PEMBAHASAN UMUM Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM

Secara keseluruhan hasil utama dari penelitian menunjukan potensi spesies Trichosanthes yang ada di Indonesia sebagai sumber enzim kitinase dan peroksidase yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk berbagai keperluan. Kandungan enzim kitinase dan peroksidase pada tanaman T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina yang direpresentasikan dalam bentuk aktivitas kedua enzim tersebut tidak sama pada berbagai jaringan tanaman yang diuji. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat mengarahkan penelitian selanjutnya untuk lebih fokus meneliti kandungan enzim maupun eksloprasi molekuler yang lebih lanjut pada jaringan tertentu saja. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biosintesis kedua enzim tersebut dapat diinduksi dengan perlakuan bahan kimia berupa SA atau ETF, terutama pada T. tricuspidata. Hasil lain yang sangat penting adalah adanya aktivitas aktivitas anticendawan dari ekstrak protein kasar dari jaringan tanaman Trichosanthes yang diteliti terhadap berbagai cendawan patogen tanaman dari beberapa kelas cendawan yang menunjukkan kemungkinan luasnya potensi pemanfaatan protein tersebut untuk pengendalian penyakit tanaman khususnya yang disebabkan oleh cendawan. Penelitian ini juga memberikan informasi tentang morfologi, pertumbuhan, perkembangan, hama dan penyakit tanaman 3 spesies Trichosanthes di lapangan. Hasil pengamatan hama dan penyakit menunjukkan bahwa T. cucumerina var. anguina yang merupakan spesies yang sudah lama dibudidayakan menghadapi lebih banyak serangan hama dan penyakit di banding T. tricuspidata dan T. quinquangulata yang merupakan spesies liar. T. quinqu- angulata mengalami gejala penyakit daun keriting dan tidak dapat pulih kembali. Dari tingkat serangan hama dan penyakit di lapangan, terdapat dua spesies yang sifatnya cukup kontras khususnya dalam kaitan dengan tingkat kerusakan hama dan penyakit, yaitu T. cucumerina var. anguina merupakan spesies yang rentan dan T. tricuspidata sebagai spesies yang lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hasil analisis aktivitas kitinase dan peroksidase pada 2 spesies yang diteliti menunjukkan bahwa kitinase dan peroksidase diekspresikan pada level yang 140 berbeda dari berbagai jaringan yang diuji. Pada T. tricuspidata aktivitas kitinase paling tinggi ditemukan pada tunas in vitro, diikuti oleh akar, kalus dan paling rendah pada daun. Aktivitas kitinase yang tinggi pada tunas in vitro kemungkinan berhubungan dengan kondisi botol yang tertutup rapat yang memungkinkan terjadinya akumulasi etilen yang berperan sebagai induser untuk ekspresi kitinase. Sementara itu, aktivitas peroksidase ditemukan paling tinggi pada akar, tidak pada tunas in vitro seperti kitinase. Hal ini kemungkinan disebabkan akar menghadapi berbagai faktor lingkungan yang bervariasi berupa faktor biotik seperti mikroba dalam tanah maupun faktor abiotik seperti fluktuasi kadar air atau kelembaban media yang tidak tetap dari waktu ke waktu. Peroksidase sebagai enzim yang umum terdapat dalam jaringan tanaman dapat terinduksi oleh beragam kondisi lingkungan seperti cekaman biotik, abiotik dan bahkan oleh rangsangan mekanik karena gesekan angin Cippolini, 1998. Aktivitas total kitinase dan peroksidase pada T. cucumerina var. anguina terlihat tinggi pada akar. Perbedaan aktivitas antar organ dapat terjadi karena perbedaan tipe kitinase yang diproduksi pada organ-organ tersebut atau karena tipe kitinase tertentu dihasilkan secara spesifik pada jaringan tertentu. Taira et al. 2005 menemukan adanya perbedaan tipe kitinase yang berbeda yang ditemukan pada nanas, dimana kitinase tipe A acidic chitinase klas III ada disemua jaringan, sementara tipe B weakly basic chitinase klas I, yang memiliki aktivitas anticendawan yang kuat dan tipe C acidic class I terlokalisasi terutama pada daun dan batang. Pada kentang yang sehat, mRNA kitinase acidic terakumulasi pada organ, tipe sel atau tingkat perkembangan tertentu dari jaringan tanaman. Ekspresi yang tinggi dari kitinase acidic tersebut ditemukan pada daun tua, ruas muda dan juga pada jaringan vaskular, sel penyusun kompleks stomata dan petiol. Ekspresi gen tersebut pada akar dan berbagai bagian bunga terlihat lebih rendah Buchter et al. 1997. Kitinase diduga berkaitan dengan proses-proses fisiologi lainnya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kombrink et al. dalam Buchter et al. 1997 menyatakan bahwa ekspresi gen yang berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap patogen dapat bersifat sebagai ekspresi spasial ataupun temporal. Ada gen-gen kitinase tertentu yang hanya diekspresikan pada fase 141 pertumbuhan atau perkembangan tanaman tertentu. Hal ini juga dilaporkan Taira et al. 2005 pada nanas, dimana kitinase tipe A dideteksi pada semua fase perkembangan buah, sementara kitinase tipe B dideteksi hanya pada awal pembentukan tunas bunga dan tipe C dideteksi pada stadia pertunasan hingga pembungaan. SA dan ETL merupakan dua senyawa yang terlibat dalam induksi ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan. Infeksi patogen seringkali berasosiasi dengan meningkatnya SA dan etilen pada tanaman. SA atau etilen secara eksogen dapat menginduksi gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan tanaman atau menginduksi PR-Protein Boller et al. 1983; Mauch dan Staehelin, 1989; Buchter et al.1997; Mitter et al. 1998. Peranan SA dalam aktivasi gen-gen PR dan transduksi sinyal SAR telah terbukti pada berbagai spesies tanaman Delaney et al. 1994; Dempsey et al. 1999. Aplikasi SA secara eksogen terlihat secara langsung mengaktifkan gen-gen PR sehingga menghasilkan akumulasi PR- protein dalam jaringan tanaman Antoniw dan White, 1980; Delaney et al. 1994. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SA dalam selang konsentrasi yang diuji tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada ekstrak protein akar tanaman T. tricuspidata di lapangan dan ekstrak protein tunas in vitro, namun dapat menginduksi aktivitas kitinase pada ekstrak protein kalus. Pada kalus in vitro SA 0.05 dan SA 0.10 mM dapat meningkatkan aktivitas kitinase pada kalus pada 3 HSP. Hasil-hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan SA untuk menginduksi aktivitas kitinase pada T. tricuspidata dipengaruhi oleh jenis jaringan yang diberi perlakuan. Jaringan yang berbeda kemungkinan mengekspresikan enzim kitinase yang berbeda dan perbedaan tipe kitinase dan tipe yang berbeda dapat berbeda responnya terhadap senyawa inducer yang diberikan. Burtekova et al. 2003 melaporkan perbedaan jenis kitinase yang dapat diinduksi ekspresinya oleh SA. SA 20 mM efektif dalam menginduksi ekspresi kitinase basic klas 2 Ch2 pada daun tanaman bit gula, sedangkan kitinase basic klas IV Ch4 pada daun diinduksi secara efektif oleh benthothidiazole BTH. Sementara itu, kitinase acidic klas III SE2 lebih intensif terinduksi oleh SA dan betain. 142 Efektivitas SA juga ditentukan oleh kemampuan penyerapan dan distribusi SA dalam jaringan tanaman. Pemberian SA melalui akar tanaman kemungkinan mengalami kendala dalam jumlah SA yang dapat diserap tanaman dan adanya kemungkinan SA dijerap oleh tanah. Karena itu penyediaan bahan dalam kultur in vitro yang steril akan lebih dapat mengontrol perlakuan SA sehingga dapat diserap dengan baik oleh jaringan tanaman. Aktivitas kitinase pada T. cucumerina var. anguina paling tinggi pada akar tanaman di lapang. Perlakuan SA pada tanaman di lapang maupun pada kalus in vitro tidak dapat meningkatkan aktivitas kitinase dari ekstrak protein akar, batang, daun ataupun kalus in vitro. Dari hasil ini diduga bahwa biosintesis enzim kitinase pada T. cucumerina var. anguina tidak berespon terhadap adanya induser SA. Sementara pada T. tricuspidata, aktivitas kitinase dapat ditingkatkan pada ekstrak protein kalus in vitro, menunjukkan bahwa biosintesis enzim kitinase meningkat dengan adanya perlakuan SA. Peningkatan biosintesis akan meningkatkan jumlah enzim tersebut dalam sel atau jaringan tanaman dan kemungkinan akan meningkatkan aktivitas enzim kitinase dari jaringan tanaman tersebut. Aktivitas kitinase pada kalus T. tricuspidata terlihat meningkat cepat sekitar 1 jam sesudah perlakuan etefon. Sementara tunas in vitro yang memiliki aktivitas kitinase tinggi diduga terinduksi oleh kondisi kultur yang mengakumulasikan etilen karena botol kultur yang tertutup rapat. Hasil ini menunjukkan bahwa biosintesis enzim kitinase atau ekspresi gen penyandi enzim kitinase pada T. tricuspidata sangat responsif terhadap induser etefonetilen. Namun diperlukan analisa tentang akumulasi etilen dalam botol kultur untuk memperkuat dugaan ini, walaupun sudah banyak yang melaporkan adanya akumulasi etilen dalam botol kultur jaringan tanaman. Pada kedua spesies yang diteliti terlihat kesamaan bahwa aktivitas peroksidase paling tinggi adalah pada akar. Demikian juga respon aktivitas peroksidase terhadap perlakuan SA. SA sama-sama dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada ekstrak protein tanaman baik ekstrak protein dari akar maupun dari kalus. Pada T. cucumerina di lapangan peroksidase bahkan juga dapat meningkat pada batang akibat perlakuan SA di daerah perakaran. Hal ini bisa terjadi karena signal SA dapat didistribusikan ke semua jaringan tanaman. 143 Burtekova 2003 menyatakan bahwa induksi ekspresi gen PR pada lokasi yang jauh dari daerah aplikasi senyawa inducer menunjukkan adanya pengaruh sistemik dari induser yang diberikan. Namun induksi aktivitas peroksidase tidak terjadi pada daun T. cucumerina var. anguina dengan adanya perlakuan SA pada daerah perakaran. Hal ini menunjukkan efektivitas distribusi signal SA dipengaruhi oleh jarak jaringan dari lokasi perlakuan SA. SA eksogen dapat meningkatkan aktivitas peroksidase pada Vicia faba Mori et al. 2001. SA 1, 5, 10 dan 20 mM diuji pada tanaman kopi oleh Fernandes et al. 2006. SA diberikan dengan cara mengusapkan larutan SA sesuai konsentrasi perlakuan pada bagian bawah daun. SA 10 mM dapat meningkatkan aktivitas peroksidase tanaman tanaman kopi oleh Fernandes et al. 2006. Respon aktivitas peroksidase dari T. tricuspidata terhadap ETF berbeda dengan respon terhadap perlakuan SA. Peroksidase pada kalus dapat meningkat pada 3 HSP dengan perlakuan SA 0.05 atau 0.10 mM. Sebaliknya perlakuan ETF justru menekan aktivitas peroksidase kalus yang mengindikasikan bahwa peroksidase berespon negatif terhadap ETF. Respon negatif tersebut kemungkinan disebabkan konsentrasi ETF yang terlalu tinggi dan akumulasi yang tinggi dari ETF dalam botol kultur. Indikasi tersebut terlihat pada control, dimana pada awal perlakuan aktivitas peroksidase rendah, meningkat pada pengamatan 18 jam setelah perlakuan dan kembali turun pada pengamatan 26 jam setelah perlakuan. Keberhasilan induksi aktivitas ataupun induksi ekspresi gen kitinase dan peroksidase dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah tipe kitinase atau peroksidase yang ada pada tanaman. Pada kentang misalnya, Buchter et al. 1997 melaporkan bahwa mRNA dari kitinase acidic dapat diinduksi secara kuat oleh SA, sementara kitinase basic diinduksi oleh etilen dan pelukaan. Aktivitas anticendawan dari ekstrak kasar protein tanaman T. tricuspidata terlihat pada terhambatnya perkecambahan spora cendawan Fusarium sp. asal T. cucumerina, Fusarium oxsporum asal bawang merah, Puccinia arachidis asal kacang tanah dan Pseudoperonospora cubensis asal ketimun. Efek penghambatan bertambah besar dengan perlakuan protein dari tunas in vitro yang diberi perlakuan etefon. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan peningkatan kitinase dan peroksidase yang terjadi dengan adanya perlakuan etefon akan makin 144 memperbesar efek penghambatan perkecambahan dan pertumbuhan spora cendawan. Beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai informasi yang baru dari penelitian ini adalah adanya perbedaan aktivitas kitinase dari jaringan tanaman yang berbeda dari T. tricuspidata dan T. cucumerina var. anguina. Pada T. tricuspidata aktivitas kitinase yang tinggi pada tunas in vitro membuka peluang untuk menggunakan tunas in vitro sebagai bahan yang dapat digunakan untuk penelitian-penelitian yang lebih mendalam tentang enzim kitinase. Penelitian- penelitian seperti purifikasi dan karakterisasi enzim maupun analisis ekspresi gen dapat menggunakan bahan tersebut karena kondisi yang steril. Peranan etefon atau etilen dalam ekspresi kitinase dari tunas in vitro dapat diteliti lebih lanjut. Pada T. cucumerina var. anguina, akar merupakan sumber enzim kitinase yang tinggi. Penelitian untuk enzim kitinase selanjutnya dapat difokuskan pada akar tanaman. Purifikasi dan karakterisasi enzim kitinase selanjutnya lebih baik dilakukan dari akar tanaman. Pengembangan sistem kultur akar transgenik dapat menjadi alternatif untuk menganalisis lebih mendalam tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan biosintesis enzim kitinase dan peroksidase pada akar tanaman. Meskipun pada bagian tajuk tanaman ditemui indikasi bahwa tanaman tersebut tidak memiliki ketahanan yang baik terhadap hama dan penyakit, diduga pada akar terdapat enzim kitinase yang spesifik yang tidak dapat diinduksi atau ditingkatkan aktivitasnya dengan perlakuan SA. Potensi antimikroba ekstrak protein tanaman T. tricuspidata cukup luas yang terbukti dari efek penghambatan terhadap beberapa cendawan patogen tanaman dari berbagai kelas. Meskipun protein yang diuji masih merupakan protein kasar, namun berdasarkan hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya yang menunjukkan adanya aktivitas kitinase pada ekstrak kasar protein tanaman, maka kemungkinan besar salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan spora dan hifa cendawan adalah kitinase. Protein dari tanaman tersebut dapat dipurifikasi dan dikarakterisasi lebih lanjut atau dilakukan isolasi gen pengkode enzim kitinase yang dapat menjadi bahan untuk transformasi genetik.

BAB IX SIMPULAN UMUM DAN SARAN