17 BPI Bontihing ini terbilang sangat unik karena walaupun sudah
“meninggalkan” agama lamanya namun bukan berarti telah “meninggalkan” budayanya. Mereka masih tetap mempertahankan
identitas budaya Bali, misalnya liturgi dalam ibadahnya, arsitektur bangunannya, pakaian ataupun sarana yang digunakan dalam ibadah. Hal
ini dipertahankan karena mereka terbilang masih nyaman dengan kebiasaan tersebut. Sehingga keKristenan yang mereka kenal adalah
keKristenan yang dekat dengan mereka bukan keKristenan yang jauh yang datang dari budaya barat.
E. Tanggapan Masyarakat Sekitar
Desa adat Bontihing sangat menjunjung tinggi adat istiadatnya. Bahasa utama yang digunakan adalah bahasa Bali dan bahasa kedua
adalah bahasa Indonesia. Sebagian besar warga desa Bontihing memeluk agama Hindu. Bangunan-bangunan yang ada di desa tersebut sudah
menunjukkan mayoritas warganya adalah seorang Hindu dimana setiap rumah terdapat sanggah atau tempat ibadah dan beberapa Pura. Tanggapan
dan respon warga sekitar terbilang cukup baik. Letak rumah Bapak Budiada bersebelahan dengan saudara-saudaranya yang beragama Hindu.
Acap kali ketika Bapak Budiada dan keluarga merayakan hari raya ataupun ada ibadah di bale bengong, maka keponakan, cucu ataupun anak-
anak sekitaran tempat ibadah ikut serta dan mengambil bagian dalam jalannya perayaan ataupun ibadah.
Respon yang baik dapat dilihat dari warga desa Bontihing membuat Jemaat BPI Bontihing mengadakan ibadah perayaan natal khusus untuk
warga sekitar. Antusias warga dapat tercermin dari warga sekitar yang bergotong-royong memasak untuk acara perayaan Natal ataupun Paskah
dan Pentakosta, membantu membuat pohon Natal dan masih banyak lagi. Ibadah dan makan bersama diadakan di bale bengong, terkadang orang
yang datang melebihi perkiraan sehingga memerlukan kursi tambahan. Warga desa Bontihing cukup heran terhadap adanya BPI Bontihing yang
18 beribadah di bale bengong. Bale bengong hanyalah sebatas tempat
bersantai yang di dalamnya orang bisa bercerita, bercengkerama dalam kesederajatan terkadang menjadi tempat berkumpul untuk minum tuak,
tetapi orang Kristen malah menjadikannya sebagai tempat ibadah. Warga sekitar cukup heran namun dapat menerimanya dengan
baik. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa warga Desa Bontihing dapat menerima jemaat BPI Bontihing karena budaya. Budaya Bali yang
sangat lekat dengan Hindu Bali di desa Bontihing ditampilkan oleh BPI Bontihing dalam setiap ibadahnya. Segala aksesoris yang digunakan dan
arsitektur yang ditampilkan dalam kekristenan BPI Bontihing membuat warga sekitar merasa tidak asing serta bukan menjadi suatu ancaman.
Maka dari itu BPI Bontihing dapat diterima dengan baik karena mencerminkan keKristenan kontekstual Bali sesuai dengan konteks
budaya setempat.
19
BAB IV BALE BENGONG SEBAGAI SARANA IBADAH
JEMAAT BPI BONTIHING, BALI UTARA
Data dari hasil penelitian pada penelitian ini didapatkan melalui wawancara mendalam yang dilakukan oleh Peneliti pada bulan Desember
2015. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber atau informan, maka peneliti dapat menganalisis tentang pemahaman jemaat Kristen
Protestan di Bali terhadap konsep gedung gereja bale bengong di desa
Bontihing, Bali Utara yang meliputi : A.
Jenis Ibadah
Kekristenan pada abad ke-empat tidak hanya beribadah di dalam Yerusalem, Betlehem, dan Konstantinopel saja akan tetapi mereka
beribadah dalam gedung-gedung baru yang megah. Atap ditutup dengan konstruksi kayu yang sederhana, dimana hal ini merupakan tipikal dari
arsitektur Kristen Lama.
42
Bentuk keseluruhan secara skyline adalah horisontal dan sederhana. Pemakaian metode konstruksi dari Romawi
yaitu betonbatu. Dari konstruksi ruang tempat ibadah jemaat Kristen awal, jenis ibadah yang digunakan menggunakan liturgi yang sangat
teratur dan tertata rapi memberi kesan eksklusif dan tertutup. Sangat berbeda halnya dengan Jemaat BPI Bontihing. Pengaruh arsitektur
Romawi tidak terlihat pada tempat ibadah yaitu di bale bengong. Ibadah yang terlaksana sangatlah santai, terbuka dengan alam, memberi ruang
untuk siapa saja dapat melihat dan mengikuti ibadah. Dalam hal ini, sumber ajaran dan konsep dasar arsitektur Bali sangat berpengaruh
terhadap konsep gedung gereja di bale bengong sebagai tempat untuk beribadah bagi jemaat BPI Bontihing.
Pandangan tradisi adat Bali yaitu bangunan adalah wadah dari manusia dan merupakan penghubung antara manusia dengan alam
42
White, Pengantar Ibadah Kristen, 87.
20 merupakan dasar pemikiran dari jemaat BPI Bontihing dalam
menggunakan bale bengong sebagai tempat ibadah. Dalam setiap unsur dari pembangunan bale bengong terbuat dari alam, atapnya terbuat dari
bahan sirap atau dapat juga dari alang-alang, alas lantainya terbuat dari susunan bata atau beton, pada lapisan permukaan di atasnya diberi bahan
penutup lantai dari keramik atau batu alam. Peredaran dan struktur alam pada bangunan ini memberi perencanaan bionik ekologik yang merupakan
contoh bangunan manusiawi sekaligus bermanfaat ekologik. Ibadah yang tercipta di BPI Bontihing terasa sangat santai namun tetap khusyuk.
Sejarah perkembangan pembuatan gedung gereja dari zaman mazhab imamat, abad mula-mula, pertengahan, jemaat kristen mula-mula,
hingga sekarang, pembuatan gedung gereja semakin hari semakin terbuka.
43
Gereja awalnya adalah tempat yang sangat suci hingga dibagi menjadi beberapa bagian ruangan hingga BPI Bontihing ini mencoba
untuk mengkontekstualisasikannya melalui bale bengong sebagai tempat ibadah. Bale bengong tidak ada sekatnya jadi tidak ada terbagi ruangan
sama sekali. Hal yang didiskusikan BPI Bontihing di bale bengong bukanlah mengenai hal teologi tingkat tinggi, tetapi jemaatnya hidup
tenang di dalam keheningan merenungi Firman serta karya keselamatan Allah. Berbicara teologi, bangunan bukan saja mengkaji dan memahami
tradisi-tradisi bangunan lokal saja tetapi juga konvesi-konvesi teologi sebagai sebuah pencerahan baru.
44
Orang Kristen awal mula suka untuk menghiasi tempat ibadah mereka dengan gambar mengenai Yesus, orang-orang kudus, kejadian dari
Alkitab, dan perlambang-perlambang yang lain. Simbol-simbol yang lain meliputi burung merpati simbol Roh Kudus, anak domba simbol
pengorbanan Yesus, pohon anggur beserta ranting-rantingnya simbol bahwa orang Kristen harus memiliki hubungan secara pribadi dengan
Yesus dan masih banyak lagi. Semua ini diambil dari ayat-ayat Alkitab
43
H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuna, 17.
44
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong, 4.
21 Perjanjian Baru.
45
Simbol memengaruhi setiap orang yang beribadah di dalamnya.
Simbol tersebut memberikan sinyal untuk “berkomunikasi” dengan individu yang berada di sekelilingnya. Melalui simbol-simbol
tersebut orang Kristen awal dapat menghayati setiap ibadah. Jemaat BPI Bontihing masih menggunakan simbol-simbol dalam
peribadatannya, namun simbol yang digunakan tersebut adalah simbol- simbol yang cenderung bercorak Hindu Bali. Seperti yang telah penulis
paparkan pada bab ketiga, jemaat BPI Bontihing menggunakan simbol- simbol yang dekat dengan budaya mereka sehingga mempermudah dalam
penghayatan setiap ibadahnya. Ibadah yang terbuka dengan alam, santai dan tidak terlalu formal adalah salah satu usaha Jemaat BPI Bontihing
dalam mengupayakan jemaat yang tidak bersifat individualistik dan eksklusif. Sehingga melalui jenis ibadah yang sangat terlihat berbeda
antara jemaat BPI Bontihing dan keKristenan awal, jemaat ini mencoba untuk menyadarkan kembali nilai-nilai kekontekstualannya yang menjadi
kekuatan utama bergereja, bukan menjadi keKristenan dengan budaya
barat.
B. Bentuk Bangunan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah