kalangan akademis, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dijadikan acuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang. Bagi peneliti, diharapkan dapat membantu untuk menambah wacana dan referensi baik secara teori maupun praktek khususnya mengenai perbandingan underpricing pada penawaran saham perdana perusahaan di Bursa Efek Indonesia ( BEI ) sehingga dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya yang terkait dan sejenis.

2. Manfaat Praktis

Bagi calon investor penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam pengambilan keputusan investasi pada penawaran saham perdana serta bagi emiten dan underwriter dalam menentukan harga saham perdana yang fair dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak dan bagi lembaga regulator diharapkan dapat digunakan sebagai bahan


(30)

pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing saham, sehingga dapat mempertimbangkannya demi keberhasilan dalam melakukan IPO.


(31)

15 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Asimetri Informasi

Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.

Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal (para manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal.

Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai


(32)

penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).

Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu: 1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam

lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.

2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

Underpricing terjadi karena adanya hipotesis informasi asimetri yang terjadi antara investor informed dan investor uninformed (Model Rock) atau antara perusahaan emiten dan penjamin emisi (Model Baron). Model Rock dalam (Rosyati dan Sebeni, 2002) menunjukkan informasi asimetri terjadi pada kelompok investor yang memiliki informasi dan kelompok investor yang tidak mempunyai informasi tentang prospek perusahaan emiten. Kelompok investor yang memiliki informasi lebih banyak akan membeli saham-saham pada saat IPO bila nantinya akan memberikan return, sedangkan kelompok investor yang kurang memiliki informasi tentang prospek emiten akan membeli saham tanpa memperhatikan saham yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya,


(33)

kelompok yang tidak memiliki informasi akan memperoleh proporsi lebih besar pada saham overpriced, karna itu lebih banyak mengalami kerugian dan kelompok ini akan meninggalkan pasar perdana. Agar semua kelompok berpartisipasi dalam pasar perdana dan memperoleh return yang wajar serta dapat menutup kerugian akibat pembelian saham overpriced maka saham IPO harus cukup underpriced. Oleh karena itu, lebih tinggi tingkat ketidakpastian lebih banyak masalah dalam penentuan harga dan menyebabkan underpricing (McGuiness,1992) dalam ( Rosyati dan Sebeni, 2002).

2.2 Teori Signaling

Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi.

Menurut Jogiyanto (2000: 392), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.


(34)

Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai signal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham.

Penggunaan signal positif secara efektif oleh emiten dan underwriter dapat mengurangi tingkat ketidak pastian yang dihadapi oleh investor, sehingga investor dapat membedakan kualitas dari perusahaan yang baik dan buruk. Perusahaan dengan tingkat ekspektasi keuntungan yang baik akan berusaha menunjukkan kualitas perusahaannya yang lebih baik dengan melakukan underpricing dan memberikan informasi mengenai besarnya jumlah saham yang ditahan oleh perusahaan. Harga penawaran underprice dianggap oleh eksternal investor sebagai signal yang dapat dipercaya mengenai kualitas perusahaan dikarenakan tidak semua perusahaan sanggup untuk menanggung biaya underpricing. Perusahaan yang melakukan underpricing sebagai signal untuk menunjukkan kualitas perusahaan hanya akan menjual sebagian kecil sahamnya pada saat IPO. Hal ini dilakukan untuk menghindari biaya underpricing yang terlalu tinggi.

2.3 Pasar Modal

Di Indonesia istilah pasar modal sudah sejak lama telah dikenal oleh masyarakat baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada zaman sesudah kemerdekaan meskipun sempat mengalami kelesuan beberapa waktu lalu. Saat ini hampir semua orang, terutama yang berdiam di kota-kota besar saat ini


(35)

mengenaltempat dilakukannya kegiatan pasar modal itu. Namun demikian apa dan bagaimana jalannya kegiatan yang dilakukan di dalam tempat tersebut, mungkin masih belumdikenal orang.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Pasar Modal sama saja dengan pasar-pasar lain pada umumnya yaitu sesuai dengan namanya adalah tempat berlangsungnya kegiatan jual beli. Yang membedakan pasar modal dengan pasar lainnya adalah objek yang diperjual-belikan di tempat tersebut.

Pengertian Pasar Modal ini, yang dalam terminologi bahasa Inggris disebut Stock Exchange atau Stock Market, adalah : “An organized market or exchange

where shares ( stocks ) are trade” yaitu suatu pasar yang terorganisir dimana berbagai jenis-jenis efek yang diperdagangkan ( Sitompul, 2000 ).

Secara umum pengertian pasar modal adalah pasar yang mempertemukan pihak yang mempunyai kelebihan dana ( pemodal ) atau pihak yang memberi pinjaman ( lender ) dan pihak yang membutuhkan dana sebagai peminjam (borrower). Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1995, Bab I Pasal 1 Butir 13

Tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa :“Pasar Modal adalah kegiatan yang

bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan

profesi yang berkaitan dengan efek.”

Pada dasarnya pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan (securitas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk modal sendiri (stocks) maupun hutang (bonds) baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun oleh perusahaan swasta


(36)

(Husnan, 1998). Jika pasar modal merupakan pasar untuk surat berharga jangka panjang, maka pasar uang (money market) merupakan pasar surat berharga jangka pendek. Baik pasar modal maupun pasar uang merupakan bagian dari pasar keuangan (financial market).

Menurut Anoraga dan Pakarti (2001) pasar modal adalah pelengkap di sektor keuangan terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan. Pasar modal memberikan jasanya yaitu menjembatani hubungan antara pemilik modal dalam hal ini disebut investor dengan peminjam dana yang dalam hal ini disebut emiten ( perusahaan yang go public ). Menurut Jogiyanto (2000) pasar modal merupakan tempat bertemu antara penjual dan pembeli dengan resiko untung atau rugi. Kebutuhan jangka pendek umumnya diperoleh dari pasar uang. Pasar modal merupakan sarana perusahaan untuk meningkatkan kebutuhan dana jangka panjang dengan menjual saham atau mengeluarkan obligasi.

Dari beberapa pengertian pasar modal tersebut dapat dijelaskan bahwa pasar modal merupakan pasar dalam bentuk konkritnya adalah bursa saham efek yang merupakan tempat melakukan kegiatan perdagangan sekuritas. Pengertian efek disini menyatakan komoditas yang diperdagangkan yaitu surat-surat berharga jangka panjang yang dapat berupa saham, obligasi atau sekuritas lainnya seperti sertifikat right atau warrant.

Pasar modal mengemban dua fungsi yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari lender ke borrower. Dengan


(37)

menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki, lenders mengharapkan akan memperoleh keuntungan dari penyerahan dana tersebut. Bagi para borrowers, tersedianya dana dari pihak luar memungkinkan mereka untuk melakukan investasi tanpa harus menunggu tesedianya dana hasil operasi perusahaan. Pada pasar modal Indonesia diperdagangkan dana jangka panjang, yang berbeda dengan perbankan yang juga melaksanakan fungsi ekonomi. Fungsi yang kedua adalah fungsi keuangan yang dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para borrowers dan para lenders menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil untuk keperluan investasi tersebut.

Seperti halnya pasar pada umumnya, pasar modal merupakan pertemuan antara permintaan dan penawaran. Karenanya keberhasilannya juga tergantung pada bagaimana keadaan permintaan dan penawarannya. Hal-hal yang mempengaruhi permintaan dan penawaran di pasar modal, secara rinci adalah sebagai berikut:

1. Penawaran Sekuritas

Berarti bahwa untuk membentuk pasar modal yang baik haruslah tersedia cukup penawaran ekuitas.

2. Permintaan Sekuritas

Berarti harus terdapat cukup banyak masyarakat yang memiliki dana besar untuk membeli sekuritas-sekuritas yang ditawarkan.


(38)

3. Kondisi politik dan ekonomi

Kondisi politik yang stabil akan turut membantu pertumbuhan keadan ekonomi yang pada akhirnya berpengaruh pada penawaran dan permintaan.

4. Masalah Hukum dan Peraturan

Pembeli sekuritas pada dasarnya mengandalkan diri pada informasi yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan penerbit sekuritas, karena itu kebenaran informasi menjadi sangat penting di samping kecepatan dan kelengkapan informasi itu. Peraturan yang melindungi pemodal dari informasi yang salah dan menyesatkan menjadi mutlak diperlukan.

5. Lembaga Lain Keberadaan lembaga yang mengatur dan mengawasi kegiatan pasar modal dan berbagai lembaga yang memungkinkan dilakukannya transaksi secara efisien. Kegiatan dari pasar modal pada dasarnya kegiatan yang dilakukan oleh pemilik dana dan kepada pihak yang memerlukan dana secara langsung, tanpa perantara keuangan yang mengambil alih resiko investasi,sehingga peran informasi yang dapat diandalkan kebenarannya dan cepat tersedia menjadi sangat penting. Di samping itu transaksi harus dapat dilakukan secara efisien dan dapat diandalkan. Oleh karena itu, diperlukan lembaga dan profesi yang menjamin persyaratan tersebut dapat terpenuhi.

2.4 Saham

Diantara surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal, saham biasa (common stock) merupakan salah satu jenis efek yang paling banyak


(39)

diperdagangkan di pasar modal. Bahkan saat ini dengan semakin banyaknya emiten yang mencatatkan sahamnya di bursa efek, perdagangansaham semakin marak dan menarik para investor untuk terjun dalam jual beli saham. Saham biasaadalah jenis saham yang dikeluarkan oleh perusahaan apabila perusahaan tersebut hanya mengeluarkan satu macam saham (Jogiyanto, 1998). Diantara emiten (perusahaan yang menerbitkan surat berharga), saham biasa juga merupakan yang paling banyak digunakan untuk menarik dana dari masyarakat. Secara sederhana, saham didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan.

Saham biasa ada dua jenis, yaitu saham atas nama dan saham atas unjuk. Untuk saham atas nama, nama pemilik saham tertera di atas saham tersebut, sedangkan saham atas unjuk yaitu nama pemilik saham tidak tertera diatas saham, tetapi pemilik saham adalah yang memegang saham tersebut. Seluruh hak-hak pemegang saham akan diberikan pada penyimpan saham tersebut.

Anoraga dan Pakarti (2001) mendefinisikan saham sebagai surat berharga bukti penyertaan atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Manfaat yang dapat diperoleh jika memiliki saham suatu perusahaan adalah :

1. Deviden, bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemilik saham.

2. Capital Gain adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan harga belinya.


(40)

3. Manfaat non finansial, yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan, memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.

2.5 Initial Public Offering (IPO)

Perusahaan yang membutuhkan dana atau emiten dapat menjual surat berharganya di pasar modal. Surat berharga yang baru dikeluarkan oleh perusahaan kemudian dijual di pasar perdana (primary market). Pasar perdana merupakan tempat atau sarana bagi perusahaan yang untuk pertama kali menawarkan saham atau obligasi ke masyarakat umum (Samsul, 2006). Penawaran umum atau pertama kali disebut dengan IPO (Initial Public Offering), dan perusahaan yang melakukan IPO disebutsebagai perusahaan Go Public. Penawaran umum awal ini telah mengubah status perusahaan dari perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka (Tbk.). Harga saham pada pasar perdana ditentukan oleh penjamin emisi dan perusahaan yang akan Go Public (emiten). Selanjutnya surat berharga yang sudah beredar diperdagangkan di pasar sekunder (SecondaryMarket).

Pasar Perdana adalah penawaran saham pertama kali dari emiten kepada para pemodal selama waktu yang ditetapkan oleh pihak penerbit (issuer) sebelum saham tersebut belum diperdagangkan di pasar sekunder. Biasanya dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 6 hari kerja. Harga saham di pasar perdana ditetukan oleh penjamin emisi dan perusahaan yang go public berdasarkan analisis fundamental perusahaan yang bersangkutan. Dalam pasar perdana, perusahaan akan memperoleh dana yang diperlukan. Perusahaan dapat menggunakan dana hasil emisi untuk mengembangkan dan memperluas barang


(41)

modal untuk memproduksi barang dan jasa. Selain itu dapat juga digunakan untuk melunasi hutang dan memperbaiki struktur pemodalan usaha. Harga saham pasar perdana tetap, pihak yang berwenang adalah penjamin emisi dan pialang, tidak dikenakan komisi dengan pemesanan yang dilakukan melalui agen penjualan. Pasar perdana merupakan pasar pertama kali satu perusahaan atau calon emiten melakukan penjualan sahamnya kepada masyarakat (public).

Pasar sekunder adalah tempat terjadinya transaksi jual-beli saham diantara investor setelah melewati masa penawaran saham di pasar perdana, dalam waktu selambat-lambatnya 90 hari setelah izin emisi diberikan maka efek tersebut harus dicatatkan di bursa. Dengan adanya pasar sekunder para investor dapat membeli dan menjual efek setiap saat. Sedangkan manfaat bagi perusahaan, pasar sekunder berguna sebagai tempat untuk menghimpun investor lembaga dan perseorangan. Pasar Sekunder memberikan kesempatan kepada para investor untuk membeli atau menjual efek-efek yang tercatat di Bursa, setelah terlaksananya penawaran perdana. Di pasar ini, efek-efek diperdagangkan dari satu investor kepada investor lainnya. Pasar sekunder atau juga dikenal dengan istilah secondary market adalah merupakan pasar keuangan yang digunakan untuk memperdagangkan sekuriti yang telah diterbitkan dalam penawaran umum perdana.

Keputusan untuk go public atau tetap menjadi perusahaan privat merupakan keputusan yang harus dipikirkan masak-masak. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal makna go public adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh


(42)

emiten (perusahaan penerbit saham) kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaanya. Istilah go public hanya dipakai pada waktu perusahaan pertama kalinya menjual saham atau obligasi. Sedangkan Initial Public Offering merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang, 1997). Jadi makna Go Public ditujukan untuk perusahaanya sedangkan IPO ditujukan untuk kegiatan yang rangka melakukan penawaran umum penjualan saham perdana (Ariawati, 2005).

Terdapat beberapa alasan perusahaan berupaya memperoleh dana dengan melakukan go public di pasar modal. Menurut Suyatmin (2003), alasan-alasan perusahaan menawarkan sahamnya di pasar modal adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan akan dana untuk melunasi hutang baik jangka pendek maupun

jangka panjang sehingga mengurangi beban bunga. 2. Meningkatkan modal kerja

3. Membiayai perluasan perusahaan (pembangunan pabrik baru, peningkatan kapasitas produksi)

4. Memperuas jaringan pemasaran dan distribusi. 5. Meningkatkan teknologi produksi.

6. Membayar sarana penunjang (pabrik, perawatan kantor, dll)

Perusahaan yang melakukan go public harus siap dengan berbagai konsekuensi dan permasalahannya, yaitu memenuhi ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan beserta aturan pelaksanaan yang mengikutinya. Sebagai perusahaan publik, para pemilik lama atau pendiri harus menerima


(43)

keterlibatan pihak-pihak lain dalam perusahaan yang didirikanya tersebut. Sebagaimana yang diwajibkan oleh keputusan menteri keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 (Sunariyah,2006), perusahaan publik harus memenuhi beberapa kesanggupan, yaitu:

1. Keharusan untuk keterbukaan (full disclosure).

Indikator pasar modal yang sehat adalah transparansi atau keterbukaan. Sebagai perusahaan publik yang sahamnya telah dimiliki oleh masyarakat, harus menyadari keterbukaan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, emiten harus memenuhi persyaratan disclosure dalam berbagai aspek sesuai dengan kebutuhan pemegang saham dan masyarakat serta perturan yang berlaku.

2. Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal mengenai kewajiban pelaporan.

Setelah perusahaan go public dan mencatatkan efeknya di bursa, maka emiten sebagai perusahaan publik, wajib menyampaikan laporan secara rutin maupun laporan lain jika ada kejadian kepada BAPEPAM dan BEJ. Seluruh laporan yang disampaikan oleh emiten kepada bursa secepatnya akan dipublikasikan oleh bursa kepada masyarakat pemodal melalui pengumuman dilantai bursa maupun melalui papan informasi. Hal ini penting, karena sebagian investor tidak memilih akses informasi langsung kepada emiten. Untuk mengetahui kinerja perusahaan, investor sangat tergantung pada informasi tersebut dan kewajiban pelaporan dapat


(44)

membantu penyediaan informasi sehingga informasi dapat sampai secara tepat waktu dan tepat guna kepada investor.

3. Gaya manajemen yang berubah dari informal ke formal.

Sebelum go public manajemen tidak mempunyai kewajiban untuk menghasilkan laporan apapun. Tetapi sesudah go public mempunyai komuniksi dengan pihak luar, misalnya Bapepam, akuntan publik,dan stakeholder. Hubungan-hubungan tersebut merupakan hubungan formal yang dilakukan kepada pihak luar, dan aturan-aturan yang berlaku merupakan aturan yang dapat digunakan oleh semua pihak yang membutuhkan.

4. Kewajiban membayar deviden.

Investor membeli saham karena mengharapkan ada keuntungan atau deviden yang dibagi tiap periode dan perusahaan harus memenuhi kewajiban ini secara teratur dan konstan. Jika tidak, maka akan menurunkan kredibilitas perusahaan.

5. Senantiasa berusaha untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan perusahaan. Perusahaan harus menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dalam dunia persaingan sehingga harus bekerja keras untuk memperoleh itu. Hal ini merupakan salah satu kewajiban perusahaan kepada investor yang telah menanamkan modalnya.

Dalam proses Initial Public Offering, calon emiten harus melewati beberapa tahapan (Ang, 1997), yaitu sebagai berikut :


(45)

Tahap persiapan merupakan tahapan yang paling panjang diantara tahapan yang lain ,kegiatan yang dilakukan tahapan ini merupakan persiapan sebelum mendaftar ke Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Dalam tahapan ini, RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan langkah awal untuk mendapatkan persetujuan dari pemegang saham mengenai rencana go public. Anggaran dasar perseroan juga harus diubah sesuai dengan anggaran dasar publik. Kegiatan lain dalam tahap ini adalah penunjukan penjamin pelaksana emisi (lead underwriter) serta lembaga dan profesi pasar modal, yaitu akuntan public, konsultan hukum, penilai, Biro Administrasi Efek (BAE), notaries, security printer serta prospectus printer.

2. Tahap Pemasaran

Pada tahap ini, Bapepam akan melakukan penelitian tentang keabsahan dokumen, keterbukaan seluruh aspek legal, akuntansi, keuangan dan manajemen. Langkah selanjutnya adalah pernyataan pendaftaran yang diajukan ke bapepam sampai pernyataan pendaftaran yang efektif, maka langkah-langkah lain yang harus dilakukan adalah :

a. Due diligence meeting

Due diligence meeting adalah pertemuan dengar pendapat antara calon emiten dengan underwriter, baik lead underwriter maupun underwriter. Dalam hal ini juga mengandung unsure pendidikan, yaitu mendidik emiten untuk dapat menghadapi pertanyaan yang nantinya diajukan oleh calon investor.


(46)

b. Public expose dan roadshow

Public expose merupakan tindakan pemasaran kepada masyarakat pemodal dengan mengadakan pertemuan untuk mempresentasikan kinerja perusahaan, prospek usaha, resiko, dan sebagainya sehingga timbul daya tarik dari para pemodal untuk membeli saham yang ditawarkan. Rangkaian public expose yang diadakan berkesinambungan dari satu lokasi ke lokasi yang lain disebut roadshow, khususnya penawaran saham kepada investor asing. didalam public expose/roadshow ini calon emiten dapat menyebarkan info memo dan prospectus awal.

c. Book building

Didalam proses roadshow, para pemodal akan menyatakan minat mereka atas saham yang ditawarkan. Didalam roadshow / public expose dinyatakan suatu kisaran harga saham sehingga para pemodal akan menyatakan kesediaan mereka untuk membelinya. Proses mengumpulkan jumlah-jumlah saham yang diminati oleh pemodal inilah yang disebut book building.

d. Penentuan harga perdana

Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah penentuan harga final harga perdana saham, yang dilakukan antara lead underwriter dan calon emiten.


(47)

Pada tahap ini calon emiten menerbitkan prospectus ringkas di dua media cetak yang berbahasa Indonesia, yang dilanjutkan dengan penyebaran prospectus lengkap final, melakukan penjatahan, refund dan akhirnya penyerahan Surat Kolektif Saham (SKS) bagi yang mendapat jatahnya. 4. Tahap Perdagangan Sekunder

Tahap ini meliputi tahapan melakukan pendaftaran ke bursa efek untuk mencatatkan sahamnya sesuai dengan kelanjutan perjanjian pendahuluan pencatatan yang telah disetujui. Setelah tercatat maka saham dapat diperdagangkan dilantai bursa.

2.6 Underpricing

Underpricing saham adalah suatu keadaan dimana harga saham yang dioerdagangkan di pasar perdana lebih rendah dibandingkan ketika di pasar sekunder (Sumarso, 2003 dalam Syahputra, 2008). Underpricing saham juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana efek yang dijual di bawah nilai likuidasinya atau nilai pasar yang seharusnya diterima oleh pemegang saham (Ang, 1997). Menurut Brigham (2001), underpricing dapat dikatakan sebagai keadaan dimana saham memberikan return positif pada transaksi pasar sekunder setelah penawaran perdana. Selisih harga inilah yang dikenal sebagai Initial Return (IR) atau positif return bagi investor yaitu nilai positif return yang diperoleh dari penawaran perdana mulai dari saat dibeli di pasar primer sampai pertama kali didaftarkan di pasar sekunder (Jogiyanto, 2007). Harga penawaran saham di pasar perdana adalah hasil kesepakatan antara emiten dengan underwriter. Setelah melakukan Penawaran perdana, saham


(48)

diperjual-belikan di pasar sekunder dimana harga saham ditentukan oleh kuatnya penawaran dan permintaan akan saham. Prosentase selisih harga saham di pasar sekunder dibandingkan dengan harga saham pada Penawaran Perdana menjadi ukuran besarnya initial return. Apabila harga saham di pasar sekunder pada hari pertama perdagangan saham secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawaran di pasar perdana maka saham mengalami underpricing (Sulistio, 2005).

Yolana dan Dwi Martani (2005) mendefinisikan underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Selisih harga inilah yang dikenal sebagai initial return (IR) atau positif return bagi investor. Underpricing adalah fenomena yang umum dan sering terjadi di pasar modal manapun saat emiten melakukan IPO. Fenomena underpricing dikarenakan adanya mispriced di pasar perdana sebagai akibat adanya ketidakseimbangan informasi antara pihak underwriter dengan pihak perusahaan. Dalam literatur keuangan masalah tersebut disebut adanya asymetri informasy.

Di Indonesia, fungsi penjaminan hanya ada satu yaitu tipe full commitment, sehingga pihak underwriter berusaha untuk mengurangi resiko dengan jalan menekan harga di pasar perdana, agar terhindar dari kerugian (Ghozali dan Mudrik Al Mansur, 2002). Tipe penjaminan full commitment adalah tipe penjaminan yang beresiko tinggi bagi underwriter (Nurhidayati dan Nur Indriantoro, 1998). Fenomena underpricing tidak menguntungkan bagi perusahaan yang melakukan go public, karena dana yang diperoleh perusahaan


(49)

atau emiten tidak maksimal tetapi dilain pihak menguntungkan para investor (Prastiwi dan Kusuma, 2001). Dan menurut Beatty (1989) bahwa para pemilik perusahaan menginginkan agar meminimalkan underpricing, karena terjadinya underpricing menyebabkan adanya transfer kemakmuran (Wealth) dari pemilik kepada investor.

Underpricing dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

Harga IPO : harga saat melakukan IPO

Harga Closing : harga penutupan 1 (satu) hari setelah IPO 2.7 Faktor – faktor yang mempengaruhi underpricing

Telah dijelaskan bahwa ketika suatu perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) maka secara rata – rata biasanya harga saham pertama diperdagangan sekunder cenderung mengalami underpriced. Fenomena terjadinya underpricing dijumpai hampir pada semua pasar modal yang ada didunia. Setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi underpricing, yaitu :

2.7.1 Debt to Equity Ratio (DER)

DER merupakan salah satu dari rasio leverage. DER mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. DER menunjukkan keseimbangan antara tingkat leverage (penggunaan hutang) dibandingkan modal sendiri perusahaan. DER juga


(50)

memberi jaminan tentang seberapa besar hutang-hutang perusahaan dijamin modal sendiri perusahaan yang digunakan sebagai pendanaan usaha. (Ang, 1997 dalam Kurniawan )

Semakin besar nilai DER menandakan struktur permodalan usaha lebih banyak memanfaatkan hutang-hutang relatif terhadap ekuitas. Semakin besar DER mencerminkan resiko perusahaan yang relatif tinggi, hal ini dapat mengurangi minat investor untuk membeli saham tersebut. DER yang tinggi menunjukkan risiko finansial atau risiko kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Para investor dalam melakukan keputusan investasi akan mempertimbangkan nilai DER perusahaan. Oleh sebab itu tingkat ketidakpastiannya akan semakin tinggi dan menyebabkan nilai underpricing akan semakin tinggi pula.

Untuk mengukur DER indikator yang digunakan adalah total debt dan total shareholder equity. DER dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

DER : Debt to Equity Ratio TD : Total debt

TSE : Total Shareholder’s Equity 2.7.2 Return On Asset (ROA)

ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas, yaitu rasio yang menunjukan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. ROA digunakan untuk mengukur


(51)

efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ang,1997).

Investor yang akan menanamkan modalnya dapat mempergunakan rasio ini sebagai bahan pertimbangan apakah emiten dalam operasinya nanti dapat memperoleh laba. Dengan kemampuan emiten yang tinggi untuk menghasilkan laba atas asetnya maka akan terlihat bahwa resiko yang akan dihadapi investor akan kecil. Ini berarti bahwa perusahaan dapat memanfaatkan seluruh asetnya dalam memperoleh laba sehingga tingkat underpricing yang diharapkan rendah.

Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya. Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehinnga akan menurunkan tingkat underpricing. Hal ini berarti kemungkinan investor untuk mendapatkan return awal semakin rendah.

Untuk mengukur ROA indikator yang digunakan adalah Net Income After Tax dan Total Assets. Rumus yang digunakan untuk mengukur ROA yaitu :

Keterangan :

ROA : Return On Assat NIAT : Net Income After Tax TA : Total Assets


(52)

2.7.3 Earning Per Share (EPS)

Menurut Ang (1997) Earning Per Share (EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan (Outstanding Shares). Berdasar pada teori signaling (Kim, 1999) yakni untuk mengatasi masalah penilaian yang rendah terhadap harga saham, maka perusahaan yang berkualitas dapat memberikan signal bagi investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kualitas yang baik.

Variabel Earning Per Share merupakan proxy laba per lembar saham perusahaan yang diharapkan dapat memberikan gambaran bagi investor mengenai bagian keuntungan yang dapat diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan memiliki suatu saham. Earning per Share ( laba per saham ) yang dibagikan merupakan salah satu informasi penting bagi investor di pasar modal untuk pengambilan keputusan investasinya. EPS merupakan pendapatan bersih yang tersedia bagi saham biasa yang beredar. Jadi EPS menggambarkan jumlah rupiah yang diperoleh untuk setiap lembar saham biasa atau laba bersih per lembar saham biasa. Jumlah keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham adalah keuntungan setelah dikurangi pajak pendapatan. Pertumbuhan EPS yang positif memperoleh bagian laba yang lebih besar dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang dimilikinya.

Semakin tinggi EPS tentu saja menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah dividen yang diterima pemegang saham.


(53)

Apabila EPS perusahaan tinggi, akan semakin banyak investor yang ingin membeli saham tersebut sehingga menyebabkan harga saham tinggi.

Indikator yang digunakan untuk mengukur EPS adalah Net Income After Tax dan Jumlah lembar saham yang diterbitkan. EPS dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

EPS : Earning Per Share NIAT : Net income after tax

JLS : Jumlah Lembar Saham yang Beredar 2.7.4 Umur Perusahaan

Menurut Daljono (2000) dalam Puspita (2011), umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa yang akan datang.

Umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan telah menjalankan usahanya sehingga bepengaruh pada tingkat pengalaman yang dimilikinya dalam menghadapi persaingan. Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada perusahaan yang baru saja berdiri. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan


(54)

memperkecil ketidakpastian pasar dan pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing saham. Selain itu perusahaan-perusahaan yang umurnya lebih tua bisa dipersepsikan sebagai perusahaan yang sudah tahan uji sehingga kadar risikonya rendah. Dengan demikian, pada umumnya semakin tua umur perusahaan, maka peluang terciptanya initial return akan semakin rendah atau tingkat underpricing semakin rendah.

Semakin lama perusahaan berdiri maka masyarakat luas akan lebih mengenalnya dan investor secara khusus akan lebih percaya terhadap perusahaan yang sudah terkenal dan lama berdiri dibandingkan dengan perusahaan yang relatif masih baru. Perusahaan yang sudah lama berdiri tentunya mempunyai strategi dan kiat-kiat yang lebih baik untuk tetap bertahan di masa depan.

Umur perusahaan dihitung mulai perusahaan didirikan berdasarkan akte pendirian perusahaan sampai perusahaan melakukan IPO.

2.7.5 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan dapat dijadikan sebagai proxy tingkat ketidakpastian saham. Perusahaan yang berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga informasi mengenai prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh investor daripada perusahaan berskala kecil. Tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi oleh calon investor mengenai masa depan perusahaan emiten dapat diperkecil apabila informasi yang diperolehnya banyak (Ardiansyah, 2004)


(55)

Tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar pada umumnya rendah karena dengan skala yang tinggi perusahaan cenderung tidak dipengaruhi pasar, sebaliknya dapat mewarnai dan mempengaruhi keadaan pasar secara keseluruhan. Keadaan ini dapat dinyatakan sebagai kecilnya tingkat resiko investai perusahaan berskala besar dalam jangka panjang. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko investasinya lebih besar dalam jangka panjang.

Ukuran perusahaan dapat diukur dengan total aktiva, jumlah karyawan, jumlah nasabah, modal, dan penjualan perusahaan. Untuk menghitung ukuran perusahaan menggunakan total aktiva perusahaan dari laporan keuangan perusahaan tahun terakhir sebelum perusahaan tersebut melakukan IPO.

2.7.6 Prosentase Penawaran Saham

Besarnya presentase saham menunjukkan presentase saham yang ditawarkan kepada masyarakat oleh perusahaan. Kepemilikan saham diduga mempengaruhi tingkat underpricing, karena semakin besar saham yang ditawarkan kepada masyarakat semakin rendah ketidakpastian dimasa yang akan dating dan berarti semakin tinggi harga saham (Suyatmin dan Sujadi (2006). Prosentase penawaran saham dapat diukur melalui prosentase penawaran saham yang ditawarkan ke public ketika perusahaan melakukan IPO. Menurut penelitian terdahulu yaitu Suyatmin dan Sujadi (2006) variabel OFFER berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing.


(56)

Dengan demikan semakin besar prosentase penawaran saham yang ditawarkan kapada masyarakat maka tingkat ketidakpastiannya akan semakin kecil, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat underpricing saham.

Prosentase penawaran saham dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

PPS : Prosentase saham yang ditawarkan ke publik TSB : Total Saham Beredar

JSYDP: Jumlah Saham yang Ditahan Pemilik

2.7 Kerangka Pemikiran Teoristis dan Pengembangan Hipotesis 2.8.1 Kerangka Pemikiran Teoristis

Salah satu fenomena menarik yang sering terjadi di hampir seluruh pasar modal di dunia termasuk Indonesia adalah fenomena underpricing. Underpricing menimbulkan dampak yang berbeda bagi perusahaan dan investor. Perusahaan akan tidak diuntungkan apabila terjadi underpricing, karena dana yang diperoleh dari go public tidak maksimum. Sedangkan investor akan diuntungkan, karena menerima initial return.

Underpricing disebabkan oleh adanya asimetri informasi (Beatty, 1989). Ketidaksamaan informasi yang dimiliki oleh emiten, underwriter, maupun investor dapat mengakibatkan perbedaan harga yang memungkinkan terjadinya underpricing. Demikian pula Guinness (1992) menjelaskan terjadinya underpricing karena adanya asimetri informasi antara emiten dengan penjamin


(57)

emisi dan antara investor yang memiliki informasi tentang prospek perusahaan emiten dengan investor yang tidak memiliki informasi prospek perusahaan emiten. Ketidaksamaan informasi yang dimiliki oleh para pihak inilah yang dapat mengakibatkan perbedaan harga sehingga memungkinkan terjadinya underpricing.

Faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing penting diketahui baik oleh pihak emiten, underwriter maupun investor. Dengan mengetahui faktor-faktor ini maka dapat dipertimbangkan, bagi emiten untuk menghindari maupun meminimalkan underpricing demi keberhasilan dalam melakukan IPO. Bagi underwriter, sebagai informasi dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai harga yang wajar dan menghindarkan dari risiko saham tidak laku terjual. Bagi investor, sebagai informasi dalam membuat suatu keputusan investasi terutama pada saat membeli saham perdana dengan tujuan memperoleh return yang diharapkan.

Tabel 2.1.

Ringkasan Penelitian Terdahulu Penelitian Variabel

dependen Variabel Independen Teknik Analisis Hasil Nurjanti T

dan Kustini (2007) Underpricin g Reputasi underwriter, Stock offering, stock retention, listing time regresi linear berganda variabel berpengaruh signifikan underpricing reputasi underwriter serta listing time, sedangkan stock offering dan stock retention tidak berpengaruh terhadap underpricing


(58)

Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu ( Lanjutan) Penelitian Variabel

dependen Variabel Independen Teknik Analisis Hasil Apriliani Triani dan Nikmah (2006) Return Awal, Return 15 hari sesudah IPO, Kinerja perusahaan satu tahun setelah IPO Reputasi penjamin emisi, Reputasi auditor, Persentase penawaran saham, Ukuran Perusahaan Variabel kontrol, Umur Perusahaan, Nilai Penawaran Saham, Deviasi Standar Return, Jenis Industri, Kondisi Perekonomian Ordinary Least Square Regression

return awal, return 15 hari

sesudah IPO dan kinerja

perusahaan satu tahun setelah IPO

menunjukkan reputasi penjamin emisi,

reputasi auditor, dan persentase penawaran saham tidak berpengaruh secara signifikan, sedangkan variabel kontrol umur perusahaan,

deviasi standar return dan

jenis industri

menunjukkan pengaruh signifikan. Ukuran perusahaan dan kondisi perekonomian

berpengaruh signifikan dan positif sedangkan nilai penawaran saham berpengaruh signifikan dan negatif. Kim, Krinsky dan Lee (1995)

underpricing investasi, kualitas penjamin emisi, ukuran perusahaan dan nilai penawaran saham regresi linear berganda semua variabel independen yang digunakan berasosiasi signifikan terhadap tingkat underpricing


(59)

Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu ( Lanjutan) Penelitian Variabel

dependen Variabel Independen Teknik Analisis Hasil Sri Trisnaningsih (2005)

Underpricing Reputasi underwriter, ROA, financial leverage regresi linear berganda hanya variabel ROA yang tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing Ardiyansyah (2004) Initial Return dan return 15 hari setelah IPO ROA, DER, EPS, Proceeds, pertumbuhan laba, CR, besaran perusahaan, reputasi penjamin emisi, reputasi auditor, umur perusahaan jenis industri dan kondisi perekonomian regresi linear berganda

EPS dan kondisi perekonomia berpengaruh signifikan terhadap initial return dan return 15 hari setelah IPO; financial leverage berpengaruh signifikan terhadap return 15 hari setelah IPO; besaran perusahaan tidak berhasil ditunjukkan sebagai variabel moderat terhadap hubungan antar variabel keuangan dgn initial return dan return 15 hari setelah IPO


(60)

Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu ( Lanjutan) Penelitian Variabel

dependen Variabel Independen Teknik Analisis Hasil Yolana dan Martani (2005)

initial return variabel independent kualitas underwriter, ukuran perusahaan, Rata-rata kurs, ROE dan jenis industri regresi linier berganda

rata-rata kurs dan ROE berpengaruh signifikan positif terhadap initial return, sedangkan variabel jenis industri dan ukuran perusahaan

berpengaruh signifikan negatif terhadap initial return dan variabel kualitas underwriter tidak

berpengaruh signifikan Sumber : kumpulan berbagai jurnal yang diolah

Semakin menariknya informasi mengenai faktor-faktor penyebab underpricing dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang dilakukan antara lain Beatty (1989) di pasar modal Amerika, Kim et al. (1993) di pasar modal Korea, How et al. (1995) di pasar modal Australia. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing juga telah banyak dilakukan di Indonesia diantaranya Trisnawati (1998), Abdullah (2000), Sandhiaji (2004), Yolana dan Martani (2005), serta Gerianta (2008).

Perbedaan penelitian saya dengan Nurjanti adalah variabel yang saya ambil berbeda, variabel independen yang saya ambil yaitu DER, ROA, EPS, ukuran perusahaan, umur perusahaan dan prosentase saham yang ditawarkan ke publik. Sedangkan Variabel independen yang diambil Nurjanti yaitu reputasi underwriter, stock offering, stock retention, dan listing time.. Pebedaan


(61)

dengan penelitian Beatty adalah ada beberapa variabel yang berbeda yaitu ROA, DER, EPS dan ukuran perusahaan. Perbedaan dengan Kim, Krinsky dan Lee adalah ada beberapa variabel yang berbeda yaitu ROA, DER, EPS, umur perusahaan, dan prosentase saham yang ditawarkan ke publik. Perbedaan dengan Daljono adalah variabel yang berbeda yaitu DER, EPS dan ukuran perusahaan Perbedaan dengan Ardiyansyah adalah prosentase saham yang ditawarkan. Sedangkan perbedaan dengan Yolana dan Martani adalah ROA, DER, EPS , umur perusahaan dan prosentase saham yang ditawarkan ke publik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing penting diketahui baik oleh pihak emiten, underwriter maupun investor. Dengan mengetahui faktor-faktor ini maka dapat dipertimbangkan, bagi emiten untuk menghindari maupun meminimalkan underpricing demi keberhasilan dalam melakukan IPO. Bagi underwriter, sebagai informasi dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai harga yang wajar dan menghindarkan dari risiko saham tidak laku terjual. Bagi investor, sebagai informasi dalam membuat suatu keputusan investasi terutama pada saat membeli saham perdana dengan tujuan memperoleh return yang diharapkan.

Informasi keuangan dan non keuangan yang terkandung dalam prospektus merupakan ketentuan yang harus dimiliki perusahaan go public. Dengan adanya informasi dalam prospektus tesebut diharapkan akan dapat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya pada perusahaan yang akan go public, sehingga perusahaan sebagai emiten di bursa


(62)

akan mendapatkan return yang maksimal untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Informasi keuangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Debt To Equity Ratio, Return On Assets, Earnig Per Share. Sedangkan informasi non keuangan yang digunakan dalam penelitan ini adalah ukuran perusahaan , umur perusahaan, prosentase penawaran saham. Informasi keuangan dan non keuangan tersebut diperkirakan memiliki pengaruh tehadap underpricing pada industri keuangan. Berdasarkan hal tersebut dapat digambarkan bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Debt to Equity Ratio (X1)

Return On Asset (X2)

Underpricing pada perusahaan

keuangan (Y) Earnimg Per Share (X3)

Umur Perusahaan (X4)

Ukuran Perusahaan (X5)

Prosentase Penawaran Saham (X6)


(63)

2.7.2 Pengembangan Hipotesis

Dari penjabaran telaah pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Debt to Equity Rasio (DER) berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing

H2 : Return On Asset ( ROA ) berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing

H3 : Earning Per Share ( EPS ) berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing

H4 : Umur perusahaan berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing

H5 : Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing

H6 : Prosentase penawaran saham yang ditawarkan kepada Masyarakat berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricig

H7 : Debt to Equity Ratio (DER), Return On Asset (ROA), Earning per Share (EPS), umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan prosentase saham berpengaruh terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO secara simultan


(1)

Lampiran 7

Daftar Prosentase Penawaran Saham

No. Kode Total Saham Beredar Saham yang di tahan pemilik

1 SIAP 60.000.000.000 49.398.000.000

2 TRAM 873.180.000.000 472.565.016.000

3 ADRO 3.198.596.200.000 1.982.170.065.100

4 PDES 71.500.000.000 49.999.950.000

5 INDY 520.714.200.000 380.730.601.600

6 BSDE 1.093.562.287.000 640.718.144.000

7 GZCO 500.000.000.000 389.550.000.000

8 KOIN 85.000.000.000 6.001.500.000

9 YPAS 66.800.000.000 59.765.960.000

10 ELSA 729.850.000.000 571.107.625.000

11 TRIL 120.000.000.000 90.000.000.000

12 BAPA 65.000.000.000 61.997.000.000

13 BAEK 264.330.000.000 261.580.968.000

14 BCIP 120.000.000.000 69.660.000.000

15 DSSA 77.055.232.000 46.156.084.000

16 BWPT 403.708.244.000 372.299.742.600

17 MKPI 94.819.400.000 78.330.306.800

18 INVS 170.200.000.000 158.098.780.000

19 BPFI 100.000.000.000 55.000.000.000

20 TRIO 445.000.000.000 388.529.500.000

21 MFMI 75.758.100.000 50.000.346.000

22 BSIM 718.849.500.000 431.309.700.000

23 MIDI 288.235.300.000 120.540.002.500

24 APLN 2.050.000.000.000 1.374.320.000.000

25 KRAS 1.577.500.000.000 1.182.000.000.000

26 TBIG 455.669.988.900 346.445.892.600

27 ICBP 583.095.400.000 469.858.273.300

28 HRUM 270.000.000.000 188.487.000.000

29 BRAU 3.490.000.000.000 3.092.489.000.000

30 BUVA 285.714.250.000 177.142.835.000

31 IPOL 644.050.078.000 414.059.795.100

32 GREN 460.500.000.000 339.987.150.000

33 BJBR 959.932.825.400 719.949.619.100

34 SKYB 58.500.000.000 4.522.050.000


(2)

Daftar Prosentase Penawaran Saham

(Lanjutan)

No. Kode Total Saham Beredar Saham yang di tahan pemilik

36 BIPI 3.007.574.400.000 1.781.386.317.100

37 PTPP 484.243.650.000 380.324.962.700

38 EMTK 339.819.950.000 276.239.637.400

39 BAJA 140.000.000.000 103.474.000.000

40 ABMM 220.253.200.000 195.078.259.200

41 VIVA 103.482.000.000 62.027.110.800

42 GEMS 500.000.000.000 485.000.000.000

43 ARII 235.000.000.000 72.098.000.000

44 SUPR 50.000.000.000 41.665.000.000

45 STAR 280.000.000.000 180.964.000.000

46 PTIS 45.016.530.000 35.112.893.400

47 SDMU 66.370.000.000 36.954.816.000

48 ALDO 40.000.000.000 23.364.000.000

49 TIFA 80.170.000.000 59.526.225.000

50 MTLA 568.450.000.000 509.785.960.000

51 SIMP 1.265.305.000.000 911.019.600.000

52 BULL 1.100.000.000.000 361.460.000.000

53 HDFA 108.000.000.000 75.740.400.000

54 SRAJ 478.525.000.000 387.748.807.500


(3)

Lampiran 8

Output SPSS

Descriptive Statistics

N

Minimum Maximum

Mean

Std. Deviation

Underpricing

55

.02

.70

.2782

.23382

DER

55

.14

11.30

1.5462

2.23859

ROA

55

.00

.24

.0598

.04661

EPS

55

.01

200.00

20.6255

49.54159

Umur

55

1

49

14.69

10.616

Ukuran

55

70005

4.E7

5.25E6

8536345.853

Prosentase

55

.01

.93

.3045

.19285

Valid N

(listwise)

55

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 55

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation .21061683

Most Extreme Differences Absolute .126

Positive .126

Negative -.063

Kolmogorov-Smirnov Z .932

Asymp. Sig. (2-tailed) .350


(4)

(5)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) .357 .101 3.535 .001

DER .005 .017 .045 .277 .783 .641 1.561

ROA -1.375 .743 -1.074 -1.851 .070 .771 1.297 EPS -.001 .001 -.260 -2.724 .011 .124 1.083 Umur 9.273E-5 .003 .004 .031 .976 .907 1.102 Ukuran 1.474E-9 .000 1.054 2.356 .033 .139 1.353 Prosentase .042 .168 .535 2.252 .028 .885 1.130 a. Dependent Variable: Underpricing


(6)

ANOVA

b

Model

Sum of

Squares

df

Mean Square

F

Sig.

1

Regression

.557

6

59.093

2.760

.017

a

Residual

12.395

48

51.050

Total

22.952

54

a. Predictors: (Constant), Prosentase, DER, EPS, Umur, ROA,Ukuran

b. Dependent Variable: Underpricing

Model Summary

b

Mode

l

R

R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

Durbin-Watson

1

.434

a

.189

.087

.22339

1.837

a. Predictors: (Constant), Prosentase, DER, EPS, Umur, ROA, Ukuran

b. Dependent Variable: Underpricing