tricuspidata In Vitro INDUKSI AKTIVITAS KITINASE DAN PEROKSIDASE PADA

104 Tabel 31. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. cucumerina yang diberi perlakuan SA SA mM 1 HSP 2 HSP 3 HSP Rataan SA Total Protein Terlarut mgml 0.00 1.35 0.67 1.27 1.09 0.025 1.29 0.88 1.13 1.10 0.05 0.90 0.95 1.32 1.07 0.10 1.19 0.89 0.98 1.02 Rataan waktu 1.18 a 0.79 b 1.18 a Aktivitas kitinase mM pNpjammg protein 0.00 3.65 7.95 2.38 4.66 0.025 3.63 4.89 3.36 4.57 0.05 5.48 5.35 3.16 3.96 0.10 4.76 5.17 3.06 4.33 Rataan waktu 4.38 b 5.88 a 2.99 b Aktivitas peroksidase ∆420menitmg protein 0.00 0.04 c 0.05 c 0.10 bc 0.06 B 0.025 0.04 c 0.09 bc 0.14 b 0.09 AB 0.05 0.05 c 0.17 ab 0.13 b 0.11 A 0.10 0.05 c 0.10 bc 0.22 a 0.12 A Rataan waktu 0.04 C 0.10 B 0.15 A Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5. Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5.

f. Induksi Aktivitas Kitinase dan Peroksidase dengan Etefon ETF pada Kalus

T. tricuspidata In Vitro

Total Protein Terlarut Total protein terlarut tidak dipengaruhi oleh konsentrasi ETF, namun nyata dipengaruhi oleh waktu pengamatan setelah perlakuan ETF. Interaksi antara ETF dan waktu pengamatan juga tidak berpengaruh nyata terhadap total protein terlarut. Total protein terlarut pada berbagai konsentrasi ETF seperti terlihat pada Tabel 32. Total protein terlarut meningkat dalam jangka waktu pengamatan 1, 18 dan 26 jam setelah perlakuan. 105 Tabel 32. Rataan TPT, aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein dari kalus in vitro T. tricuspidata yang diberi perlakuan ETF ETF mM 0 JSP 18 JSP 26 JSP Rataan SA Total Protein Terlarut mgml 0.00 0.24 0.26 0.31 0.68 0.025 0.28 0.25 0.33 0.70 0.05 0.28 0.39 0.42 0.91 0.10 0.30 0.34 0.46 0.92 Rataan waktu 0.69 B 0.77 AB 0.96 A Aktivitas kitinase mM pNpjammg protein 0.00 0.13 b 4.63 a 6.75 a 3.49 B 0.025 0.13 b 7.20 a 5.12 a 4.59 AB 0.05 5.65 a 5.02 a 0.20 b 3.62 B 0.10 6.56 a 4.36 a 4.97 a 5.25 A Rataan waktu 3.07 B 5.43 A 4.01 B Aktivitas peroksidase ∆420menitmg protein 0.00 5.20 a 6.65 a 1.98 bc 4.61 A 0.025 7.20 a 4.26 ab 3.92 abc 5.13 A 0.05 5.00 a 1.41 c 3.39 abc 3.26 AB 0.10 4.39 ab 1.94 bc 1.44 c 2.67 B Rataan waktu 5.44 A 3.71 B 2.68 B Keterangan: JSP = Jam Setelah Perlakuan. Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris atau kolom dari peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5. Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5. Aktivitas kitinase Aktivitas kitinase sangat nyata dipengaruhi oleh konsentrasi ETF, waktu pengamatan dan interaksi antara ETF dan waktu pengamatan seperti terlihat pada Tabel 32. Perlakuan ETF 0.025 - 0.10 mM dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein. Aktivitas kitinase pada 18 JSP nyata lebih tinggi dari 1 maupun 26 JSP. Peningkatan aktivitas kitinase terjadi dengan cepat 1 JSP setelah perlakuan ETF terutama pada 0.05 dan 0.10 mM. Pada ETF 0.025 mM peningkatan aktivitas terlihat lebih lambat, dengan aktivitas tertinggi pada 18 JSP. Sementara pada perlakuan ETF 0.00 mM kontrol juga terjadi peningkatan aktivitas kitinase seiring dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan, namun dengan laju peningkatan yang lebih lambat dan masih terus meningkat sampai 26 JSP. 106 Aktivitas peroksidase Aktivitas peroksidase dari ekstrak kasar protein asal kalus menurun pada jangka waktu 1 jam dan 26 jam setelah perlakuan kecuali pada ETF 0.00 mM kontrol seperti terlihat pada Tabel 32. Peningkatan konsentrasi ETF cenderung menekan aktivitas peroksidase dalam jangka waktu pengamatan 1, 18 dan 26 JSP. Rataan aktivitas peroksidase dari ekstrak protein kalus pada kontrol dan perlakuan ETF 0.025 mM terlihat lebih tinggi dari ETF 0.05 mM dan ETF 0.10 mM. Pembahasan Perlakuan SA dan ETF yang diuji dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah SA dan ETF dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase dari berbagai jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. SA terlibat dalam berbagai proses fisiologi seperti penutupan stomata, induksi bunga, produksi panas, dan peran utama dalam ketahanan tanaman terhadap patogen melalui induksi ekspresi gen-gen ketahanan Raskin et al.i 1989; Raskin et al. 1992. SA merupakan salah satu aktivator Systemic Aquired Resistance SAR komersial. Respon SAR berasosiasi dengan terinduksinya berbagai PR-protein diantaranya kitinase dan peroksidase yang berperan dalam pembentukan ketahanan sistemik dari tanaman. Enzim kitinase khususnya acidic chitinase diklasifikasikan sebagai marker respon SAR. Ekspresi yang tinggi dari PR-protein berkorelasi erat dengan tingkat ketahanan terhadap patogen tanaman Burtekova et al. 2003 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan SA pada tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina di lapangan belum dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein akar. Hal ini menunjukkan bahwa selang konsentrasi SA yang diberikan tidak dapat meningkatkan biosintesis enzim kitinase dalam jaringan akar T. tricuspidata maupun pada jaringan akar, batang dan daun dari T. cucumerina var. anguina. Peningkatan aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein akar dari T. tricuspidata terjadi dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan SA. Peningkatan tersebut 107 dapat terjadi karena pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman maupun karena kemungkinan adanya pengaruh faktor lingkungan. Pada T. cucumerina var. anguina di lapangan, perlakuan SA 6.25 dan 12.5 mM juga tidak meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein. Perbedaan aktivitas kitinase hanya disebabkan karena perbedaan jenis jaringan yang dianalisis. Daun tanaman T. cucumerina var. anguina memiliki aktivitas kitinase per mg protein yang paling rendah dibanding batang dan daun tanaman. Meskipun pada T. cucumerina var. anguina di lapang, konsentrasi SA yang diberikan jauh lebih tinggi dari pada yang diberikan pada T. tricuspidata, ternyata tidak dapat menginduksi peningkatan aktivitas kitinase pada akar, batang maupun daun tanaman. Ketidakberhasilan induksi aktivitas kitinase dapat disebabkan berbagai faktor diantaranya konsentrasi SA yang diuji pada T. tricuspidata kemungkinan terlalu rendah atau distribusi SA ke sel tanaman yang kurang optimal karena kemungkinan diabsorbsi oleh tanah. Peningkatan aktivitas kitinase pada jaringan tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina di lapangan dengan bertambahnya waktu setelah perlakuan menunjukkan adanya pengaruh fisiologi perkembangan tanaman maupun kondisi lingkungan lainnya yang mempengaruhi tanaman. Bertambahnya waktu setelah perlakuan juga berarti bertambahnya umur jaringan tanaman dan dapat mempengaruhi aktivitas kitinase pada ekstrak protein jaringan. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas kitinase tanaman dapat berupa faktor biotik maupun abiotik. Interaksi tanaman dengan faktor lingkungan setelah tanaman diberi perlakuan SA juga dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein tanaman. Berbeda dengan aktivitas kitinase, aktivitas peroksidase pada kedua spesies tanaman di lapang nyata dipengaruhi oleh perlakuan SA. Pada T. tricuspidata, peningkatan aktivitas peroksidase terjadi perlakuan SA 2 mM dan 9 HSP SA. Peningkatan aktivitas peroksidase pada T. tricuspidata terjadi baik pada akar primer maupun akar sekunder. Sementara pada T. cucumerina var. anguina, peningkatan aktivitas peroksidase akibat perlakuan SA terjadi pada akar dan batang, dan tidak terjadi pada daun. Makin tinggi konsentrasi SA, makin besar aktivitas peroksidase pada ekstrak protein akar dan batang, dan tidak 108 berubah pada daun. Tidak terinduksinya aktivitas peroksidase pada daun dapat disebabkan distribusi SA yang belum mencapai daun sehingga tidak mempengaruhi biosintesis enzim peroksidase pada daun. Pada perlakuan induksi aktivitas kitinase dan peroksidase dalam kultur tanaman T. tricuspidata in vitro dihasilkan hal yang berbeda pada pengujian menggunakan bahan tanaman yang berbeda. Pada tunas in vitro, SA 0 – 0.05 mM tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase, sebaliknya pada kalus, SA 0.05- 0.10 mM dapat secara nyata meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak protein kalus. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat organisasi sel yang berbeda memiliki respon aktivitas kitinase yang berbeda terhadap perlakuan SA. Perbedaan tersebut dapat juga disebabkan perbedaan jenis kitinase yang terdapat atau yang diekspresikan pada tunas in vitro dan pada kalus. Induksi aktivitas peroksidase dengan SA pada kalus in vitro T. tricuspidata menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil perlakuan pada tanaman di lapangan, dimana aktivitas peroksidase sama-sama meningkat dengan perlakuan SA. Peningkatan SA juga disebabkan oleh bertambahnya waktu setelah perlakuan, sehingga makin besar konsentrasi SA dan makin lama waktu setelah perlakuan SA dalam rentang SA dan waktu perlakuan yang diuji, maka makin besar peningkatan aktivitas peroksidase pada ekstrak protein akar di lapang dan ekstrak protein kalus in vitro. Induksi aktivitas kitinase dengan SA pada kalus in vitro T. cucumerina var. anguina menunjukkan hasil yang konsisten dengan hasil pengujian perlakuan SA pada tanaman di lapang. Perlakuan SA 0.025 – 0.10 mM pada kalus juga tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein kalus, seperti SA 6.25 – 12.5 mM yang tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein akar, batang maupun daun tanaman di lapang. Peningkatan aktivitas kitinase lebih banyak dipengaruhi oleh pertambahan waktu setelah perlakuan baik pada tanaman di lapang maupun kultur kalus in vitro yang menunjukkan bahwa ada faktor fisiologi perkembangan jaringan atau faktor lain yang mempengaruhi biosintesis enzim kitinase atau ekspresi gen kitinase pada tanaman, bukan karena adanya perlakuan SA pada jaringan tanaman. 109 Respon aktivitas peroksidase terhadap perlakuan SA pada tanaman T. cucumerina var. anguina dilapang dan kalus in vitro juga menunjukkan hasil yang konsisten. Aktivitas peroksidase pada ekstrak protein akar dan batang tanaman di lapang dan kalus in vitro sama-sama meningkat dengan adanya perlakuan SA. Terjadi atau tidaknya induksi aktivitas enzim kitinase dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya klas enzimnya sendiri, konsentrasi elisitor, lama perlakuan dan faktor lain yang kemungkinan mempengaruhi ekspresi gen tanaman. Buuren et al. 1992, Fukuda et al. 1991, Fukuda et al. 1994 dan Grosset et al. 1990 melaporkan bahwa endokitinase klas 1 yang dinamakan CHN 50 ekspresinya di aturdiregulasi oleh infeksi patogen, elisitor, salisilat, etilen dan pelukaan. Pada kultur sel anggur, SA 20 µM dapat menginduksi ekspresi gen basic chitinase klas I VCHIT1b hanya pada 4 jam setelah perlakuan dan klas III VCH3 pada 4 dan 24 jam setelah perlakuan dan ekspresinya rendah pada 0 dan 8 jam setelah perlakuan Busam et al. 1997. Etefon merupakan senyawa berbentuk padat bubuk yang ketika dilarutkan akan menghasilkan gas etilen ETL. Aktivitas kitinase pada kalus T. tricuspidata yang diberi perlakuan etefon ETF terlihat sangat terpengaruh dengan konsentrasi etefon yang diberikan dan juga lama waktu setelah perlakuan. Makin tinggi konsentrasi ETF, maka makin cepat terjadinya peningkatan aktivitas kitinase. Respon aktivitas kitinase tersebut berbeda dengan respon yang lebih peningkatan yang lebih lambat pada perlakuan SA. Perbedaan respon tersebut dapat disebabkan karena gen penyandi enzim kitinase tertentu memiliki respon yang berbeda terhadap SA atau ETF atau terdapat lebih dari satu gen penyandi enzim kitinase pada tanaman yang memiliki respon berbeda terhadap SA atau ETF. Akibatnya total aktivitas kitinase dari ekstrak kasar protein tanaman akan berbeda jika diperlakukan dengan SA atau ETF. Kellman et al. 1996 menemukan bahwa ekspresi 2 gen kitinase klas II dari kultur suspensi sel kacang tanah menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan asam salisilat dan etilen. Gen A.h. Chi2:2 meningkat ekspresinya dengan perlakuan etilen, salisilat dan konidia cendawan Botrytis cinerea. Sebaliknya gen A.h. Chi2:1 hanya meningkat ekspresinya setelah perlakuan spora cendawan dan tidak meningkat 110 oleh perlakuan etilen dan salisilat. Tanaman kacang tanah transgenik dengan gen A.h.Chi2:1 juga menunjukkan ekspresi gen yang sama dengan yang ditemukan di kultur suspensi sel. Samac et al. 1990 menemukan bahwa etilen meningkatkan ekspresi gen chitinase basic pada akar Arabidopsis thaliana hingga dua kali lipat, sedangkan pada daun peningkatan ekspresinya dapat mencapai 30 kali lipat. Sementara itu ekspresi gen acidic chitinase tidak ditemukan pada tanaman baik yang tidak diberi perlakuan SA atau etilen maupun yang mendapatkan perlakuan SAEtilen. Hasil ini menunjukkan bahwa acidic chitinase tidak dapat diinduksi oleh perlakuan SA maupun etilen. Kitinase dapat diinduksi oleh etilen dan serangan patogen Schlumbaun et al. 1986 dan sebagian besar kitinase dalam tanaman terinduksi oleh etilen Graham et al.1994; Boller et al. 1983; Shinshi et al. 1995. Etilen mengatur berbagai proses perkembangan dan juga memperantarai berbagai respon terhadap cekaman biotik dan abiotik pada tanaman tingkat tinggi Bleecker dan Kende, 2000; Ciardi dan Klee, 2001. Davis et al. 1987 menyatakan bahwa perlakuan etilen secara eksogen dapat menginduksi beberapa PR-protein. Pada kalus Allium cepa, aktivitas kitinase meningkat jika kalus dikulturkan dalam media dengan penambahan 1 mM SA atau 0.05 mM etrel pada media selama 72 jam William dan Heung 1993 Sementara Siefert et al. 1997 melaporkan perlakuan ETL eksogen pada suspensi sel bunga matahari tidak meningkatkan aktivitas kitinase. Bittner et al. 1997 menyatakan bahwa induksi kitinase oleh ETL dalam kondisi in vitro tidak terjadi pada semua tipe kultur. SA sudah banyak dilaporkan dapat menginduksi ekspresi kitinase maupun PR-Protein lainnya Zhang et al. 2003. Namun dalam penelitian ini tidak terlihat adanya peningkatan aktivitas SA pada T. cucumerina di lapang maupun pada kalus. Hal ini bisa terjadi jika tipe kitinase yang ada pada tanaman ini bukan kitinase yang diregulasi oleh SA. Perlakuan salisilat yang tidak menginduksi aktivitas kitinase Chi9 juga ditemukan oleh Wu dan Bradford 2003 pada mikropil benih tomat, sebaliknya dapat diinduksi oleh pelukaan, metil jasmonat, etilen dan GA. Zhao dan Chye 1999 juga melaporkan bahwa acidic chitinase BjCHI yang ditemukan pad Brassica juncea dapat diinduksi ekspresinya dengan 111 perlakuan metil jasmonat, namun tidak terinduksi oleh perlakuan SA, etilen dan asam absisik ABA. Nakamura 2008 juga melaporkan bahwa BiCHT1 terinduksi ekspresinya dengan perlakuan suhu rendah 10 dan 4 o C dan ekspos ke suhu 35 o C, namun tidak terinduksi oleh cekaman osmotik, asam absisik, etefon, metil jasmonat dan SA. Konsentrasi SA atau ETF yang diberikan juga menentukan kemampuan induksi aktivitas kitinase, peroksidase dan PR-protein lainnya. Buchter et al. 1993 melaporkan bahwa pada tanaman kentang kitinase acidic terinduksi kuat oleh perlakuan SA dengan konsentrasi optimum 0.4 – 0.8 mM namun SA 0.1 mM juga cukup signifikan, sementara konsentrasi 1.0 mM sudah merupakan konsentrasi sub optimal. Ekspresi gen pada perlakuan SA mencapai level maksimum pada 12 jam setelah perlakuan. Sebaliknya perlakuan SA tidak menginduksi kitinase basic. Kitinase basic justru terinduksi oleh perlakuan etilen pada 24 sampai 48 jam setelah perlakuan. Pada induksi aktivitas dengan perlakuan etefon, peningkatan aktivitas kitinase juga terjadi pada kontrol, namun dengan laju yang lebih lambat. Hal ini bisa terjadi karena kalus ditempatkan dalam botol tertutup dan memungkinkan terjadinya akumulasi etilen yang dihasilkan jaringan tanaman yang dapat menginduksi gen kitinase. Hal yang sama juga ditemukan Mitter et al. 1998 pada induksi gen penghasil protein antimikroba yang disebut defensin pada tanaman tembakau transgenik. Perlakuan tanaman dengan gas etilen 100 ppm meningkatkan ekspresi GUS pada tanaman transgenik dua kali lipat dibanding kontrol. Namun pada kontrol juga terjadi peningkatan disebabkan tanaman ditempatkan dalam botol kultur yang tertutup sehingga etilen endogen yang disintesis tanaman kemungkinan terakumulasi dan menginduksi ekspresi gen defensin. Tanaman menghasilkan senyawa pertahanan sebagai respon terhadap mikroba, cendawan, serangan herbivora atau ketika mendapatkan perlakuan dari senyawa kimia yang menyerupai pengaruh infeksi patogen Van Loon dan Van Strien 1999, seperti senyawa asam salisilat Vernooij et al. 1994, 2,6- dichloronicotinic acid dan benzo-1,2,3-thiadiazole-7-carbothioic acid S-methyl ester Gorlach et al. 1996; Morris et al. 1998. Martinez et al. 2000 menemukan 112 bahwa infiltrasi SA pada kotiledon dan daun kapas sebesar 2 mM dapat meningkatkan aktivitas peroksidase lokal dalam waktu 3 jam setelah infiltrasi, sedangkan aktivitas peroksidase sistemik meningkat dalam 12 jam setelah perlakuan. Sementara Faravardeh dan Rabbani 2005 menemukan bahwa pada suspensi sel kentang aktivitas peroksidase tergantung pada dosis SA dan mencapai nilai maksimal pada 6 jam setelah perlakuan SA dengan konsentrasi kritis SA sebesar 2.5 mM. Penghambatan aktivitas isoperoksidase pernah dilaporkan terjadi pada sel tembakau yang diberi perlakuan SA 5 mM Eonsion et al. 2004. Respon aktivitas peroksidase terhadap perlakuan ETF pada kalus T. tricuspidata terlihat berbeda dengan respon kitinase. Konsentrasi ETF yang tinggi 0.050 dan 0.10 mM tidak meningkatkan aktivitas peroksidase. Aktivitas peroksidase justru meningkat cepat pada kontrol dan sedikit meningkat pada konsentrasi 0.025 mM. Dari hasil ini diduga sedikit saja jumlah etilen disekitar jaringan akan dapat meningkatkan aktivitas peroksidase jaringan tanaman. Hal ini juga mungkin terjadi pada konsentrasi ETF yang terlalu tinggi, justru menekan aktivitas peroksidase. Penelitian tentang keterlibatan SA terhadap induksi PR-protein sudah banyak dilaporkan. Fernandez et al. 2006 melaporkan bahwa total aktivitas peroksidase pada daun kopi dapat diinduksi dengan perlakuan SA 10 mM yang disemprotkan pada daun. SA, metal jasmonat dan etefon dikenal induser PR- genes, meskipun gen peroksidase pada tembakau yang dapat terinduksi oleh proses hipersensitif respon ternyata tidak terinduksi oleh ketiga senyawa tersebut di atas .Hiraga et al. 2000. Curtis et al. 1997 juga menemukan bahwa SA tidak dapat menginduksi ekspresi 2 gen peroksidase Shpx6a dan Spx6b pada tanaman Stylosanthes humilis. Simpulan Dari percobaan ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata di lapangan tidak dapat diinduksi dengan perlakuan SA 0.02 – 0.2 mM. 113 2. SA 0.05 - 0.10 mM dapat meningkatkan aktivitas kitinase dan peroksidase pada ekstrak kasar protein kalus T. tricuspidata pada 3 HSP. 3. Aktivitas kitinase pada T. cucumerina var. anguina tidak dapat diinduksi dengan perlakuan SA 6.25 – 12.5 mM pada tanaman di lapang maupun dengan perlakuan SA 0.025 – 0.10 mM dalam kultur kalus in vitro. SA dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada pada akar tanaman di lapangan dan kalus in vitro. 4. Aktivitas kitinase meningkat dengan cepat 1 JSP pada perlakuan ETF 0.05 – 0.10 mM pada ekstrak protein kalus in vitro T. tricuspidata. 5. Aktivitas peroksidase pada ekstrak protein kalus T. tricuspidata tertekan oleh adanya perlakuan ETF.

BAB VII AKTIVITAS ANTICENDAWAN

IN VITRO DARI EKSTRAK KASAR PROTEIN TANAMAN TRICHOSANTHES Abstrak Penelitian dilakukan untuk mengetahui aktivitas anticendawan in vitro dari ekstrak kasar protein dari tanaman Trichosanthes. Uji aktivitas menggunakan uji perkecambahan spora in vitro dan uji penghambatan pertumbuhan hifa. Ekstrak protein kasar diisolasi dari tunas in vitro T. tricuspidata untuk uji perkecambahan spora dan dari akar dan daun T. cucumerina var. anguina dan T. tricuspidata digunakan untuk uji penghambatan pertumbuhan hifa. Hasil pengujian penghambatan spora menunjukkan bahwa ekstrak kasar protein dari tunas in vitro tanaman T. tricuspidata dapat menghambat perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. yang berasal dari T. cucumerina var. anguina pada konsentrasi 0.0077 - 0.77 mgml. Ekstrak kasar protein juga dapat menghambat perkecambahan spora Fusarium oxysporum dari bawang merah, cendawan karat kacang tanah Puccinia arachidis, cendawan embun bulu pada ketimun Pseudoperonospora cubensis, namun tidak dapat menghambat perkecambahan spora cendawan Curvularia eragrostidis dari anggrek. Penghambatan pada ekstrak protein dari tunas in vitro hasil perlakuan dengan etilen ditemukan lebih besar dari tunas in vitro kontrol pada uji penghambatan pertumbuhan spora Fusarium sp. Hasil uji penghambatan pertumbuhan hifa menunjukkan bahwa ekstrak protein dari akar T. cucumerina dan T. tricuspidata dapat menghambat pertumbuhan hifa cendawan Helminthosporium turcicum. Efek penghambatan dari ekstrak protein akar dari T. tricuspidata terhadap Helminthosporium turcicum lebih besar dibanding ekstrak protein daun. Efek penghambatan dari ekstrak protein batang dari T. cucumerina var. anguina terhadap Helminthosporium turcicum lebih besar dibanding ekstrak protein akar dan daun. Kata kunci : aktivitas anticendawan, ekstrak kasar protein, perkecambahan spora, pertumbuhan hifa