Studi Literatur SALAK_DOKUMEN ORIENTASI PENELITIAN PILAR PANGAN

ORIENTASI; Tujuan jangka pendek cluster penelitian ini adalah mem- peroleh karakter morfologi dan molekuler salak unggul baru Tasikmalaya di- banding Salak Lokal Tasikmalaya, Pondoh dan Nglumut untuk digunakan se- bagai lampiran dalam perlindungan varietas atau paten HKI. Adapun tujuan jangka panjangnya adalah meningkatkan produktivitas tanaman salak, baik dalam kualitas, kontinuitas, maupun jumlah, melalui perbaikan teknologi budidaya sehingga bermanfaat bagi masyarakat Tasik- malaya untuk merehabilitasi lahan hutan salak seluas 9.025 Ha menjadi ke- bun salak produktif. Dengan demikian, hasil penelitian ini juga dapat me- ningkatkan pendapatan para petani salak Tasikmalaya khususnya dan Indo- nesia umumnya karena produknya mampu berkompetisi, baik di pasar lokal, regional, nasional maupun internasional.

III. Studi Literatur

Tanaman salak merupakan tanaman monokotiledon yang umumnya su- lit diperbanyak secara vegetatif. Namun adanya inovasi teknik pembiakan vegetatif secara cangkok oleh Drg Sudibyo di Sleman Yogyakarta, telah ber- hasil membuat salak Pondoh tersebar di seluruh pulau Jawa termasuk Jawa Barat umumnya dan Tasikmalaya khususnya. Teknik cangkok ini yang utama adalah bagaimana cara mengakarkan anakan salak sebelum dipisahkan dari induknya Santoso, 1990. Pada kenyataannya tidak semua tanaman salak mudah diperbanyak secara cangkok, termasuk tanaman salak calon varietas unggul lokal Tasikmalaya, dari 20 anakan yang dicangkok hanya satu pohon yang berhasil disapih dari induknya Gumilar, 2007; komunikasi pribadi. Oleh karena itu, pada tahun 2009–2010 telah dilakukan percobaan pencangkokan salak unggul baru Tasikmalaya diikuti tindakan penyemaian bibitnya, serta penanaman bibit tersebut di kebun penelitian salak seluas 0,5 Ha. Setelah sekian lama dilakukan dan dimonitoring, ternyata hasilnya belum memuaskan; walaupun berhasil memunculkan akar hampir 100 , pertumbuhan akar anakan lebih lambat dibanding akar tanaman salak Pon- doh. Demikian juga daya adaptasinya terhadap lingkungan baru jauh lebih rendah dibanding salak Pondoh yaitu baru mencapai 10 yang tumbuh di persemaian dan 10 yang tumbuh di lapangan pertanaman. Hal ini mungkin disebabkan karena sistem metabolisme karbohidrat salak unggul Tasikmalaya berbeda dengan salak unggul Pondoh, sehingga menyebabkan daya dukungnya terhadap pertumbuhan akarpun berbeda dibanding salak 110 Pondoh. Selain itu juga, teknik penyapihan anakan dari induk ke persemaian dan dari persemaian ke lapangan juga perlu dikembangkan lebih baik lagi Nursuhud dkk., 2010; Nursuhud, 2011. Jadi, ada dua hal yang diduga menyebabkan tanaman salak Tasikmalaya ini tidak sanggup beradaptasi dengan lingkungan barunya: pertama, karena sistem perakarannya tidak berkembang dengan baik sehingga tidak mampu menghadapi perubahan iklim yang ekstrim; kedua, karena tanaman ini memerlukan latihan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga tatkala ditempatkan di tempat barunya tidak mengalami stres kemudian mati. Pertama, masalah lemahnya pertumbuhan dan perkembangan perakaran salak dapat diatasi dengan cara meningkatkan kemampuan bibit tersebut untuk berakar dan beramifikasi bercabang-cabang dan berbulu- bulu dengan cepat. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa menumbuhkan akar salak Manonjaya menggunakan teknik cangkok, walaupun tanpa menggunakan zat pengatur tumbuh telah berhasil sekitar 90 bahkan ada yang 100 , namun sayangnya pada umur cangkokan yang sama 3 bulan, salak Manonjaya baru tumbuh 3 cm dan belum beramifikasi, sementara salak Pondoh tumbuh 20 cm dan beramifikasi. Ini bukan berarti bibit salak Manonjaya tidak punya potensi untuk berakar dengan baik, namun untuk mencapai hal tersebut bibit butuh bantuan dari luar, berupa perlakuan khusus. Perlakuan khusus untuk inisiasi dan ramifikasi akar meliputi rekayasa kondisi nutrisional dan hormonal tanaman. Nutrisi mensuplai energi yang dibutuhkan bagi diferensiasi dan perkembangan sel, sedangkan hormon tumbuh berperan memacu diferensiasi dan perkembangan sel. Jika hormon tumbuh endogen di dalam tanaman sedikit, maka hormon tumbuh dapat diberikan secara eksogen berupa zat pengatur tumbuh ZPT. Zat pengatur tumbuh yang biasa dipakai untuk memacu pertumbuhan akar adalah sejenis auksin seperti IAA, IBA, NAA, 2,4 D dan 2,4,5 T. Namun belakangan diketahui bahwa kinerja hormon tumbuh auksin dalam memacu pertumbuhan dan perkembangan akar dapat ditingkatkan dengan adanya hormon tumbuh etilen Narlikar and Muralidhar, 2005; Ivanchenko et.al., 2008. Biasanya konsentrasi hormon auksin IBA untuk tanaman softwood yang paling baik 111 sekitar 1000 ppm, sedangkan konsentrasi etilen etrel, ethephon optimum pada tanaman nenas di Malayasia adalah 240 ppm. Kedua, daya adaptasi tanaman terhadap lingkungan baru dapat ditingkatkan melalui pelatihan, yang disebut hardening. Hardening adalah tindakan keras ekstrim yang diberikan terhadap tanaman agar tanaman tersebut mampu hidup di lingkungan baru yang keras, berbeda dengan lingkungan tumbuh sebelumnya. Perlakuan hardening metodenya berma- cam-macam tergantung jenis tanamannya dan tergantung pada lingkungan yang bagaimana yang akan dihadapi bibit tersebut. Perubahan temperatur, cahaya, dan kelembaban, yang bagi tanaman tertentu merupakan hal yang ekstrim; menyebabkan tanaman stres, layu, kemudian mati. Tapi bagi tana- man yang telah mengalami perlakuan hardening; tanaman akan bertahan, tidak tumbuh tapi juga tidak mati; namun jika setelah itu mengalami kon- disi lingkungan tumbuh yang cocok, dia akan tumbuh dengan cepat dengan vigor yang tinggi. Lingkungan tumbuh iklim mikro pada saat bibit bersama induk, di persemaian, dan di pertanaman lapangan satu sama lain berbeda. Pada saat bersama induk kondisi cahayanya sedikit redup, kelembaban tinggi, temperatur rendah dengan fluktuasi relatif stabil. Pada saat di persemaian cahaya agak terang, kelembaban udara sedang, dan temperatur sedang dengan fluktuasi agak stabil. Sedangkan pada saat di lapangan intensitas cahaya tinggi, temperatur tinggi, kelembaban rendah, dengan fluktuasi reatif tinggi. Perubahan kondisi iklim mikro dari indukan ke persemaian dan ke lapangan dengan fluktuasi makin ekstrim membutuhkan sistem perakaran yang kuat, baik luasnya maupun daya adaptasinya. Jadi keberhasilan perlakuan hardening akan bergantung juga pada keberhasilan terjadinya ramifikasi akar. Penerapan teknologi hardening pada produksi bibit di Indonesia merupakan hal yang baru; kalaupun ada, biasanya belum dikaji secara ilmiah. Maka perlakuan hardening harus dapat diikuti prosesnya dengan cermat, baik perlakuan maupun kondisi lingkungan tumbuhnya, harus betul- betul terukur dengan baik, agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak merusak bahan tanaman. Peningkatan intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman, akan berdampak pada peningkatan temperatur dan penurunan kelembaban udara, mengakibatkan peningkatan 112 evapotranspirasi ET dan penurunan kelembaban tanah drought hardening, yang akhirnya tanaman menjadi stres dengan gejala pertumbuhan pupus shoot terhambat, kadar gula dan kadar pati di daun meningkat, pertumbuhan akar meningkat, dan kadar prolin di tanaman meningkat. Maka pengaturan penyiraman air mist irrigation atau irigasi tetes drip irrigation pada saat panas terik, dan atau pengaturan peningkatan intensitas cahaya matahari secara perlahan, sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman. Kalau hal ini berhasil, maka semakin lama tanaman akan semakin kuat dan tahan terhadap sengatan matahari, temperatur tinggi, dan kekeringan media tumbuh seperti kondisi ekstrim di lapangan; yang pada akhirnya tanaman akan lulus mengikuti program hardening. Sekarang tanaman calon salak unggul baru Tasikmalaya tersebut telah diperbanyak secara vegetatif cangkok dan secara bertahap ditanam di dalam kebun induk seluas 0,5 Ha dan mulai berbuah Nursuhud, 2011. Langkah berikutnya dilakukan identifikasi karakter morfologi dan molekulernya. Tindakan identifikasi dan karakterisasi morfologi terhadap sa- lak tersebut sangat diperlukan, mengingat salak unggul baru ini akan didaftarkan sebagai perlindungan varietas maupun HKI. Karakter morfologi telah digunakan untuk identifikasi, karakterisasi, serta analisis kekerabatan dan keragaman genetik berbagai spesies tanaman sejak lama. Berbagai spesies tanaman yang telah diidentifikasi dan dikarakterisasi berdasarkan karakter morfologinya antara lain: Curcuma spp. Velayudhan et al., 1999; Sasikumar, 2005; Hussain et al., 2008; Keeratinijakal et al., 2010, Alpinia spp. Hussin et al., 2000, Zingiber spp. Ravindran et al., 1994; Kladmook et al., 2010, Z. barbatum Wicaksana et al., 2011, kale Cartea et al., 2002, Vitis vinifera Ortiz et al., 2004, greater yam Hasan et al., 2008, semangka Szamosi et al., 2009, melon Oumouloud et al., 2009, gandum Dos Santos et al., 2009, dan vigna Ghalmi et al., 2010. Karakter morfologi ini banyak digunakan karena sangat mudah diamati dan diukur. 113

IV. Roadmap Cluster