18 ¾ Akar dibilas dengan air bersih agar larutan HCl-nya hilang.
¾ Akar direndam dengan larutan staining blue selama 24 jam sampai akar berwarna biru.
¾ Larutan staining di buang dan diganti dengan larutan destaining selama 24 jam sampai warna akar tidak biru pekat lagi.
C.4. Kultur Spora
Percobaan kedua meliputi kultur spora berupa penanaman pada media tanah contoh dengan menggunakan tanaman sorgum. Penyediaan tanaman sorgum
dilakukan dengan menanam benih yang telah direndam air terlebih dahulu. Benih kemudian ditumbuhkan dalam bak tanam dengan media zeolit selama 2 minggu.
Tanaman sorgum kemudian dipindahkan ke dalam gelas aqua, dan ditumbuhkan menggunakan media tanah sisa pada percobaan pertama dan dicampur zeolit.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman setiap hari. Untuk kebutuhan nutrisinya dilakukan pemupukan menggunakan hyponex. Pemberian
hyponex dilakukan seminggu satu kali dengan dosis 1 gram untuk pengenceran 1
liter air dan masing-masing gelas diberikan 25 ml.
C.5. Identifikasi Spora Mikoriza
Spora yang didapat dari contoh tanah yang diambil, kemudian diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan metode Scenck dan Perez 1990.
D. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:
1. Komposisi vegetasi Nilai kualitatif dari kondisi vegetasi yang ditemukan pada tempat yang
diteliti. 2. Keragaman spora
Nilai kualitatif dan kuantitatif dari spora CMA yang di dapat dari hasil penyaringan tanah pada tempat penelitian. Identifikasi spora berupa penentuan
jenis spora berdasarkan ciri fisik yang diamati menggunakan berbagai literatur. 3. Infeksi akar
19 Akar yang terinfeksi ditunjukan dengan adanya hifa, vesikel dan atau
arbuskula. Struktur tersebut bisa terdapat dalam suatu akar, tetapi bisa juga salah satu atau dua struktur saja.
E. Analisis Data E.1. Vegetasi
Pada vegetasi bawah yang diamati dilakukan analisis data berupa perhitungan data kualitatifnya sebagai berikut Soerianegara dan Indrawan, 1988:
• Kerapatan K contoh
luas individu
dari jumlah
=
• Kerapatan Relatif KR 100
x spesies
seluruh kerapatan
spesies suatu
kerapatan =
• Frekuensi F 100
x petak
seluruh jumlah
spesies ya
ditemukann petak
jumlah =
• Frekuensi Relati FR 100
x spesies
seluruh frekuensi
spesies suatu
frekuensi =
• Dominansi D 100
x petak
seluruh jumlah
spesies ya
ditemukann petak
jumlah =
• Dominansi Relati FR 100
x spesies
seluruh frekuensi
spesies suatu
frekuensi =
• Indeks Nilai Penting INP = Kerapatan Relatif KR + Frekuensi Relatif FR + Dominansi Relatif DR
E.2. Spora Mikoriza
Dihitung berdasarkan rumus Shi et. al, 2004 : Kepadatan Spora = Jumlah Spora 50 gram
• Kekayaan Spora = Jumlah genus pada 50 gram tanah
20 • Kelimpahan Relatif
100 x
spora total
genus Jumlah
=
• Frekuensi 100
x sampel
Total spora
ditemukan sampel
Jumlah =
E.3. Infeksi Mikoriza
Perhitungan persentase infeksi akar dilakukan dengan meletakan 10 potongan akar dengan panjang masing-masing 1 cm pada kaca objek dan ditutup dengan gelas
penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Perhitungan infeksi akar dapat menggunakan rumus Giovannety dan Mosse, 1980 :
infeksi = jumlah akar yang terinfeksi x 100 Jumlah contoh akar
21
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas
Secara administratif pemerintahan, kawasan cagar alam dan taman wisata kamojang terletak di 2 kabupaten yaitu sebagian berada di kabupaten Garut dan
sebagian lagi berada di kabupaten Bandung provinsi Jawa Barat. Menurut geografis terletak antara 0
o
53’11’’sampai1 50’02’’BT dan antara
7
o
06’57’’ samapai 7
o
00’12’’ LS dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara: Kecamatan Paseh dan Ibun, Kabupaten Bandung
Timur Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut Selatan: Kecamatan Samarang Kabupaten Garut
Barat: Kecamatan Pacet kabupaten Bandung Sedangkan letak menurut administrasi pengelolaan termauk kedalam
wilayah kerja resort Kamojang barat dan Kamojang Timur. Kesatuan kerja Papandayan dan sekitarnya. Seksi konservasi wilayah II Garut, Balai Konservasi
Sumberdaya Alam Jawa Barat II. Kawasan hutan kawah Kamojang ditetapkan sebagai Cagar Alam Taman
Wisata Alam dengan surat keputusan menteri Kehutanan 110KPTSII1990 Tanggal 14 maret 1990 dengan luas 8284 ha dengan rincian sebagai berikut:
Luas cagar alam : 7.805 ha Luas Taman wisata Alam: 479 ha
Selanjutnya berdasarkan keputusan menteri kehutanan dan Perkebunan Nomor: 274Kpts-II1999 terdapat perubahan luas cagar alam kawah kamojang
dari 7.805 ha menjadi: Luas cagar alam: 7.536 ha
Luas TWA Gunung Guntur : 250 ha Luas hutan lindung : 500 ha
Kemudian ada tambahan luas dari lahan kompensasi yang diserahkan Pertamina unit eksplorasi dan produksi II Cirebon seluas : 12,196 ha yang
berhimpit dengan Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi di desa Patrol Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung.
22
B. Iklim
Keadaan iklim di Cagar Alam Kamojang menurut peta pembagian iklim Shcmidt dan Ferguson termasuk ke dalam type iklim B dengan nilai Q antara:
14,3 – 33,3 serta memiliki curah hujan pertahunnya antara 2000 – 2500 mm Temperatur udara minimum di kawasan ini mencapai: 15
o
C, temperatur maksimum mencapai sebesar: 25
o
C, sedangkan temperatur rata-rata adalah : 18 – 20
o
C dengan kelembaban udara: 30 – 70 .
23
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Vegetasi Pada Hutan Sub Pegunungan
Masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam arti luas disebut vegetasi. Untuk mengetahui status vegetasi yang ada pada hutan sub pegunungan maka dilakukan
analisis vegetasi. Dalam penelitian ini analisis vegetasi yang dilakukan pada hutan sub pegunungan meliputi data-data kerapatan K, kerapatan relatif KR,
frekuensi F, frekuensi relatif FR dan indeks nilai penting INP. Analisis vegetasi yang dilakukan yaitu pada vegetasi tumbuhan bawah, semai, pancang,
tiang dan pohon. Tumbuhan bawah merupakan vegetasi dasar yang secara alami tumbuh di
bawah tegakan pohon atau lantai hutan selain anakan pohon yaitu meliputi semak kecil, herba, rumput, paku-pakuan, alang-alang, tumbuhan merambat di atas
permukaan tanah dan tumbuhan herba lainnya. Pada tumbuhan bawah terdapat 13 jenis tumbuhan bawah diantaranya yaitu
Panicum palmifolium, Pilea trinervia, .
Toddalia aculenta, Polanisia viscose, Asplenium adiatoides, Impomoea
pescaprae, Eupatorium riparium, Sariuh, Commelina benghalensis, Eupatorium
inulifolium, Derris scandens, Costus sp, Polygonum chinense
.
Pada tumbuhan bawah didominasi oleh jenis Toddalia aculenta dengan nilai Kerapatan K
sebesar 42250 indha, Frekuensi F sebesar 1 dan INP sebesar 82.24 . Sedangkan tumbuhan bawah yang paling jarang ditemui yaitu jenis Costus sp
dengan nilai Kerapatan K sebesar 250 indha, Frekuensi F sebesar 0.1, INP sebesar 2.62 dan jenis Polygonum chinense dengan nilai Kerapatan K sebesar
250 indha, Frekuensi sebesar 0.1 dan INP sebesar 2.62 . Untuk tingkat semai ada 9 jenis tanaman diantaranya yaitu Schefflera
aromatic Harms, Ficus lepicarpa, Hypobatrum fructescens BL, Laportea
stimulans, Eugenia polyanthum, Macropanas sp, Litsea sp, Engelhardia serata,
Xanthopyllum lanceatum. Pada tingkat semai didominasi oleh jenis Ficus
lepicarpa dengan nilai Kerapatan K sebesar 7250 indha, Frekuensi F sebesar
0.8 dan INP sebesar 70.15 . Sedangkan jenis semai yang paling jarang ditemui yaitu jenis Macropanas sp dengan nilai Kerapatan K sebesar 250 indha,
Frekuensi F sebesar 0.1, INP sebesar 5.57 dan jenis Xanthopyllum lanceatum
24 dengan nilai Kerapatan K sebesar 250 indha, Frekuensi sebesar 0.1 dan INP
sebesar 5.57 . Pada tingkat pancang terdapat 10 jenis tanaman diantaranya yaitu.
Schefflera aromatic Harms, Litsea sp, Ficus fistulosa Reinw, Eugenia
polyanthum, Kicareh, Quercus sundaica, Macropanas sp, Schima wallichii,
Macaranga semiglobosa , Alstonia angustiluba. Pada tingkat pancang didominasi
oleh jenis Ficus fistulosa Reinw dengan nilai Kerapatan K sebesar 680 indha, Frekuensi F sebesar 0.6 dan INP sebesar 52.91 . Sedangkan jenis pancang
yang paling jarang ditemui yaitu jenis Kicareh, Quercus sundaica, Macaranga semiglobosa
, Alstonia angustiluba dengan nilai Kerapatan K sebesar 40 indha, Frekuensi F sebesar 0.1 dan INP sebesar 5.6 .
Pada tingkat tiang terdapat 7 jenis tanaman diantaranya yaitu Eugenia
polyanthum, Sauruja pendula , Ficus fistulosa Reinw, Xanthopyllum lanceatum,
Sloanea tiqum, Kicareh, Laportea stimulans. Pada tingkat tiang didominasi oleh
jenis Eugenia polyanthum dengan nilai Kerapatan K sebesar 60 indha, Frekuensi F sebesar 0.4 dan INP sebesar 109.13 . Sedangkan jenis tiang yang
paling jarang ditemui yaitu jenis Sloanea tiqum dengan nilai Kerapatan K sebesar 10 indha, Frekuensi F sebesar 0.1 dan INP sebesar 18.59 .
Pada tingkat pohon terdapat 11 jenis tanaman diantaranya yaitu Neonauclea lanceolata
Merrill,. Macropanas sp, Sloanea tiqum, Sauruja pendula, Quercus sundaica,
Eugenia polyanthum, Ficus fistulosa Reinw, Cloaxyloan polot Merr, Litsea sp, Macaranga semiglobosa, Engelhardia serata.
Pada tingkat pohon didominasi oleh jenis Sloanea tiqum dengan nilai Kerapatan K sebesar
25 indha, Frekuensi F sebesar 0.8 dan INP sebesar 95.06 . Sedangkan jenis pohon yang paling jarang ditemui yaitu jenis Ficus fistulosa Reinw dengan nilai
Kerapatan K sebesar 2.5 indha, Frekuensi F sebesar 0.1 dan INP sebesar 7.75 .
Keadaan Hutan Sub Pegunungan Kamojang, dapat dikatakan sudah tidak normal lagi karena ada beberapa jenis pohon yang tidak ditemukan anakannya
pada tingkat semai, pancang dan tiang. Hal ini disebabkan karena di Hutan Sub Pegunungan sudah terjadi perambahan hutan oleh warga sekitar hutan tersebut.
25
B. Status CMA Pada Hutan Sub Pegunungan
Hasil pengamatan infeksi CMA pada akar tumbuhan bawah dan semai yang berasal dari Hutan Sub Pegunungan di Kamojang diperoleh jumlah
presentasi infeksi akar yang berbeda tiap jenisnya seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Infeksi CMA Pada Akar di Alam
No Nama Jenis Infeksi akar
1 Oplismenus compositus
16.67 2
Ficus sinuata 30
3 Elatostema macrophyllum
4 Elatostema sp1
5 Eupatorium riparium
10 6
Villebrunea rubescens x
7 Alternarthera sp1
8 Syzygium jamboloides
x 9
Alternarthera sp2 6.67
10 Syzygium sp 11 Elatostema sp2
12 Elatostema parvum 13 Sp1
x 14 Sp2
10 15 Sp3
40 16 Sp4
x Ket : x = infeksinya tidak terditeksi
Sp = Spesies yang tidak diketahui nama ilmiahnya
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa persentase infeksi akar yang terjadi pada tiap jenis tanaman di alam sangat bervariasi. Persentase infeksi akar yang tertinggi
terdapat pada jenis Sp3 dengan nilai persentase sebesar 40 . Ada beberapa jenis yang memiliki nilai infeksi 0 . Pada jenis Villebrunea rubescens, Syzygium
jamboloides, Sp1, Sp4 infeksi mikoriza tidak terdeteksi karena terhalang oleh
lignin. Intensitas infeksi Cendawan Mikoriza Arbuskula dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor, meliputi pemupukan dan nutrisi tanaman, pestisida, intensitas cahaya, musim, kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan tingkat
kerentanan tanaman. Tanah yang mengandung unsur posfat yang banyak sering dihubungkan dengan menurunya infeksi CMA. Namun demikian tidak ada
penyamarataan penyebaran yang luas untuk kondisi lapangan tertentu, karena pada beberapa lokasi penelitian hasilnya tidak sama, dalam hal ini infeksi CMA
beragam untuk setiap lokasi yang berbeda. Hal ini kemungkinan sebagian besar
26 disebabkan oleh kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk setiap lokasi
pengambilan sampel. Suhu dan kelembaban merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi
proses infeksi CMA. Suhu tanah 25 C - 30
C merupakan suhu optimum untuk perkembangan dan keefektifan CMA. Suhu pada Hutan Sub Pegunungan sekitar
19 C, sehingga dengan kondisi suhu yang berada di bawah suhu optimum
menyebabkan niali infeksinya rendah. Seperti terlihat pada tabel 1, nilai infeksi akar yang diperoleh dari Hutan Sub Pegunungan memiliki nilai infeksi akar yang
rendah. Cendawan mikoriza bersifat aerobik atau membutuhkan oksigen yang
cukup. Kekurangan okisgen menghambat perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya. Pada Hutan Sub Pegunungan, intensitas cahaya matahari
yang sampai ke lantai hutan rendah, hal ini dipengaruhi oleh adanya kerapatan tajuk. Kondisi seperti ini menyebabkan kelembabannya cukup tinggi dan suplay
oksigen di dalam tanah rendah. Sehingga menyebabkan infeksi mikorizanya rendah.
C. Status Spora CMA