PENENTUAN WAKTU STERILISASI Pengaruh tingkat sterilitas pada proses pengalengan terhadap sifat fisik gudeg yang dihasilkan

24 Sebelum proses pengalengan, nangka muda dikupas, dicuci, dan dipotong dengan bentuk mirip segitiga lebar ±2.5 cm dan tebal ±1.5 cm. Selanjutnya potongan nangka muda ini diblansir menggunakan air ekstrak daun jati yang telah dipersiapkan sebelumnya. Proses blansir nangka muda dilakukan pada suhu 85 C selama 30 menit agar zat warna merah alami pada ekstrak daun jati dapat terserap oleh nangka muda. Selain untuk mewarnai nangka muda, proses blansir ini juga berfungsi untuk menghilangkan getah pada nangka muda yang akan mempengaruhi citarasa produk akhir. Nangka muda, bumbu cair, dan daging yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam kaleng berukuran 307×113. Kaleng tersebut dapat diisi gudeg sebanyak 200 g dengan komposisi: nangka muda 100 g, bumbu cair 90 g, dan daging sapi 10 g. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam kaleng dengan menyisakan headspace. Komposisi bahan-bahan tersebut dalam kaleng ditentukan berdasarkan hasil pembakuan formula pada Tabel 5. Hasil penentuan komposisi bahan-bahan tersebut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi bahan gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 Nama Bahan Jumlah g Presentase Nangka muda 100 50 Daging sapi 10 5 Bumbu cair 90 45 Kaleng yang berisi bahan gudeg kemudian mengalami proses ekshausting pada suhu 85 C selama 10 menit. Selanjutnya, kaleng ditutup dengan alat double seamer untuk menggabungkan badan kaleng dan tutupnya. Kaleng yang telah tertutup rapat disterilisasi pada suhu 111, 116, dan 121 C dengan kombinasi nilai F = 4, 12, 20, dan 28 menit. Proses pengalengan gudeg diakhiri dengan proses pendinginan cepat menggunakan air dingin untuk menghindari overcooking.

C. PENENTUAN WAKTU STERILISASI

Proses termal harus dirancang sebaik mungkin untuk memberikan produk yang stabil selama penyimpanan Kusnandar et al. 2009. Perancangan ini ditentukan berdasarkan hasil uji penetrasi panas produk untuk menetapkan waktu sterilisasi. Sebelum uji penetrasi dilakukan, perlu diketahui waktu venting retort waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan seluruh udara dari dalam retort yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran distribusi panas retort. Penentuan waktu venting retort mengacu pada hasil penelitian Darmadi 2010 karena pada penelitian ini menggunakan retort yang sama untuk mensterilisasi produk. Hasil uji distribusi panas yang telah dilakukan Darmadi 2010 menunjukkan bahwa waktu venting retort yang dibutuhkan adalah 16 menit retort mencapai suhu 105 C. Data hasil penetrasi panas yang diperoleh menghasilkan plot grafik hubungan suhu dengan waktu. Data tersebut diolah untuk menentukan nilai sterilitas F proses. Pengolahan data penetrasi panas menggunakan dua metode yaitu metode umum dan metode formula. Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam perhitungan letalitas proses termal karena data suhu hasil pengukuran penetrasi digunakan secara langsung tanpa asumsi dan prodiksi berdasarkan persamaan hubungan suhu dan waktu. Metode umum digunakan untuk evaluasi proses yang telah dilakukan. Perhitungan dengan metode formula menggunakan parameter-parameter yang diperoleh dari data penetrasi panas dan prosedur-prosedur matematik untuk mengintegrasikan lethal effects Subarna et al. 2008. Gambar 14-16 menunjukkan kurva penetrasi panas produk pada suhu 111, 116, dan 121 C. Pada tahap awal sterilisasi suhu produk relatif konstan. Setelah itu, suhu produk meningkat 25 tajam dan mulai melambat sebelum akhirnya mencapai suhu konstan suhu proses. Setelah beberapa waktu, suhu produk menurun tajam akibat proses pendinginan cepat. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai suhu proses berbeda-beda bergantung pada suhu yang ingin dicapai. Semakin tinggi suhu proses, waktu yang diperlukan produk untuk mencapai suhu proses semakin lama. Demikian juga dengan come up time CUT, semakin tinggi suhu proses, CUT juga semakin lama. Gambar 14. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 111 C Gambar 15. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 116 C Gambar 16. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 121 C 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Su hu °C Waktu menit Gudeg Retort 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Su hu °C Waktu menit Gudeg Retort 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 S u h u °C Waktu menit Gudeg Retort CUT Waktu operator Pendinginan T gudeg =T retort CUT Waktu operator Pendinginan T gudeg =T retort CUT Waktu operator Pendinginan T gudeg =T retort 26 Saat pemanasanpendinginan produk, peningkatanpenurunan suhu produk terjadi lebih lambat daripada peningkatanpenurunan suhu retort. Hal ini dipengaruhi oleh sifat perambatan panas bahan dalam kaleng. Gudeg dalam kaleng terdiri atas 55 padatan nangka muda dan daging sapi dan 45 cairan bumbu cair. Pada uji penetrasi panas, termokopel ditusukkan ke dalam bagian padatan yaitu nangka muda. Nangka muda dan daging sapi mengalami perambatan panas konduksi, sedangkan bumbu cair mengalami perambatan panas konveksi. Kecepatan peningkatanpenurunan suhu produk dipengaruhi oleh koefisien pindah panas bahan. Semakin besar koefisien pindah panas suatu bahan, semakin tinggi laju pindah panas yang terjadi. Data penetrasi panas selanjutnya dievaluasi menggunakan metode umum dan diolah menggunakan metode formula Ball untuk mendapatkan nilai F dan parameter proses lainnya. Perhitungan nilai F dari kedua metode tersebut dibandingkan untuk mengetahui kecukupan proses panas. Perbandingan nilai F berdasarkan metode umum dan metode formula Ball disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perbandingan nilai F berdasarkan metode umum dan metode formula Ball T r C t c menit f h menit J h t B menit t p menit F menit Umum Formula 111 17 32.89 1.6 155.1 148.0 10.6 10.6 116 18 32.89 2.3 91.6 84.0 12.0 12.0 121 19 32.89 1.1 53.0 45.0 12.2 12.2 Keterangan: T r = suhu retort, t c = come up time, t B = waktu Ball, t p = waktu operator, j h = faktor lag, f h = waktu untuk melewati 1 siklus log Nilai F yang diperoleh berdasarkan metode umum dan metode formula Ball pada suhu 111 C adalah 10.6 menit, pada suhu 116 C adalah 12.0 menit, dan pada suhu 121 C adalah 12.2 menit. Nilai F yang diperoleh berdasarkan metode formula tidak lebih besar nilainya daripada nilai F yang diperoleh berdasarkan metode umum. Menurut Hariyadi et al. 2006, apabila F proses metode formula kurang dari F standar metode umum, proses termal belum mencukupi. Tabel 9. Desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 T r C T C F menit t B menit t p menit 111 23.4 4 88.5 81.3 23.4 12 174.7 167.5 23.4 20 253.9 246.8 23.4 28 332.3 325.2 116 28.0 4 62.5 54.9 28.0 12 91.5 84.0 28.0 20 117.7 110.1 28.0 28 144.9 137.4 121 23.1 4 38.0 30.0 23.1 12 52.6 44.7 23.1 20 65.1 57.1 23.1 28 73.6 65.6 Keterangan: T = suhu awal produk 27 Parameter f h dan j h bersifat konstan dan merupakan karakteristik penetrasi panas dalam bahan yang diproses. Parameter respon suhu f h menunjukkan laju penetrasi panas produk dalam wadah, sedangkan lag factor j h menunjukkan waktu lag kelambatan sebelum laju penetrasi mencapai f h Subarna et al. 2008. Nilai f h pada suhu 111, 116, dan 121 C menunjukkan hasil yang sama yaitu sebesar 32.89 menit karena jenis kaleng dan produk yang digunakan dalam proses tidak berbeda. Nilai j h pada suhu 111 C sebesar 1.6, pada suhu 116 C sebesar 2.3, dan pada suhu 121 C sebesar 1.1. Perbedaan nilai ini terjadi karena adanya perbedaan suhu retort, suhu awal produk, dan suhu awal semu produk. Parameter proses termal f h dan j h yang diperoleh berdasarkan metode formula Ball, selanjutnya digunakan dalam mendesain jadwal proses schedule process pengalengan untuk mencapai nilai F = 4, 12, 20, dan 28 menit pada suhu 111, 116, dan 121 C. Tabel 9 menunjukkan desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa semakin besar nilai F pada suhu tertentu, waktu proses yang diperlukan juga semakin lama. Pada nilai F yang sama, perlakuan suhu yang lebih rendah menyebabkan waktu proses lebih lama. Hal ini disebabkan lethal rate pada suhu yang lebih rendah memiliki nilai yang lebih kecil sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai F yang sama.

D. SIFAT FISIK