Pola Tanam Produktivitas dan Penguasaan Lahan

14 tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Hak sewa diatur dalam UUPA Pasal 44 dan 45. Hak sewa adalah sesuatu hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hak membuka tanah dan membangun hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah, sebagaimana disebutkan UUPA Pasal 46 Ayat 1.

2.4. Pola Tanam

Pola tanam biasanya dipilih oleh setiap petani berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pengelolaan. Sebelum faktor-faktor tersebut diperhitungkan, lahan diklasifikasikan berdasarkan curah hujan Harwood, 1982. Menurut Wilsie 1962, terdapat 7 tujuh kriteria yang menentukan kesesuaian tanaman terhadap kondisi lingkungan, yaitu: 1 Kesesuaian topografi, 2 Kualitas tanah, 3 Kelembagaan yang memadai, 4 Jumlah curah hujan yang memadai, 5 Kesesuaian waktu dan distribusi hujan, 6 Kesesuaian cuaca, dan 7 Tersedianya pasar yang menampung hasil pertanian. Pola tanam ideal ditentukan oleh fungsi input produksi dan ketersediaan komponen tanaman. Jika fungsi input dan ketersediaan genetik tetap untuk jangka waktu tertentu, biasanya petani menyusun pola pertanaman dan mengimbangi kendali ini. Varietas baru yang cukup dan ketersediaan input dapat memungkinkan ditemukannya pola pertanaman yang lebih baik Harwood, 1982. Apabila petani ingin mencapai tujuan sebaik mungkin, maka petani harus selalu melakukan pilihan sehingga penggunaan sumberdaya mencapai keadaan dimana keuntungan marginal diperoleh dan perubahan penggunaan sumberdaya sama besarnya dengan kerugian marginal yang termasuk dalam perubahan tersebut Soekartawi et al., 1986.

2.5. Produktivitas dan Penguasaan Lahan

Menurut Mubyarto 1979, pengertian produktivitas lahan itu merupakan penggabungan antara konsepsi efisiensi usaha dengan kapasitas lahan. Efisiensi usaha diukur berdasarkan banyaknya hasil produksi output yang dapat diperoleh dari satu kesatuan input. Sedang kapasitas lahan menggambarkan kemampuan 15 lahan itu untuk menyerap tenaga dan modal, sehingga memberikan hasil produksi bruto yang sebesar-besarnya pada tingkat teknologi tertentu. Dengan demikian, secara teknis produktivitas adalah merupakan perkalian antara efisiensi usaha dengan kapasitas lahan. Partadireja 1980, memberikan pengertian produktivitas lahan sebagai kemampuan lahan untuk menghasilkan sesuatu. Produktivitas lahan mencerminkan produksi per hektar, dan ini ditentukan oleh: 1 keadaan kesuburan tanah, 2 modal, yang termasuk di dalamnya adalah varietas tanaman, penggunaan pupuk organik maupun anorganik, tersedianya air dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik dan alat-alat pertanian, 3 teknik bercocok tanam, 4 teknologi yang di dalamnya termasuk organisasi, manajemen, dan gagasan- gagasan, dan 5 tenaga kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi kegairahan petani untuk meningkatkan produktivitas lahan mereka. Salah satu dari faktor-faktor yang dimaksudkan adalah status dan luas penguasaan lahan pertanian Sinaga dan Kasryno, 1980. Penelitian di India oleh Surjit S. Bhalia dalam Berry Cline 1979 di saat “revolusi hijau” telah berjalan enam tahun di negara tersebut diperoleh kesimpulan bahwa antara luas garapan dengan produktivitasnya terdapat hubungan yang negatif, makin luas usahataninya, produktivitasnya makin menurun. Hal ini disebabkan karena tidak sempurnanya pasar, terutama pasar tenaga kerja, disamping pasar lahan dan pasar modal. Kesimpulan serupa diperoleh oleh Berry dan Cline 1979 dalam penelitiannya di Filipina dengan menggunakan data tahun 1960. Penelitian Rivai 1958, di perdesaan Pati - Jawa Tengah menyimpulkan, bahwa petani penyakap justru tingkat kemakmurannya lebih tinggi dan lebih stabil dari pada golongan petani pemilik. Hal ini dikarenakan petani penyakap semata- mata menggantungkan hidupnya pada tanah sakapannya, sehingga mereka lebih tekun mengusahakan lahan sakapannya untuk tidak mengecewakan si pemiliknya. Bagi penyakap jaminan kelangsungan perjanjian penyakapan dirasa penting. Sebaliknya petani pemilik tidak mempunyai dorongan serupa itu. Kesimpulan lain adalah intensitas mengerjakan tanah kongsen hak mengerjakan lebih baik dari sistem tanah yasan hak milik turun-menurun. 16 Menurut White dan Wiradi 1979, masalah penguasaan lahan bukan saja dipandang sebagai masalah hubungan manusia dengan lahannya melainkan lebih menyangkut hubungan sosial, ekonomi dan politik antar mereka. Dengan demikian, suatu hubungan penguasaan atas lahan langsung melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan masyarakat disekitarnya yang erat kaitannya dengan pembagian kekayaan, kesempatan-kesempatan ekonomi dan penguasaan politik diantara mereka, terutama di daerah-daerah, dimana lahan merupakan faktor produksi yang sangat langka, seperti di Jawa. Menurut Sinaga 1980 untuk dapat mencapai pendapatan yang maksimum, petani akan mengelola usahataninya sedemikian rupa sehingga tingkat kombinasi pemakaian faktor-faktor produksi memenuhi persyaratan ekonomi sebagai berikut: 1. Jika dana yang dipunyai tidak terbatas, maka tingkat pemakaian faktor-faktor produksi diusahakan sedemikian rupa sehingga berada pada keadaan nilai- nilai produksi marjinal masing-masing faktor NPMx n sama dengan harga per unit dari faktor produksi yang bersangkutan Hx n sehingga mengikuti persamaan sebagai berikut: NPMx 1 = NPMx 2 = . . . . . . . . . . . = NPMx n = 1 Hx 1 Hx 2 Hx n 2. Jika dana terbatas, maka tingkat pemakaian faktor-faktor produksi berada pada keadaan sedemikian sehingga rasio dari nilai produksi marjinal dan harga per unit masing-masing faktor produksi sama atau lebih besar dari satu. Persamaannya menjadi: NPMx 1 = NPMx 2 = . . . . . . . . . . . = NPMx n 1 Hx 1 Hx 2 Hx n dimana NPMx n menyatakan nilai produksi marjinal faktor-faktor produksi x n dan Hx n menyatakan harga persatuan faktor produksi x n Implikasi pemakaian kriteria tersebut di atas terhadap tingkat pemakaian faktor-faktor produksi non lahan dan produktivitas lahan dengan berbagai macam status penguasaan lahan digambarkan pada Gambar 2. 17 Kg Y 1 PTP Y 2 Y 3 Urea Kg Gambar 2. Kurva Produksi Penggunaan Pupuk Urea Rp Gambar 3. Kurva Nilai Produksi Marginal Urea dan Harga Urea Per Satuan dimana: PTF = Produksi Total Fisik NPMu = Nilai Produksi Marginaal Pupuk Urea NPMu s = Nilai Produksi Marginal Urea Bagi Penyakap Hu = Harga Urea Per Satuan Berat Hu s = Harga Urea Per Satuan Berat Setelah Biaya Urea Dibagi Dua Oleh Penyakap dengan Pemilik NPM US H US Urea Kg N 2 NPM U N 1 H U 18 Dari Gambar 2. di atas sebagai misal kurva produksi pada sebidang lahan dengan penggunaan pupuk urea, dan Gambar 3. sebagai kurva nilai produksi marjinal dari urea dan harga urea per satuan berat. Dari gambar tersebut ditunjukkan bahwa: 1. Pada petani pemilik penggarap akan memakai pupuk urea sebanyak ON 1 kgha karena pada tingkat pemakaian urea tersebut nilai produksi marjinal dari pupuk urea NPM u sama dengan harga per satuan berat urea H u dan produksi per hektar adalah OY 1 2. Pada petani penyewa akan mengambil keputusan yang hasilnya seprti pada petani pemilik penggarap. Dalam hal sewa menyewa, sewa lahan merupakan biaya tetap bagi penyewa 3. Pada petani penyakap ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi antara lain: a. Bila hasil panen dibagi dua dan biaya produksi dibagi dua sama besarnya, maka kurva nilai produksi marjinal bagi penyakap adalah NPMu s dan kurva harga pupuk bagi penyakap adalah Hu s . Pada pemakaian pupuk ON 1 kurva NPMu s memotong memotong kurva Hu s . Dengan demikian dengan aturan penyakapan tersebut per hektar dapat mencapai OY 1 . b. Bila hasil panen dibagi dua sama tetapi semua biaya dpikul penyakap maka harga pupuk sama dengan Hu. Kurva NPMu s memotong Hu pada tingkat pemakaian pupuk ON 2 sehingga hasil per hektar yang akan dicapai hanya OY 2 . Dari illustrasi Gambar 2 dan 3 di atas menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu hasil per hektar akan sama, baik lahan itu diusahakan pemiliknya atau penyewa maupun penyakap.

2.6. Erosi

Dokumen yang terkait

Analisis Pola Aliran Penduduk di Kawasan Agropolitan (Studi Kasus Kecamatan Pacet dan Cipanas, Kabupaten Cianjur)

4 26 127

Studi Perbandingan Land Rent Antara Lahan Komoditas Hortikultur Dengan Padi Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Kecamatan Pacet dan Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

0 10 80

Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan: studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

0 8 240

Analisis karakteristik usahatani komoditas hortikultura dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di kawasan agropolitan pacet - Cianjur

1 13 357

Analisis pengaruh kompensasi petani terhadap produktivitas usaha: studi kasus Kawasan Agropolitan Pacet, Kabupaten Cianjur

0 8 215

Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

0 7 126

PENGARUH AGRIBISNIS HORTIKULTURA TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI : Studi Kasus Pada Kelompok Tani Di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

1 6 41

PENGARUH AGRIBISNIS HORTIKULTURA TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI :Studi Kasus Pada Kelompok Tani Di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.

0 1 47

Penentuan Kawasan Agropolitan berdasarkan Komoditas Unggulan Tanaman Hortikultura di Kabupaten Malang

0 0 5

PENENTUAN KAWASAN AGROPOLITAN BERDASARKAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN HORTIKULTURA DI KABUPATEN MALANG

0 0 476