Analisis karakteristik usahatani komoditas hortikultura dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di kawasan agropolitan pacet - Cianjur

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

DI KAWASAN AGROPOLITAN PACET - CIANJUR

TRI WAHYUDIE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Karakteristik Usahatani Komoditas Hortikultura dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Tri Wahyudie


(3)

and Its Factors Influencing them in Agropolitan Area Pacet – Cianjur. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and ERNAN RUSTIADI.

Research result indicates size of the land ownership on research locations in agropolitan area (Sukatani and Sindangjaya villages) were relative narrow, with farm domination pattern for both villages were as land owner (1), as rent, sharing holder, mortage (2), as a governmental property (3). Meanwhile the farm enterprise characteristic the farmer was tends to conduct multiple cropping planting pattern (polyculture). Planting pattern was formed using four considerations, such as: (1) technique of cultivation, (2) market request, (3) the limited of capital and labour owned by farmer and (4) socio-economic condition. Crop rotation with high and quick intensity, causing type fertilizer and chemicals used immeasurable progressively.

Based on farm enterprise characteristics on research location, if conducted of efficiency analysis of farm enterprise, indicate that all of R/C ratio value were above 1 that means all commodities were efficient. Meanwhile, analysis of multiple regression productivity farm enterprise productivity in agropolitan area indicate that variable having a significant effect on reality to farm enterprise advantage were land size, fertilizer, labour, and dummy variable about conservation activity (-p<0.05). There are three free significant variables in the factors of model binary logistic regression analysis that influence the farmer’s role in application of soil conservation techniques. Those are (1) land governance, (2) planting pattern, and (3) land ownership.

Keywords: characteristic of farm, horticulture commodity, influenced factors, agropolitan area


(4)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Kawasan Agropolitan Pacet - Cianjur. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan ERNAN RUSTIADI

Pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdayasaing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan.

Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga ”off farm”, yaitu: usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan, (2) Mengetahui tingkat kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah, (3) Mengetahui tingkat erosi berdasarkan komoditi yang di budidayakan, (4) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik kepemilikan lahan di lokasi penelitian kawasan agropolitan (Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya) relatif sempit, dengan pola kepemilikan lahan usahatani (1) pemilik, (2) sewa, bagi hasil, gadai, (3) milik pemerintah. Karakteristik usahatani komoditi hortikultura petani responden cenderung melakukan pola tanam tumpangsari (polyculture). Pola tanam yang terbentuk didasari beberapa pertimbangan, yaitu: (1) teknis budidaya, (2) permintaan pasar, (3) terbatasnya modal dan tenaga kerja yang dimiliki petani serta (4) kondisi sosial ekonomi. Siklus tanam dengan intensitas tinggi dan cepat, menyebabkan jenis-jenis pupuk dan obat-obatan yang digunakan semakin beragam.

Berdasarkan karakteristik usahatani di lokasi penelitian, jika dilakukan analisis kelayakan usahatani menunjukkan bahwa nilai R/C rasio bernilai diatas 1 yang berarti semua komoditas layak diusahakan. Hasil analisis produktivitas usahatani di kawasan agropolitan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani adalah luas lahan garapan, dummy variable kepemilikan lahan dan dummy variable mengenai kegiatan konservasi.

Selanjutnya untuk faktor-faktor yang mempengaruhi peran petani dalam penerapan teknik konservasi tanah model binary logistic regression analysis menunjukkan ada 3 variabel bebas yang signifikan mempengaruhi peran petani terhadap lahan dalam menerapkan teknik konservasi tanah, yaitu (1) luas lahan garapan, (2) kepemilikan lahan dan (3) kegiatan konservasi tanah. Dan untuk hasil analisis tingkat erosi menunjukkan bahwa pada kelas kemiringan lereng >8-15% dan >15-30% masih berada dibawah batas erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) berkisar antara 9,75-12,67 ton/ha/tahun.

Kata kunci: karakteristik usahatani, komoditas hortikultura, faktor-faktor yang mempengaruhi, kawasan agropolitan


(5)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

DI KAWASAN AGROPOLITAN PACET - CIANJUR

TRI WAHYUDIE

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS

pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

Nama : Tri Wahyudie NIM : P052020571

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(8)

(9)

”Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikian kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur” (Surah Al-A’raaf: 58)


(10)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan petunjuk dan ridho-Nya dapat melakukan penelitian di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur hingga selesainya penulisan tesis ini.

Selesainya penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, dan pada kesempatan khusus ini penulis mengucapkan terima kasih pada yang terhormat: (1) Bapak Prof.Dr.Ir. Santun R.P Sitorus, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan selama penulis merencanakan, melaksanakan penelitian sampai pada penulisan tesis ini, (2) Bapak Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian Pertanian Jakarta, atas perkenannya penulis diberi kesempatan untuk mengikuti tugas belajar dengan beasiswa dari Kementerian Pertanian, (3) Staf Kantor Bappeda Kabupaten Cianjur, dan beberapa kantor dinas terkait di Kabupaten Cianjur, seperti Staf Kantor Dinas Pertanian, Staf Kantor Dinas Perhutanan dan Konservasi, Staf Kantor Dinas Cipta Karya, Staf Kantor Badan Pusat Statistik, Staf Kantor Badan Pertanahan Nasional, Staf Kantor Kecamatan Pacet, Staf Kantor Kecamatan Cipanas, Staf Kantor Desa Sindangjaya, dan Staf Kantor Desa Sukatani, (4) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan semangat dan dukungan selama penulis mengikuti pendidikan.

Akhir kata penulis berharap mudah-mudahan hasil penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah, ilmu pengetahuan, dan masyarakat yang bergerak di sektor pertanian dalam mengelola pola usahatani tumpangsari (polyculture) komoditas hortikultura dengan tetap memelihara sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Bogor, Juli 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Sumenep pada tanggal 23 Desember 1963, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Haji Abdoel Hamid dan Hajjah. Kamariyah Djoehartatik Semaoen (almarhumah).

Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Universitas Widya Gama Malang, lulus tahun 1989. Pendidikan Akta Mengajar IV Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Teknologi Pendidikan IKIP Malang lulus tahun 1995.

Dalam karier bekerja dan berkarya penulis pernah menjadi staf proyek Lembaga Penelitian Unibraw Malang tahun 1986–1992, khususnya menangani proyek penelitian kerjasama dengan Instansi dan Kementerian terkait. Kemudian tahun 1993–1995 bekerja menjadi staf proyek Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknik (VEDC) Malang, menangani bidang pengembangan SDM, antara lain: training, dan fellowship. Pada tahun 1996–1998 bekerja menjadi staf Dekan FE Universitas Mercu Buana Jakarta, menangani pendirian Program Pascasarjana dan Klinik Konsultasi Bisnis. Di tahun 1999 - Sekarang menjadi PNS pada Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementan Jakarta, dan ditempatkan pada Bagian Keuangan menangani Sistem Akuntansi Pemerintah dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Inspektorat Jenderal Kementan dan BPK. Kemudian di tahun 2001 penulis mengikuti Diklatpim IV di Lembang, Bandung. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis dipindahtugaskan ke Pusat Pendidikan, Standarisasi dan Sertifikasi Profesi Pertanian, menangani Bidang Program dan Kerjasama Pendidikan, dan di tahun 2008-2011 diperbantukan pada Pokja Agropolitan Pusat Kementan. Pada tahun 2009 memperoleh Piagam Tanda Kehormatan Presiden R.I dengan menganugerahkan tanda kehormatan ”Satyalancana Karya Satya 10 Tahun” sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 1994 sebagai PNS. Pada tahun 2002, penulis memperoleh kesempatan tugas belajar dari Kementan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB Bogor di Program Studi EPN dan di tahun 2003 pindah Program Studi ke PSL.

Penulis menikah dengan Aini Muthmainnah, SP., M.Si. dan dikarunia 2 (dua) orang putri Diva Dian Laila dan Dzakiyah Indrani.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kerangka Pemikiran ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Karakteristik dan Sumberdaya Usahatani ... 11

2.2. Lahan dan Tanah ... 11

2.3. Kepemilikan dan Penguasaan Lahan ... ... 12

2.4. Pola Tanam ... ... 14

2.5. Produktivitas dan Penguasaan Lahan ... ... 14

2.6. Erosi ... ... 18

2.7. Degradasi Lahan ... ... 27

2.8. Penguasaan Lahan dan Konservasi Tanah ... 30

2.9. Agropolitan ... ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

3.2. Bahan dan Alat ... 41

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 42

3.4. Analisis Data ... 42

3.4.1. Analisis Karakteristik Usahatani ... 42

3.4.2. Analisis Pola Penguasaan Lahan dan Pola Tanam ... 43

3.4.3. Analisis Usahatani ... ... 45

3.4.4. Analisis Produktivitas Usahatani ... ... 47

3.4.5. Analisis Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah ... ... 49

3.4.6. Analisis Prediksi Erosi ... 52


(13)

4.2. Jenis Komoditas Hortikultura... 63

4.3. Karakteristik Petani Komoditas Hortikultura ... 66

4.4. Ekonomi Daerah ... 67

4.5. Infrastruktur Dasar dan Sarana Penunjang Pertanian ... 68

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

5.1. Karakteristik Pola Penguasaan Lahan dan Pola Tanam Usahatani Hortikultura di Kawasan Agropolitan ... 71

5.2. Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Hortikultura dan Produktivitas Usahatani dengan Penguasaan Lahan Serta Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah ... 81

5.2.1. Analisis Biaya Produksi Penggunaan Pupuk dan Pestisida ... .. 81

5.2.2. Analisis Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan Usahatani Komoditas Hortikultura ... ... 86

5.2.3. Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Hortikultura ... ... 90

5.2.4. Analisis Produksi dan Produktivitas Usahatani ... 93

5.2.5. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani ... ... 96

5.3. Analisis Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah ... ... 97

5.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani 102 5.5. Analisis Prediksi Erosi ... 110

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

6.1. Kesimpulan ... 113

6.2. Saran ... ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 122


(14)

1. Kawasan Agropolitan di Pulau Jawa dan Komoditas Unggulan ... 4 2. Pengaruh Beberapa Faktor Alam Terhadap Proses dan Tingkat Erosi Tanah ... 21 3. Ikhtisar Penelitian Keterkaitan Tujuan Penelitian, Metode

Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Sumber Data dan Output yang Diharapkan ... ... 57 4. Luas Lahan Perdesaan di Kecamatan Pacet ... 60 5. Jumlah Penduduk Perdesaan di Kecamatan Pacet ... 61 6. Jenis Komoditas Hortikultura Dominan yang Diusahakan di Kecamatan

Pacet ... 63 7. Luas Tanam, Panen dan Produksi Komoditas Hortikultura di Kecamatan

Pacet-Cianjur ……….. ... 65 8. Karakteristik Petani Komoditas Hortikultura di Kawasan Agropolitan

Pacet-Cianjur ... 66 9. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Cianjur Berdasarkan Harga

Konstan 2002 Tahun 2002-2004 ... 68 10.Sarana Kesehatan, Pendidikan dan Sosial Penunjang Pertanian di

Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 70 11.Pola Penguasaan Lahan di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur … ... 72 12.Hasil Analisis Rasio Gini Lorentz dan Entropy Kepemilikan Lahan

di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 77 13.Pola Tanam Tumpangsari Komoditas Hortikultura Pada Masing-Masing

Kelas Kemiringan Lereng yang Diusahakan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 79 14.Beberapa Jenis Pupuk dan Pestisida yang Digunakan Petani Pada Pola

Tanam Tumpangsari (Polyculture) di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ……… ... . 82


(15)

16.Analisis Total Jenis Pupuk, dan Pestisida Yang Digunakan Petani Pada Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ... 84 17.Analisis Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 86 18.Analisis Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Total Usahatani Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 87 19.Analisis Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Rata-Rata Usahatani

Komoditas Hortikultura Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Berdasarkan Kelas Kemiringan Lereng Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... ... 88 20.Analisis Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Total Usahatani

Komoditas Hortikultura Pola Tanam Tumpangsari (Polyculture) Berdasarkan Kelas Kemiringan Lereng Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... ... 89 21.Analisis R/C Rasio Rata-Rata Usahatani Tumpangsari (Polyculture) di

Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ... ... 90 22.Analisis R/C Rasio Total Usahatani Tumpangsari (Polyculture) di

Komoditas Hortikultura di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ... ... 91 23.Analisis Produksi Rata-Rata dan Produktivitas Komoditas Hortikultura

Tumpangsari (Polyculture) Petani di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ... ... 95 24.Analisis Produksi Total dan Produktivitas Komoditas Hortikultura

Tumpangsari (Polyculture) Petani di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ... ... 96 25.Analisis Binary Logistic Regression Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Kawasan Pacet-Cianjur ... 100


(16)

27.Analisis Besarnya Erosi yang Terjadi di Lahan Usahatani Petani Pada Kelas Kemiringan Lereng >8-15% di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ……… ... 110 28.Analisis Besarnya Erosi yang Terjadi di Lahan Usahatani Petani Pada

Kelas Kemiringan Lereng >15-30% di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ……… ... 111


(17)

Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ……… ... 9

2. Kurva Produksi Penggunaan Pupuk Urea ... 17

3. Kurva Nilai Produksi Marginal Urea dan Harga Urea Per Satuan ... 17

4. Energi Butir Hujan yang Jatuh Dipermukaan Tanah ……… ... 19

5. Monograf Untuk Menentukan Nilai K ……… ... 23

6. Skema Persamaan USLE ……… ... 25

7. Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel ……… ... 41

8. Kurva Lorentz dan Perkiraan Koefisien Gini ……… ... 43

9. Batasan Nilai Di, De, dan Dmin ……… ... 55

10.Peta Administrasi Wilayah Inti Kawasan Agropolitan …… ... 59

11.Pola Tanam Tumpangsari di Kawasan Agropolitan ... ... 80

12.Tanaman Rumput Yang Digunakan Untuk Mencegah Erosi ……… ... 97

13.Jenis Tanaman Yang Digunakan Untuk Melindungi Lahan ... 98

14.Pembinaan dari Instansi Terkait Tentang Teknik Budidaya dan Konservasi Tanah ... 99


(18)

Halaman 1. Karakteristik Penguasaan Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-

Cianjur ... . 123 1a. Identitas Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... . 124 1b. Penguasaan Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... . 126 1c. Luas Penguasaan Lahan Beririgasi Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur … ... 128 1d. Asal Perolehan Penguasaan Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur …………..…. ... 130 1e. Penguasaan Lahan Garapan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur …….….……. ... 132 2. Hasil Analisis Data Ratio Gini Lorentz (RGL) Lahan Petani di Kawasan

Agropolitan Pacet-Cianjur ..…… ... 134 2a. Hasil Analisis Data Ratio Gini Lorentz (RGL) Lahan Petani di Desa Sukatani …………..… ... 135 2b. Hasil Analisis Data Ratio Gini Lorentz (RGL) Lahan Petani di Desa Sindangjaya ....……… ... 136 3. Hasil Analisis Data Entropy Lahan Petani di Kawasan Agropolitan

Pacet-Cianjur…..…… ... 137 3a. Hasil Analisis Data Entropy Lahan Petani di Desa Sukatani ………..… 138 3b. Hasil Analisis Data Entropy Lahan Petani di Desa Sindangjaya .……… 139 4. Pola Tanam, Kemiringan, Kedalaman Tanah dan Batuan di Permukaan

Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet–Cianjur..…… ... 140 5. Hasil Analisis R/C Rasio Usahatani Komoditas Hortikultura

Tumpangsari (Polyculture) di Lahan Petani Kawasan Agropolitan Pacet- Cianjur ... 142 5a. Hasil Analisis R/C Rasio Usahatani Komoditas Hortikultura Tumpangsari (Polyculture) di Lahan Petani Desa Sukatani ... 144


(19)

6. Analisis Usahatani Pola Tanam Tumpangsari Lahan Petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur... 149 7. Hasil Analisis Binary Logistic Regression Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 152

7a. Hasil Analisis Binary Logistic Regression Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Desa Sukatani ... 153

7b. Hasil Analisis Binary Logistic Regression Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Desa Sindangjaya ... 154 7c. Data Analisis Petani terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 155 8. Hasil Analisis Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani Pola Tanam Tumpangsari di Kawasan Agropolitan ... 157 8a. Hasil Analisis Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani Pola Tanam Tumpangsari di Desa Sukatani ... 158 8b. Hasil Analisis Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani Pola Tanam Tumpangsari di Desa Sindangjaya ... 159 8c. Data Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Usahatani Pola Tanam Tumpangsari di Kawasan Agropolitan Pacet-

Cianjur... 160 9. Nilai R dan Data Curah Hujan Bulanan 1996-2005 di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 162 9a. Nilai Erodibilitas Tanah (K) di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 163 9b. Nilai Faktor LS di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 164

9c. Hasil Prediksi Erosi (A) di di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 164 9d. Nilai ETol di di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 165


(20)

10b. Data Temperatur Bulanan Tahun 1996-2005 di Kecamatan Pacet-

Cianjur ... 166

11. Hasil Analisis Laborium Sifat Fisik Tanah di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur ... 167

12. Penilaian Ukuran Butir (M) untuk Digunakan dalam Rumus ……... 168

13. Penilaian Struktur Tanah ………... 168

14. Penilaian Permeabilitas Tanah ………... 168

15. Nilai Faktor C dari Berbagai Tanaman dan Pengelolaan atau Tipe Penggunaan Lahan ...…………... 169

16. Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Gabungannya dengan Pengelolaan Tanaman (CP) ... 171

17. Faktor Kedalaman Ekuivalen untuk 30 Sub Ordo Tanah ... 172

18. Kriteria yang Dipergunakan Pengelompokan Kelas ... .. 173

19. Faktor Kedalaman Ekuivalen untuk 30 Sub Ordo Tanah ... .. 175


(21)

1 1.1. Latar Belakang

Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan dan hutan merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (Fauzi, 2004).

Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk. Oleh karena itu, persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana mengelola sumberdaya alam tersebut agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

Salah satu sumberdaya alam yang menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir adalah lahan. Lahan merupakan sumberdaya utama dalam kegiatan pertanian. Di sebagian wilayah Indonesia terutama di Jawa, Madura dan Bali, serta di beberapa pusat pemukiman di luar pulau tersebut, kepadatan penduduk dan nisbah jumlah penduduk terhadap luas tanah (man-land ratio) sudah sedemikian besar sehingga lahan menjadi sumberdaya produksi pertanian yang semakin langka, baik secara kuantitatif (luas areal yang semakin sempit dan terpencar) maupun secara kualitatif (mutu dan kesuburan tanah menurun). Akibat dari tekanan penggunaan yang berlebihan tersebut adalah terjadinya degradasi lahan (Sitorus, 2004).

Saat ini pengelolaan lahan yang terjadi kurang memperhatikan karakteristik dan daya dukung lahan atau kelas kemampuan lahan, serta kaidah-kaidah pengelolaan dan konservasi tanah yang benar sehingga menjadi penyebab degradasi lingkungan. Program penerapan konservasi tanah harus dilakukan secara terpadu antara lembaga/instansi terkait dengan penataan kembali implementasi teknik konservasi, penataan usahatani konservasi, penataan kelembagaan pendukung konservasi tanah dan kebijakan finansialnya (Padusung dan Arman, 2002).


(22)

Menurut Nasution (2004), terdapat ketimpangan kepemilikan tanah pertanian, dimana 43% rumahtangga perdesaan petani ”miskin tanah” (memiliki kepemilikan tanah kurang dari 0,1 hektar), dan 16% rumahtangga perdesaan memiliki luas kepemilikan tanah sekitar lebih dari 1 hektar, sehingga diperlukan penataan kembali kepemilikan tanah pertanian yang sesungguhnya lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah peningkatan efisiensi ataupun produktivitas sumberdaya lahan.

Menurut Sumaryanto et al. (2002), struktur kepemilikan tanah rumahtangga pertanian cukup timpang, dimana hampir dua pertiga bagian petani tergolong dalam kelompok penguasaan kurang dari satu hektar. Menurut Putera (1999), rata-rata penguasaan lahan pertanian di Jawa berkurang dari 0,58 hektar di tahun 1983 menjadi 0,47 hektar di tahun 1993. Lahan yang ada saat ini rentan sekali untuk berpindah kepemilikan dimana petani yang tidak memiliki lahan cenderung bertambah, dan akumulasi penguasaan lahan pada satu tangan banyak terjadi. Hasil penelitian Bachriadi (1999) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, petani yang tidak memiliki lahan meliputi 28 persen dari seluruh rumahtangga petani, sementara itu 2 persen rumahtangga petani menguasai 20,4 persen lahan pertanian yang ada.

Proses pembangunan daerah, khususnya sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan dimana dalam pengelolaannya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi lahan sehingga hasil yang diharapkan dapat lebih optimal. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan, adalah: (1) Teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (2) Ekonomis menguntungkan, (3) Sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (4) Aman lingkungan, dan (5) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.

Salah satu kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan yang didukung


(23)

oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenaga kerja), kredit pedesaan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-specific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan.

Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebijakan-kebijakan lokal ini adalah: (1) Tersedianya data base management system tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumberdaya ekonomi lainnya, (2) Mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) Mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada: (1) Perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) Menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga kerja), dan (3) Pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah.

Sektor pertanian sangat berkepentingan untuk memberikan kontribusi dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Sektor inilah yang secara langsung maupun tidak langsung selalu menghadapi permasalahan struktur penguasaan lahan berikut segala implikasinya, meskipun seringkali permasalahannya bukan hanya terletak pada sektor pertanian.

Pola penggunaan lahan untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua hal, yaitu: usaha pertanian skala besar yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun swasta, dan usaha pertanian rakyat (Sumaryanto et al. 2002). Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi menurut komoditas dominan yang diusahakannya, secara garis besar dapat dibagi


(24)

menjadi dua kategori, yaitu: usaha pertanian tanaman pangan (hortikultura), dan perkebunan rakyat.

Menyikapi berbagai tantangan dan ancaman dalam penerapan pola campuran tersebut, maka perlu dilakukan terobosan program yang melibatkan berbagai pihak secara terarah dan terkoordinasi. Salah satu program tersebut adalah pengembangan kawasan agropolitan yang dilakukan pada daerah pemasok hasil produksi pertanian melalui pengembangan Daerah Pusat Pertumbuhan.

Pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan.

Adapun kawasan agropolitan di Pulau Jawa dan komoditas unggulannya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kawasan Agropolitan di Pulau Jawa dan Komoditas Unggulan No Provinsi Kabupaten / Kota Komoditas Unggulan

1 Banten Kab. Pandeglang Durian dan Melinjo 2 Jawa Barat Kab. Cianjur

Kab. Kuningan Kab. Bogor Kab. Bekasi

Sayuran dataran tinggi Sapi

Manggis dan Durian Sayuran dataran rendah 3 Jawa Tengah Kab. Semarang

Kab. Pemalang Kab. Magelang

Sayuran dan Bunga-bungaan Hortikultura dan Sapi

Salak dan Cabe 4 D.I. Yogyakarta Kab. Kulon Progo Biofarmaka 5 Jawa Timur Kab. Banyuwangi

Kab. Mojokerto Kab. Ngawi Kab. Lumajang Kota Batu Kab. Tulungagung Kab. Madiun Kab. Bangkalan

Sayuran dan Jeruk Sirsak dan Palawija Jagung

Padi dan Kedelai Tanaman Hias

Padi, Jagung dan Kedelai Padi dan Kedelai

Kacang Tanah Sumber: Badan Pengembangan SDM Pertanian (2002)

Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga ”off farm”, yaitu: usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan


(25)

hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur terdiri dari Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya. Permasalahan yang dihadapi kawasan agropolitan khususnya di Desa Sukatani adalah rendahnya pendapatan, sedangkan yang menjadi faktor pembatas adalah ketersediaan air dalam melakukan kegiatan usahataninya. Hal ini terkait dengan lahan dominan merupakan lahan tadah hujan yang menggantungkan sumber air kegiatan usahataninya dari air hujan. Berbeda halnya dengan Desa Sindangjaya, pada umumnya tidak menganggap air sebagai faktor pembatas, tetapi masalah produktivitas dan kesuburan tanah yang menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan, karena sistem usahataninya lebih intensif.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik usahatani komoditas hortikultura dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur.

1.2. Perumusan Masalah

Lahan merupakan sumberdaya strategis dan merupakan salah satu faktor kunci bagi keberhasilan pengembangan agropolitan. Lahan mempunyai sifat yang unik, ditinjau dari segi kepemilikan maupun dari segi penggunaannya. Lahan memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik, serta nilai sakral bagi pemiliknya terutama masyarakat perdesaan. Ditinjau dari aspek pertanian, kualitas lahan sangat bervariasi dan tidak merata di semua tempat, baik dari segi fisiknya maupun nilai strategis lokasinya. Kualitas lahan dan kondisi lingkungan yang tidak sama menyebabkan keragaman tingkat kegiatan penggunaannya dan tingkat pembangunan di berbagai wilayah. Selain itu, ketersediaan lahan tidak saja ditentukan oleh faktor kesesuaiannya untuk penggunaan komoditi atau kegiatan tertentu, namun juga ditentukan oleh aspek kelembagaan, yaitu kebijakan dalam kepemilikan, penggunaan, produktivitas dan teknik konservasi tanah.

Pengelolaan lahan pertanian di kawasan agropolitan pada kenyataannya melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi


(26)

seperti ini diperlukan pendekatan sistemik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal dengan mengorbankan sebagian kepentingan suatu pihak dan memprioritaskan sebagian kepentingan beberapa pihak lainnya. Suatu model dan metode optimasi pengelolaan lahan merupakan idaman banyak pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya lahan. Akan tetapi model seperti ini sangat sulit dikembangkan dan biasanya akan menghadapi berbagai hambatan dalam penerapannya di lapangan.

Benturan kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat biasanya tercermin dalam konflik-konflik penggunaan lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, seperti erosi tanah, sedimentasi, banjir, tanah longsor, dan gangguan-gangguan terhadap kawasan sekitarnya.

Masalah degradasi sumberdaya lahan mungkin terjadi berpangkal dari pesatnya pembangunan infrastruktur fisik yang membuka aksesibilitas lokasi, sehingga semakin banyak penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan secara lebih intensif berorientasi profit. Konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya lahan menjadi semakin banyak dan semakin parah. Salah satu kepentingan utama dari pengelolaan lahan ini adalah untuk mendapatkan produk-produk pertanian, seperti tanaman sayuran, tanaman hias, dan ternak. Komoditi-komoditi ini dibudidayakan oleh para petani (sebagai pengelola lahan milik atau lahan sewa) pada lahan usahanya, baik yang berupa tegalan, pekarangan, maupun kebun campuran.

Tindakan konservasi tanah, pengelolaan dan rehabilitasi lahan telah lama dirintis dan terus dikembangkan, mencakup aspek teknis-sipil, biologi, dan sosial-ekonomi. Namun demikian dalam penerapannya di lapangan seringkali usaha-usaha ini menghadapi berbagai kendala yang serius. Tampaknya hal seperti ini terjadi karena adanya konflik antara kepentingan pelestarian sumberdaya lahan dengan kepentingan ekonomi penduduk setempat. Kepentingan-kepentingan ini biasanya tidak saling menenggang, sehingga dalam upaya pengelolaan lahan diperlukan adanya prioritas kepentingan. Konflik-konflik kepentingan ini menjadi semakin banyak dan semakin parah sejalan dengan bertambahnya jumlah


(27)

penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan seperti yang terjadi di kawasan agropolitan.

Dalam penelitian ini akan ditelaah proses-proses penggunaan lahan dan pengelolaan lahan yang akan memadukan antara kepentingan konservasi tanah dan kepentingan produksi pertanian untuk menjamin ketersediaan hasil komoditas bagi penduduk setempat. Pengelolaan lahan di suatu kawasan menyangkut aspek-aspek sumberdaya tanah, sumberdaya air, sumberdaya manusia, unsur teknologi, dan perekonomian masyarakat.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian adalah: 1. Bagaimana karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani

komoditas hortikultura di kawasan agropolitan?

2. Bagaimana kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura?

4. Bagaimana tingkat erosi berdasarkan komoditi yang dibudidayakan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

1. Mengetahui karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan.

2. Mengetahui tingkat kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura.

4. Mengetahui tingkat erosi berdasarkan komoditi yang dibudidayakan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Karakteristik usahatani sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam mengelola dan menjalankan aktivitas usahataninya, baik dari segi


(28)

penggunaan sarana produksi, alat dan mekanisasi pertanian, teknologi maupun tenaga kerja. Salah satu sarana produksi yang paling penting dalam kegiatan usahatani adalah ketersediaan dan status kepemilikan tanah. Status kepemilikan tanah menentukan kemauan petani untuk melakukan kegiatan konservasi tanah. Upaya konservasi tanah merupakan upaya yang bersifat jangka panjang, sehingga hasilnya baru akan dirasakan dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, petani bersedia melakukan konservasi jika status lahan yang dikerjakannya adalah milik sendiri. Jika lahan yang digarap bukan milik sendiri, maka sulit buat petani melakukan upaya konservasi tanah (Susilowati et al. 1997).

Eratnya keterkaitan lahan dengan kegiatan pertanian menyebabkan upaya perbaikan kesejahteraan petani tidak cukup hanya melalui perbaikan teknologi dan kelembagaan yang terkait dengan proses produksi dan perbaikan akses petani terhadap penggunaan lahan (Jamal, 2000). Namun, perlu diikuti dengan kepemilikan lahan yang merata, penggunaan lahan yang tepat, produktivitas lahan yang memadai dan upaya penggunaan teknik konservasi tanah yang tepat.

Tindakan konservasi tanah pada prinsipnya adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Jadi upaya konservasi tanah ditujukan untuk dua hal, yaitu: mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas (Sitorus, 2004).

Kawasan agropolitan, khususnya pada lokasi penelitian sangat menarik untuk dilakukan penelitian berkaitan dengan sumberdaya yang terbatas dalam kegiatan usahatani serta penerapan teknik konservasi tanah yang jarang dilakukan oleh petani, sebagaimana diagram kerangka pikir penelitian yang tertera pada Gambar 1.


(29)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Kawasan Agropolitan :

Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya

Pengelolaan Lahan Usahatani Tegalan / Pekarangan Karakteristik Usahatani Komoditas Hortikultura

Pola Penguasaan

Lahan

Penggunaan Pupuk dan

Pestisida

Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Kawasan Agropolitan Pacet - Cianjur

Pola Tanam

Penerapan Teknik Konservasi Tanah

Produktivitas Usahatani Komoditas Hortikultura

Fisik / Lahan Ekonomi

Kesejahteraan Petani / Buruh Tani Fisik / Lahan :

1.Solum Tanah 2.Kesuburan Tanah 3.Kepekaan Erosi

1.Hasil Pertanian 2.Pendapatan 3.Kesempatan Kerja 4.Debit air, Sedimen,

Fosfat dan BOD

Harga Saprodi : 1.Bibit

2.Pupuk 3.Pestisida 4.Tenaga Kerja 5.Alat-alat

Pertanian

Sistem Usahatani Komoditas Hortikultura yang Berkelanjutan


(30)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Pemerintah: sebagai bahan referensi perencanaan untuk proses pengambilan keputusan dalam menerapkan usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet-Cianjur

2. Ilmu Pengetahuan: sebagai bahan referensi dan kajian ilmiah dalam menerapkan usahatani komoditas hortikultura khususnya untuk pengembangan di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet-Cianjur

3. Masyarakat: sebagai bahan sumbangan pemikiran kepada kelompok tani tentang usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet-Cianjur.


(31)

2.1. Karakteristik dan Sumberdaya Usahatani

Karakteristik usahatani individu adalah sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Soekartawi (1986) mengatakan bahwa cepat tidaknya proses adopsi sangat tergantung dari beberapa faktor.

Sumberdaya yang dimiliki petani meliputi faktor fisik berupa tanah, sinar matahari, air, dan faktor sosial ekonomi seperti uang tunai dan kredit, tenaga kerja, dan pasar (Harwood, 1982). Pada umumnya suatu usahatani memiliki modal yang terbatas, sumberdaya modal diperoleh dari pembentukan modal sendiri dan bantuan kredit. Konsekuensinya, dalam usaha pertanian tidak diperoleh modal sesuai yang diinginkan (Cowling et al. 1970). Jalan keluar untuk memenuhi keterbatasan modal bagi petani dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara. Pertama, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang terbatas melalui pengalokasikan kombinasi usahataninya sehingga mampu membentuk modal sendiri. Kedua, melalui pemberian kredit usahatani. Dengan demikian diharapkan petani akan mampu meningkatkan penggunaan input yang lebih tinggi, sehingga produksi yang dicapai akan lebih tinggi (Cooke, 1982).

Petani kecil umumnya kurang menguasai keadaan iklim dan masalah sosial ekonomi di tempat mereka bekerja. Walaupun demikian, mereka harus membuat keputusan tentang tanaman apa yang harus ditanam, bagaimana mengusahakan tanaman tersebut dan berapa luas yang harus diusahakan (Soekartawi, 1986).

2.2. Lahan dan Tanah

Lahan memiliki pengertian yang lebih luas dari pada tanah, walaupun dalam banyak hal kata tanah dan lahan sering digunakan dalam makna yang setara. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan (Saefulhakim, 1997) karena hampir semua aspek dari kehidupan manusia dan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Tanah dipandang sebagai benda alami dan yang mempelajari proses dan reaksi biofisik-kimia yang


(32)

berperan, kandungan dan jenis serta penyebarannya, sebagai tempat tumbuh tanaman dan penyedia unsur hara (Arsyad, 1989).

Hardjowigeno et al. (1999), mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang, yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang.

Sumberdaya lahan/tanah menggambarkan gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui serta sumberdaya biologis. Sebagai contoh adalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah berhubungan dengan adanya kegiatan organisme, sifat kimia alami tanah dan aktivitas akar tanaman agar hara tanah dapat diserap tanaman. Keadaan ini merupakan sifat dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui karena manusia dapat memanipulasi kesuburan tanah sehingga dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama sampai ratusan atau ribuan tahun. Misalnya, petani menggunakan pupuk, kapur, tanaman pupuk hijau, kompos dan sebagainya dalam kegiatan budidayanya. Sedangkan sifat tanah/lahan yang merupakan sifat dari sumberdaya biologis adalah apabila sumberdaya lahan/tanah ditingkatkan, dipertahankan atau digunakan sehingga kesuburannya bertambah atau berkurang sebagai akibat dari pengaruh manusia (Sitorus, 2004).

2.3. Kepemilikan dan Penguasaan Lahan

Pengertian kepemilikan dan penguasaan lahan seringkali dianggap sama. Padahal ada perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak (entitlement) sedangkan pengertian penguasaan lebih kepada total luasan yang di kuasai atau diusahakan. Selain itu pengertian kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual (dipindah tangankan), digadaikan, disewakan, diwariskan atau diusahakan untuk kepentingan pemiliknya. Sedangkan pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah berdasarkan sewa atau kontrak tertentu,


(33)

tetapi tidak dapat dipindahtangankan oleh yang menguasai tanah tersebut (Wijayanti, 2000).

Salah satu aspek penting dimensi tanah dalam hubungannya dengan manusia adalah tanah sebagai properti yang mempunyai pengertian bahwa tanah meliputi kepemilikan beserta entitlement yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah (Barlowe, 1978). Hal ini berkaitan dengan segala hak yang berhubungan dengan tanah yang mempunyai implikasi sangat luas terhadap pengelolaan sumberdaya tanah, seperti hak untuk memiliki dan menggunakan tanah, hak untuk menjual tanah, hak untuk menyewakan, hak untuk menggadaikan, hak untuk membagi dan menurunkan kepemilikan dan hak untuk menghibahkan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria) atau lebih dikenal dengan UUPA, menyebutkan beberapa jenis hak-hak atas tanah, antara lain: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang disebut sebelumnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak milik diatur dalam UUPA Pasal 20 sampai 27. Hak milik adalah hak turun-tumurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hak guna usaha diatur dalam UUPA Pasal 28 sampai Pasal 34. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan diatur dalam UUPA Pasal 35 sampai 40. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya, dengan jangka waktu tertentu (paling lama 30 tahun). Baik tanah negara maupun tanah milik yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum yang ditunjuk oleh Negara dapat diberikan hak guna bangunan. Hak pakai diatur dalam UUPA Pasal 41 sampai dengan 43. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang yang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal


(34)

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Hak sewa diatur dalam UUPA Pasal 44 dan 45. Hak sewa adalah sesuatu hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hak membuka tanah dan membangun hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah, sebagaimana disebutkan UUPA Pasal 46 Ayat 1.

2.4. Pola Tanam

Pola tanam biasanya dipilih oleh setiap petani berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pengelolaan. Sebelum faktor-faktor tersebut diperhitungkan, lahan diklasifikasikan berdasarkan curah hujan (Harwood, 1982). Menurut Wilsie (1962), terdapat 7 (tujuh) kriteria yang menentukan kesesuaian tanaman terhadap kondisi lingkungan, yaitu: (1) Kesesuaian topografi, (2) Kualitas tanah, (3) Kelembagaan yang memadai, (4) Jumlah curah hujan yang memadai, (5) Kesesuaian waktu dan distribusi hujan, (6) Kesesuaian cuaca, dan (7) Tersedianya pasar yang menampung hasil pertanian.

Pola tanam ideal ditentukan oleh fungsi input produksi dan ketersediaan komponen tanaman. Jika fungsi input dan ketersediaan genetik tetap untuk jangka waktu tertentu, biasanya petani menyusun pola pertanaman dan mengimbangi kendali ini. Varietas baru yang cukup dan ketersediaan input dapat memungkinkan ditemukannya pola pertanaman yang lebih baik (Harwood, 1982).

Apabila petani ingin mencapai tujuan sebaik mungkin, maka petani harus selalu melakukan pilihan sehingga penggunaan sumberdaya mencapai keadaan dimana keuntungan marginal diperoleh dan perubahan penggunaan sumberdaya sama besarnya dengan kerugian marginal yang termasuk dalam perubahan tersebut (Soekartawi et al., 1986).

2.5. Produktivitas dan Penguasaan Lahan

Menurut Mubyarto (1979), pengertian produktivitas lahan itu merupakan penggabungan antara konsepsi efisiensi usaha dengan kapasitas lahan. Efisiensi usaha diukur berdasarkan banyaknya hasil produksi (output) yang dapat diperoleh dari satu kesatuan input. Sedang kapasitas lahan menggambarkan kemampuan


(35)

lahan itu untuk menyerap tenaga dan modal, sehingga memberikan hasil produksi bruto yang sebesar-besarnya pada tingkat teknologi tertentu. Dengan demikian, secara teknis produktivitas adalah merupakan perkalian antara efisiensi usaha dengan kapasitas lahan.

Partadireja (1980), memberikan pengertian produktivitas lahan sebagai kemampuan lahan untuk menghasilkan sesuatu. Produktivitas lahan mencerminkan produksi per hektar, dan ini ditentukan oleh: (1) keadaan kesuburan tanah, (2) modal, yang termasuk di dalamnya adalah varietas tanaman, penggunaan pupuk organik maupun anorganik, tersedianya air dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik dan alat-alat pertanian, (3) teknik bercocok tanam, (4) teknologi yang di dalamnya termasuk organisasi, manajemen, dan gagasan-gagasan, dan (5) tenaga kerja.

Banyak faktor yang mempengaruhi kegairahan petani untuk meningkatkan produktivitas lahan mereka. Salah satu dari faktor-faktor yang dimaksudkan adalah status dan luas penguasaan lahan pertanian (Sinaga dan Kasryno, 1980).

Penelitian di India oleh Surjit S. Bhalia dalam Berry Cline (1979) di saat “revolusi hijau” telah berjalan enam tahun di negara tersebut diperoleh kesimpulan bahwa antara luas garapan dengan produktivitasnya terdapat hubungan yang negatif, makin luas usahataninya, produktivitasnya makin menurun. Hal ini disebabkan karena tidak sempurnanya pasar, terutama pasar tenaga kerja, disamping pasar lahan dan pasar modal. Kesimpulan serupa diperoleh oleh Berry dan Cline (1979) dalam penelitiannya di Filipina dengan menggunakan data tahun 1960.

Penelitian Rivai (1958), di perdesaan Pati - Jawa Tengah menyimpulkan, bahwa petani penyakap justru tingkat kemakmurannya lebih tinggi dan lebih stabil dari pada golongan petani pemilik. Hal ini dikarenakan petani penyakap semata-mata menggantungkan hidupnya pada tanah sakapannya, sehingga mereka lebih tekun mengusahakan lahan sakapannya untuk tidak mengecewakan si pemiliknya. Bagi penyakap jaminan kelangsungan perjanjian penyakapan dirasa penting. Sebaliknya petani pemilik tidak mempunyai dorongan serupa itu. Kesimpulan lain adalah intensitas mengerjakan tanah kongsen (hak mengerjakan) lebih baik dari sistem tanah yasan hak milik turun-menurun).


(36)

Menurut White dan Wiradi (1979), masalah penguasaan lahan bukan saja dipandang sebagai masalah hubungan manusia dengan lahannya melainkan lebih menyangkut hubungan sosial, ekonomi dan politik antar mereka. Dengan demikian, suatu hubungan penguasaan atas lahan langsung melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan masyarakat disekitarnya yang erat kaitannya dengan pembagian kekayaan, kesempatan-kesempatan ekonomi dan penguasaan politik diantara mereka, terutama di daerah-daerah, dimana lahan merupakan faktor produksi yang sangat langka, seperti di Jawa.

Menurut Sinaga (1980) untuk dapat mencapai pendapatan yang maksimum, petani akan mengelola usahataninya sedemikian rupa sehingga tingkat kombinasi pemakaian faktor-faktor produksi memenuhi persyaratan ekonomi sebagai berikut:

1. Jika dana yang dipunyai tidak terbatas, maka tingkat pemakaian faktor-faktor produksi diusahakan sedemikian rupa sehingga berada pada keadaan nilai-nilai produksi marjinal masing-masing faktor (NPMxn) sama dengan harga

per unit dari faktor produksi yang bersangkutan (Hxn) sehingga mengikuti

persamaan sebagai berikut:

NPMx1 = NPMx2 = . . . = NPMxn = 1

Hx1 Hx2 Hxn

2. Jika dana terbatas, maka tingkat pemakaian faktor-faktor produksi berada pada keadaan sedemikian sehingga rasio dari nilai produksi marjinal dan harga per unit masing-masing faktor produksi sama atau lebih besar dari satu. Persamaannya menjadi:

NPMx1 = NPMx2 = . . . = NPMxn > 1

Hx1 Hx2 Hxn

dimana NPMxn menyatakan nilai produksi marjinal faktor-faktor produksi xn

dan Hxn menyatakan harga persatuan faktor produksi xn

Implikasi pemakaian kriteria tersebut di atas terhadap tingkat pemakaian faktor-faktor produksi non lahan dan produktivitas lahan dengan berbagai macam status penguasaan lahan digambarkan pada Gambar 2.


(37)

(Kg)

Y1

PTP

Y2

Y3

0 Urea (Kg) Gambar 2. Kurva Produksi Penggunaan Pupuk Urea

(Rp)

Gambar 3. Kurva Nilai Produksi Marginal Urea dan Harga Urea Per Satuan dimana:

PTF = Produksi Total Fisik

NPMu = Nilai Produksi Marginaal Pupuk Urea NPMus = Nilai Produksi Marginal Urea Bagi Penyakap

Hu = Harga Urea Per Satuan Berat

Hus = Harga Urea Per Satuan Berat Setelah Biaya Urea Dibagi Dua

Oleh Penyakap dengan Pemilik

NPMUS

HUS

Urea (Kg) 0 N2

NPMU

N1


(38)

Dari Gambar 2. di atas sebagai misal kurva produksi pada sebidang lahan dengan penggunaan pupuk urea, dan Gambar 3. sebagai kurva nilai produksi marjinal dari urea dan harga urea per satuan berat. Dari gambar tersebut ditunjukkan bahwa:

1. Pada petani pemilik penggarap akan memakai pupuk urea sebanyak ON1 kg/ha karena pada tingkat pemakaian urea tersebut nilai produksi marjinal dari pupuk urea (NPMu) sama dengan harga per satuan berat urea (Hu) dan

produksi per hektar adalah OY1

2. Pada petani penyewa akan mengambil keputusan yang hasilnya seprti pada petani pemilik penggarap. Dalam hal sewa menyewa, sewa lahan merupakan biaya tetap bagi penyewa

3. Pada petani penyakap ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi antara lain: a. Bila hasil panen dibagi dua dan biaya produksi dibagi dua sama

besarnya, maka kurva nilai produksi marjinal bagi penyakap adalah NPMus dan kurva harga pupuk bagi penyakap adalah Hus. Pada pemakaian pupuk ON1 kurva NPMus memotong memotong kurva Hus.

Dengan demikian dengan aturan penyakapan tersebut per hektar dapat mencapai OY1.

b. Bila hasil panen dibagi dua sama tetapi semua biaya dpikul penyakap maka harga pupuk sama dengan Hu. Kurva NPMus memotong Hu pada

tingkat pemakaian pupuk ON2 sehingga hasil per hektar yang akan dicapai hanya OY2.

Dari illustrasi Gambar 2 dan 3 di atas menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu hasil per hektar akan sama, baik lahan itu diusahakan pemiliknya atau penyewa maupun penyakap.

2.6. Erosi

Istilah erosi tanah umumnya diartikan sebagai kerusakan tanah oleh perbuatan air atau angin. Menurut Arsyad (2006), erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh


(39)

media alami. Menurut media pengangkutannya dikenal dua jenis erosi, yaitu erosi air dan erosi angin.

Terjadinya erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Pada sebagian besar daerah tropika basah seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan dan aliran permukaan (Sinukaban, 1989).

Selanjutnya Ellison (1947) dalam Sinukaban (1989) menyatakan bahwa erosi merupakan proses pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation) bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi. Peristiwa pelepasan dan pengangkutan merupakan komponen-komponen erosi tanah yang penting, dimana di dalam proses terjadinya erosi, peristiwa pelepasan butir tanah mendahului peristiwa pengangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan merupakan variabel yang penting yang berdiri sendiri, tetapi pengangkutan tergantung dari pelepasan.

Berdasarkan prosesnya (tempat, sumber, magnitud dan bentuk), erosi dapat dibedakan menjadi erosi percikan (splash erosion), erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan agent atau medianya, erosi dapat dibedakan menjadi erosi air dan erosi angin. Walaupun terdapat perubahan secara spasial dan temporal, proses yang terlibat dalam erosi adalah sama.

Menurut David (1988) dan Lu et al. (2005) erosi yang diakibatkan oleh air sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan run off. Proses ini terdiri dari empat sub proses yang interaktif, yaitu: penghancuran oleh curah hujan, pengangkutan oleh curah hujan, penghancuran oleh run off (scour erosion) dan pengangkutan oleh

run off. Hujan jatuh di permukaan tanah akan menghancurkan partikel tanah dan memercikan partikel tersebut ke atas kemudian berpindah ke tempat lain (Gambar 4).


(40)

Partikel tanah yang berpindah tempat tersebut dapat menyumbat pori-pori tanah sehingga menyebabkan terjadinya pemadatan tanah (surface crusting) sehingga akan mengurangi infiltrasi tanah. Apabila hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka akan terjadi run off yang akan menghancurkan partikel tanah dan mengangkutnya dengan tenaga aliran run off. Jika kecepatan aliran menjadi lambat atau terhenti, partikel akan mengalami deposisi atau sedimentasi (Mc Clauley dan Jones, 2005).

Berkurangnya penutupan lahan, baik oleh tajuk maupun serasah tanaman menyebabkan teradinya peningkatan daya rusak tetesan hujan, sehingga tingkat bahaya erosi menjadi lebih tinggi. Di Indonesia, pengaruh erosi dapat dilihat dari semakin meningkatnya hamparan lahan kritis dan frekuensi dan besaran banjir. Banjir terjadi akibat sedimentasi di sungai, sehingga kapasitas tampung sungai menurun dan air meluap di musim hujan. Peristiwa erosi juga menyebabkan sedimentasi di berbagai waduk seperti waduk Gajah Mungkur, bendungan Jatiluhur, dan lainnya.

Menurut McCauley dan Jones (2005) kerugian yang ditimbulkan oleh erosi tanah cukup besar, karena mengikis dan mengangkut sebagian tanah, misalnya kehilangan tanah yang terjadi pada lahan pertanian di Amerika dan Montana yang masing-masing mencapai 1,3 juta ton/tahun dan 5,50 ton/ha/tahun serta padang rumput di Wyoming yang telah menyebabkan erosi mencapai 5,10 ton/ha/tahun.

Erosi dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor-faktor alami yang mempengaruhi erosi dapat dirinci sesuai dengan pengaruh yang disumbangkannya terhadap proses erosi dan sedimentasi, sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Erosi perlu dikendalikan agar tanah dapat dimanfaatkan secara lestari untuk pertanian dan penggunaan lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran terhadap besarnya erosi yang terjadi akibat pemanfaatan lahan untuk penggunaan tertentu, terutama pertanian. Pengukuran langsung di lapang akan membutuhkan waktu yang lama, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Pengembangan model prediksi erosi merupakan salah satu cara yang dapat mempermudah penetapan besarnya erosi yang terjadi pada suatu lahan.


(41)

Tabel 2. Pengaruh Beberapa Faktor Alam Terhadap Proses dan Tingkat Erosi Tanah Faktor Pengaruh terhadap Proses Erosi Curah Hujan : intensitas, durasi,

frekwensi, indeks erosi

Menghancurkan agregat tanah dengan percikan butir air hujan dan mengangkut partikel oleh run off; surface sealing

Lereng:

- Kemiringan, panjang dan bentuk

- Posisi Terhadap lereng

Erosi cenderung meningkat dengan meningkatnya panjang dan kemiringan lereng; bentuk lereng memperngaruhi tingkat kehilangan tanah, yaitu conveks>lurus>conkaf Mempengaruhi hubungan run offrun on (erosi dan deposisi)

Tanah:

- Kedalaman - Tekstur

- Struktur dan agregasi - Kandungan Bahan Organik

Mempengaruhi kapasitas penyimpanan air tersedia

Tanah dengan kandungan debu atau pasir halus umumnya paling mudah tererosi; erodibilitas akan menurun dengan meningkatnya kandungan fraksi pasir dan liat

Proporsi air- stabilitas dan ukuran agregat mempengaruhi erodibilitas

Mempengaruhi inisiasi run off, infiltrasi, perkembangan struktur tanah, water repellency. Vegetasi : Struktur, penutupan

kanopi, penutupan dasar (ground)

Mempengaruhi intersepsi curah hujan, percikan butir air hujan, infiltrasi, evapotranspirasi dan

run off. Sumber : Gunn et al. (1988)

Menurut Arsyad (2006), secara ideal metode prediksi harus memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu harus dapat diandalkan, secara universal dapat dipergunakan, mudah dipergunakan dengan data yang minimum, komprehensif dalam hal faktor-faktor yang dipergunakan dan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna tanah dan tindakan konservasi.

Prediksi erosi yang umum dipergunakan pada saat ini adalah model parametrik, terutama tipe kotak kelabu. Empat faktor utama yang dianggap terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan. Oleh Wischmeier dan Smith (1978) keempat faktor tersebut dimanfaatkan sebagai dasar untuk menentukan besarnya erosi tanah melalui persamaan umum yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan persamaan universal (Universal Soil Loss Equation.-USLE).


(42)

USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan. Persamaan yang dipergunakan untuk mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi kedalaman enam peubah utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik.

USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar atau alur dibawah keadaan tertentu. Dan juga bermanfaat untuk tempat-tempat bangunan dan penggunaan bukan pertanian, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sendimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai.

Persamaan USLE hingga saat ini masih relevan dan paling banyak digunakan dan hingga saat ini belum ada yang menggantikan metode USLE ini:

A = R K L S C P dimana:

A = adalah banyaknya tanah yang tererosi (ton/hektar/tahun)

R = adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) tahunan.

Nilai R dapat ditetapkan dengan menggunakan Peta ISOERODEN. Namun bila data CH tak lengkap dapat digunakan Rumus Bols (1978) yaitu:

EI30 = 6,119 (R) 1.21 (Days)-0,47 (Max P) 0.53 atau

EI30=

725 . 0 0727 . 0

2 467 . 2

+ r

r

r = curah hujan (cm)

K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22 m terletak pada lereng 9% tanpa tanaman. Nilai K dapat dihitung berdasarkan sifat tanah dengan rumus Weischmeier dan Smith sebagai berikut:


(43)

100 K = 1.292 (2.1 M1.14 x 10-4 x (12 – a) + 3,25 (b – 2) + 2.5 (c – 3) dimana:

M = (% pasir sangat halus + % Debu) (100 - % liat) a = % bahan organik

b = kode struktur tanah c = kelas permeabiltas

atau menggunakan Nomograf Erodibilitas Tanah Weischmeier dan Smith, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Nomograf untuk Menentukan Nilai K

L = adalah faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22 m di bawah keadaan yang identik. L dapat dihitung dengan rumus:

Faktor

m x

L

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

22

Nilai m tergantung pada kemiringan lereng (m = 0.2 jika s < 1%; m = 0.3 jika 1%<s<3%; m = 0.4 jika 3.5%<s<4.5% dan m = 0.5 jika s > 5%)

S = faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik. Faktor S dapat dihitung dengan rumus :


(44)

Faktor S = 0.065 + 0.045 s + 0.0065 s2 (untuk s<12%) Faktor S = (s/9)1.35 (untuk s > 12%)

Faktor LS dapat ditentukan secara simultan dengan menggunakan nomograf Weismeier dan Smith (1978).

C = adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman. Faktor C dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian yang sudah ada.

P = adalah faktor tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus terhadap besarnya erosi tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik. Faktor P juga dapat ditentukan dengan melihat hasil penelitian yang sudah ada.

Kelemahan dan Keunggulan USLE

Menurut Goldman et al. (1986) persamaan USLE mempunyai keterbatasan dan keunggulan sebagai berikut:

Asumsi:

- dapat digunakan pada lereng yang panjangnya ≤ 400 feet - digunakan pada kemiringan lereng 3% - 18%

- hanya dapat digunakan pada lahan dengan sistem penanaman dan pengelolaan yang konsisten

- hanya dapat digunakan pada DAS yang tidak terlalu luas (DAS kecil) - efektif digunakan pada unit lahan yang tanahnya bertekstur sedang (tidak

untuk tanah yang bertekstur berpasir) Kelemahan:

- sulit digunakan pada kejadian hujan tertentu - sulit digunakan pada DAS yang kompleks - tidak memperhitungkan proses (bersifat empirik)


(45)

Keunggulan:

- mudah diaplikasikan

- dapat diterapkan dimana saja (universal), dengan penetapan nilai setiap faktor secara tepat.

- dapat memprediksi erosi dalam jangka panjang pada penggunaan lahan yang berbeda-beda.

Secara skematik persamaan USLE disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Skema Persamaan USLE (Arsyad, 2006)

Selanjutnya menurut Hudson (1978), terdapat dua aplikasi utama dari persamaan USLE ini, yaitu:

a. Untuk memprediksi kehilangan tanah akibat erosi

Pada situasi tertentu nilai setiap faktor dalam persamaan adalah tetap, di lapang atau pada tanah tertentu, panjang dan kemiringan lereng diketahui, dengan pola tanam tertentu. Untuk setiap variabel ini dipilih nilai numerik yang tepat, dan jika semua faktor tersebut dikalikan, maka jumlah erosi yang diprediksi oleh persamaan dapat dihitung. Kita mengetahui semua term pada bagian kanan persamaan dapat digunakan untuk menghitung A. Kita juga dapat memprediksi berapa perubahan tanah yang hilang jika kita mengubah nilai beberapa variabel tersebut.

Hujan

A

Besarnya Erosi yang akan terjadi adalah fungsi :

Energi

Kekuatan Perusak Hujan

R

Kemungkinan Erosi Tanah

Sifat Tanah Pengelolaan

K

Pengelolaan Lahan

Pengelolaan Tanaman


(46)

b. Untuk memilih tindakan dalam pertanian

Dalam hal ini, bagian kiri persamaan, yaitu A (erosi) sama dengan kehilangan tanah maksimum yang dapat diterima. Di bagian kanan persamaan beberapa faktor yang mewakili variabel yang tidak dapat dikendalikan, seperti erosivitas (R), erodibilitas (K), dan kemiringan lereng dan nilai ini juga telah dapat ditentukan. Faktor-faktor lainnya adalah perbedaan sistem penanaman, perbedaan metoda ploughing dan lain-lain. Persamaan dapat memilih kombinasi yang bervariasi dari faktor-faktor ini sehingga persamaan seimbang (balance), yaitu erosi tidak akan melebihi target. Aplikasi ini berguna sebagai pertimbangan dalam membuat rekomendasi untuk para petani dalam pengelolaan tanaman.

Jenis solusi yang dihasilkan dari persamaan mungkin tanpa sedikitpun tindakan konservasi (nilai P tinggi), namun rotasi akan mencakup proporsi yang tinggi dari tutupan tanaman (nilai C rendah perlu untuk menyeimbangkan persamaan). Tetapi jika lahan dibuat teras (untuk mengurangi P) rotasi harus terdiri dari cash crops yang lebih banyak (nilai C menjadi lebih tinggi). Tidak ada solusi tunggal yang mutlak dari persamaan tersebut, yang ada dengan berbagai cara dapat diperoleh lebih dari satu jawaban terhadap bagaimana untuk mengelola lahan.

USLE telah dimodifikasi dan diperluas untuk kondisi yang sesuai di Pasifik Barat laut, Hawaii dan wilayah range land di bagian barat. Modifikasi tersebut telah memasukkan run off dan peak flow sebagai parameter, menggantikan faktor energi dan intensitas curah hujan untuk memperoleh model sediment yield untuk hujan tertentu (William, 1977).

Penggunaan dan Penyalahgunaan USLE

Persamaan USLE dirancang untuk memprediksi sheet dan riil erosion. Dalam hal ini kehilangan tanah harus dibedakan dengan sediment yield. Kehilangan tanah diprediksi dengan persamaan adalah bagian tanah yang diangkut pada kemiringan tertentu yang ditetapkan sebagai faktor topografi. Informasi ini sangat diperlukan untuk perencanaan konservasi tanah. Namun pada umumnya, tidak semua sedimen dihasilkan pada lereng yang ditinggalkan.


(47)

Sediment yield di lapang merupakan jumlah kehilangan tanah pada bagian lereng dikurangi deposisi dalam depresi di lahan, pada kaki lereng, sepanjang batasan petak dan di dalam saluran teras. Persamaan USLE tidak menghitung deposisi ini (Weischmeier dan Smith, 1978). Banyak variabel dan interaksi yang mempengaruhi sheet dan riil erosion. USLE menggolongkan variabel ini menjadi enam faktor erosi utama, hasilnya untuk suatu kondisi tertentu mewakili kehilangan tanah rata-rata tahunan.

Menurut Weischmeier (1978), ada beberapa sumber kekeliruan dalam menerapkan USLE, yaitu:

- USLE sering digunakan pada DAS yang kompleks, padahal USLE tidak bisa digunakan untuk memprediksi erosi pada DAS yang kompleks karena tidak ada sistem pengelolaan dan penanaman yang konsisten, variabilitas wilayah sangat tinggi. USLE membutuhkan data yang spesifik dan detil. Oleh karena itu hasil perhitungan yang diperoleh akan keliru (atau tidak sesuai dengan kondisi aktualnya).

- USLE akan memberikan hasil yang keliru jika digunakan untuk prediksi sedimentasi di reservoir, karena USLE hanya digunakan untuk memprediksi erosi pada suatu unit lahan, bukan untuk prediksi sedimentasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.

Penetapan faktor C dan LS juga sering menyebabkan kekeliruan perhitungan erosi berdasarkan USLE. Faktor C sering ditentukan berdasarkan kondisi tanaman dalam satu musim tanam atau berdasarkan hasil interpretasi citra landsat atau foto udara yang terakhir, pada hal faktor C yang dimaksudkan dalam USLE adalah faktor C yang menggambarkan kondisi penanaman selama satu tahun. Selain itu faktor LS sering ditentukan berdasarkan peta topografi sehingga hasil yang diperoleh bias, karena interpretasi dan perhitungan yang kurang tepat. Seharusnya penentuan faktor LS ini harus berdasarkan pengukuran langsung di lapang.

2.7. Degradasi Lahan

Degradasi lahan pertanian yang dihadapi terutama berupa menurunnya kesuburan fisik dan kimia tanah akibat erosi maupun akibat penggunaan lahan


(48)

yang over intensive. Sejak krisis ekonomi, laju degradasi lahan pertanian cenderung meningkat karena perambahan hutan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan. Sementara itu, praktek pertanian konservasi tidak berkembang dengan baik karena tiadanya insentif ekonomi yang sepadan (Sumaryanto et al., 2002).

Degradasi akibat penggunaan lahan yang terlalu intensif tercermin dari kecenderungan terjadinya ”lapar pupuk”. Beberapa tahun terakhir ini, untuk mempertahankan produktivitas yang dicapai petani mengaplikasikan dosis pemupukan yang lebih tinggi (Sumaryanto et al., 2002). Hal ini diduga berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dalam tanah maupun kesuburan fisik tanah akibat semakin habisnya bahan organik yang terkandung dalam tanah akibat intensitas tanam yang tinggi dan terlalu mengandalkan pupuk anorganik semata, seperti N, P dan K.

Degradasi lahan (land degradation), menurut Padusung dan Arman (2002), disebabkan oleh erosi, pencemaran air tanah dan air permukaan oleh pestisida dan limbah industri, penanaman tanaman secara terus-menerus dalam jangka waktu lama tanpa ada usaha pengembalian sisa, dan kegiatan penambangan seperti penambangan batu bara, minyak bumi dan bahan mineral. Namun, penyebab utamanya adalah erosi, sebagai akibat kurang tepatnya penggunaan dan pengelolaan lahan yang diikuti dengan curah hujan yang tinggi.

Lahan dengan kerentanan tinggi terhadap degradasi memiliki sebaran yang luas di Indonesia. Kerentanan lahan ditentukan oleh sifat tanah yang terbentuk pada proses awalnya. Tanah rentan apabila terdegradasi akan meninggalkan kerusakan yang berat dan relatif permanen. Peningkatan kecepatan meluasnya degradasi lahan pada tanah rentan disebabkan antara lain karena kesalahan dalam pengelolaan (Djuwansah, 2002).

Proses degradasi lahan saat ini terjadi dimana-mana. Pertambahan jumlah penduduk beserta peningkatan pesat akan kebutuhan sumberdaya lahan menjadi pemicunya. Sebagai respons dari perkembangan di atas, telah terjadi konversi lahan dalam skala luas. Di daerah padat hunian, lahan-lahan pertanian produktif dikonversikan menjadi lahan-lahan industri non-pertanian sehingga terjadi konversi, salah satunya lahan pertanian dan perkebunan. Pada proses konversi ini, batas-batas kemampuan lahan seringkali terabaikan (Djuwansah, 2002).


(1)

Lampiran 15. (lanjutan)

27 • Karet

• Teh

• Kelapa sawit • Kelapa

0.8 0.5 0.5 0.5

1 1 1 1

28 Kolam ikan 0.001 1

29 Lahan kritis, tanpa vegetasi 0.95 1

30 Semak belukar 0.3 1

31 Sorgum-sorgum (terus menerus) 0.341 3

32 Padi gogo – jagung (dalam rotasi) 0.209 3

33 Padi gogo – jagung (rotasi) + mulsa jagung 0.083 3 34 Padi gogo – jagung (rotasi) + mulsa jerami 2 ton / ha dan

10 -20 ton pupuk kandang 0.030 3

35 Padi gogo tumpangsari jagung + ubikayu dirotasikan

dengan kedelai atau kacang tanah 0.421 3

36 Jagung dan kacang tanah, sisa tanaman jadi mulsa 0.014 3

37 Alang-alang permanen 0.021 3

38 Alang-alang dibakar satu kali 0.20 3

39 Semak, lamtoro 0.51 3

40 Albisia dengan semak campuran 0.012 3

41 Albisia tanpa tanaman bawah 1.0 3

42 Kentang ditanam mengikuti arah lereng 1.0 3

43 Kentang, penanaman mengikuti kontur 0.35 3

44 Bawang, penanaman dalam kontur 0.08 3

45 Pohon tanpa semak 0.32 3

46 Ubikayu, tumpangsari dengan kedelai 0.181 2

47 Ubikayu, tumpangsati dengan kacang tanah 0.195 2

48 Ubikayu + sorgum (tumpangsari) 0.345 2

49 Padi gogo + sorgum (tumpangsari) 0.417 2

50 Kacang tanah + kacang gude (tumpangsari) 0.495 2

51 Kacang tanah + kacang tunggak (tumpangsari) 0.571 2

52 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0.049 2

53 Kacang tanah + mulsa batang jagung 4 ton/ha 0.196 2

54 Kacang tanah, mulsa crotalaria 3 ton/ha 0.128 2

55 Kacang tanah, mulsa kacang tunggak 0.259 2

56 Kacang tanah, mulsa jerami padi 0.377 2

57 Padi gogo mulsa crotalaria 3 ton/ha 0.387 2

58 Padi gogo + jagung + ubikayu, mulsa jerami 6 ton/ha.

Setelah padi ditanami kacang tanah 0.079 2

59 Padi gogo – jagung – kacang tanah, dalam rotasi, dengan

sisa tanaman jadi mulsa 0.347 2

60 Padi gogo – jagung – kacang tanah, dalam rotasi 0.496 2 61 Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpangsari), dengan

mulsa sisa tanaman 0.357 2

62 Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpangsari) 0.588 2

63 Padi gogo + mulsa jerami padi 4 ton/ha 0.096 3

Keterangan :

1. Hammer, 1982, dalam Sinukaban, 1989;

2. Adimihardja, Abujamin dan Kurnia, 1984, dalam Sinukaban, 1989; 3. Pusat Penelitian Tanah, 1973 – 1981, dalam Sinukaban, 1989.


(2)

Lampiran 16. Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Gabungannya dengan Pengelolaan Tanaman (CP)

No Tindakan Konservasi dan Pengelolaan Tanaman

Nilai P dan

CP

Sumber

1 Teras bangku Terang bangku :

• Konstruksi baik

• Konstruksi sedang

• Konstruksi buruk

0.037 0.04 0.15 0.35 2 1 1 1

2 Teras tradisional 0.35 1

3 Teras koluvial ditanami strip rumput atau bambu atau rumput permanen seperti rumput brachiaria:

• Disain baik, tahun pertama

• Disain buruk, tahun pertama

0.04 0.40

1 1

4 Rorak 0.6 1

5 Mulsa penahan air:

• Serasah atau jerami 6 ton/ha/tahun

• Serasah atau jerami 3 ton/ha/tahun

• Serasah atau jerami 1 ton/ha/tahun

0.3 0.5 0.8 1 1 1 6 Penanaman menurut kontur:

• Pada lereng 0 – 8 %

• Pada lereng 20 %

• Pada lereng > 20 %

0.5 0.75 0.90 1 1 1 7 Teras bangku ditanami kacang tanah – kacang tanah 0.009 2 8 Teras bangku ditanami jagung + mulsa jerami 4 ton/ha 0.006 2 9 Teras bangku ditanami sorgum – sorgum 0.012 2

10 Teras bangku ditanami jagung 0.048 2

11 Penanaman strip rumput bahia (1 tahun) dalam tanaman kedelai 0.02 2 12 Penanaman strip crotalaria dalam pertanaman padi gogo 0.340 2 13 Penanaman strip crotalaria dalam kedelai 0.111 2 14 Penanaman strip crotalaria dalam kacang tanah 0.389 2 15 Penanaman strip kacang tanah dalam pertanaman jagung,

menggunakan sisa tanaman sebagai mulsa 0.05 3 16 Teras guludan dengan rumput penguat 0.50 3 17 Teras guludan ditanami padi gogo dan jagung dalam rotasi 0.015 3 18 Teras guludan pada pertanaman sorgum – sorgum 0.041 3 19 Teras guludan pada pertanaman ubikayu 0.063 3 20 Teras guludan pada tanaman jagung – kacang tanah dalam rotasi,

menggunakan mulsa sisa tanaman 0.006 3

21 Teras guludan pada kacang tanah – kedelai dalam rotasi 0.105 3 22 Teras guludan, padi gogo – jagung – kacang tunggak dalam rotasi

dengan 2 ton/ha kapur 0.012 3

23 Teras bangku, ditanami jagung – ubikayu / kedelai dalam rotasi 0.056 3 24 Teras bangku ditanami sorgum – sorgum 0.024 3 25 Teras bangku, kacang tanah – kacang tanah 0.009 3

26 Teras bangku tanpa tanaman 0.039 3

27 Penanaman strip crotalaria dalam sorgum – sorgum 0.264 3 28 Penanaman strip clotalaria dalam kacang tanah – ubikayu 0.405 3 29 Penanaman strip crotalaria dalam pertanaman padi gogo – ubikayu 0.193 3 30 Penanaman strip rumput dalam padi gogo 0.841 3 Keterangan :

1. Hammer, 1982, dalam Sinukaban, 1989;

2. Adimihardja, Abujamin dan Kurnia, 1984, dalam Sinukaban, 1989; 3. Pusat Penelitian Tanah, 1973 – 1981, dalam Sinukaban, 1989.


(3)

Lampiran 17. Faktor Kedalaman Ekuivalen untuk 30 Sub Ordo Tanah

No Sub

Ordo

Taksonomi Tanah

Faktor Kedalaman

Ekuivalen Tanah

1

Aqualf

0.90

2

Udalf

0.90

3

Ustalf

0.90

4

Aquent

0.90

5

Arent

1.00

6

Fluvent

1.00

7

Orthent

1.00

8

Psamment

1.00

9

Andept

1.00

10

Aquept

0.95

11

Tropept

1.00

12

Alboll

0.75

13

Aquoll

0.90

14

Rendoll

0.90

15

Udoll

1.00

16

Ustoll

1.00

17

Aquox

0.90

18

Tumox

1.00

19

Orthod

0.90

20

Ustox

0.90

21

Aquod

0.90

22

Ferro

0.95

23

Tumod

1.00

24

Orthod

0.95

25

Aquult

0.80

26

Tumult

1.00

27

Udult

0.80

28

Ustult

0.80

29

Urdert

1.00

30

Ustert

1.00


(4)

Lampiran 18. Kriteria yang Dipergunakan Pengelompokan Kelas.

1. IKLIM CH dan temperatur

2. TOPOGRAFI

A 0 – 3% Datar (flat)

B 3 – 8% Agak landai (gently sloping) C 8 – 15% Landai (sloping)

D 15 – 25% Agak curam (moderately steep) E 25 – 40% Curam (steep)

F 40 – 60% Sangat curam (very steep)

G > 60% Terjal (extremely steep and abrupt)

3. ANCAMAN EROSI

KE 1 = 0,00-0,10 (sangat rendah) KE 2 = 0,11-0,20 (rendah) KE 3 = 0,21-0,32 (sedang) KE 4 = 0,33-0,43 (agak tinggi) KE 5 = 0,44-0,55 (tinggi) KE 6 = 0,56-0,64 (sangat tinggi)

4. EROSI YANG TELAH TERJADI

e0 = tidak ada erosi

e1 = ringan : < 25 % lapisan atas hilang e2 = sedang : 25 – 75 % lapisan atas hilang

e3 = agak berat : >75% lapisan atas hilang, < 25 % lapisan bawah hilang e4 = berat : > 25 % lapisan bawah hilang

e5 = sangat berat : erosi parit

5. KEDALAMAN TANAH

k0 = lebih dari 90 cm (dalam) k1 = 90 sampai 50 cm(sedang) k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal) k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal)

6. TEKSTUR TANAH

t1 = tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu dan liat t2 = tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung

berliat dan lempung liat berdebu

t3 = tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung berdebu dan debu t4 = tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung

berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus

t5 = tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir

7. PERMEABILITAS

P1 = Lambat : < 0,5 cm/jam P2 = Agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam P3 = Sedang : 2,0 – 6,25 cm/jam P4 = Agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam P5 = Sangat cepat : > 12,5 cm/jam

8. DRAINASE

d0 = berlebihan d1 = baik d2 = agak baik d3 = agak buruk d4 = buruk


(5)

Lampiran 18. (lanjutan)

FAKTOR-FAKTOR KHUSUS Kerikil

b0 = tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah b1 = sedang : 15 – 50% volume tanah

b2 = banyak : 50 -90 % volume tanah b3 = sangat banyak : > 90 % volume tanah Batuan Kecil

b0 = tidak ada atau sedikit : 0 – 15 % volume tanah

b1 = sedang : 15 – 50 % volume tanah ; pengolahan tanah mulai agak sulit dan pertumbuhan tanaman Agak terganggu

b2 = banyak : 50 – 90 % volume tanah ; pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu

b3 = sangat banyak : > 90 % volume tanah; pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu

Batuan lepas

b0 : tidak ada (<0,01% luas areal)

b1 : sedikit (0,01-3% permukaan tanah tertutup) b2 : sedang (3-15% permukaan tanah tertutup) b3 : banyak (15-90% permukaan tanah tertutup) b4 : sangat banyak (>90% permukaan tanah tertutup). Batuan tersingkap (rock)

b0 = tidak ada (<2% permukaan tanah tertutup) b1 = sedikit (2-10% permukaan tanah tertutup) b2 = sedang (10-50% permukaan tanah tertutup) b3 = banyak (50-90% permukaan tanah tertutup)

b4 = sangat banyak (>90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digarap).

1. ANCAMAN BANJIR ATAU GENANGAN

O0 : tidak pernah : dalam periode 1 tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam

O1 : jarang : banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari 1 bulan

O2 : kadang-kadang : selama waktu 1 bulan dalam setahun tanah secara teratur tertututp banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam

O3 : sering : selama waktu 2–5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam

O4 : sangat sering : selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam

2. SALINITAS

g 0 = bebas (0-0,15% garam larut; 0-4 (ECx103 ) mmhos/cm pada suhu 25oC g 1 = terpengaruh sedikit (0,15-0,35% garam larut; 4-8 (ECx103) mmhos/cm

pada suhu 25oC

g 2 = terpengaruh sedang (0,35-0,65% garam larut; 8-15 (ECx103 ) mmhos/cm pada suhu 25oC)

g 3 = terpengaruh hebat (>0,65% garam larut; >15 (ECx103) mmhos/cm pada suhu 25oC


(6)

Lampiran 19. Faktor Kedalaman Ekuivalen untuk 30 Sub Ordo Tanah

Taxonomi Tanah

(Sub-Order)

Harkat Kemerosotan

Sifat Fisik dan Kimia

Nilai Faktor

Kedalaman

Tanah

Fisik Kimia

1. Aqualf*)

S

R

0,90

2. Udalf *)

S

R

0,90

3. Ustalf

S

R

0,90

4. Aquent

S

R

0,90

5. Arent

R

R

1,00

6. Fluvent*)

R

R

1,00

7. Orthent

R

R

1,00

8. Psmamment

R

R

1,00

9. Andept*)

R

R

1,00

10. Aquept *)

R

S

0,95

11. Tropept

R

R

1,00

12. Alboll

T

S

0,75

13. Aquoll

S

R

0,90

14. Rendoll

S

R

0,90

15. Udoll

R

R

1,00

16. Ustoll

R

R

1,00

17. Aquox

R

T

0,90

18. Humox

R

R

1,00

19. Orthox *)

R

T

0,90

20. Ustox

R

T

0,90

21. Aquod

R

T

0,90

22. Ferrod

R

S

0,95

23. Humod

R

R

1,00

24. Orthod

R

S

0,95

25. Aquult

S

T

0,80

26. Humult

R

R

1,00

27. Udult

S

T

0,80

28. Ustult

S

T

0,80

29. Udert

R

R

1,00

30. Ustert

R

R

1,00


Dokumen yang terkait

Analisis karakteristik usahatani komoditas hortikultura dan faktor faktor yang mempengaruhinya di kawasan agropolitan pacet Cianjur

2 25 188

Analisis Pola Aliran Penduduk di Kawasan Agropolitan (Studi Kasus Kecamatan Pacet dan Cipanas, Kabupaten Cianjur)

4 26 127

Studi Perbandingan Land Rent Antara Lahan Komoditas Hortikultur Dengan Padi Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Kecamatan Pacet dan Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

0 10 80

Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan: studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

0 8 240

Analisis pengaruh kompensasi petani terhadap produktivitas usaha: studi kasus Kawasan Agropolitan Pacet, Kabupaten Cianjur

0 8 215

Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

0 7 126

PENGARUH AGRIBISNIS HORTIKULTURA TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI : Studi Kasus Pada Kelompok Tani Di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

1 6 41

PENGARUH AGRIBISNIS HORTIKULTURA TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI :Studi Kasus Pada Kelompok Tani Di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

0 1 47

Penentuan Kawasan Agropolitan berdasarkan Komoditas Unggulan Tanaman Hortikultura di Kabupaten Malang

0 0 5

PENENTUAN KAWASAN AGROPOLITAN BERDASARKAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN HORTIKULTURA DI KABUPATEN MALANG

0 0 476