pada beberapa asumsi, jika asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi, maka struktur modal akan mempengaruhi nilai perusahaan. Sejalan dengan pemikiran
Modigliani dan Miller, terdapat dua aliran dalam struktur modal. Pertama, Trade- off Theory, yang didefinisikan sebagai bauran antara tingkat hutang dan ekuitas.
Kedua, the pecking order theory, yang mengemukakan bahwa struktur modal akan mengikuti tingkatan the fund cosr hierarchy, dimana perusahaan akan
menggunakan pendanaan internal terlebih dahulu sebelum akhirnya menggunakan hutang dan menerbitkan saham.
a. Teori Pecking-Order
Teori pecking order pertamakali dikemukakan oleh Donald Donaldson yang melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan
Amerika Serikat pada tahun 1961. Teori pecking order kemudian dikembangkan oleh Stewart C. Myers dan Nicholas Majluf di tahun 1984. Teori pecking order
menjelaskan bahwa perusahaan memiliki urutan preferensi dalam memilih sumber pendanaan perusahaan. Perusahaan lebih menyukai sumber pendanaan dari
internal. Ketika perusahaan memerlukan dana dari pihak eksternal, perusahaan akan menggunakan pendanaan yang paling aman terlebih dahulu, dimulai dari
hutang, kemudian hutang yang bisa dikonversikan, dan pada akhirnya menerbitkan saham sebagai sumber pendanaan terakhir. Menurut Myers 1984,
di dalam teori pecking order tidak ada target rasio hutang terhadap ekuitas yang ditentukan di awal Husnan, 2001:324.
Menurut Brealey, Myers dan Allen 2008, urutan preferensi dalam memilih sumber pendanaan perusahaan didasarkan pada beberapa alasan.
Pertama, perusahaan cenderung menyukai pendanaan internal karena dana internal relatif cepat dihasilkan dan tidak ada kewajiban membayar beban bunga, tidak ada
biaya pengendalian kelayakan hutang, memiliki jangka waktu yang tidak terbatas, dan tidak ada campur tangan pihak ketiga. Kedua, perusahaan ingin menaikkan
rasio pembayaran devidennya untuk menstimulus peningkatan jumlah kesempatan investasi yang mungkin dilakukan investor dengan menghindari adanya
perubahan pembagian deviden secara tiba-tiba yang dapat timbul akibat penerbitan saham baru.
Alasan ketiga, adanya fluktuasi keuangan dan kesempakan investasi yang tidak terduga. Aliran kas masuk yang tinggi dapat digunakan perusahaan untuk
membayar hutang ataupun berinvestasi. Sedangkan aliran kas keluar yang tinggi mengharuskan perusahaan menyimpan kas untuk mempertahankan rasio
pembayaran deviden. Alasan keempat, ketersediaan dana dan rendahnya biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan dana internal memberi kecenderungan
perusahaan untuk menggunakan dana internal dalam membiaya operasionalnya. Ketika dana internal tidak mencukupi, perusahaan akan menggunakan dana
eksternal berdasarkan urutan yang paling aman terlebih dahulu, baru dana eksternal yang berisiko. Oleh sebab itu, perusahaan akan memulai dari penerbitan
surat hutang, kemudian surat berharga campuran seperti obligasi yang dapat dikonversikan kemudian pembiayaan dari ekuitas penjualan saham sebagai
usaha terakhir.
Alasan pemilihan sumber pendanaan berdasarkan urutan preferensi juga dikemukakan Frank dan Goyal 2002. Menurut Frank dan Goyal urutan
preferensi pemilihan sumber pendanaan didasarkan pada ada tidaknya adverse selection. Sumber dana internal perusahaan yang berasal dari laba ditahan pada
umumnya tidak mempunya masalah adverse selection, masalah yang timbul karena adanya asimetri informasi yang menyebabkan investor tidak mengetahui
kualitas perusahaan. Dilihat dari sudut pandang investor, ekuitas mempunyai masalah adverse selection yang serius dan lebih besar dibandingkan dengan
hutang. Dengan demikian, investor akan menuntut tingkat pengembalian yang lebih tinggi atas ekuitas dibandingkan hutang. Oleh karena manajemen
perusahaan memandang laba ditahan sebagai sumber pendanaan yang lebih baik daripada hutang dan ekuitas, maka perusahaan akan mendanai operasional dan
investasinya dengan dana internal. Dan jika dana eksternal dibutuhkan, hutang menjadi pilihan berikutnya sebelum menggunakan ekuitas.
Alasan lain perusahaan lebih tertarik menggunakan dana internal daripada dana eksternal adalah karena adanya asimetri informasi. Menurut Myer dan
Majluf 1984 dalam Lim 2010, kurangnya informasi yang dimiliki investor dibanding informasi yang dimiliki manajemen perusahaan mengenai arus kas
menyebabkan ekuitas dinilai lebih rendah dari nilai intrinsiknya. Keterbatasan informasi yang dimiliki investor tentang perusahaan menyebabkan investor
berasumsi bahwa manajemen hanya akan menerbitkan saham jika harga saham sedang overpriced sehingga pasar akan menilai saham tersebut dengan discount.
Jika penerbitan saham pada nilai yang tidak menguntungkan maka hal ini akan
dianggap sebagai pemindahan kekayaan dari pemegang saham lama ke pemegang saham baru.
2.2 Kajian Variabel Penelitian 2.2.1 Koefisien Respon Laba