9
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Pisang
Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam pengembangan sumber pangan lokal. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang
masih mentah yang sudah cukup tua namun belum masak. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam
pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi
buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan.
Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada pembuatan roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran makanan bayi. Pada
dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna tepung yang dihasilkan beragam, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah,
jenis buah dan cara pengolahan. Buah pisang kepok mempunyai warna tepung yang paling baik yaitu putih.
Ada beberapa jenis pisang yang warnanya berbeda-beda, tetapi hampir semua yang dijual di pasar atau supermarket berwarna kuning ketika sudah
matang dengan bentuk mayoritas melengkung. Deptan 2009 mengklasifikasikan jenis pisang menjadi empat yaitu:
1. Pisang yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak yaitu Musa paradisiaca var.sapienium, M. nana
L atau M. cavendishii, dan M. sinensis.
Misalnya pisang ambon, susu, raja, barangan dan mas. 2. Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu M. paradisiaca formatypica atau
M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok.
3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan kluthuk.
4. Pisang yang diambil seratnya, misalnya pisang manilaabaca.
10 Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Pada
umumnya daging buah pisang mengandung energi, protein, lemak, berbagai vitamin serta mineral seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi zat gizi pisang per 100 g buah segar Aurore et al. 2009
Senyawa Komposisi
Energi Kkal 91.00
Air g 63.00
Karbohidrat g 24.30
Protein g 0.80
Lemak g 0.10
Ca mg 7.00
Mg mg 33.00
P mg 35.00
Fe mg 0.50
Cu mg 0.16
Β karoten ekuivalen µg 0.03 – 1.20
Vitamin B1 mg 0.05
Vitamin B2 mg 0.05
Vitamin B6 mg 0.07
Vitamin C mg 20.00
Asam pantotenat mg 0.37
Asam folat mg 0.16
Serotonin mg 45.00
Tingkat kematangan juga mempengaruhi komposisi kimia daging pisang seperti kadar pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati.
Tingkat kematangan ini ditandai dengan perubahan warna kulit pisang seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.2.
11 Tabel 2.2 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat
kematangan warna kulit pisang Zhang et al. 2005
Tahap Warna Kulit
Komposisi 100 g berat segar Suhu
Gelatinisasi
o
C Pati
Gula Reduksi
Sukrosa
1 Hijau
61.7 0.2
1.2 74 - 81
2 Hijau
58.6 1.3
6.0 75 - 80
3 Hijau ada kuning
42.4 10.8
18.4 77 - 81
4 Lebih hijau
daripada kuning 39.8
11.5 21.4
75 - 78 5
Lebih kuning daripada hijau
37.6 12.4
27.9 76 - 81
6 Kuning dengan
ujung hijau 9.7
15.0 53.1
76 - 80 7
Kuning sempurna
6.3 31.2
51.9 76 - 83
8 Kuning sedikit
noda cokelat 3.3
33.8 52.0
79 - 83 9
Kuning banyak noda cokelat
2.6 33.6
53.2 -
Pisang var agung semeru Musa paradisiaca formatypica merupakan jenis pisang yang biasa dimakan setelah diolah misalnya dikukus, digoreng, direbus,
diolah menjadi kolak, kripik, dan lain sebagainya. Pisang var agung semeru mempunyai ukuran buah yang besar dan bentuk yang menyerupai tanduk
sehingga di beberapa tempat menyebutnya sebagai pisang tanduk. Pisang ini mempunyai panjang dapat lebih dari 10 cm. Setiap tandan hanya mempunyai satu
hingga tiga sisir.
Gambar 2.1 Pisang var agung semeru Musa paradisiaca formatypica
12 Pisang var agung semeru banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang
Jawa Timur. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Dinas UPTD Pertanian Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, populasi pisang var agung
semeru di awal tahun 2004 mencapai 323 hektar dari luas total Kecamatan Senduro yaitu 52,000 hektar. Produksi pisang var agung semeru di Kecamatan
Senduro mencapai 33 ribu ton per tahun, dan tahun 2004 meningkat menjadi 37 ribu ton. Data UPT Dinas Pertanian Kecamatan Senduro tahun 2009 menunjukkan
produksi pisang var agung semeru masih lebih tinggi yaitu mencapai 4,095,000 kg dibandingkan produksi pisang jenis lainnya seperti pisang mas 1,123,850 kg,
pisang ambon 1,757,520 kg dan pisang kepok 526,500 kg. Populasi tanaman pisang var agung semeru di desa Jambe Arum Kecamatan Pasrujambe mencapai
612.5 hektar atau sekitar 1.53 juta pohon pisang, dengan asumsi rata-rata 2,500 pohon pisang per hektar RPJMD Kabupaten Lumajang 2009.
Karakteristik dan Modifikasi Pati
Pati merupakan homoglikan yang terdiri atas satu jenis unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan glukosida. Unit glukosa pati membentuk dua jenis
polimer yaitu amilosa dan amilopektin. Pada umumnya pati mengandung 15-30 amilosa, 70-85 amilopektin dan 5-10 bahan lain seperti lipid, protein dan
mineral Emanual 2005. Amilosa adalah homoglikan D-glukosa dengan ikatan
α-1,4 dari struktur cincin piranosa, sedangkan amilopektin adalah homoglikan D-glukosa dengan
ikatan α-1,4 dan α-1,6 dari struktur cincin piranosa. Amilosa biasanya
dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan
β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna. Enzim
β-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan
α-1,4 dari ujung non pereduksi rantai amilosa sehingga menghasilkan maltosa. Kemampuan amilosa berinteraksi
dengan yodium membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati Emanual 2005.
13 Bentuk pati secara alami berupa butiran-butiran kecil yang sering disebut
granula. Bentuk dan ukuran granula setiap jenis pati mempunyai karakteristik tersendiri sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain dari pati adalah bentuk dan keseragaman granula, lokasi hilum serta permukaan granula pati. Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih,
mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-lapisan tipis
dan tersusun secara terpusat. Beberapa pati dapat diidentifikasi penampilan karakteristik morfologisnya
di bawah mikroskop cahaya. Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari daerahzona amorf dan semi kristal yang masing-masing
mempunyai lebar beberapa ribu nanometer. Pasangan masing-masing zona tersebut membentuk cincin dan masing-masing granula mempunyai panjang
kurang lebih 50 mm. Daerah amorf mengandung amilopektin dalam jumlah lebih kecil dibanding amilosa. Masing-masing lamela kristalin terdiri atas kelompok
rantai paralel dengan ikatan -1,4 glukan dan secara bersama-sama membentuk
konformasi heliks. Cabang -1,6 pada heliks membentuk lamela yang amorf dan
membentuk jaringan dengan lamela kristalin. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorf bersifat labil terhadap asam
kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan. Semakin banyak unit amorf yang
tersusun maka pati akan lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan. Pati yang memiliki unit amorf atau amilosa lebih banyak apabila diberi perlakuan
retrogradasi maka jumlah pati resisten yang terbentuk akan meningkat. Skema struktur pati tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 Eliason Gudmunsson
1996.
14
Gambar 2.2 Struktur granula pati yang menunjukkan daerah amorf dan semi kristal Eliason Gudmunsson 1996
Pati pisang memiliki ukuran diameter rata-rata 24.31 µm untuk pati yang tidak dimasak dan 59-66 µm untuk pati yang dimasak Nunez-Santiago et al.
2004. Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi Zhang et al.
2005. Lawal 2004 menjelaskan cara modifikasi pati di antaranya melalui proses
hidrolisis asam, oksidasi, ikat silang cross-linking atau cross bonding, subtitusi dan gelatinisasi. Pati termodifikasi asam dibuat dengan menghidrolisis pati
menggunakan asam di bawah suhu gelatinisasi sekitar 52
o
C sehingga terjadi pemotongan ikatan
α-1,4-glukosidik dari amilosa dan α-1,6-D-glukosidik dari amilopektin membentuk pati dengan ukuran molekul lebih rendah. Pati teroksidasi
dibuat dengan penambahan natrium hipoklorid dan banyak digunakan pada pembuatan kertas. Pati pregelatinisasi dibuat dengan cara memanaskan pati
sehingga terjadi gelatinisasi dan banyak digunakan pada pembuatan saus, pasta dan jelly. Pati yang diperoleh secara kimia dari reaksi ikat silang bahan kimia
seperti boraks, epikloridin, fosfor oksiklorida dan lain sebagainya. Pati jenis ini banyak digunakan sebagai pie filling pada pengalengan, gravy dan saus,
Cincin Semikristalin Cincin Amorf
Bagian Amorf Lamela Kristalin
Lamela Amorf Rantai C
Rantai A Rantai B
Kluster
15 pembuatan makanan bayi dan salad dressing. Pati termodifikasi oleh hidrolisis
α– amilase menyebabkan terjadinya pemotongan ikatan glukosidik yang berlangsung
dalam dua tahap yaitu serangan enzim secara acak akan mendegradasi pati menjadi maltosa dan maltotriosa dan hidrolisis oligosakarida menjadi glukosa dan
maltosa.
Indeks Glikemik
Pati dalam pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai glikemik dan ketahanannya terhadap enzim pencernaan. Pati glikemik didegradasi dalam
saluran pencernaan oleh enzim amilase. Pati glikemik dapat dikategorikan sebagai pati yang dicerna secara cepat rapidly digestible starchRDS dan pati yang
dicerna secara lambat slowly digestible starchSDS. RDS dicerna secara cepat dalam usus halus, sedangkan SDS dicerna lebih lambat daripada RDS. Kedua
jenis pati ini dapat dicerna secara sempurna. Contoh pati yang dicerna secara cepat adalah pati yang mengalami gelatinisasi seperti kentang rebus. Pati yang
dicerna secara lambat banyak terdapat pada bahan pangan seperti pasta Croghan 2002.
Indeks glikemik IG adalah petunjuk tentang faali makanan terhadap kadar glukosa darah dan respon insulin. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah
dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah. Glukosa murni digunakan
sebagai pembanding IG yang memiliki nilai IG 100. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi IG suatu pangan di antaranya adalah proses pengolahan,
perbandingan kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik, kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat antigizi
Foster-Powell Miller 1995. Proses pengolahan seperti pengecilan ukuran dapat mempengaruhi IG
pangan. Ukuran partikel dapat mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Ukuran butiran pati yang semakin kecil memudahkan penyerapan air pada granula pati
dan semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga lebih mudah dicerna dan
16 diserap. Oleh karena itu semakin kecil ukuran partikel akan meningkatkan IG
pangan. Pangan yang lebih banyak mengandung amilopektin akan lebih lama dicerna menjadi glukosa karena membutuhkan dua macam enzim untuk
mendegradasinya yaitu α-amilase dan α, 1-6 glukosidase sehingga lebih lambat dalam meningkatkan kadar IG Astawan Widowati 2011
Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim
sukrase atau invertase. Fruktosa diserap dan diambil langsung, selanjutnya diubah menjadi glukosa dalam hati. Oleh sebab itu respon gula darah terhadap fruktosa
murni sangat kecil yaitu 23. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga pencernaan
makanan dalam usus halus lebih lambat. Hal ini akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah sehingga IG pangan rendah. Kandungan zat antigizi dalam
pangan seperti antitripsin dan fitat dalam kedelai dapat mempengaruhi pelepasan glukosa. Zat antigizi dapat membentuk kompleks dengan zat gizi seperti protein
sehingga menurunkan daya cerna protein. Zat antigizi lain seperti senyawa polifenol dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga menurunkan
daya cerna pati Fostel-Powell Miller 1995; Astawan et al. 2006.
Pati Resisten dan Sifat Prebiotik
Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna. Sejumlah besar pati yang tidak dapat dicerna masuk ke dalam usus besar dan merupakan
substrat yang penting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut bersifat resisten terhadap enzim pencernaan sehingga disebut pati resisten resistant starchRS.
RS tidak dapat didegradasi oleh enzim pencernaan dalam sistem pencernaan manusia. RS dapat terukur bersama-sama dengan serat dalam bahan pangan
sebagai komponen serat pangan. Adanya serat dalam bahan pangan dapat mempengaruhi asupan nutrisi dan energi serta meningkatkan distensi pelebaran
lambung yang berkaitan dengan penahanan rasa kenyang. Serat yang larut air dapat menurunkan penyerapan lemak dan protein. Pati resisten maupun serat
17 tertentu dapat difermentasi oleh mikroflora usus besar yang akan menghasilkan
asam lemak rantai pendek yaitu asam propionat, asam asetat dan asam butirat. Komponen tersebut dapat memberikan aspek fungsional bagi kesehatan tubuh. RS
juga bisa memodifikasi lingkungan intrakolonik dan secara tepat mengubah fungsi toksikologi serta melindungi terhadap kanker colorectal dengan memperpendek
waktu transit dan meningkatkan densitas kamba feses Kumari Thayumanavan 1997.
Ada empat macam pati resisten RS yang dikelompokkan berdasarkan asal terbentuknya. RS tipe I RS1 adalah jenis pati yang terperangkap di dalam
matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II RS2 adalah pati alami yang berupa granula pati, contohnya pati jagung yang kaya amilosa, pati kentang
mentah dan pati pisang mentah. RS tipe III RS3 adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang. RS
tipe IV RS4 adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia Sajilata et al. 2006.
RS3 merupakan pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Pembentukan RS3 terjadi karena granula pati mengalami
gelatinisasi. Granula rusak akibat proses pemanasan basah dan terjadi pelepasan amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer
terpisah sebagai ikatan ganda membelit double helix dan mengalami pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur
kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen Sajilata et al. 2006. Peristiwa ini dikenal dengan istilah retrogradasi Lawal 2004. Amilosa teretrogradasi RS3
bersifat lebih stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim amilase.
Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya
terlihat bahwa penggunaan RS pada makanan dapat didegradasi oleh bakteri- bakteri kolon dan bersifat promotif bagi kesehatan. RS pati jagung yang
dihasilkan dari proses modifikasi secara kimia dapat menstimulasi pertumbuhan
18 Bifidobacteria
sehingga merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial Hegar 2007.
Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram dibandingkan kentang 3.2 gram pada takaran penyajian yang sama Mendosa
2008. Saguilan et al. 2005 menjelaskan bahwa pati pisang cavendish Musa cavendishii
yang sudah tua tapi belum matang mengandung RS sebesar 1.51 ± 0.1 berat kering. Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebesar dua kali
jika dihidrolisis dengan HCl litnerized starch, dan meningkat sebesar 7 – 10 kali jika dipanaskan pada suhu 121
o
C selama 1 jam autoclaved starch. Beberapa riset telah melakukan modifikasi proses untuk meningkatkan
kandungan RS tepung pisang. Kecepatan aliran udara selama proses pengeringan chips
irisan pisang mentah dapat mempengaruhi kandungan RS pada tepung pisang yang dihasilkan. Pengeringan pada suhu 55
o
C dengan kecepatan udara 1.0 mdetik mampu meningkatkan kadar RS sekitar 40 Tribess et al. 2009. Jenie et
al . 2009 melaporkan bahwa modifikasi proses di tingkat pisang secara
fermentasi spontan dan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan RS tepung pisang hingga dua kali lipat. Jenie et al. 2010
mengaplikasikan tepung pisang yang dihasilkan pada pembuatan produk pangan yaitu roti, cookies dan brownies.
Konsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi mikrobiota kolon yang menyebabkan bifidobakteria lebih dominan dalam kolon
dan banyak ditemukan dalam tinja Gibson Roberfroid 1995. RS3 dari gandum, kentang dan kacang polong dapat menstimulasi pertumbuhan
bifidobakteria yaitu Bifidobacteria pseudolongum KSI9, B. breve KN14 dan B. animalis
KS20a1 Wronkowska et al. 2006. RS4 dari jagung juga mampu menstimulasi pertumbuhan Bifidobacteria sp Hegar 2007. Pati resisten termasuk
molekul yang mempunyai panjang rantai derajat polimerisasi lebih pendek. Panjang rantai ini sangat berhubungan dengan kecepatan fermentasi. Roberfroid et
al. 1997 menjelaskan bahwa derajat polimerisasi suatu oligosakarida dari bahan
bifidogenik seperti kelompok β-fruktan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecepatan fermentasi secara in vitro. Molekul dengan derajat
19 polimerisasi DP kurang dari 10 seperti inulin akan difermentasi dua kali lebih
cepat daripada molekul yang mempunyai DP lebih dari 10. Pengaruh prebiotik terhadap pertumbuhan probiotik dinyatakan sebagai
indeks prebiotik IP yang dihitung berdasarkan jumlah logaritmik pertumbuhan probiotik, dan mikroflora usus lainnya seperti klostridia dan bakteroides terhadap
jumlah mikroba total. Analisis tersebut dilakukan dengan menumbuhkan mikroba dari feses manusia pada medium yang mengandung prebiotik uji Manderson et
al . 2005; Roberfroid 2007.
Prebiotik didefinisikan sebagai suatu karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap tetapi dapat difermentasi secara selektif dan mempunyai
fungsi regulasi terhadap probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek kesehatan bagi manusia maupun hewan Salminen Wright 2004. Beberapa
prasyarat yang dijabarkan FAO 2007 yaitu meliputi karakteristik prebiotik yang mendeskripsikan sumber asal prebiotik, tingkat kemurniannya, komposisi kimia
dan strukturnya. Karakteristik lainnya adalah jumlah asupan yang dikonsumsi, sifat fungsional yang dapat menunjukkan bukti ilmiah antara efek fisiologis
senyawa prebiotik dalam memodulasi mikrobiota pada daerahorgan spesifik. Kualifikasi prebiotik didasarkan pada penelitian dan metode ilmiah yang
representatif dan akurat, serta keamanannya jika prebiotik tersebut dikonsumsi. Prebiotik juga tidak mengandung kontaminan dan impuritis, tidak mengubah
mikrobiota yang menyebabkan dampak negatif bagi inang manusia. Oleh karena itu senyawa prebiotik perlu mendapatkan status GRAS Generally Recognized As
Safe atau setaranya. Beberapa klaim kesehatan dalam hubungannya dengan efek
fisiologis dari senyawa prebiotik golongan oligosakarida dipaparkan pada Tabel 2.3.
Beberapa jenis prebiotik antara lain FOS fruktooligosakarida, inulin, GOS galaktooligosakarida, laktulosa, laktitol Collin Gibson 1999; Macfarlane
Cummings 1999. Bahan-bahan tersebut paling sering dipakai sebagai prebiotik. Di samping itu terdapat pula bahan lain yang memenuhi kriteria prebiotik
misalnya xilosa, soya dari kedelai, dan manosa Gibson et al. 2000. Menurut FAO 2007 terdapat sekelompok golongan senyawa prebiotik baru yang masih
20 dalam tahap pengembangan yaitu pektioligosakarida, laktosukrosa, gula alkohol,
gluko-oligosakarida, levan, pati resisten, xilosakarida dan soy-oligosakarida. Tabel 2.3 Efek fisiologis dan klaim manfaat kesehatan oligosakarida
Macfarlane Cummings 1999
Efek Fisiologis Faktor Kesehatan
- Menstimulasi metabolisme karbohidrat; meningkatkan massa sel bakteri, asam
lemak rantai pendek
- Selektif terhadap bifidobakteria dan bakteri asam laktat dalam usus besar
- Tidak terhidrolisis oleh mikroorganisme mulut
- Tidak bersifat glikemik - Menstimulasi dan bersifat tidak spesifik
terhadap fungsi imun - Memodulasi metabolisme karsinogen
- Mengurangi sintesis LDL dan trigliserida serum
- Meningkatkan penyerapan Mg dan Ca Melalui asam lemak rantai pendek,
menyediakan sumber energi untuk epitel kolon dan mengontrol diferensiasi serta
menghindari sembelit
Meningkatkan retensi terhadap invasi patogen
Melindungi terhadap karies gigi Bermanfaat bagi penderita diabetes
Mencegah infeksi Bersifat antikarsinogen atau antikanker
Mencegah penyakit jantung koroner Mencegah osteoporosis
Prebiotik dapat memodulasi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan probiotik. Peningkatan populasi probiotik memiliki manfaat diantaranya yaitu
mencegah kanker karena dapat menghilangkan bahan prokarsinogen dari tubuh dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Probiotik tertentu seperti
Bifidobacterium infantis mengandung bahan aktif anti tumor pada dinding sel.
Selain itu probiotik juga memproduksi berbagai enzim pencernaan fosfatase, lisozim dan vitamin B1, B2, B6, asam folat, dan
biotin yang akan diserap di dalam usus halus dan
dimanfaatkan oleh tubuh serta memproduksi asam laktat dan asam asetat sehingga menyebabkan usus menjadi asam dan akhirnya menekan
pertumbuhan bakteri patogen penyebab radang usus seperti Escherichia coli dan Clostridium perfringens
. Senyawa asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat probiotik mampu menurunkan pH usus, meningkatkan absorpsi kalsium dan
mengurangi penyerapan amonia dan amina sehingga dapat mencegah tekanan darah tinggi, kolesterol dan kanker yang disebabkan oleh nitrosamin.
Streptococcus thermophilus mampu menunjukkan aktivitas anti tumor dan
21 menghasilkan antioksidan indigenus yaitu superoksid dismutase Salminen
Wright 2004.
Fermentasi Bakteri Asam Laktat pada Pangan Berpati
Bakteri asam laktat BAL dapat ditemukan pada produk fermentasi spontan seperti ogi dari singkong Reddy et al. 2008, asinan buah dan sayur
Kusumawaty et al. 2003, urutan yang merupakan sosis khas Bali dari daging babi Antara et al. 2002. Selain itu BAL juga dapat diisolasi dari daging Arief et
al. 2011, susu Sujaya et al. 2008, limbah kedelai Malik et al. 2008, minuman
serta buah yang busuk Plessis et al. 2004. BAL tertentu seperti Lactobacillus plantarum
, L. fermentum, L. manihotivorans, L. amylophillus, L. amylovorus, L. amilolyticus, Leuconostoc
cellobiosus, L. acidophillus, Leuconostoc sp,
Streptococcus bovis dan S. macedonicus telah dilaporkan memiliki sifat amilolitik
yaitu mampu menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati Reddy et al. 2008.
BAL dapat memfermentasi pangan berkarbohidrat seperti jagung, kentang, ubi kayu, serealia dan lain sebagainya. Bakteri ini mampu menghasilkan enzim
amilase dan asam yang dapat menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung, kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya Reddy et al. 2008.
Spesies terbaru BAL amilolitik adalah Lactobacillus manihotivorans yang diisolasi dari pati asam ubi kayu Reddy et al. 2008. Olympia et al. 1995
mengkarakteristik strain L. plantarum dari makanan khas Filipina yaitu burong isda
yang terbuat dari ikan dan nasi. Strain amilolitik L. fermentum pertama kali diisolasi dari adonan pati jagung Benin ogi dan mawe Agati et al. 1998. Sanni
et al . 2002 menemukan strain BAL amilolitik dan L. fermentum dari pangan
terfermentasi khas Nigeria. BAL amilolitik menghasilkan enzim ekstraseluler yaitu amilase dan pululanase yang dapat menghidrolisis sebagian pati alami
menjadi gula sederhana dan oligosakarida lain atau dekstrin Sikorsi 2002. Vishnu et al 2006 mengidentifikasi enzim amilase dan pululanase dari
Lactobacillus amylophilus GV6 sebagai protein dengan berat molekul 90 KDa.
Kedua enzim ini mempunyai aktivitas sebesar 0.439 Ugmin untuk amilase dan
22 0.18 Ugmin untuk pululanase yang difermentasi pada media dedak gandum
wheat bran. Aktivitas α-amilase dalam fermentasi pati oleh Streptococcus bovis
sebesar 1.41 Uml lebih besar daripada fermentasi glukosa 0.06 Uml Narita et al
. 2004. Enzim α-amilase akan memotong karbohidrat pada ikatan endo-α 1,4
menghasilkan maltosa dan dekstrin. Pululanase akan memotong karbohidrat pada ikatan endo-
α 1,6 menghasilkan dekstrin linier Sikorsi et al. 2002. Wronkowska et al. 2006 menjelaskan bahwa fermentasi pati gandum,
pati kentang dan pati kacang polong oleh BA L selama 24 jam menunjukkan perubahan mikrostruktur yaitu pembentukan struktur globular dan lamelar.
Sajilata et al. 2006 menjelaskan perubahan struktur pati dari kristalin menjadi
lebih porus amorf, meningkatkan kemampuan pelepasan amilosa serta menurunkan suhu gelatinisasi pati. Semakin banyak amilosa yang terlarut selama
proses gelatinisasi maka akan semakin tinggi terjadinya retrogradasi pati selama proses pendinginan. Pati yang mengalami retrogradasi akan memiliki sifat lebih
resisten terhadap enzim pencernaan. Pati ini sering disebut sebagai pati resisten tipe III RS3. Perubahan yang terjadi pada granula pati akibat fermentasi BAL
dapat diamati dengan menggunakan mikroskop elektron Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.
Gambar 2.3 Perubahan granula pati A sebelum dan B sesudah difermentasi oleh bakteri asam laktat amilolitik. Sumber: Wijbenga 2000
Gambar 2.4 Granula pati pada media MRS cair A sebelum diotoklaf, B sesudah diotoklaf, C setelah difermentasi oleh
B
A A
C B
23 L. amylophilus GV6. Sumber: Vishnu et al. 2006
Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat BAL merupakan kelompok bakteri yang dapat memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi karbohidrat. BAL yang
menghasilkan dua molekul asam laktat dari fermentasi glukosa disebut bakteri asam laktat homofermentatif, sedangkan BAL yang menghasilkan satu molekul
asam laktat dan satu molekul etanol serta satu molekul karbon dioksida disebut bakteri asam laktat heterofermentatif Reddy et al. 2008.
Identifikasi BAL dapat dilakukan berdasarkan sifat fenotip dan genotip. Identifikasi fenotip hanya terbatas sampai tingkat spesies yang didasarkan pada
hasil pengamatan morfologi seperti bentuk sel, tipe koloni dan pewarnaan Gram, uji fisiologis, metabolik biokimia atau kemotaksonomi. BAL merupakan bakteri
dengan sifat katalase negatif sehingga pada uji katalase dengan hidrogen peroksida 30 tidak menghasilkan gelembung udaragas. Identifikasi fenotip
dengan pengujian fisiologis berdasarkan pola fermentasi BAL pada beberapa gula terkadang bias untuk beberapa spesies tertentu. Oleh karena itu identifikasi
genotip perlu dilakukan untuk uji konfirmasi spesies BAL Plessis et al. 2004. Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan metode molekuler di
antaranya yaitu melalui penentuan urutan basa DNA pengkode 16S rRNA pada bakteri dengan metode Polymerase Chain Reactions PCR-sekuensing Ammor
et al. 2005. Aplikasi molekuler DNA pengkode 16S rRNA untuk menganalisis
keragaman molekuler suatu bakteri sangat sesuai karena gen ini terdapat pada semua mikroorganisme prokariot. Gen pengkode 16S rRNA bersifat stabil dalam
sel bakteri daripada rRNA yang biasanya dapat terdegradasi dan hanya terdapat pada fase-fase tertentu saja Guttel et al. 1994.
DAFTAR PUSTAKA
24 Ammor S, C Rachman, S Chaillou, H Prevost, X Dousset, M Zagorec, E Dufour,
I Chevallier. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry
sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382
Antara NS, IN Sujaya, A Yokota, K Asano, WR Aryanta, F Tomita. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of
‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol Biotechnol
18: 255–262, 2002. Arief II, Jenie BSL, Asyawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik
Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai
pencegah diare pada tikus percobaan. J Media Peternakan. 33 3: 137- 143.
Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods.
Indonesian J Agricultural Science . Vol 12 1
Aurore G, Parfait B ,
Fahrasmane L. 2009. Bananas, raw materials for making processed food products. J Trends in Food Science Technology. 20: 78 -
91 Collin MD, Gibson GR. 1999. Probiotics, prebiotics and synbiotics: approaches
for modulating the microbial ecology of the gut. American J Clin Nutr. Vol. 69, No. 5. http:www.ajcn.orgcgi contentfull6951052S [12 Okt 2008].
Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J Business Briefing: FoodTech
. Referece Section. [Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten
Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2008.
Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohydrates in Food Edited by Eliasson A.C.,
Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504. Emanuel C. 2005. Pengaruh Fosforilasi dan Penambahan Asam Stearat Terhadap
Karakteristik Film Edible Pati Sagu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on preobitics. http:www.fao.orgagagnagnsfilesPrebiotics_Tech_Meeting_
Report.pdf. Accessed on 22 November 2008. Foster-Powell K, Miller JB. 1995. International tables of glycemic index. Am J
Clin Nutr . 62suppl 2:S871–S890
Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited, Oxford, United Kingdom.
25 Gibson GR, Roberfroid M. 1995. Dietary modulating of the human colonic
microbiota: introducting the concept of prebiotics. J Nutr. 125: 1401-1412. http:www.ajcn.orgcgicontentfull6951052S [12 Nov 2008].
Guttel RR, Larsen N, Woese CR. 1994. Lesson from evoluation rRNA, 16S rRNA and 23S rRNA strutsfores from a comparative perspective microbes. J Kes.
58: 10-26 Hegar B. 2007. Mikroflora saluran cerna pada kesehatan anak. J Dexa Media. 20
1. Januari -Maret. Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung
Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas
Nasional Batch II. LPPM, IPB
Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan
Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Kumari SK, Thayumanavan B. 1997. Comparative study of resistant starch from minor millets on intestinal responese, blood glucose, serum cholesterol and
triglycerides in rats. J Sci Food Agric. 75:296-302. Kusumawati N, Jenie BSL, Siswasetyahadi, Hariyadi RD. 2003. Seleksi bakteri
asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J Mikrobiologi Indonesia. 8 2: 39-43
Lawal OS. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidised, acetylated and acid-thinned new cocoyam
Xanthosoma sagittifolium starch. J Food Chem. 87: 205–218 Macfarlane GT, Cummings JH. 1999. Probiotics and Prebiotics: can regulating
the activities of intestinal bacteria benefit health? J Brit Med. April. 10.31817189:999-1003.http:www.pubmedcentral.nih.govarticlerender.
fcgi?artid=1115424 [21 Agust 2008].
Malik A, Donna M. Ariestanti, Nurfachtiyani A, Yanuar A. 2008. Skrining gen glukosiltransferase gtf dari bakteri asam laktat penghasil eksopolisakarida.
J Makara Sains . 12 1: 1-6
Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic
properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 12: 8383-8389,
Mendosa. 2008. Revised international table of glycemic index GI and glycemic load GL values. www.mendosa.com [11Jan 2009].
Nunez-Santiago MC, Bello-Perez LA, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and behavior of banana Musa
paradisiaca starch. Carb Polym. 56: 65-75.
26 Olympia M, Fukuda H, Ono H, Kaneko Y, Takano M. 1995. Characterization of
starch-hydrolyzing lactic acid bacteria isolated from a fermented fish and rice food, “Burong Isda,” and its amylolytic enzyme. J Ferment Bioeng.
80:124–30.
Plessis HW, Dicks LMT, Pretorius IS, Lambrechts MG, Toit MD. 2004. Identification of lactic acid bacteria isolated from South African brandy base
wines. Intern J Food Microbiol. 91: 19– 29 Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic
bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.
[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.
Roberfroid M. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited. The Journal of Nutrition Effect of Probiotics and Prebiotics
.137:830S-837S [01 Juni 2008] Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F,
Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization.
J StarchStarke . 57:405-412.
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety
. 5: 1-17. Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional
aspect. 2
nd
Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc. Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing
strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62.
Sikorsi ZE. 2002. Chemical and functional properties of food components. Ed ke- 2. CRC Press
Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Dwipayanti NMU, Nociaanitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari
susu kuda sumbawa. J Veteriner. 9 2: 52-59 Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Bello-
Perez LA, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour Musa cavendishii produced at different drying
conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.
Vishnu C, Naveena BJ, Altas Md, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct
fermentation of starch to L+ lactic acid. Enzyme Microb Technol. 38:545- 50
27 Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus
porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].
Wronkowska M, Smietana MS, Krupa U, Biedrzycka E. 2006. In vitro fermentation of new modified starch preparations—changes of
microstructure and bacterial end-products. J Enzyme Microbial Technol. 40: 93–99
Zhang P, Whistler RL, BeMiller JN, Hamake BR. 2005. Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility—a review. J
Carbohy Polymers . 59: 443–458
28
29
3. METODOLOGI PENELITIAN SECARA UMUM