21 Perjanjian Baru.
45
Simbol memengaruhi setiap orang yang beribadah di dalamnya.
Simbol tersebut memberikan sinyal untuk “berkomunikasi” dengan individu yang berada di sekelilingnya. Melalui simbol-simbol
tersebut orang Kristen awal dapat menghayati setiap ibadah. Jemaat BPI Bontihing masih menggunakan simbol-simbol dalam
peribadatannya, namun simbol yang digunakan tersebut adalah simbol- simbol yang cenderung bercorak Hindu Bali. Seperti yang telah penulis
paparkan pada bab ketiga, jemaat BPI Bontihing menggunakan simbol- simbol yang dekat dengan budaya mereka sehingga mempermudah dalam
penghayatan setiap ibadahnya. Ibadah yang terbuka dengan alam, santai dan tidak terlalu formal adalah salah satu usaha Jemaat BPI Bontihing
dalam mengupayakan jemaat yang tidak bersifat individualistik dan eksklusif. Sehingga melalui jenis ibadah yang sangat terlihat berbeda
antara jemaat BPI Bontihing dan keKristenan awal, jemaat ini mencoba untuk menyadarkan kembali nilai-nilai kekontekstualannya yang menjadi
kekuatan utama bergereja, bukan menjadi keKristenan dengan budaya
barat.
B. Bentuk Bangunan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah
Bentuk dasar Arsitektur gereja Kristen Lama mengacu dari bentuk arsitektur Romawi, seperti pemakaian altar, yang digunakan sebagai
tempat untuk persembahan pada para dewa Romawi dan pada masa Kristen lama juga dipakai untuk persembahan suci.
46
Tata ruang dan segala peralatan liturgi dipertimbangkan untuk menumbuhkan kesadaran
yang membuat sebagian besar ibadah Kristen membutuhkan komponen- komponen ruang untuk beribadah. Jemaat BPI Bontihing masih tetap
berusaha untuk mempertahankan komponen-komponen ruang ibadah dengan cara yang berbeda. Jemaat Kristen awal membagi ruang ibadah
45
Prof.Dr. Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak:Manusia, Agama dan Budaya Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, 122.
46
Roby, “Arsitektur Gereja Kristen Lama”, April 14, 2009, Accessed Juni 19, 2016, http:architecturoby.blogspot.co.id200904arsitektur-gereja-kristen-lama.html.
22 seperti ruang altar, ruang kudus dan mahakudus, namun jemaat BPI
Bontihing dengan menggunakan bale bengong sebagai tempat ibadah tidak membagi ruang dalam tempat ibadah. Tempat Pendeta berkhotbah yang
biasanya dilakukan di mimbar oleh orang Kristen biasanya, bagi jemaat BPI Bontihing Pendeta dan jemaat duduk di tempat yang sama. Tidak
adanya pembagian ruang dalam tempat ibadah jemaat BPI Bontihing dalam hal ini ingin mengungkapkan adanya kesetaraan bagi setiap
manusia. Melalui gereja bale bengong dapat mengindikasikan gereja yang
terbuka, tidak ada batas kaya-miskin, pintar-bodoh, orang yang suci dan yang maha suci, inklusif tanpa kehilangan identitas, dan tidak ada tinggi-
rendahnya martabat seseorang jika sudah menghadap dan beribadah kepada Tuhan, sederhana namun penuh dengan misi yang sangat
berpotensi.
47
Bale bengong yang digunakan sebagai tempat ibadah bagi jemaat BPI Bontihing adalah bangunan tradisional Bali dengan corak
pedesaan untuk menjadi selaras dengan lingkungan. Bangunan ini hampir seluruhnya dari bahan organik. Sangat terlihat berbeda dengan bentuk
bangunan gereja pada biasanya dan gereja orang Kristen awal yang dimana bahan dasarnya banyak seperti batu dan beton, serta tiang-tiang
yang menjulang tinggi. Dilihat dari bahan-bahan dan bentuk bangunannya, jemaat BPI Bontihing mencoba untuk mengungkapkan konsep gedung
gereja yang terbuka. Mereka membandingkannya dengan konsep gereja yang hanya dibuka pada hari-hari tertentu di saat ada kebaktian. Gereja
hanya dibuka pada hari-hari tertentu namun bale bengong mencoba untuk membantu setiap jemaatnya untuk memahami bahwa bersekutu ataupun
berhimpun di tempat ibadah ini tidak mengenal waktu. Jika ada waktu dan kesempatan jemaat dapat berkumpul disini untuk saling bertukar pikiran,
berbincang dan beribadah. Bale bengong mengambil konsep Tri Angga dalam filosofi Hindu
Bali. Pada arsitektur konsep Tri Angga menampakan dirinya dengan jelas,
47
Victor Hamel, Gereja Bale Bengong, 4
23 yakni rabatap bangunan adalah kepalanya; pengawak atau badan
bangunan selaku madya angga; serta bebataran merupakan kaki sebagai nista angga.
Konsep Tri Angga digunakan pada bangunan memiliki fungsi untuk menentukan konsep hierarki ruang yang menghubungkan antara
proporsi sang pemilik bangunan dengan proporsi suatu bangunan agar terjadi keseimbangan antar proporsi pemilik bangunan dengan bangunan.
48
Bentuk bale bengong didasarkan pada alam orang-orang Bali yang terdiri dari tiga elemen, atap yang menggambarkan alam Tuhan, tiang yang
menggambarkan alam manusia dan dasar menggambarkan dunia bawah. Melalui konsep ini jemaat BPI Bontihing ingin menyelaraskan
pribadi setiap orang yang datang ke bale bengong dengan bangunannya. Rap atau atap bangunan sebagai bagian kepala paling disucikan, maka
pada bagian ini diletakkan tempat Alkitab, dengan keyakinan bahwa Alkitab dalam hal ini disucikan jadi letaknya pun harus ditempat yang
paling disucikan. Bagian madya angga berupa pengawak atau badan bangunan yang terletak di bagian tengah, bagian ini adalah tempat dimana
jemaat dapat duduk bersama-sama dengan pendeta. Jika biasanya kita melihat pendeta mendapat bagian tempat yang lebih tinggi bahkan berdiri
diatas mimbar dan jaraknya terlampau jauh dengan jemaat, di BPI Bontihing semuanya sama rata. Duduk bersila bersama antara pendeta dan
jemaat. Bagian terakhir yaitu nista angga berupa bebataran yang merupakan kaki bagi bangunan yang terletak pada bagian bawah. Pada
bagian ini adalah letak alas kaki bagi para jemaat yang duduk diatas bale bengong untuk beribadah. Tidak menutup kemungkinan pada bagian ini
dapat ditambahkan beberapa kursi ketika jemaat yang hadir dalam ibadah bertambah banyak, namun bukan berarti jemaat yang duduk diatas bale
bengong berbeda derajatnya dengan jemaat yang hanya duduk di kursi tambahan.
48
“Academia”, Angga Iswara, “Konsep Tri Angga dan Tri Loka”, Accessed March 18, 2016. https:www.academia.edu9985141Konsepsi_Tri_Angga_dan_Tri_Loka
24 Gedung gereja bukan sekedar tempat berkumpul melainkan
“tempat” kehadiran Tuhan. Beberapa gereja mempertahankan kiblat ke timur tempat surya terbit gambaran kebangkitan Tuhan untuk membantu
penghayatan umat akan Kristus.
49
Bale bengong bagi jemaat BPI Bontihing sudah tidak memerlukan kiblat lagi dalam penghayatannya akan
Kristus. Mereka mencoba menghayatinya melalui budaya. Selain dari arsitektur bangunan yang mereka pilih yaitu bale bengong sebagai tempat
ibadah, mereka juga menggunakan beberapa media dalam peribadatan yang sangat kontekstual dengan budaya mereka dalam menghayati Kristus
dari segi budaya mereka sendiri.
C. Kekurangan dan Kelebihan Bale Bengong sebagai Tempat Ibadah