90
Desa Sukatani luasan lahan sewa secara total 0,18 ha dan Desa Sindangjaya sebesar 0,05 ha. Secara total luas lahan sewa untuk kawasan agropolitan seluas
0,23 ha dan secara rata-rata lahan sewa seluas 0,08 ha. Untuk penggunaan alat pertanian juga perlu dilakukan perhitungan
penyusutan alat setiap musim tanam. Nilai penyusutan alat pertanian, misalnya cangkul, gacok, sprayer, parang, linggis dihitung berdasarkan harga beli, umur
ekonomis dan nilai sisa.
5.2.3. Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Hortikultura
Untuk melihat sejauhmana usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan menguntungkan atau tidak digunakan analisis RC rasio. Dalam
wawancara dengan petani, petani cenderung menanam beberapa jenis komoditas hortikultura dalam satuan luas lahan yang sama. Rata-rata RC rasio usahatani
tumpangsari komoditas hortikultura di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 21 dan 22.
Tabel 21. Analisis RC Rasio Rata-Rata Usahatani Tumpangsari Polyculture Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur
No. Aspek Usahatani
Desa Sukatani
0,13 ha Desa
Sindangjaya 0,11 ha
Kawasan Agropolitan
0,12 ha 1.
2.
3. 4.
Input Variabel : a. Biaya Bibit Rp
b. Biaya Pupuk Rp c. Biaya Pestisida Rp
d. Biaya Tenaga Kerja Rp Total Biaya Variabel Rp
Input Tetap : a. Biaya Sewa Lahan Rphath
b. Biaya Penyusutan Alat RpMT Total Biaya Tetap Rp
Total Biaya Variabel+Tetap Rp Output :
Total Output Produksi Komoditas Rp Produktivitas Komoditas :
RC atas Total Input Variabel RC atas Total Input
Input Variabel+Input Tetap 164.043
232.857 83.180
471.086 951.166
659.286 3.102
662.388 1.613.554
2.634.143 3,16
1,92 100.536
150.873 93.816
378.109 723.335
527.318 4.835
532.153 1.255.488
3.005.791 3,90
2,33 125.233
182.756 89.680
414.267 811.936
578.639 4.161
582.800 1.394.736
2.861.261 3,61
2,17 Sumber: Data Primer
2006 diolah
91
Tabel 22. Analisis RC Rasio Total Usahatani Tumpangsari Polyculture Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur
No. Aspek Usahatani
Desa Sukatani
4,62 ha Desa
Sindangjaya 5,80 ha
Kawasan Agropolitan
10,42 ha 1.
2.
3. 4.
Input Variabel : a. Biaya Bibit Rp
b. Biaya Pupuk Rp c. Biaya Pestisida Rp
d. Biaya Tenaga Kerja Rp Total Biaya Variabel Rp
Input Tetap : a. Biaya Sewa Lahan Rphath
b. Biaya Penyusutan Alat RpMT Total Biaya Tetap Rp
Total Biaya Variabel+Tetap Rp Output :
Total Output Produksi Komoditas Rp Produktivitas Komoditas :
RC atas Total Input Variabel RC atas Total Input
Input Variabel+Input Tetap 5.741.500
8.150.000 2.911.300
16.488.000 33.290.800
23.075.000 108.584
23.183.584 56.474.384
92.195.000 3,16
1,92 5.529.500
8.298.000 5.159.900
20.796.000 39.783.400
29.002.500 265.918
29.268.418 69.051.818
165.318.500 3,90
2,33 11.271.000
16.448.000 8.071.200
37.284.000 73.074.200
52.077.500 374.592
52.452.002 125.526.202
257.513.500 3,61
2,17 Sumber: Data Primer 2006 diolah
Dari Tabel 21 dan 22. di atas nampak bahwa usahatani tumpangsari komoditas hortikultura pada masing-masing luas lahan masih cukup
menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai RC ratio atas total input variabel dan input tetap pada masing-masing luas lahan dimana nilai RC ratio lebih dari 1
hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomis kegiatan usahatani yang dilakukan menguntungkan karena penerimaan yang diterima lebih besar dari biaya produksi
yang dikeluarkan. Misalnya pada luas lahan 0,13 ha dan 4,62 ha di Desa sukatani yang menunjukkan angka 3,16 pada total input variabel dan nilai RC ratio atas
total input sebesar 1,92. Artinya dibandingkan dengan total biaya variabel ternyata aktivitas usahatani ini mampu memberikan tambahan pendapatan sebesar 16
dari biaya. Keuntungan yang diperoleh oleh petani relatif sedikit karena disebabkan oleh semakin tingginya harga input variabel di tingkat petani akibat
kelangkaan atau keterbatasan input variabel di tingkat distributor. Sedangkan bila dibandingkan dengan biaya total ternyata aktivitas usahatani ini mampu
memberikan tambahan pendapatan sebesar 92. Namun tentunya yang perlu diperhatikan adalah sistem penjualan yang
tidak selalu bisa langsung diterima pembayarannya terutama apabila menjual ke
92
supplier untuk hotel dan restoran. Selain itu pemanenan komoditas yang tidak bersamaan juga membuat nilai penerimaan itu tidak bisa diterima sekaligus secara
bebarengan setelah satu musim. Untuk wortel baru bisa dipanen setelah 4 bulan, sedangkan bawang daun baru bisa dipanen setelah 3 bulan.
Kondisi di atas mengakibatkan penerimaan petani sangat berfluktuasi tergantung pada jenis tanaman yang sudah bisa dipanen dan sistem pembayaran
yang dipilih. Luas lahan yang sempitpun berpengaruh terhadap produktivitas lahan dalam menghasilkan produk. Terkadang petani tidak mampu memenuhi
permintaan pasar akibat hasil produksi sangat rendah. Karena itu sebenarnya petani tetap saja hidup dalam kondisi pas-pasan karena keuntungan yang
diperoleh bersifat tidak menentu dan juga tidak terjadi akumulasi modal karena keuntungan tiap kali panen relatif kecil.
Berdasarkan hasil penelitian Pribadi 2005, kondisi ini masih lebih baik apabila dibandingkan dengan kelayakan usahatani sebelum program agropolitan
dilaksanakan. Sebelum berlangsungnya program agropolitan nilai RC ratio atas total input variabel hanya 1,30. Sedangkan nilai RC atas total input menjadi lebih
rendah lagi yaitu hanya mencapai 1,18. Dengan demikian sampai sejauh ini keberadaan program agropolitan telah
memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani walaupun relatif kecil. Ini menunjukkan bahwa masih ada kelemahan pemerintah dalam
menerapkan kebijakan agropolitan. Jadi sebenarnya nilai peningkatan pendapatan petani ini masih jauh dari target yang diharapkan mengingat sudah sedemikian
banyak dana program agropolitan yang telah dikucurkan. Pemerintah perlu mengoptimalkan pelaksanaan program agropolitan
terutama dalam subsistem kelembagaan sehingga terjadi koordinasi antar lembaga terkait, peningkatan peran masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan
yang intensif sehingga meningkatkan kualitas petani dalam memberdayakan faktor produksi yang dimiliki, dan tersedianya sarana jalan serta transportasi yang
memadai bagi petani dalam memasarkan produk. Karena secara spasial wilayah perdesaan yang tersebar dengan sarana jalan yang terbatas, mengakibatkan hanya
pedagang atau tengkulak tertentu saja yang mampu memasukinya. Kondisi ini
93
akan mendorong pedagang atau tengkulak untuk mengeksploitasi petani-petani kecil.
Dengan dibangunnya akses jalan dan tersedianya transportasi yang memadai maka akan lebih banyak pedagang atau tengkulak yang mampu
memasuki wilayah tersebut. Sampai tahap tertentu dengan sendirinya jumlah pedagang atau tengkulak menjadi lebih banyak ini akan mendorong struktur pasar
ke arah pasar kompetitif. Sebagai akibatnya terjadi persaingan harga beli komoditas dari petani, sehingga petani dapat memilih harga yang lebih
menguntungkan. Di kawasan agropolitan dampak ini juga dirasakan oleh petani, tetapi
masih terbatas hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Pada saat suplai komoditas tertentu di pasar jumlahnya menurun, maka banyak pedagang atau tengkulak yang
akan naik ke desa-desa dan bersaing untuk membeli produk petani dengan harga tinggi. Pada kondisi demikian maka petani akan menikmati harga yang lebih
tinggi diatas harga rata-rata. Menurut Asdak 2001 untuk mendapatkan keuntungan usahatani yang
lebih tinggi, penggunaan input eksternal harus dikurangi. Sebaliknya, input internal yang tersedia harus lebih diandalkan high internal input, karena akan
memberikan berbagai keuntungan. Penggunaan input eksternal dapat dilakukan, terutama kalau keadaan mendesak. Untuk itu implementasi dari konsep eco-
efisiensi sangat diperlukan. Konsep eco-efisiensi mempunyai arti perpaduan yang efektif antara ekonomi dan ekologi.
5.2.4. Analisis Produksi dan Produktivitas Usahatani