PENINGKATAN PATI RESISTEN TEPUNG PISANG MELALUI FERMENTASI OLEH

69

6. PENINGKATAN PATI RESISTEN TEPUNG PISANG MELALUI FERMENTASI OLEH

Lactobacillus salivarius FSnh1 DENGAN DUA SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN- PENDINGINAN [Improving of banana flour resistant starch by using fermentation of Lactobacillus salivarius FSnh1 with two cycles of autoclaving-cooling] ABSTRAK Pati resisten RS tepung pisang dapat ditingkatkan melalui fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, akan tetapi fermentasi spontan kurang dapat mengendalikan proses fermentasi dan mutu produk. Penelitian ini bertujuan meningkatkan RS tepung pisang melalui fermentasi terkendali menggunakan starter indigenus pisang Lactobacillus salivarius FSnh1 yang dilanjutkan dengan dua siklus pemanasan bertekanan- pendinginan. Fermentasi dilakukan pada irisan pisang pada suhu ruang selama 12 jam dan 24 jam yang dilanjutkan dengan pemanasan bertekanan suhu 121 o C, 15 menit dan pendinginan suhu 4 o C, 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 10 6 CFUmL selama 12 jam dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan kadar RS lebih tinggi daripada fermentasi 24 jam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 dapat mempersingkat waktu fermentasi pisang sekitar 12 jam dalam pembuatan tepung pisang kaya pati resisten. ABSTRACT Resistant starch RS could be increase by combination of spontaneous fermentation with two cycles of autoclaving-cooling process, but the spontaneous fermentation could not controll the fermentation process and quality of product. The research improved banana flour resistant starch by controlled fermentation using indegenous banana starter Lactobacillus salivarius FSnh1 followed by two cycles of autoclaving-cooling process. Fermentation was conducted on the banana slices at room temperature for 12 and 24 h, then followed by two cycles of autoclaving 121 o C, 15 min and cooling 4 o C, 24 h. The result showed that 12 h fermentation by L. salivarius FSnh1 10 6 CFUmL increased RS content more higher than 24 h fermentation . It can be concluded that utilization of L. salivarius FSnh1 can reduce the time of banana fermentation up to 12 h on the production of RS-rich banana flour. Keywords: Lctobacillus salivarius FSnh1, controlled fermentation, autoclaving- cooling process, resistant starch. 70 PENDAHULUAN Tepung pisang sebagai ingredien pangan fungsional khususnya kaya pati resisten resistant starchRS sedang menarik perhatian untuk diteliti. Hal ini berhubungan dengan potensi RS sebagai kandidat prebiotik yang bersifat selektif bagi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan probiotik sehingga akan memberikan efek menyehatkan bagi manusia. Salah satu modifikasi proses untuk pembuatan tepung pisang modifikasi kaya RS telah dirintis oleh Jenie et al. 2009. Fermentasi spontan yang dikombinasi dengan proses otoklaf-pendinginan mampu meningkatkan kandungan pati resisten tipe III RS3 tepung pisang lebih dari 17 per berat kering tepung. Penelitian sebelumnya menunjukkan fermentasi spontan selama 24 jam pada pisang var agung semeru didominasi oleh bakteri asam laktat BAL dari genus Lactobacillus yaitu strain L. salivarus FSnh1. Fermentasi secara spontan memiliki kelemahan diantaranya yaitu jenis mikroba yang tumbuh dapat bervariasi dan sangat tergantung pada kondisi dan lingkungan sehingga sulit dikendalikan. Populasi awal BAL yang rendah dapat menyebabkan bakteri pembusuk serta bakteri patogen tumbuh cepat mendahului pertumbuhan BAL Antara 2010. L. salivarius adalah bakteri gram positif dengan G+C antara 33 sampai 36, batang pleomorfik dengan ukuran 0.6 × 1.5-5 µm, anaerob fakultatif, katalase negatif, nonmotil, homofermentatif obligat, tidak membentuk spora, membentuk koloni putih susu, tumbuh optimal pada suhu 37 o C dan dapat tumbuh pada suhu 45 o C tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 15 o C Rogosa et al. 1953; Stern et al. 2006. Pertama kali ditemukan, L. salivarius dikenal sebagai L. cellobiosus karena kemampuannya untuk memfermentasi selobiosa dan sumber karbon lainnya seperti fruktosa, manosa, N-asetilglukosamin dan sukrosa. Beberapa strain mampu memfermentasi galaktosa, maltosa dan rhamnosa Rogosa et al. 1953. Bakteri tersebut umumnya hidup di inang seperti pada mulut dan saluran pencernaan mamalia termasuk manusia Mozzi et al. 2010. 71 Jenie et al. 2009 melaporkan bahwa fermentasi pisang menggunakan starter L. fermentum maupun L. plantarum kik dapat meningkatkan kadar RS hampir dua kali pada fermentasi 24 jam. Kadar RS tepung pisang menurun jika fermentasi diperpanjang hingga 72 jam dan rendemen tepung yang dihasilkan rendah. Penggunaan kultur starter indigenus dari bahan aslinya akan memudahkan dalam mengendalikan proses fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang lebih baik dan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan Antara 2010. Penelitian ini akan menggunakan starter BAL indigenus yaitu L. salivarius FSnh1 dalam upaya meningkatkan RS tepung pisang modifikasi. Irisan pisang difermentasi dengan menggunakan starter selama 12 dan 24 jam yang selanjutnya diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan tepung pisang modifikasi yang kaya pati resisten. BAHAN DAN METODE Bahan Pisang var agung semeru Musa paradisiaca formatypica diperoleh dari Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata. Isolat L. salivarius FSnh1 diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru pada fermentasi jam ke-24. Starter disiapkan dengan menumbuhkan L. salivarius FSnh 1 pada media MRSB yang diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Metode Pembuatan Tepung Pisang Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer tertutup yang berisi akuades steril 3:4. Kultur L. salivarius FSnh1 diinokulasikan pada pisang sehingga populasi kultur mencapai jumlah 10 6 72 CFUml. Selanjutnya pisang diinkubasi selama 12 dan 24 jam pada suhu kamar dalam kondisi tertutup. Pisang ditiriskan selanjutnya diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses pemanasan bertekanan dilakukan dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 o C selama 15 menit yang dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu 4 o C selama 24 jam. Pisang yang sudah diretrogradasi dikeringkan 50 o C, 16 jam dan dihaluskan serta diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh. Tepung pisang kontrol disiapkan tanpa modifikasi yaitu pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm dan dikeringkan pada suhu 50 o C selama 16 jam selanjutnya dihaluskan serta diayak dengan ayakan 80 mesh. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru. Pengamatan Populasi Bakteri Asam Laktat Cairan fermentasi pisang diambil sebanyak 10 mL dari pisang yang difermentasi selama 12 jam dan 48 jam untuk menghitung populasi L. salivarius FSnh1. Selanjutnya ditambah dengan 90 ml akuades steril dan dilakukan pengenceran berseri. Tiga seri hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan dilakukan pemupukan metode tuang pada media de Mann Rogosa Sharp Agar MRSA, kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 2 hari. Nilai pH diukur dengan menggunakan pHmeter, sedangkan total asam laktat ditentukan dengan menggunakan metode titrimetri. Analisis Komposisi Pati Amilosa, RDS, SDS dan RS Analisis komposisi kimia pati meliputi kadar pati, amilosa dan kadar pati dicerna cepat RDS, pati dicerna lambat SDS dan pati resisten RS. Analisis kadar pati menggunakan metode hidrolisis langsung oleh asam, sedangkan analisis kadar amilosa menggunakan metode kompleks iodin AOAC 1999. Total glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis dianalisis dengan menggunakan metode DNS Dubois et al. 1956. Kadar pati dihitung dari total glukosa dikali 73 faktor koreksi 0.9. Kadar RDS, SDS dan RS dianalisis menggunakan metode Englyst et al. 1992. Analisis Statistik Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance ANOVA. Untuk mengetahui adanya perbedaan dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil pada taraf uji 5 p ≤ 0.05. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Bakteri Asam Laktat, pH dan Total Asam Laktat Populasi BAL meningkat selama 24 jam fermentasi terkendali irisan pisang oleh L. salivarius FSnh1 Tabel 6.1. Populasi BAL yang ditumbuhkan adalah sebesar 6 log CFUml, selanjutnya pada jam ke-12 mencapai hampir 7 log CFUml dan populasi pada jam ke-24 mencapai hampir 8 log CFUml. Derajat keasaman pH menurun dari pH awal 6.16 menjadi 5.40 pada jam ke-12 dan 5.02 pada jam ke-24, sedangkan produksi asam laktat meningkat hingga mencapai 0.24 pada jam ke-24. Tabel 6.1 Populasi bakteri asam laktat, nilai pH dan konsentrasi asam laktat selama fermentasi pisang Lama Fermentasi Jam Populasi Bakteri Asam Laktat Log CFUml pH Asam Laktat mlml 6.2 ± 0.12 6.16 ± 0.08 0.08 ± 0.02 12 6.9 ± 0.10 5.40 ± 0.09 0.12 ± 0.02 24 7.9 ± 0.07 5.02 ± 0.05 0.24 ± 0.01 Fermentasi pisang secara terkendali oleh L. salivarius FSnh1 menghasilkan derajat keasaman yang lebih rendah yaitu pH 5.40 pada jam ke-12 dan pH 5.02 pada jam ke-24 dibandingkan fermentasi spontan Tabel 4.1 pH 6.12 pada jam ke-12 dan pH 5.36 pada jam ke-24. Derajat keasaman yang semakin rendah juga 74 meningkatkan konsentrasi asam laktat pada cairan fermentasi. Hal ini disebabkan oleh starter yang digunakan merupakan bakteri asam laktat yang menghasilkan asam organik diantaranya asam laktat. Beberapa strain Lactobacillus spp mampu secara langsung memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat seperti L. amylophilus GV6 Vishnu et al. 2006, L. amilovorus Zhang Cheryan 1991, L. fermentum K9 Sanni et al. 2002, L. manihotivorans OND32T Guyot Morlon-Guyot, 2001 dan L. plantarum A6 Sanni et al. 2002; Thomsen et al. 2007. Kemampuan BAL tumbuh pada pangan berpati dikarenakan BAL tersebut mampu menghasilkan enzim tertentu seperti amilase dan amiloglukosidase yang mendegradasi pati menjadi glukosa sebagai sumber energi utamanya. L. salivarius merupakan BAL homofermentatif sehingga mampu menghasilkan lebih dari 85 asam laktat dari jumlah glukosa yang dikonsumsinya. BAL homofermentatif memfermentasi 1 mol glukosa menjadi 2 mol asam laktat. Setiap molekul glukosa yang dimetabolisme membutuhkan 2 mol ATP dan menghasilkan 4 mol ATP sehingga total ATP yang dihasilkan adalah 2 mol ATP Rogosa et al. 1953; Reddy et al. 2008. Kadar Pati, Amilosa, RDS, SDS, RS Tepung Pisang Gambar 6.1 dan hasil ANOVA Lampiran 1.l memperlihatkan kadar amilosa tepung pisang meningkat pada fermentasi 12 jam akan tetapi menurun pada fermentasi 24 jam. Terjadinya peningkatan kadar amilosa pada jam ke 12 diduga karena telah terjadi degradasi amilopektin menjadi amilosa. Selanjutnya amilosa akan didegradasi menjadi glukosa jika substrat sudah tidak mengandung gula sederhana. Hal ini menyebabkan kadar amilosa pada fermentasi 24 jam lebih rendah 13.78 daripada fermentasi 12 jam 15.65. Peningkatan jumlah amilosa sangat berperan dalam pembentukan pati teretrogradasi yang terhitung sebagai pati resisten RS. 75 Gambar 6.1 Pengaruh lama fermentasi oleh Lactobacillus salivarius FSnh1 terhadap kadar amilosa tepung pisang PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan Leeman et al. 2006 melaporkan kadar amilosa yang tinggi pada pati kentang dapat meningkatkan kadar pati teretrogradasi RS3 hampir dua kalinya. Pati kentang yang memiliki kadar amilosa 64 dapat menghasilkan RS sekitar 26 dibandingkan dengan kadar amilosa 23 yang hanya menghasilkan RS 5.3. Kadar amilosa pada tepung pisang dari proses fermentasi selama 24 jam tidak berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol. Hal ini diduga karena fermentasi yang terjadi lebih dari 12 jam menyebabkan amilosa terdegradasi menjadi glukosa yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan BAL. Hasil metabolisme BAL tersebut selain energi juga asam laktat. Oleh karena itu fermentasi 24 jam lebih banyak menghasilkan asam laktat, sedangkan amilosa sangat diharapkan peningkatannya karena berperan dalam pembentukan pati resisten selama proses retrogradasi pemanasan bertekanan-pendinginan. Degradasi pati dapat terjadi pada komponen amilopektin membentuk struktur oligomer dengan rantai karbon yang lebih pendek atau rantai tidak bercabang seperti amilosa. Vishnu et al. 2006 melaporkan bahwa L. amylophilus GV6 yang ditumbuhkan pada media berpati mampu terinduksi untuk menghasilkan enzim pululanase. Hal ini bisa memungkinkan jika L. salivarius FSnh1 mampu menghasilkan enzim tertentu yang dapat memotong rantai cabang 14.06 c 15.65 a 13.78 c 14.67 b 15.62 a 14.69 b 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Kontrol Fermentasi 12 jam Fermentasi 24 jam Dua siklus PBP Fermentasi 12 jam - dua siklus PBP Fermentasi 24 jam - dua siklus PBP K adar A m ilos a 76 amilopektin pada sisi endo α-1,6 seperti isoamilase, amiloglukosidase atau pululanase. Menurut Rogosa et al. 1953, L. salivarius memiliki kemampuan memotong ikatan glukosidik dari polisakarida. Tabel 6.2 Pengaruh lama fermentasi pisang oleh L. salivarius FSnh1dan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap komposisi pati tepung pisang modifikasi Komposisi bk Kontrol Fermentasi 12 jam Fermentasi 24 jam Dua siklus PBP Fermentasi 12 jam dengan dua siklus PBP Fermentasi 24 jam dengan dua siklus PBP Pati 1 70.93 ± 0.23 a 70.45 ± 0.03 b 67.12 ± 0.86 d 68.25± 0.06 c 68.02 ± 0.25 c 66.62 ± 0.21 e RDS 2 38.56 ± 0.23 a 37.46 ± 0.06 b 33.49 ± 0.35 c 22.10 ± 0.06 e 22.59 ± 0.25 f 23.13 ± 0.21 d SDS 2 25.87 ± 0.05 c 26.96 ± 0.01 b 29.14 ± 0.23 a 20.1 ± 0.04 d 16.90 ± 0.09 f 17.76 ± 0.17 e RS 2 9.17 ± 0.08 c 8.52 ± 0.13 d 7.74 ± 0.24 e 38.16 ± 0.05 b 41.95 ± 0.50 a 38.62 ± 0.12 b RS 1 6.50 ± 0.08 c 6.00 ± 0.13 d 5.20 ± 0.24 e 26.04 ± 0.05 b 28.53 ± 0.50 a 25.72 ± 0.12 b PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan RDS = rapid digestable starch SDS = slowly digestable starch RS = resistant starch 1 = berat kering tepung 2 = berat kering pati Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji ≤ 0.05 Tabel 6.2 menunjukkan kadar pati mengalami penurunan selama fermentasi baik 12 jam maupun 24 jam. Hal ini disebabkan oleh kemampuan BAL mendegradasi pati menjadi komponen yang lebih kecil seperti oligomer amilosa yang selanjutnya akan dikonversi menjadi gula sederhana glukosa. Fermentasi 12 jam yang dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan RS tepung pisang hampir 5 kali lipat dibandingkan tepung pisang kontrol. Fermentasi tersebut mampu meningkatkan kadar amilosa sehingga meningkatkan amilosa yang teretrogradasi akibat pemanasan bertekanan-pendinginan. Oligomer amilosa membentuk ikatan double helix pada saat restrukturisasi pati selama proses pendinginan suhu 4 o C, 24 jam sehingga menghasilkan pati yang bersifat resisten terhadap hidrolisis enzim pencernaan Sajilata et al. 2006; Soto et al. 2007. Fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 menurunkan kadar pati cepat tercerna RDS dan pati resisten RS, akan tetapi kadar pati lambat tercerna SDS meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena RDS dimetabolisme terlebih dahulu 77 oleh BAL daripada SDS, sedangkan kadar RS menurun diduga karena terjadi hidrolisis parsial pada granula pati oleh enzim yang dihasilkan BAL tersebut sehingga sifat resisten granula menurun dan granula menjadi lebih mudah dihidrolisis oleh enzim α amilase. Ambriz et al. 2008 menjelaskan bahwa proses likuifikasi dengan menggunakan amilase dari Bacillus subtilis mampu menurunkan kadar pati resisten tepung pisang. Penelitian sebelumnya juga menghasilkan kadar RDS dan RS yang lebih rendah dengan adanya fermentasi spontan tanpa dikombinasi dengan proses pemanasan bertekanan-pendinginan. KESIMPULAN Penggunaan starter L. salivarus FSnh1 mampu meningkatkan kadar amilosa dan mempersingkat waktu fermentasi sekitar 12 jam dalam pembuatan tepung pisang kaya RS dibandingkan fermentasi selama 24 jam. Kadar RS tepung pisang yang tinggi 28.53 dihasilkan dari proses fermentasi selama 12 jam yang dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui retensi RS dalam aplikasinya pada pengolahan produk pangan. DAFTAR PUSTAKA Ambriz SLR, Hernandez JJI, Acevedo EA, Tovar J, Perez LAB. 2008. Characterization of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. J Food Chem. 107: 1515–1521 Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th . USA. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chem . 28: 350–356. Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr.46Suppl.2:533-50 Guyot JP, Morlon-Guyot J. 2001. Effect of different cultivation conditions on Lactobacillus manihotivorans OND32T, an amylolytic Lactobacillus isolated from sour starch cassava fermentation. Int J Food Microbiol. 67:217–25 . 78 Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB Leeman MA, Malin E, Karlsson, Eliasson AC, Bjorck IME. 2006. Resistant starch formation in temperature treated potato starches varying in amyloseamylopectin ratio. J Carbohy Polymers. 65: 306–313 Mozzi F, Raya RR. Fignolo GM. 2010. Biotecnology of Lactic Acid Bacteria: novel application. Wiley Blackwell Publishing. State Avenue- Iowa USA. Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Biotechnol Adv. 26: 22–34. Rogosa M, Wiseman RF, Mitchell JA, Disraely MN, Beaman. 1953. Species differentiation of oral lactobacilli from man including description of Lactobacillus salivarius nov. spec. and Lactobacillus cellobiosus nov. spec. J Bacteriol . 65, 681–699 Saguilan AA, Huicochea EF, Tovar JT, Meraza FG, Perez LAB . 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch. 57: 405-412. Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety . 5: 1-17. Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62. Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310. Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy . 50 9 :3111–3116 Thomsen MH, Guyot JP, Kiel P. 2007. Batch fermentations on synthetic mixed sugar and starch medium with amylolytic lactic acid bacteria. Appl Microbiol biotechnol . 74:540–6. Vishnu C, Naveena BJ, Altaf MD, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L+ lactic acid. J Enzyme Microb Technol. 38: 545–50. Zhang DX, Cheryan M. 1991. Direct fermentation of starch to lactic acid by Lactobacillus amylovorus . Biotechnol Lett. 10:733–8. 79

7. EVALUASI SIFAT PREBIOTIK DAN INDEKS GLIKEMIK TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI