BAHAN DAN ALAT PENENTUAN FORMULA PRODUK

13 III. METODE

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan pada pengolahan gudeg adalah nangka muda atau gori, daging sapi, bawang merah, bawang putih, gula merah, daun salam, lengkuas, ketumbar bubuk, santan, air, daun jati, dan garam dapur. Bahan-bahan yang digunakan pada tahap analisis antara lain akuades, HCl 0.01 N atau 0.02 N, air destilata, K 2 SO 4 , HgO, Na 2 S 2 O 3 , H 2 SO 4 , H 3 BO 3 , HCl, NaOH, zat anti buih, asbes, petroleum eter, alkohol 95, indikator PP, dan kertas tissue. Kaleng yang akan digunakan berukuran 307×113. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi retort, thermocouple, thermorecorder, kaleng, timbangan, thermometer, sendok, dan blender. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah penetrometer, neraca analitik, soxhlet, pendingin balik, kertas saring, pipet tetes, pipet volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium, cawan porselen, gelas ukur 10, 100 dan 300 ml, erlenmeyer 100, 300 dan 1000 ml, oven pengering, desikator, Minolta Chromameters CR310, gegep, pinset, spatula, batang pengaduk, dan tabung reaksi.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri atas tiga tahap yaitu uji formulasi, uji penetrasi panas, dan desain proses. Selanjutnya, penelitian utama terdiri atas tahap pengalengan dan analisis produk. Diagram alir penelitian ini ditunjukkan oleh gambar berikut Gambar 6. Diagram alir penelitian Uji formulasi produk Uji penetrasi panas produk pada suhu 111, 116, dan 121 C Desain proses dengan nilai F = 4, 12, 20, 28 menit Pengalengan dengan F = 4, 12, 20, 28 menit pada berbagai kombinasi suhu dan waktu Analisis tekstur dan warna Penentuan produk terpilih Analisis proksimat produk terpilih Analisis organoleptik 14

1. PENELITIAN PENDAHULUAN

a. Uji Formulasi

Uji formulasi bertujuan untuk menentukan formula produk dan tahapan proses produksi yang sesuai dengan kondisi pengalengan. Uji ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu pembakuan formula, pengujian formula dengan proses pemasakan konvensional, dan pengujian formula dengan proses pengalengan.

i. Pembakuan Formula

Formula gudeg mengacu pada resep gudeg yang ada di masyarakat secara umum. Bahan baku yang berasal dari resep tersebut ditimbang dan dinyatakan dalam satuan berat yang sama. ii. Pengujian Formula dengan Proses Pemasakan Konvensional Formula yang telah dibakukan kemudian diuji dengan proses pemasakan konvensional. Selanjutnya, dilakukan pengamatan secara visual terhadap produk yang meliputi aspek rasa, aroma, tekstur, dan warna. Proses pemasakan gudeg dapat dilihat pada gambar berikut Gambar 7. Proses pemasakan gudeg iii. Pengujian Formula dengan Proses Pengalengan Tahap ini bertujuan untuk melihat kesesuaian antara produk gudeg dalam kaleng dengan gudeg biasa. Formula yang berhasil diolah dengan proses pemasakan konvensional selanjutnya diuji dengan proses pengalengan. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi proses pemasakan gudeg yang disesuaikan dengan kondisi pengalengan. Gudeg Nangka muda Pemotongan Perebusan sampai warna nangka kemerahan Daun jati, air Penirisan Lengkuas, daun salam, gula merah, daging, santan Pemasakan sampai santan hampir habis Penggilingan Bumbu halus Bawang merah, bawang putih, garam, ketumbar 15

b. Uji Penetrasi Panas

Persiapan sampel untuk uji penetrasi panas disesuaikan berdasarkan hasil uji formulasi. Termokopel dipasang pada titik terdingin kaleng yaitu pada tengah kaleng. Sampel gudeg dimasukkan ke dalam kaleng. Ujung termokopel diletakkan pada bahan yang diduga paling lambat mengalami perambatan panas yaitu bagian daging buah yang paling keras yang terletak didekat kulit buah. Sebanyak tiga buah termokopel dipasang dalam produk dan dua buah dipasang dalam retort. Selanjutnya, termokopel dihubungkan dengan termorekorder. Produk disusun dalam satu tumpukan pada titik terdingin retort yaitu pada posisi tengah di keranjang yang paling atas Darmadi 2010. Retort diisi penuh dengan kaleng-kaleng yang berisi air. Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada suhu 111, 116, dan 121 C. Rekorder mencatat perubahan suhu produk setiap satu menit. Gambar 8. Pemasangan termokopel pada pengukuran penetrasi panas Gambar 9. Penyusunan kaleng pada pengukuran penetrasi panas Data penetrasi panas yang diperoleh akan menghasilkan plot hubungan suhu dengan waktu. Data ini dievaluasi menggunakan metode umum general method untuk menentukan nilai sterilitas F dan waktu proses. Nilai F proses dihitung dari luasan daerah di bawah kurva. Bentuk luasan di bawah kurva dianggap trapesium. Untuk menghitung luas trapesium, area di bawah kurva dibagi menjadi sejumlah paralelogram pada interval waktu ∆t tertentu. Kemudian masing-masing dihitung luasnya dengan rumus Sampel Kaleng berisi air Keranjang Sekrup Termokopel Dihubungkan ke rekorder Nangka muda 16 luas trapesium, sehingga diperoleh nilai sterilitas parsial F parsial pada ∆t tersebut. Masing-masing nilai F parsial dijumlahkan. Hasilnya menunjukkan nilai F total dari proses yang telah dilakukan. Berikut adalah metode perhitungan penetrasi panas � = 6 � = + −1 2 n i=1 Δ 7 � � = + −1 ×Δ 2 8 = 10 − � 9 Keterangan: Lr i : Lethal rate pada menit ke-i Lr i-1 : Lethal rate pada i menit sebelumnya ∆t : rentang perubahan waktu yang digunakan F : nilai sterilisasi pada suhu 250 F 121.1 C bagi mikroba yang punya nilai z tertentu menit ∆t : peningkatan atau selang waktu yang digunakan untuk mengamati nilai T

c. Desain Proses

Desain proses sterilisasi dilakukan dengan menggunakan metode formula Ball. Plot data hasil pengukuran penetrasi panas diolah dengan prosedur matematis untuk mengintegrasikan efek letalitas yang terjadi sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses. Penentuan persamaan garis kurva penetrasi panas dapat menghasilkan nilai F yang paling mendekati nilai F dari metode general, sehingga diperoleh parameter karakteristik penetrasi panas, seperti f h dan j h , yang nilainya akan digunakan untuk mendapatkan formula proses yang terjadi. Gambar 10. Kurva pemanasan untuk menentukan parameter f h dan J h Toledo 2007. 17 Persamaan waktu penetrasi panas yang digunakan dalam metode formula Ball adalah sebagai berikut − = − − 10 = 11 = 0.42 + 12 Keterangan: T r : suhu retort yang diatur dan dipertahankan pada saat proses C T : suhu awal produk C T : suhu maksimum produk pada akhir proses C f h : waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log menit J h : faktor lag waktu sebelum kurva pemanasan menjadi lurus t B : waktu proses menit t c : come up time CUT yaitu waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai suhu proses menit t p : operator time yaitu waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses yang diinginkan sampai suplai uap dihentikan menit I h : perbedaan suhu retort dengan suhu awal produk T r -T o g : perbedaan suhu retort dengan produk di dalam kaleng pada akhir proses termal J h I h : suhu awal semu diambil pada titik potong kurva pemanasan dengan waktu 0 menit yang sebenarnya waktu 0 menit ini besarnya sama dengan 0.58× t c

2. PENELITIAN UTAMA

a. Pengalengan

Proses pengalengan dilakukan pada tiga suhu yaitu 111, 116, dan 121 C. Setiap suhu dikombinasikan dengan empat level F yaitu 4, 12, 20, dan 28 menit. Langkah- langkah pengalengan gudeg secara umum adalah sebagai berikut Gambar 11. Diagram alir sterilisasi gudeg Gudeg Pengisian dalam kaleng Penutupan kaleng Ekshausting Pendinginan Sterilisasi T, t Persiapan bahan 18 Penentuan nilai F = 4, 12, 20, dan 28 menit berdasarkan pemenuhan kecukupan proses sterilisasi untuk pemusnahan C.botulinum sebesar 12 siklus logaritma atau 12×0.21 menit = 2.52 menit pada suhu 121.1 C. Walaupun nilai F terkecil F = 4 sudah memenuhi kecukupan proses, kombinasi beberapa nilai F bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tekstur dan warna produk.

b. Analisis

Analisis yang dilakukan terdiri atas analisis fisik, analisis organoleptik, dan analisis kimia. Analisis fisik meliputi analisis warna dan tekstur, sedangkan analisis kimia meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, pH, dan a w .

i. Warna Faridah et al. 2008

Sampel yang diukur meliputi gudeg sebelum dikalengkan F =0 menit dan gudeg setelah dikalengkan F = 4, 12, 20, dan 28 menit. Sebelum diukur, sampel nangka muda dibersihkan dari kuah gudeg. Pengukuran sampel dilakukan secara duplo. Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR310. Setelah alat dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara menekan tombol Index Set, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Scroll Bar dan Enter untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna pada sampel dan dilanjutkan dengan menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan tercatat pada alat Paper Sheat. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai antara 0 hitam sampai 100 putih. Nilai a menunjukkan warna merah sampai hijau. Nilai +a mempunyai kisaran 0 sampai 100 untuk warna kromatik merah dan nilai –a dari 0 sampai −80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai –70 untuk warna biru. ii. Tekstur Faridah et al. 2008 Sampel yang diukur meliputi gudeg sebelum dikalengkan F =0 menit dan gudeg setelah dikalengkan F = 4, 12, 20, dan 28 menit. Sampel yang diukur merupakan bagian daging buah yang dekat dengan kulit buah. Sampel dengan tebal ±1.5 cm dan lebar ±2.5 cm diletakkan pada dasar alat penetrometer. Jarum ditempatkan pada bagian permukaan atas sampel. Selanjutnya tombol run ditekan. Nilai kedalaman penetrasi dari jarum penetrometer dicatat dalam satuan mm per satuan waktu penetrasi. Satuan waktu penetrasi yang digunakan adalah 5.0 detik. Pengukuran sampel dilakukan secara duplo. iii. Uji Rating Hedonik Meilgaard 1999 Uji ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap sampel. Sejumlah 75 panelis tidak terlatih diminta mencicipi sampel kemudian diminta memberikan penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, tekstur, warna, rasa, dan overall keseluruhan sampel. Penilaian mutu organoleptik produk dilakukan dengan skala hedonik kesukaan terhadap karakteristik sensori produk. Tingkat persepsi panelis digambarkan berdasarkan skor kesukaan sebagai berikut: 1 : sangat tidak suka 2 : tidak suka 3 : agak tidak suka 4 : netral 5 : agak suka 6 : suka 7 : sangat suka 19 iv. Nilai pH Apriyantono et al., 1989 Sebelum pengukuran, pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7. elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sampel yang telah dihaluskan sebanyak 10 gram ditambah dengan 10 ml air destilata dan dicampur sampai merata. Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka stabil. Nilai pH diukur secara duplo.

v. Kadar Air AOAC 2006

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang A. Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan B. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 105 o C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan C. = − − × 100 13 vi. Kadar Abu AOAC 2006 Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang A. Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan B, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 o C selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang C. Cara perhitungan kadar protein: = − × 100 14 vii. Kadar Lemak AOAC 2006 Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 o C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang A. Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel B dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 o C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang C dan dilakukan perhitungan kadar lemak. = − × 100 15 viii. Kadar Protein Total AOAC 1995 Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1 ± 0.1 g K 2 SO 4 , 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H 2 SO 4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit sampai cairan jernih. Pindahkan isi labu ke dalam alat destilasi dan bilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml dan tambahkan 8-10 ml campuran larutan 60 NaOH dan 5 Na 2 S 2 O 3 . Sambungkan labu tadi dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan 20 H 3 BO 3 . Destilasi sampai volume destilat 15 ml kemudian titrasi dengan NaOH 0.1N sampai larutan kuning. = – × � × 14.007 × 100 16 � = � × � 17 Faktor konversi : 6.25 ix. Kadar Karbohidrat by difference Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan protein. = 100 − � + + + 18 P : kadar protein bb A : kadar air bb Ab : kadar abu bb L : kadar lemak bb

x. Kadar Serat Kasar Apriyantono et al. 1989

Sampel ditimbang A dan diekstrak lemaknya menggunakan soxhlet dengan pelarut petrpleum eter. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 mL serta ditambahkan ke dalamnya 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 mL larutan H 2 SO 4 mendidih. Letakkan erlenmeyer di dalam pendingin balik. Didihkan sampel di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang. Saring suspensi dengan kertas saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih hingga air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer. Cuci sisa residu pada kertas saring dengan 200 mL larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali sampel selama 30 menit dengan pendingin balik sambil sesekali digoyang. Saring sampel dengan kertas saring yang diketahui beratnya B sambil dicuci dengan K 2 SO 4 10. Cuci residu pada kertas saring dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95. Keringkan kertas saring dalam oven 105 C sampai berat konstan. Setelah didinginkan dalam desikator, timbang sampel C. 100 = − × 100 19 xi. Aktivitas Air a w Aktivitas air diukur dengan menggunakan alat a w -meter yang telah dikalibrasi dengan NaCl RH 75. Sampel yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam chamber pada alat dan ditutup rapat. Pembacaan dilakukan sampai angka penunjuk pada a w - meter tidak berubah atau muncul keterangan completed test pada display alat. 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN FORMULA PRODUK

Jenis gudeg yang diformulasikan pada penelitian ini adalah gudeg basah yang mengandung kuah. Kuah gudeg berfungsi sebagai medium penghantar panas saat pengalengan. Formula gudeg mengacu pada resep yang tercantum pada Lampiran 1a-1b. Resep tersebut dibakukan dengan menyeragamkan satuan berat bahan baku menggunakan satuan gram. Penyeragaman satuan dilakukan untuk menghindari kesalahan interpretasi akibat perbedaan satuan. Berikut penyajian hasil pembakuan formula gudeg Tabel 5. Komposisi bahan baku gudeg Jenis Bahan Baku Nama Bahan Jumlah g Persentase Bahan baku primer Nangka muda 1000 49.75 Daging sapi 200 9.95 Santan cair komersial 467 23.23 Gula merah 200 9.95 Bawang merah 60 2.99 Bawang putih 60 2.99 Ketumbar bubuk 3 0.15 Garam 20 1.00 Bahan baku sekunder Daun salam 10 Lengkuas 50 Daun jati 120-140 Bahan baku gudeg dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku primer dan bahan baku sekunder. Bahan baku primer merupakan bahan baku utama penyusun gudeg yang terlibat sampai akhir proses pengalengan, sedangkan bahan baku sekunder tidak terlibat sampai akhir proses. Secara umum, bahan baku utama gudeg terdiri atas nangka muda, daging, dan bumbu cair santan cair, gula merah, bawang merah, bawang putih, ketumbar bubuk, dan garam. Daun jati digunakan sebagai pewarna nangka muda. Daun salam dan lengkuas hanya terlibat saat pemasakan bumbu yang berfungsi menambah aroma sedap pada bumbu. Gambar 12. Gudeg yang diolah dengan a pemasakan konvensional dan b pengalengan a b 22 Setelah formula gudeg dibakukan, dilakukan pengujian formula dengan proses pemasakan konvensional dan pengalengan. Hasil pengujian tersebut ditunjukkan pada Gambar 12 dan Tabel 6. Proses pengalengan gudeg dilakukan pada suhu121 C selama 60 menit. Gudeg yang diolah dengan dua proses tersebut memiliki rasa, aroma, dan tekstur yang relatif sama. Namun, dari sisi warna dan penampakan secara keseluruhan terdapat beberapa perbedaan. Tabel 6. Perbandingan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng Atribut Sensori Produk Gudeg Pemasakan Konvensional Pengalengan Rasa Rasa gudeg, manis Rasa gudeg, manis Aroma Gudeg yang sedap Gudeg yang sedap Warna Cokelat kemerahan, lebih gelap Cokelat kemerahan Tekstur Empuk dan mudah diiris Empuk dan mudah diiris Penampakan Nangka muda hancur, tidak berkuah Nangka muda tidak hancur, berkuah Proses pemasakan gudeg secara konvensional dilakukan dalam wadah yang tidak tertutup rapat. Hal ini menyebabkan air dalam santan menguap ke udara, sehingga gudeg yang dihasilkan tampak tidak berkuah. Penampakan nangka muda pada gudeg hasil pemasakan konvensional terlihat hancur akibat pengadukan selama pemasakan, sedangkan penampakan nangka muda pada gudeg yang dikalengkan tidak hancur karena selama proses pengalengan tidak terjadi pengadukan. Proses pemasakan gudeg yang lama dapat menyebabkan warna gudeg yang dimasak secara konvensional terlihat lebih gelap daripada gudeg yang dikalengkan. Secara umum, produk gudeg yang dimasak secara konvensional ini sesuai dengan gudeg komersial yang ada. Walaupun penampakan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng terlihat berbeda, formula gudeg yang telah dibakukan dapat diterima dalam hal rasa dan aroma sehingga formula ini dapat diterapkan pada proses pengolahan gudeg dengan pengalengan. Adapun aspek warna dan tekstur gudeg yang dikehendaki, seperti warna yang lebih gelap atau tekstur yang lebih empuk, dapat diperoleh dengan mengkombinasikan suhu dan waktu pengalengan.

B. PENGOLAHAN GUDEG DALAM KALENG